Analisis Informan 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

I.W yang tidak memiliki latar belakang sekolah jurnalistik belum lebih dua tahun menjadi seorang jurnalis. Ia mengenal KEJ dari pelatihan-pelatihan jurnalistik yang ia peroleh namun dalam prakteknya masih jauh dari substansi dari KEJ itu sendiri. Ia juga tidak paham beberapa poin dalam KEJ, misalkan delik pers, embargo, dan hak koreksi. Ia masih dengan gampang menerima uang dari pejabat, namun ia tetap bersikukuh hal itu tidak akan mempengaruhi pemberitaannya. Dengan beralasan untuk membentuk hubungan yang baik dengan pejabat, ia pun tidak sungkan menerima uang dari mereka, padahal indikasi jangka panjang tetap bisa saja menciderai independensinya sebagai seorang jurnalis. Pemahaman I.W tentang KEJ cukup baik namun dalam praktiknya masih menyimpang.

IV.6. Analisis Informan 4

Setelah menyelesaikan pendidikan S1 Jurnalistik dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi “Pembangunan”, R.B langsung melamar ke sebuah media cetak di kota Medan sebagai reporter. Bekerja di media sebagai jurnalis adalah pilihan hidupnya. Semasa kuliah, ia memang sudah menargetkan diri untuk menjadi seorang wartawan. “Aku memang kepengen jadi wartawan makanya ambil sekolah jurnalistik,” ujarnya singkat. Namun, jabatan ia mulai menjabat sebagai redaktur pada harian Perjuangan pada tahun 2007 sampai 2008. Ia menangani divisi “Hukum dan Kriminal”. Saat ini, R.B menjabat sebagai Redaktur divisi “Medan” di Waspada Online. Pria kelahiran 10 Februari 1980 ini biasanya hadir di ruang redaksi pukul 10 pagi. Dia selalu mengupdate berita seputaran kota Medan. Isu terhangat di pemerintahan kota Medan, kriminal, kecelakaaan transportasi, persoalan macet dan Universitas Sumatera Utara tata ruang kota Medan, dan berbagai informasi yang dinilai penting dan layak dikonsumsi masyarakat. Berita yang diperolehnya biasanya langsung dari reporter yang berada di lapangan maupun yang ada di ruang redaksi. Namun, jika ada berita yang terlewatkan oleh reporternya, maka dengan terpaksa ia mengutip dari media lain dan mengeditnya. “Kadang tidak semua informasi bias didapat reporter, misalkan ada berita kecelakaan yang tiba-tiba dan reporter sedang meliput di posnya, maka kita akan mengutip dari media lain dan mengeditnya namun kita akan mengkomfirmasi pihak – pihak terkait peristiwa itu dan nama media yang kita kutip kita cantumkan di akhir berita sebagai etika,” jelasnya. Namun, ia terkadang harus memegang divisi “Nasional dan Politik” ketika divisi tersebut sedang lemah. Lemah di sini karena terkadang divisi tersebut memiliki porsi yang besar di Waspada Online. Tidak hanya berita politik di kota Medan, namun juga di Ibukota Indonesia, Jakarta. Karena banyaknya berita yang perlu dicerna dan diberitakan, terkadang divisi “Nasional dan Politik” membutuhkan SDM tambahan, dan bisa dibilang R.B menjadi co-editor untuk “Nasional dan Politik”. Meski terkadang harus memegang dua divisi, R.B merasa tidak pernah kesulitan, pasalnya ia mampu berkordinasi dengan seluruh staff redaksi. “Walaupun terkadang harus memegang dua divisi, saya tetap fokus di divisi yang saya pegang dan porsinya juga lebih besar, redaktur divisi Nasional Politik juga memahaminya sehingga saya di Naspol tidak terlalu diberatkan,” katanya. Sebagai seorang wartawan senior di Waspada Online, R.B cukup paham dengan aturan-aturan seorang jurnalis. Apalagi pengalaman yang hitungan tahun sudah dijelajahinya sebagai seorang wartawan, memantapkan dirinya menyandang seorang jurnalis. Ia sendiri berpendapat bahwa Universitas Sumatera Utara jurnalistik sebagai proses pembelajaran bagi dirinya dan masyarakat sehingga, masyarakat paham apa yang sedang terjadi. “Jurnalistik itu utamanya harus kepada masyarakat, jadi berita itu memberikan pengetahuan kepada masyarakat,” ujarnya. Ia juga merasa memiliki penghasilan yang cukup mensejahterakan dirinya, apalagi dirinya belum berumah tangga. “Kalau soal gaji masih tergolong cukup dan bisa mensejahterakan diri sendiri,” lanjutnya. Bahkan, ia berpendapat integritas seorang wartawan tidak harus melihat gaji. “Jurnalis itu pekerjaan yang mulia, itu tidak bisa dinilai dengan materi,” katanya. Tidak ingin disamakan dengan wartawan amplop yang identik dengan pemerasan, R.B mengecam secara tegas tindakan wartawan amplop tersebut. “Dulu, sewaktu saya jadi reporter banyak teman-teman saya yang sering meras beberapa narsum, tapi saya segan dulu negornya, namanya juga berteman, nanti dibilang sok,” ceritanya. Meskipun tidak pernah meminta materi dari narsumnya, R.B mengaku pernah diberi narsum uang dan ia mengatakan hal itu wajar asal tidak mempengaruhi isi pemberitaan. “Kalau dikasi oleh narsum itu ya lain lah ceritanya, wartawan amplop itu kan kerjanya meras, apalagi kalau ada berita yang diminta narsum untuk segera dinaikkan, biasanya reporter minta dana yang besar untuk menaikkan berita tersebut,” jelasnya. Dalam pengetahuan tentang istilah-istilah jurnalistik, R.B cukup familiar dengan istilah trial by the press, hak tolak, hak jawab, hak koreksi, embargo, cover both side, dan cukup paham pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik. Ini juga didukung sosialisasi dari Pemimpin Redaksi Waspada Online yang dalam rapat redaksi secara tidak langsung menyampaikan beberapa pengarahan dalam meliput. Universitas Sumatera Utara Menjadi seorang wartawan professional menurut R.B harus berpegang teguh pada KEJ, sebab KEJ harus menjadi acuan dan etika dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Ia sendiri mengaku tidak pernah mencampurkan opini pribadinya dalam pemberitaan yang ia buat. “Itu dilarang keras, karena kan media itu juga berfungsi untuk mencerdaskan publik, kalau kita uda buat berita bohong ya jadi bodoh lah masyarakat kita,” ucapnya. Seorang jurnalis menurutnya harus mampu menjadikan KEJ sebagai pedoman hidupnya di lapangan, termasuk dalam penulisan berita. “Sekarang ini banyak reporter yang beritanya mirip-mirip. Jadi jangan heran kalau ada dua atau tiga media yang isi beritanya sama tapi judulnya sedikit berbeda, banyak wartawan pemalas sekarang, makanya saya teliti terhadap berita yang dikirim oleh reporter, bahkan saya selalu menegaskan mereka sebelum kelapangan jangan menjadi seorang plagiator,” katanya. Berbicara tentang plagiat, dalam KEJ, hal ini dimuat dalam pasal dua yang berbunyi “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik,” dengan penafsiran pada point ke tujuh yang berisi “tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri.” Dalam KEJ, tindakan plagiat dilarang keras dan R.B sebagai redaktur juga bertindak sebagai pengawas setiap reporter yang mengirim berita kepadanya. Namun, yang menarik dari komentar R.B adalah, ia berpendapat bahwa banyaknya wartawan yang pada akhirnya menjual idealismenya karena urusan kesejahteraan. Ia mengerti dirinya merasa cukup dengan pendapatannya karena ia Universitas Sumatera Utara belum berkeluarga, sebab ia punya banyak teman sesame wartawan yang gajinya menurut Roy masih kurang. “Memang kalau berbicara soal uang selalu saja nya kurang, tapi kita juga tidak bisa menutup mata bahwa gaji wartawan itu minim, makanya banyak wartawan amplop berkeliaran di lapangan. Saya setuju adanya standarisasi yang sedang diproses oleh Dewan Pers dan saya berharap dibahas juga soal kesejahteraan wartawan, ini kan jadi antisipasi yang sangat jitu, kalau gaji tidak kecil, saya yakin wartawan amplop bisa minimalisir, ya tentunya sosialisasi tentang KEJ juga sangat perlu,” pungkas R.B. Kesimpulan Pemahaman Informan 4 : R.B hampir sama dengan H.S, pengalaman yang matang sebagai jurnalis memantapkan dirinya dalam memahami KEJ dan menjadikannya sebagai landasan profesinya. Bahkan, ia turur mengawasi reporternya dengan cara memberi arahan agar setiap reporter tidak mengutip berita yang sama dengan reporter media lain, atau dengan kata lain plagiat. Namun, ia masih berpendapat bahwa wartawan amplop itu adalah yang meminta bukan diberi, meskipun dikasi amplop, ia mengatakan lumrah diterima. Padahal, uang tersebut bisa menjadi senjara dari narsum yang memberi untuk pemberitaannya kelak.

IV.7. Analisis Informan 5