menawarkan posisi tersebut. Karena sudah tidak mengikuti perkuliahan lagi, Ima pun berani mengambil keputusan untuk bekerja di Waspada Online.
Akibat kesibukannya bekerja di Waspada Online, Ima menunda mengerjakan skripsi selama setahun. Terlalu menikmati pekerjaannya di Waspada Online serta
memperoleh penghasilan sendiri menjadi alas an utama Ima mengambil keputusan untuk menunda mengerjakan skripsi. Namun, setelah setahun menunda, ia kembali
fokus pada skripsinya dan meminta dispensasi kepada Pemimpin Umum untuk pulang lebih awal ketimbang hari biasanya. I.S mengaku, telah sering menerima
teguran dari orantuanya untuk menyelesaikan sarjananya. Ia diwisuda bulan Juli 2011.
IV.3. Analisis Informan 1
Yang menjadi objek penelitian pertama adalah H.S. Pria berusia 42 tahun ini sudah bekerja selama 2 tahun di Waspada Online sebagai Redaktur divisi “Nasional
dan Politik”. Memiliki gelar Sarjana Hukum dari sebuah universitas swasta di Medan serta ingin mengetahui banyak hal dan mengedepankan sikap indipenden, H.S
memutuskan menjadi seorang jurnalis. Sebelum bekerja di Waspada Online, H.S sudah memiliki banyak pengalam bekerja di media sebagai jurnalis. Pernah menjadi
redaktur di harian Sinar Indonesia Baru selama 3 tahun menjadi bekal yang cukup kuat baginya untuk menganalisis suatu kasus untuk dijadikan sebuah tajuk rencana.
Namun, di Waspada Onlne, H.S tidak pernah menulis di kolom editorial namun lebih kepada menganalisis sebuah kasus dalam ranah politik untuk dikembangkan
beritanya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam rapat redaksi, H.S sering mengemukakan bagaimana sebuah kasus didalami. Misalnya agenda berita tentang calon pemilihan ketua KPK yang baru, H.S
memberi masukan untuk mewawancarai pakar politik dari UI yang dekat dengan KPK, praktisi hukum, serta aktivis LSM Indonesia Corruption Watch ICW. Dari
idenya tersebut, ia ingin mengembangkan isu tersebut lewat cara pandang berbagai pihak. Dengan meminta pendapat dari ketiga narsum tersebut, H.S menjadikannya
sebuah warta fokus yang menjadi sumber informasi pembaca Waspada Online. Sebelum menunjuk reporter untuk mewawancarai narsum, H.S biasanya
membekali sang reporter dengan sejumlah pertanyaan mendakam dan matang. Ia tidak ingin reporternya tidak menguasai kasus. Ketika reporter yang ditunjuk tidak
mengikuti kasus tertentu yang akan dikembangkan menjadi berita, maka H.S akan menjelaskan dengan jelas dan singkat serta mengirimkan berita-berita terkait melalui
email. Dengan pengalaman sebagai jurnalis di berbagai media, meskipun H.S tidak
berbekal sekolah jurnalistik, H.S paham betul dengan Kode Etik Jurnalistik. Saat peneliti mewawancarai H.S tentang pemahaman singkat tentang Kode Etik
Jurnalistik, Harles menjawab dengan lugas. “Kode Etik Jurnalistik itu sebuah etika dan norma dasari bagi seorang jurnalis dalam melaksanakan fungsi dan tugas
jurnalistiknya. Itu menjadi landasan profesi bagi seorang jurnalis,” ujar Harles. Mengenai pasal – pasal yang ada dalam Kode Etik Jurnalistik, H.S memang
tidak hapal secara keseluruhan, namun jika dihadapkan pada setiap pasal, Harles mampu menjelaskannya secara terinci dan sesuai dengan penafsiran yang ada dalam
Universitas Sumatera Utara
KEJ itu sendiri. Bahkan, H.S dengan lantang mengatakan KEJ tersebut sudah menjadi pedoman profesinya selama menjadi seorang jurnalis.
Istilah cover both side, off the record, hak jawab, hak koreksi, serta delik pers juga dengan gampang ia paparkan dengan jelas. Sebab selama menjadi seorang
jurnalis setiap point yang ada dalam KEJ sudah pernah ia alami dan laksanakan. Pemahaman tersebut juga didukung oleh seringnya ia mendapat pelatihan jurnalistik
pada awal-awal menjadi seorang jurnalis dan malahan ia pernah diminta untuk memberikan pelatihan dasar-dasar jurnalistik kepada reporter baru.
Mengenai pernah atau tidaknya menerima amplop atau uang dari narsum, H.S menjawab pernah. Namun, ia menegaskan bahwa yang ia terima bukanlah uang suap
atau uang terima kasih namun kepada uang apresiasi. Ia sangat tidak setuju dengan adanya wartawan amplop. Baginya wartawan amlop telah menciderai profesi jurnalis
yang menurutnya adalah sebuah profesi mulia. Bagaimana menyampaikan informasi yang sesuai dengan fakta kepada masyarakat.
Menurutnya, wartawan yang professional adalah wartawan yang mampu memegang KEJ tersebut dan paham UU Pokok Pers No.90 tahun 1999. Ia juga
sepakat dengan dewan pers yang saat ini sedang mewacanakan agar wartawan juga perlu standarisasi dan sertifikasinya. Sehingga nantinya tidak sembarangan orang
yang mengaku sebagai jurnalis namun tidak paham aturan mainnya. Namun, menurut H.S, ada beberapa point dalam KEJ yang sulit dilaksanakan
di lapangan bahkan tidak sejalan dengan prakteknya. Misalnya pada pasal 2 yang berbunyi “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan tugas jurnalistik” Dalam penjabarannya, pasal tersebut mengartikan setiap jurnalis yang hendak mewawancari narasumber wajib menunjukkan
identitasnya. Di lapangan, hal ini sangat sulit karena para wartawan harus cekatan dan lihai mencari informasi. Jika wawancara pada konteks sudah diatur waktu untuk
wawancara sebelumnya masih sangat memungkinkan untuk menunjukkan identitas, namun ketika dalm konteks wawancara narsum tiba-tiba maka sangat tidak mungkin
menunjukkan identitas terlebih dahulu. “Wartawan akan langsung fokus pada pertanyaan, karena bisa saja narsum tersebut sulit dijumpai ke depannya,” katanya.
H.S sendiri sudah cukup nyaman dengan profesinya sebagai seorang jurnalis, ia malah tidak ingin berpindah profesi lagi. “Saya sudah cukup nyaman dan sudah
menikmati pekerjaan saya,” ujarnya. Hal ini dikarenakan ia sudah cukup lama menjadi seorang jurnalis dan sudah paham betul cara kerja seorang jurnalis.
H.S sendiri punya pengalaman dalam mengamalkan Kode Etik Jurnalistik tersebut. Pernah suatu kali ia mendapati reporternya menulis berita yang tidak sesuai
fakta. Hal tersebut dikarenakan sang reporter tidak suka terhadap sebuah lembaga publik, kemudian ia membuat berita bohong dan narasumber yang fiktif. Sebab, H.S
punya banyak relasi dari banyak media lokal. Ketika ia menerima sebuah berita yang jarang di publish atau diangkat media lain, ia akan mencari tahu kebenaran berita
tersebut lewat jurnalis dari media lain. Dari awal, H.S sudah ragu berita tersebut tidak benar, kemudian setelah ia yakin bahwa berita itu bohong ia menegur dengan keras
reporter tersebut dan meminta kepada Pemimpin Umum untuk memberikan skors
Universitas Sumatera Utara
kepada reporter yang bersagkutan. “Hukuman tersebut diberikan untuk kebaikan dia sendiri ke depannya, dan itu jelas-jelas ada dalam Kode Etik Jurnalistik,” jelasnya.
Secara keseluruhan, H.S cukup paham dengan Kode Etik Jurnalistik dan ia sendiri mengatakan sudah melaksanakan dan memegang teguh KEJ tersebut. Namun,
ia mengakui pernah melanggar beberapa point dalam prakteknya. “Ketika meliput dan memberitakan sebuah peristiwa, ada norma-norma yang tidak sesuai dan harus
melanggar etka itu. Fakta dan norma itu tidak selamanya sejalan, namun saya tetap setuju dengan tiap pasal dalam Kode Etik Jurnalistik,” jelasnya.
Kesimpulan Pemahaman Informan 1:
Redaktur divisi “Nasional dan Politik” ini sudah cukup paham dengan Kode Etik Jurnalistik. Hal ini dikarenakan pengalaman dan lamanya ia berprofesi sebagai
seorang jurnalis. Meskipun tidak berlatar belakang pendidikan jurnalistik, H.S mampu mengaplikasikan dan menjalankan Kode Etik Jurnalistik sebagai landasan
profesinya. Bahkan, ia dengan tegas memberi hukuman kepada reporter atau jurnalis lain yang membuat berita bohong yang secara langsung telah merusak citra profesi
wartawan itu sendiri. Esensi dan seorang wartawan tersebut mampu ia tampilkan dalam tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang jurnalis.
IV.4. Analisis Informan 2