Analisis Informan 2 HASIL DAN PEMBAHASAN

kepada reporter yang bersagkutan. “Hukuman tersebut diberikan untuk kebaikan dia sendiri ke depannya, dan itu jelas-jelas ada dalam Kode Etik Jurnalistik,” jelasnya. Secara keseluruhan, H.S cukup paham dengan Kode Etik Jurnalistik dan ia sendiri mengatakan sudah melaksanakan dan memegang teguh KEJ tersebut. Namun, ia mengakui pernah melanggar beberapa point dalam prakteknya. “Ketika meliput dan memberitakan sebuah peristiwa, ada norma-norma yang tidak sesuai dan harus melanggar etka itu. Fakta dan norma itu tidak selamanya sejalan, namun saya tetap setuju dengan tiap pasal dalam Kode Etik Jurnalistik,” jelasnya. Kesimpulan Pemahaman Informan 1: Redaktur divisi “Nasional dan Politik” ini sudah cukup paham dengan Kode Etik Jurnalistik. Hal ini dikarenakan pengalaman dan lamanya ia berprofesi sebagai seorang jurnalis. Meskipun tidak berlatar belakang pendidikan jurnalistik, H.S mampu mengaplikasikan dan menjalankan Kode Etik Jurnalistik sebagai landasan profesinya. Bahkan, ia dengan tegas memberi hukuman kepada reporter atau jurnalis lain yang membuat berita bohong yang secara langsung telah merusak citra profesi wartawan itu sendiri. Esensi dan seorang wartawan tersebut mampu ia tampilkan dalam tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang jurnalis.

IV.4. Analisis Informan 2

Informan kedua adalah S.W. Pria berusia 40 tahun ini sudah bekerja selama 1,5 tahun di Waspada Online sebagai reporter. Namun, berprofesi sebagai jurnalis sudah ia tekuni selama 12 tahun di berbagai media massa di kota Medan. Memiliki background pendidikan S1 Jurnalistik dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara “Pembangunan” semakin mendukung profesinya sebagai seorang jurnalis. Namun, alasan utama S.W menjadi seorang jurnalis awalnya dicetuskan oleh pamannya. Ketika menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas, Paman S.W yang merupakan jurnalis di Jawa Pos menyarankan S.W menjadi seorang wartawan. Ia pun menyutujui saran pamannya karena S.W juga suka menulis. Semasa SMA, ia sering menulis puisi dan cerpen. “Awalnya dari paman yang bekerja di Jawa Pos, ditambah dari SMA saya suka menulis puisi dan cerpen, jadi sinkron saja, karena dulu pemikiran saya jadi wartawan itu ya harus bias menulis dulu,” ujarnya. Selain alasan di atas, S.W memutuskan untuk menjadi seorang jurnalis karena cita-citanya ingin mengaspirasikan suara rakyat yang menurutnya selama ini kurang ditanggapi pemerintah dan wakil rakyat. Alasan mulia tersebut dijadikannya sebagai pegangannya dalam mencari, meliput, melaporkan, dan menulis berita. “Selain karena saran paman, alasan dari pribadi saya karena suara rakyat perlu didengar oleh pemerintah dan wakil rakyat, bangsa ini akan maju kalau para petinggi Negara mau mendengar rakyatnya,” jelasnya. Dalam pengamatan peneliti selama S.W meliput, ia tidak banyak berbicang dengan jurnalis lain. Ketika ia meliput di Pengadilan Tinggi Medan, sebelum melakukan wawancara, para jurnalis dari berbagai media massa biasanya berkumpul dan berbincang-bincang membahas beragam topik. Mulai dari kasus yang sedang disidangkan sampai gosip-gosip kasus dugaan korupsi para pejabat pemerintahan di kota Medan. Namun, selama perbincangan tersebut, S.W tidak banyak berkomentar bahkan sibuk dengan ponselnya. Universitas Sumatera Utara Namun, ketika tiba waktunya untuk wawancara, S.W kelihatan lebih “vokal” diantara jurnalis lain. Dari semua jurnalis yang ada pada saat liputan di Pengadilan Tinggi Medan, S.W lebih banyak mengajukan pertanyaan ketimbang jurnalis lain. Setelah selesai mewawancari humas Pengadilan Tinggi Negara, peneliti mencoba bertanya kepada seorang wartawan dari media lain tentang S.W. Apakah selama liputan di Pengadilan Tinggi Medan, S.W selalu mengajukan banyak pertanyaan? Dan wartawan tersebut mengiyakan pertanyaan tersebut, bahkan ia merasa terbantu dengan pertanyaan S.W karena dapat melengkapi dan menyempurnakan beritanya. “Dia sepertinya paham betul terhadap isu yang akan diangkat, dia paling rajin bertanya dan itu menguntungkan banyak wartawan lain sebenarnya. Karena dia banyak nanya, berita kita kan makin lengkap dan makin banyak,” jelas wartawan tersebut. Setelah Suwandi selesai liputan biasanya ia langsung menuju kantor Waspada Online untuk menulis berita yang ia peroleh dari lapangan. Sesampainya di ruangan redaksi, ia langsung menuju meja kerjanya dan menuliskan semua berita yang ia peroleh dari lapangan kemudian mengirimnya ke email redaktur. Dari pengamatan peneliti selama liputan di lapangan, S.W terkesan sebagai jurnalis yang sederhana dan tidak suka basa basi. Pola kerja yang ia tanamkan adalah mencari berita dengan sungguh-sungguh dan menuliskannya. “Saya tidak suka yang repot-repot, kalau ada isu yang mau diliput ya saya liput, tapi saya pahami dulu isunya tersebut kemudian saya tanyakan apa yang perlu saya tanyakan dan melaporkannya ke redaktur, sedehana kan,” jelasnya. Menurut pemahaman S.W, Universitas Sumatera Utara mencari informasi dan menjadikannya menjadi sebuah berita adalah esensi dari tugas seorang wartawan. Berbicara soal Kode Etik Jurnalistik, S.W cukup paham untuk menjelaskan 11 pasal dalam KEJ. Sama seperti H.S, ia tidak hapal mati 11 pasal dalam KEJ, namun jika dihadapkan dengan pasal-pasal tersebut, ia dengan lugas dan gampang menjelaskan maksud dari setiap pasal. Bahkan ketika menjelaskan tentang ha jawab dan hak koreksi, Suwandi menuturkannya dengan sempurna. . “Hak jawab merupakan hak pembaca atau pemirsa untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan karena merasa merugikan nama baiknya dan tidak sesuai fakta, sedangkan hak koreksi adalah hak untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain,” jawab S.W. Untuk pengertian off the record, cover both side, delik pers, trial by the press, dan independensi seorang wartawan dengan santai ia menjawabnya dan sesuai dengan penafsiran dalam KEJ. Pemahaman S.W terhadap KEJ selain dikarenakan ia sudah sangat lama berprofesi sebagai seorang jurnalis juga dikarenakan ia sering mendapat pelatihan jurnalistik. Setiap ia berpindah tempat kerja, ia selalu mendapat pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan oleh media bersangkutan tempat ia bekerja. “Saya kan sudah berpindah-pindah di banyak media massa, setiap kali pindah dapat pelatihan jadi saya sudah paham betul isi dalam KEJ itu,” pungkasnya. Saat dimintai komentar soal wartawan amplop, S.W pun dengan tegas mengecam tindakan yang tidak professional tersebut. Ia merasa profesinya sebagai Universitas Sumatera Utara seorang jurnalis telah dinodai oleh ulah wartawan amplop. Namun, saat ditanya apakah ia pernah menerima barang dari narasumber, ia pernah menerima sebuah ponsel dari seorang pejabat pemerintah kota Medan. Ia beranggapan ponsel tersebut bukan suapan, namun berkat adanya relasi yang kuat anatara dia degan narsum tersebut. “Saya pernah menerima ponsel dari pejabat, tapi itu bukan berupa suap atau sejenisnya, saya sudah cukup dekat dengan beliau, dan itu adalah berupa pemeberian ikhlas. Itu tidak mempengaruhi pemberitaan yang saya buat tentang dirinya. Kalau dia berbuat yang tidak baik ya saya beritakan tidak baik,” jelasnya. Namun, ia memahami banyaknya alasan wartawan menerima suap dari narsum karena minimnya gaji seorang wartawan di kota Medan. Namun alasan tersebut tidak seharusnya dijadikan sebuah pembenaran. Karena menjadi seorang jurnalis menurut S.W lebih kepada panggilan hidup. “Kalau alasan para wartawan amplop karena gaji sedikit ya memang benar gitu adanya di Medan ini, namun kan itu sudah jadi pilihannya ya harus professional lah, kalau mau mencukupi biaya hidup apa harus jadi wartawan amlop, kan bisa usaha sampingan kecil-kecilan, banyak ini wartawan yang juga bisnis online sekarang,” katanya. Kesimpulan Pemahaman Informan 2: S.W yang punya latar belakang pendidikan S1 Jurnalistik dan paman yang berprofesi sebagai wartawan sudah pahak betul dengan setiap pasal yang ada dalam Kode Etik Jurnalistik. Ia mampu menjelaskan dengan jelas dan padat setiap pengertian tiap pasal tersebut. Ia juga bisa digolongkan sebagai wartawan yang mempunyai idealisme. Menolak dengan keras wartawan amplop dan melaporkan sesuai fakta adalah prinsip Universitas Sumatera Utara kerja jurnalistik yang ia pegang. Tidak pernah mencampuradukkan fakta dan opini dalam tulisannya membuatnya menjadi seorang wartawan yang professional.

IV.5. Analisis Informan 3