Fungsi dan Kewenangan Kelembagaan

49

4.3. Fungsi dan Kewenangan Kelembagaan

Dengan mengacu pada hasil identifikasi fungsi dan kewenangan kelembagaan yang ada pada Tabel 7, dikaitkan dengan sektor-sektor yang berwenang dan berkaitan cakupannya kadangkala tidak jelas dan saling tumpang tindih. Dasar aturan formal dan kebijakan yang digunakan dalam pengelolaan terfragmentasi, tidak konsisten antara satu dengan lainnya, kadang saling bertentangan. Faktor-faktor diatas ditambahkan dengan visi dan misi serta kepentingan yang berbeda dari berbagai lembaga tersebut akan memicu konflik antar lembaga. Fungsi dan kewenangan dari masing-masing lembaga atau instansi yang bertanggung-jawab dalam mengelola kawasan konservasi diuraikan sebagai berikut:

4.3.1. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam PHPA

Pengelolaan dan Perlindungan kawasan konservasi merupakan landasan bagi kebijakan PHPA di seluruh Indonesia. Pertumbuhan resevert secara nasional dan PHPA itu disadari telah membantu peningkatan kesadaran dalam konservasi dan pelestarian alam, yang patut dibanggakan oleh instansi itu. Sehubungan desentralisasi kewenangan dibidang konservasi, masih belum ikhlas pemerintah pusat memberikan sebagian urusan ke daerah seperti Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185Kpts-II1997 tentang organisasi dan Tata Kerja Taman Nasional dan Unit Taman Nasional dapat dilihat secara jelas mengenai fungsi dan tugas Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional, yang lebih merupakan unit pelaksana teknis PHPA yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Dirjen PHPA. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa pengelolaan kawasan taman nasional atau hutan konservasi masih menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Dari peraturan perundang-undangan yang diinvetarisasi dan dikaji kewenangannya terlihat bahwa pada umumnya peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak mendukung upaya desentralisasi urusan kehutanan, khususnya di bidang pengelolaan kawasan konservasi. Adapun peraturan tertinggi yang mengatur mengenani konservasi, seperti UU Nomor 5 tahun 1990 dan UU Nomor 5 tahun 1967, mengembangkan desentralisasi yang setengah hati, sebab desentralisasi tersebut dikunci dengan peraturan pelaksana yang masih harus 50 dibuat lebih lanjut. Secara prinsip pengelolaan sumberdaya alam bertumpuh ke pusat dan berada di bawah kewenangan Menteri. Provinsi Papua telah mempunyai Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA yang dibagi dua wilayah kerja, wilayah I berkedudukan di Jayapura yang mengelola atau mengawasi 20 kawasan konservasi, wilayah II berkedudukan di Kabupaten Sorong yang mengelola atau mengawasi 10 kawasan konservasi. BKSDA Papua I dan II mempunyai tugas melakukan pengawetan terhadap kawasan konservasi, dan tidak ditunjang dengan jumlah biaya yang cukup untuk pengawasan kawasan. Sementara itu permasalahan sumberdaya manusia dibidang konservasi masih kurang dan fasilitas penunjang, namun bukan berarti instansi ini menyerah begitu saja dengan keadaan dan luas wilayah yang sangat besar, tetapi secara perlahan telah dilakukan berbagai tindakan untuk fungsi pengawetan sebagai tugas pokok BKSDA.

4.3.2. Sektor Kehutanan

Instansi yang berwenang dalam membina penggunaan sektor kehutanan adalah Depatemen kehutanan. Sehubungan dengan fungsi dan kewenangan pemberian izin pemanfaatan hutan terbagi menjadi 3 tiga kewenangan pasal 39 UU Nomor 41 Tahun 1999 dan pasal 37, 38, 39, 40, 41 dan 42 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 yaitu melalui: a. Menteri Kehutanan, apabila areal hutan berada pada lintas provinsi, b. Gubernur, apabila hutan berada di lintas kabupaten, dan c. BupatiWalikota, apabila hutan berada dalam 1 satu kabupatenkota Dalam pembagian kewenangan ini, ternyata otonomi daerah belum diterjemahkan dengan tepat oleh beberapa daerah dan beberapa komponen bangsa ini, sehingga pelaksanaannya banyak terjadi kontroversi dan penyimpangan dari semangat otonomi daerah itu sendiri. Ada pihak mengartikan otonomi adalah otonomi kedaulatan, bukan otonomi kewenangan. Akibatnya, timbul kebijakan didaerah yang tidak disingkronkan dengan kebijakan pusat, salah satunya adalah penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK dan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu IPHHK pada hutan produksi. Permasalahan yang terjadi di Provinsi Papua sehubungan dengan penerapan Keppres No. 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung antara lain: 51 a. Sebagian besar hutan di wilayah ini belum dilakukan reskoring untuk mengetahui kelayakan alokasi fungsi hutan lindung dan hutan produksi melalui perhitungan bobotskor berdasarkan faktor kelerengan, jenis tanah dan intensitas hujan. b. Masih banyaknya perambahan hutan di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi yang disebabkan karena belum ada kepastian hukum mengenai batas fungsi hutan dan kurangnya sosialisasi serta pengawasan terhadap perlindungan hutan. c. Terbatasnya data dan informasi di daerah berupa foto udara dan citralansad terkini yang menggabarkan fungsi hutan di Provinsi Papua. d. Terjadi benturan antara kepentingan dan kebijakan terutama dalam kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. e. Kebijakan Provinsi Papua sehubungan dengan sektor kehutanan antara lain: a Surat Gububernur Provinsi Papua Nomor 522444SET tanggal 13 Pebruari 2002 Persetujuan Dispensasi Persetujuan Pembangunan Jalan dan Pemanfaatan Kayu pada Jalan Trans Kabupaten Fak-Fak b Surat Gubernur Provinsi Papua Nomor 522.13386SET tanggal 22 Agustus 2002 tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Hukum Adat. c Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor Kep-522.21648 tanggal 22 Agustus 2002 tentang Penunjukan Pelaksanaan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Masyarakat Hukum Adat Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat. d Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor: 891Kpts-II1999 tanggal 14 Oktober 1999, alokasi fungsi hutan di Provinsi Papua di sajikan pada Lampiran 12.

4.3.3. Sektor Pariwisata

Salah satu sektor yang memanfaatkan kekayaan sumberdaya alam untuk pembangunan nasional adalah sektor pariwisata khususnya pengembangan dan pemanfaatan obyek dan daya tarik wisata, termasuk wisata alam serta berbagai kegiatan diwilayah kawasan suaka alam. Instansi yang berwenang dalam mengelola kegiatan pariwisata adalah Direktorat Jenderal Pariwisata, Seni dan Budaya untuk tingkat pusat dan dinas 52 pariwisata di tingkat provinsi dan kabupatenkota. Fungsi Direktorat Jenderal Pariwisata adalah menyusun perencanaan dan pengembangan obyek wisata di Indonesia. Setelah obyek wisata ditetapkan lalu dipromosikan. Dalam kaitan dengan pengelolaan pariwisata, maka didaerah dibentuk kantor wilayah depatemen seni dan budaya saat belum otonomi daerah, saat otonomi daerah, sektor pariwisata ditangani oleh dinas pariwisata provinsi pada tingkat provinsi dan kabupatekota pada wilayahnya. Sehubungan dengan hal ini maka program yang akan dikembangkan adalah program-program yang sesuai dengan potensi wisata daerah tanpa harus mengadopsi program pusat untuk mengatur keseluruhan program. Potensi wisata CAPC yang memiliki morfologi perbukitan dan pegunungan membentuk keindahan bentangan alam dataran tinggi dengan puncak gunung Baboko pada ketinggian 2.160 m dpl. Lokasinya berbatasan dengan pusat perkotaan Jayapura dan Sentani menjadikan kawasan ini berpotensi alam pegunungan. Kawasan cycloop juga memiliki peninggalan sejarah yang dilestarikan sebagai cagar budaya, seperti monumen Jenderal Mc Arthur. Potensi cagar budaya ini melengkapi aktivitas kepariwisataan di cycloop. Perkembangan kepariwisataan di Kabupaten dan Kota Jayapura tidak dijadikan sebagai tujuan wisata secara rutinitas oleh para pengunjung, bahkan kebijakan pemerintah tidak melihat aspek ini sebagai sumbangsi pembangunan daerah dan pendapatan asli daerah PAD. Persoalan mendasar adalah pembagian porsi dan kewenangan untuk pengelolaan sektor ini sering tidak berazas keadilan dalam hal pendanaan, namun lebih pada eskploitasi budaya sebagai keuntungan sepihak. Kendala lain adalah ketersediaan fasilitas sarana prasarana wisata, informasi tentang kawasan wisata dan program pemerintah yang tidak mengandalkan potensi sektor ini. Kebijakan Pariwisata pada kawasan konservasi harus diatur baik agar tidak menganggu fungsi kawasan. Khusus untuk potensi wisata di CAPC pemerintah Kabupaten Kota Jayapura menetapkan program wisata pada daerah penyangga dan daerah diluar kawasan lindung. Wisata gunung yang selama ini dilakukan di wilayah Kabupaten Jayapura pada daerah aliran sungai belum diatur peraturan daerah Perda, sehingga masyarakat Jayapura dengan leluasa masih dapat menikmati wisata gunung dan sungai berdasarkan aturan masyarakat lokal yang mendiami kawasan ini. 53 Prospek kedepannya perlu dikeluarkan perda yang mengatur secara khusus pariwisata, dengan demikian kawasan-kawasan wisata dapat dikelola secara profisional, agar dapat menjadi sumber pendapat asli daerah PAD. Prospek ini akan terwujud dengan baik jika koordinasi dan kolaborasi program antara sektor dapat dikembangan seirama. Jenis pariwisata yang direkomendasikan dari hasil penelitian ini adalah ekowisata 4.3.4. Sektor Pertambangan Sektor pertambangan dan energi merupakan sektor yang masih menjadi kewenangan pusat. Sejak diberlakukan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, disebutkan “daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang barlaku. Namun jika dikaitkan dengan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 38 ayat 4 disebutkan “pada kawasan lindung tidak melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka” maka terjadi tumpang tindih kawasan hutan lindung dengan kawasan pertambangan. Permasalahan tumpang tindih kawasan merupakan permasalahan tata ruang nasional dan tata ruang daerah yang telah disepakati bersama. Kedepannya kedua sektor ini harus berkoordinasi dalam pemanfaatan ruang agar aturan-aturan konservasi tidak diabaikan hanya karena pertambangan, namun kedua-duanya menjadi penting, sehingga dituntut para aktor harus memiliki kapabilitas dan profisionalisme dalam menyusun program-program pembangunan.

4.3.5. Sektor Lingkungan

Sektor lingkungan seringkali dilihat sebagai sektor anti eksploitasi dan lebih pada kegiatan konservasi untuk berbagai kegiatan pembangunan, sementara itu sektor ini sendiri pada tingkat pusat hanya diurus oleh Menteri Lingkungan Hidup yang dalam kapasitasnya sebagai menteri koordinasi, sehingga lembaga ini hanya hadir sebagai lembaga koordinasi tanpa mempunyai kapasitas dalam berbagai keputusan pelanggaran lingkungan. Lembaga ini di lingkungan Pemda Provinsi dan KabupateKota belum terlalu banyak yang berdiri sendiri sebagai lembaga koordinasi di daerah dan belum dirasa penting kehadirannya, hal ini dapat dilihat di berbagai Pemda yang tidak 54 mempunyai institusi lingkungan yang berdiri sendiri sebagaimana Bappeda disetiap daerah, namun lebih banyak menjadi salah satu bidang yang melekat pada Bappeda. Jika hal ini berlangsung terus, maka kapasitas dan kapabilitas lembaga ini hanya sebagai pemberi informasi tentang dampak lingkungan tanpa melakukan tindakan. Disisi lain lembaga ini ada berdasarkan kompleksitas masalah disuatu daerah. Provinsi Papua adalah salah satu daerah yang kaya akan sumberdaya alam namun bertumpuk kompleksitas masalah lingkungan seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan dan kelautan. Untuk menangulagi dampak lingkungan yang terjadi di daerah ini, maka lewat Perda Propinsi Irian Jaya Nomor 3 Tahun 1999 tentang institusi Bapedalda Propinsi Irian Jaya yang bekedudukan di Jayapura, sebelumnya pada tahun 1985 lembaga ini disebut Biro Lingkungan Hidup yang melekat pada Sekwilda Propinsi Irian. Di Papua sekarang ada 8 KabupatenKota yang telah memilik lembaga Bapedalda. Jayapura sendiri ada 3 Bapedalda yaitu Bapedalda Provinsi, Kabupaten danKota Jayapura. CAPC menjadi tanggung jawab ketiga institusi ini, pada tingkat provinsi hanya sebagai mediator untuk kedua Bapedalda di wilayah Jayapura. Semenjak diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 10 ayat 1 mengisyaratakan “ Daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan hal ini tentunya termasuk pengelolaan kawasan konservasi. khusus Provinsi Papua telah berlaku UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Jika pemerintah pusat secara konsisten untuk melaksanakan aturan-aturan ini maka berbagai kewenangan yang sebenarnya berada di pusat harus diberikan ke daerah sebagai perpanjang kewenangan pusat di daerah, namun masih terjadi tarik ulur kewenangan, sehingga tidak jelas kewenangan seperti apa yang harus diberlakukan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mana. Dalam situasi yang tidak jelas tentang kewenangan pusat dan daerah, Pemda KabupatenKota mengeluarkan berbagai kebijakan pembangunan dalam bentuk 55 program pembangunan yang dilaksanakan oleh instansi teknis yang berada di KabupatenKota Jayapura, sebagai berikut: a. Dinas Pekerjaan Umum Kota Jayapura telah membangun jalan melintasi CAPC Angkasa-Kampung Ormu. Kegiatan ini tidak dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan AMDAL, sehingga jalan yang dibangun ini menjadi tidak layak yang mengakibatkan kontroversi antara pihak Pemerintah Provinsi dan Kota Jayapura serta masyarakat pencinta lingkungan LSM Lingkungan. b. Dinas Perkebunan dan Pertanian Kabupaten Jayapura, memberikan ijin pada masyarakat migran Papua dan pendatang membuka lahan perkebunan di kawasan CAPC, dan kegiatan ini menjadi ancaman dan tekanan terhadap kelestarian kawasan Cycloop. Fenomena ini menjadi sumbangsi terbesar terhadap lahan kritis di wilayah CAPC bahkan mengakibatkan kurangnya sumber air yang berakibat pada turunya debit air. Perkebunan dan pemukiman liar yang dibangun pada kemiringan lahan 20 yang mengakibatkan bencana alam seperti longsor. Kegiatan lain yang ikut menyumbangkan dampak pada sumber air adalah pengambilan kayu dalam hutan CAPC untuk pembuatan arang aktif oleh masyarakat migran Papua Jayawijaya c. Dinas Pertambangan Kabupaten Jayapura memberikan ijin kepada pengusaha dan masyarakat untuk mengambil material galian c seperti pasir, batu kerikil untuk pembangunan tanpa memperhitungkan daya dukung lahan dan atau Daerah aliran sungai DAS dimana kegiatan itu berlangsung. d. Badan Pertanahan Nasional BPN KabupatenKota Jayapura, yang mempunyai tugas mengeluarkan sertifakat kepemilikan lahan untuk membangun, hasil penelitian mengambarkan bahwa banyak terjadi tumpang- tindih sertifikat yang dikeluarkan untuk sebidang tanah. Khusus untuk kasus ini masyarakat adat Kota Jayapura telah terjadi kontradisksi dalam transaksi jual-beli tanah luas lahan tertentu, masyarakat adat menjual sebidang tanah untuk beberapa pembeli, sehingga hal ini menjadi pemicu konflik horisontal antara masyarakat tentang kepemilikan lahan. e. Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA Papua I dalam fungsi tugasnya melakukan pembinaan dan penyuluhan pada masyarakat sekitar kawasan tentang fungsi pengawetan kawasan konservasi, namun seringkali 56 berseberangan dengan masyarakat, sebab ruang untuk kegiatan masyarakat sangat kecil bahkan perhatian terhadap masyarakat sering menjadi permasalahan. Namun sebenarnya hal mendasar yang terjadi pada lembaga ini adalah ketersediaan biaya operasional dan jumlah personail yang memiliki latar belakang pendidikan konservasi masih sangat kurang, sementara luas kawasan yang awasi sangat luas. f. Dinas Pariwisata, salah satu sektor yang memanfaatkan sumberdaya alam untuk pembangunan nasional dengan memanfaatkan obyek dan daya tarik wisata, termasuk wisata CAPC dan penelitian. Dinas ini sendiri dalam tugas dan fungsinya tidak terlihat dengan jelas pengelolaan pariwisata di Jayapura. Hal ini juga sangat tergantung dengan tujuan wisata yang mau diangkat atau dipromisikan. Khusus Kota Jayapura telah mengupaya beberapa lokasi seperti Teluk Youtefa sebagai tujuan wisata laut, Pantai Hamadi, Pantai Base G, yang cukup baik dalam penanganannya, hanya belum diatur jenis wisata yang cocok dikembangkan dikawasan wisata ini. Kedepannya ekowisata menjadi sasaran pengelolaan wisata di Jayapura.

4.4. Evaluasi Pengelolaan CAPC saat ini