Analisis Informan 7 HASIL DAN PEMBAHASAN

menjelaskan secara gamang, tidak dalam praktiknya. Ia masih mewajarkan seorang wartawan menerima imbalan baik berupa uang maupun barang. Meskipun ia mengatakan tidak mengubah isi pemberitaan, menerima imbalan dalam konteks peliputan sudah merupakan pelanggaran KEJ. Hal ini tertuang dalam pasal 6 KEJ yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyalah-gunakan profesi dan tidak menerima suap” dengan penafsiran “Menyalah-gunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.” F.T juga merupakan wartawan senior di Waspada Online yang sering member arahan kepada reporter yang akan melakukan peliputan ke lapangan.

IV.9. Analisis Informan 7

A.L yang baru menjabat sebagai Asisten Redaktur Pelaksana selama dua bulan merupakan wartawan senior di media Waspada Online. Sebelum menduduki posisi tersebut, ia merupakan redaktur “Ekonomi dan Bisnis”. Namun, karena posisi Redaktur Pelasana Redpel sedang kosong, A.L dipercaya oleh Pemimpin Umum Waspada Online sebagai Asisten Redpel. Tugas utama A.L adalah mengawasi setiap divisi dan melihat kuota berita yang sudah dipenuhi masing-masing divisi, apakah sudah sesuai atau tidak. Ia juga yang memberikan berita rekomendasi kepada pemimpin redaksi apa yang menjadi warta fokus setiap harinya. Namun, ia juga bertugas untuk mewawancarai narsum terkait berita yang akan dijadikan warta fokus. Misalkan, pada berita tentang keadaan cuaca di Sumut yang akan dijadikan berita Universitas Sumatera Utara utama. Ia mewawancarai kepala BMKG Sumut lewat telepon tentang cuaca Sumut yang akhir-akhir ini sedang musim hujan lebat hingga merusak banyak bangunan dan pohon-pohon. Ia juga memiliki wewenang untuk mengajukan rekomendasi surat peringatan SP kepada Pemimpin Umum jika ada redaktur yang melakukan kesalahan yang fatal. Seperti contoh, ia pernah memberikan rekomendasi SP kepada Redaktur “Medan” R.B karena ia telat datang ke kantor selama tiga jam dan membuat redaksi kekurangan berita. Selama di ruang redaksi, A.L terlihat bekerja dengan santai, meski memili tugas untuk mengawasi kinerja setiap redaktur masing-masing divisi, A.L selalu sempat bermain game online lewat komputer yang ada di meja kerjanya. Bahkan setelah peneliti mengamati, A.L lebih banyak mengabiskan waktu untuk bermain game online ketimbang mengecek emailnya. Menurut pengamatan peneliti, hal ini disebabkan oleh tugas A.L yang tidak terlalu menyita pemikiran. Porsinya lebih besar untuk mengawasi kinerja tiap redaktur ketimbang menulis berita. Itu pun tidak dilakukannya dengan maksimal dan profesional. Ia pun pulang kerja lebih cepat dari pada para redaktur. Jika redaktur “Nasional dan Politik” H.S biasanya pulang kerja pukul 12 malam, A.L yang jabatannya lebih tinggi sering pulang pukul 7.30 malam. Ketika peneliti menanyakan hal ini ke redaktur lain, banyak mereka yang komplain namun tidak berani mengungkapkannya. “Memang tugas dia lebih kepada pengawasan redaktur, tapi seharusnya beliau juga bisa membantu divisi yang kesulitan atau sedang kekurangan SDM,” ujar H.S, Redaktur “Nasional dan Politik”. Meskipun demikian, ketidak beranian redaktur lain mengkomplain Anggraini Universitas Sumatera Utara dikarenakan job desc A.L memang tidak rumit dan itu sudah menjadi keputusan Pemimpin Umum. Namun dari kacamata peneliti, seharusnya A.L mampu merangkul setiap redaktur dan bisa bekerja secara maksimal, meskipun ia mengawasi redaktur, namun ia sebaiknya melihat redaktur mana yang butuh bantuan. A.L hanya fokus pada tiga buah berita yang dijadikan warta fokus. Itu pun tidak semuanya ia buat sendiri, terkadang ada berita yang berasal dari reporter di lapangan yang dinilai penting dan layak dijadikan warta fokus. Sehingga ia tidak perlu lagi mewawancarai narasumber untuk menjadikan berita-berita warta fokus. Sebelum bekerja di Waspada Online, A.L pernah menjadi reporter freelance di TVRI Jakarta, namun ia hanya bertahan enam bulan saja. Kemudian ia pindah ke kota Medan bersama suami dan sudah bekerja di Waspada Online selama 2,5 tahun. Ia merupakan salah satu staff redaksi tertua di Waspada Online saat ini. Softskill di bidang jurnalistik yang dimiliki A.L bisa dibilang baik. Hal ini juga didukung oleh latar belakang pendidikan A.L yaitu S1 Jurnalistik dari IISIP Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Ia juga sering mengikuti seminar dan pelatihan jurnalistik semasa mahasiswa di IISIP Jakarta. Menurut sepemahaman A.L, wartawan profesional adalah wartawan yang sudah menjadikan wartawan itu sebagai profesi yang profesional, memiliki keahlian jurnalistik dalam melihat sebuah peristiwa dan menjadikannya sebuah berita yang berimbang. “Banyak orang yang jadi wartawan karena tidak ada pekerjaan lain, menurut tipe wartawan seperti itu belum menjadikan wartawan sebagai sebuah Universitas Sumatera Utara profesi. Seorang wartawan harus punya skill dan pemahaman tentang jurnalistik,” jelasnya. Niat awal A.L ingin menjadi seorang jurnalis pada awalnya adalah ketika ia membaca sebuah artikel di majalah. Pada artikel tersebut diceritakan tentang kehidupan seorang anak yang berjuang hidup untuk membantu kebutuhan keluarganya. Artikel tersebut disajikan dalam bentuk feature namun mampu menyentuh hatinya, ia pun menangis membaca artikel tersebut. Sejak itu, ia bertekad ingin membuat tulisan yang mampu membuat orang lain menangis juga. Lewat tulisannya, ia ingin agar orang lain juga tersentuh dan ingin mengajak pembacanya tergerak untuk membantu sesama. “Awalnya karena tulisan itu aku mau jadi wartawan, aku punya keinginan waktu itu ingin menyentuh hati orang lain lewat tulisanku,” ceritanya. Wanita yang lahir pada tanggal 10 Februari 1978 ini mampu menjelaskan 11 pasal yang terdapat dalam KEJ. Saat peneliti membacakan tiap pasal, ia menjelaskan dengan ringan namun sesuai dengan penafsiran yang ada dalam KEJ itu sendiri. Istilah-istilah jurnalistik yang ada dalam KEJ juga mampu diterangkannya dengan baik. Istilah cover both side, trial by the press, off the record, embargo, hak koreksi, hak jawab, hak tolak, serta diskriminasi mampu ia terangkan dengan baik. Namun, saat peneliti menanyakan tentang indepedensi seorang wartawan, A.L memberikan jawaban yang cukup mnegejutkan. “Seorang wartawan memang harus independen, tapi praktiknya tidak. Banyak wartawan yang menjual idelismenya ketika berhadapan dengan uang ataupun tekanan – tekanan dari berbagai pihak, bahkan Universitas Sumatera Utara tekanan dari pemilik media dimana ia bekerja dan mencari nafkah,” tukasnya. Menurtnya wartawan saat ini banyak yang tidak mengamalkan dan menjadikan KEJ sebagai pedoman profesi dalam praktiknya. “Semua yang ada dalam KEJ itu memang bagus untuk wartawan, tapi praktiknya tetap saja banyak yang melanggar, ini lagi-lagi karena unsur materi dan pihak-pihak lain,” katanya. Ia pribadi mengenaralisasikan wartawan sulit untuk menjalankan KEJ dengan alasan yang hampir sama dengan informan lain yaitu minimnya gaji wartawan. Kesimpulan Pemahaman Informan 7: A.L yang menjabat sebagai Asisten Redaktur Pelaksana cukup paham setiap pasal yang ada pada KEJ, namun secara praktik ia masih melakukan pelanggaran KEJ itu sendiri. Hal ini terbukti dari tindakannya yang tidak perofesional. Ia hanya fokus pada job desc nya saja dan jarang membantu divisi lain. Sehingga, banyak redaktur yang menilai kinerja A.L buruk setelah menjabat sebagai Asisten Redpel. Ia juga mengeneralisasikan banyak wartawan yang sulit menjalankan aturan-aturan dalam KEJ karena faktor rendahnya gaji seorang wartawan, namun pernyataan tersebut hanya berdasarkan pengalamannya sebagai seorang wartawan di lapangan, bukan berdasarkan sebuah penelitian. Sebab, apa semua wartawan mau disuap ataupun menyuap di Indonesia? A.L hanya paham tentang KEJ secara teoris saja, tidak secara praktik. Namun, ia tetap mengakuinya sebagai sebuah kesalahannya. “Saya akui saya telah melanggar Kode Etik Jurnalistik, buat apa saya jadi seorang yang munafik,” ungkapnya. Universitas Sumatera Utara

IV.10. Analisis Informan 8