BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum
rechtstaat. Dalam konsep negara hukum itu, diidealkan bahwa yang harus
dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum.
Di zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-
lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat. Sedangkan dalam
tradisi Anglo Saxon, konsep negara hukum dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan
rule of law. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah
rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 1.
Perlindungan hak asasi manusia; 2.
Pembagian kekuasaan; 3.
Pemerintahan berdasarkan undang-undang; 4.
Peradilan Tata Usaha Negara.
1
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang disebutnya dengan istilah
rule of law, yaitu: 1.
Supremacy of law; 2.
Equality before the law;
1
Jimly Asshiddiqie, “ Gagasan Negara Hukum Indonesia”, Ketua Mahkamah Konstitusi:
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
3. Due process of law.
2
Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut
di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip rule of law yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern. Bahkan, oleh
The International Commission of Jurist, prinsip-prinsip negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak
independence and impartiality of judiciary yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.
3
Suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila negara yang bersangkutan tidak memberikan penghargaan dan jaminan perlindungan
terhadap hak asasi manusia.
4
2
Ibid.
Sebagai negara hukum, Indonesia dalam peraturan perundang-undangannya menjamin penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia,
termasuk hak untuk memperoleh keadilan access to justice dan persamaan di
muka hukum equality before the law. Hal ini diatur secara konstitusional dalam
Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan, “
Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan ditegaskan
kembali dalam Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan, “
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.”
3
Ibid, hlm. 2.
4
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Bandung: CV. Mandar Maju, 2001, hlm. 4.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan tersebut mengindikasikan makna bahwa pemerintah tidak mengistimewakan seseorang atau kelompok orang tertentu dan
mendiskriminasikan seseorang atau kelompok orang tertentu lainnya. Dengan demikian, setiap orang tanpa kecuali memiliki hak yang sama dalam memperoleh
keadilan dan persamaan di muka hukum. Selaras dengan pemahaman tersebut, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia memberikan jaminan secara konstitusional terhadap golongan lemah dan miskin yang sekiranya paling rentan terhadap diskriminasi dan
ketidakadilan, yakni dalam Pasal 34 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan adanya pengaturan ini dalam
konstitusi Negara Republik Indonesia, maka perlindungan terhadap fakir miskin dan anak terlantar menjadi tanggung jawab negara.
Salah satu perwujudan jaminan perlindungan terhadap keadilan dan persamaan di muka hukum, terutama bagi fakir miskin, adalah melalui bantuan
hukum cuma-cuma, yang disebut pro bono publico atau prodeo.
Pada dasarnya, hak memperoleh pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum
access to legal counsel adalah hak asasi setiap orang dan merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan bagi semua orang.
Keadilan, menurut Aristoteles, harus dibagikan oleh negara kepada semua orang dan hukum mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai pada semua
orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, mereka harus diperlakukan sama
audi et alteram partem. Jika orang mampu dapat dibela advokat, maka fakir miskin harus dapat dibela pembela umum secara
pro bono
Universitas Sumatera Utara
publico. Pembelaan ini dilakukan tanpa memperhatikan latar belakang individu yang bersangkutan, seperti agama, keturunan, ras, etnis, keyakinan politik, strata
sosio-ekonomi, warna kulit, dan gender.
5
Jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum sendiri telah diakui secara internasional dalam
Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights Pasal 16 dan 26 yang telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
6
Penyediaan bantuan hukum pro bono publico legal aid bagi warga
miskin oleh negara sebenarnya telah mempunyai akar sejarah yang panjang. Konsep ini sudah dikenal sejak zaman Romawi Kuno. Pada masa itu, bantuan
hukum adalah suatu bentuk jasa menolong sesama umat manusia yang berada dalam kesusahan hukum. Bantuan hukum pada masa itu diberikan oleh Patronus,
yaitu suatu figur tokoh masyarakat yang dihargai sekali oleh masyarakat dimana masyarakat yang kesusahan datang mengadu dan meminta perlindungan, baik
dalam soal ekonomi, perkawinan, sosial, dan lain-lain. Akan tetapi, motivasi Patronus dalam memberikan bantuan pada waktu itu tidak bersifat profesional
melainkan untuk merebut sebanyak mungkin pengaruh dan kekuasaan dalam masyarakat.
Sejak Magna Charta 1215 di Inggris, motivasi pemberian bantuan
hukum tidak lagi didasarkan pada kekuasaan. Di dalam peradilan accusatoir yang
menganut sistem jury, seorang pihak berperkara harus diwakili oleh seorang
5
Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk
Memperoleh Bantuan Hukum, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 2.
6
Daniel Panjaitan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia – Pedoman Anda Memahami
dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Jakarta: YLBHI, 2006, hlm. 47.
Universitas Sumatera Utara
Barrister, yang biasanya adalah putra-putra laki-laki kedua dari kaum bangsawan yang tidak dapat menggantikan kedudukan dan kekayaan ayahnya karena
merupakan hak anak laki-laki pertama. Anak kedua biasanya mencari karir dalam angkatan perang atau hukum sebagai
the legal profession. Mereka sudah kaya, tidak butuh uang, hanya butuh kehormatan. Mereka tidak sudi menerima upah,
melainkan harus dalam bentuk honorarium eereloon.
7
Pada abad pertengahan, bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu pro bono publico mendapat pengaruh dari kebiasaan Agama Kristen, yaitu
charity yang merupakan suatu dorongan bagi manusia untuk memberikan derma. Pada waktu itu, para
lawyers yang bekerja dalam profesi bantuan hukum ini telah menggunakan honor sehingga hanya orang yang mampulah pada akhirnya yang
betul-betul bisa membela kepentingannya. Tetapi orang yang tidak mampu sama sekali tidak bisa memanfaatkan hukum yang ada pada saat itu. Oleh karena itu,
pada zaman itu, atas dasar motivasi dan faktor charity, nobility kemuliaan,
chivalry kstaria, dan juga pandangan-pandangan intelektual yang berkembang, banyak terjadi perubahan dalam usaha untuk memberikan kesempatan yang sama
pada orang miskin untuk mendapatkan bantuan hukum. Caranya yang ada pada saat itu ada 2 dua, yaitu:
1. Advocatus pauparum atau poorman advocates atau advokat bagi orang
miskin. Yang mengangkat mereka adalah gereja, diberi honor atau gaji oleh gereja asal mereka menolong orang-orang yang miskin di wilayah gereja itu;
7
Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta: Cendana Press,
1983, hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
2. Privileges, yakni pemberian fasilitas-fasilitas tertentu kepada orang miskin,
seperti misalnya boleh beracara di muka pengadilan tanpa membayar. Pemberian bantuan hukum berdasarkan nilai kemanusiaan tersebut
kemudian mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan profesi hukum sehingga motivasi pemberian bantuan hukum berubah menjadi kedermawanan
profesi, yang pada gilirannya menjadi tanggung jawab profesi profesional
responsibility.
8
Berdasarkan tanggung jawab profesi inilah, mulai banyak bermunculan organisasi-organisasi bantuan hukum di banyak negara sepanjang abad ke-19. Di
Belanda, misalnya, pada tahun 1889, didirikan Bureau van Consultatie in
Strafzaken di Den Haag yang berlangsung sampai tahun 1916. Di Arnhem juga didirikan biro yang sama pada tahun 1891. Di Amsterdam juga dibentuk suatu
biro bantuan hukum dari organisasi Toynbee pada tahun 1892 yang dinamakan
Ons Huins. Selama kurun waktu tersebut juga banyak dibentuk biro-biro hukum perburuhan
Bureaus voor Arbedsrecht yang didirikan oleh organisasi-organisasi buruh. Biro-biro tersebut memberikan konsultasi hukum dengan biaya yang
sangat rendah. Selama tahun 1904, biro-biro tersebut telah memberikan 2477 konsultasi hukum. Sebanyak 51 advokat secara sukarela melaksanakan bantuan
hukum, sebatas pada masalah pengendalian konflik. Banyak masalah perburuhan maupun sewa-menyewa ditangani oleh perorangan menurut inisiatif masing-
masing advokat.
8
T. Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Jakarta: LP3ES, 1986,
hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
Hal yang serupa juga terjadi di negara-negara lain, seperti di Jerman, Inggris, Amerika Serikat, dan Chili. Organisasi-organisasi bantuan hukum yang
didirikan di negara-negara tersebut diberikan secara cuma-cuma pro bono
publico kepada individu ataupun kelompok-kelompok yang lemah dan tidak mampu secara ekonomi.
9
Sejak terjadinya Revolusi Perancis abad ke-19, pemberian bantuan hukum mengalami revolusi pula. Pada saat itu mulai banyak bermunculan teori-teori
negara demokrasi. Di antaranya adalah teori kontrak sosial, yaitu bahwa negara merupakan suatu perwujudan dimana rakyat memberikan kekuasaannya kepada
negara berupa hak-hak tertentu hak kewarganegaraannya. Sebagai konsekuensinya, negara berkewajiban untuk, bukan saja melindungi warga
negaranya terhadap sesama warga negara, melainkan juga berkewajiban mencegah pelanggaran hak-hak maupun kepentingan warga negaranya, salah
satunya dengan cara memberikan bantuan hukum.
10
Pengakuan terhadap konsep bantuan hukum probono yang baru ini
mencapai puncaknya dengan dimasukkannya ketentuan ini dalam Universal
Declaration of Human Rights. Dengan adanya pengakuan terhadap hak untuk mendapatkan bantuan hukum, maka bantuan hukum tidak lagi dipandang sebagai
suatu perwujduan rasa belas kasihan semata melainkan sebagai suatu hak rakyat yang harus dilindungi dan dipertahankan oleh negara. Ketentuan ini kemudian
diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional oleh banyak negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
9
Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum – Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983, hlm. 57, et seq.
10
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 32, et seq.
Universitas Sumatera Utara
Hak atas bantuan hukum merupakan non-derogable rights, artinya hak
tersebut bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun.
11
Bantuan hukum dapat dimintakan kapan saja, tidak hanya ketika menghadapi persoalan hukum di pengadilan. Bantuan hukum dapat
dimintakan untuk perkara pidana, perdata, administrasi negara, perburuhan, dan lain-lain. Untuk bantuan hukum dalam perkara pidana dapat diberikan sejak
dilakukannya pemeriksaan di tingkat penyidikan.
12
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, pemberian bantuan hukum, khususnya dalam perkara pidana, di
Indonesia didominasi oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, Lembaga Bantuan Hukum, dan Organisasi-Organisasi Advokat dengan segala
macam keterbatasannya. Sementara negara dan badan-badan peradilan tidak memberikan perhatian penuh terhadap kurangnya penyediaan bantuan hukum
cuma-cuma ini kepada masyarakat tidak mampu.
13
Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum memberikan suatu penegasan terhadap hak warga negara, terutama
masyarakat miskin, untuk memperoleh bantuan hukum, khususnya dalam perkara pidana, sebagai upaya negara dalam memberikan keadilan dan persamaan di muka
hukum. Namun demikian, dalam prakteknya, akses untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum belum merata bagi semua golongan, khususnya
bagi rakyat miskin atau tidak mampu. Misalnya saja, dalam perkara pidana, sering
11
Siti Aminah, Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta: YLBHI, 2006, hlm. 34.
12
Daniel Panjaitan, Op. cit., hlm. 51.
13
Mosgan Situmorang, dkk, “ Penelitian Hukum tentang Tanggung Jawab Negara dan
Advokat dalam Memberikan Bantuan hukum Kepada Masyarakat”, Ahli Peneliti Utama: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011, hlm. 8.
Universitas Sumatera Utara
terjadi sewaktu berhadapan dengan hukum, hak-hak bagi tersangkaterdakwa tidak mampu tidak terpenuhi dengan baik, terutama hak untuk memperoleh
penasihat hukum secara cuma-cuma, seperti dalam contoh kasus La Noki Bin La Kede dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 367KPid1998
tanggal 29 Mei 1998, yang akhirnya bebas demi hukum karena tidak didampingi oleh penasihat hukum pada saat penyidikan.
Hal tersebut menjadi suatu tantangan bagi Pemerintah Republik Indonesia dan penegak hukum untuk memberikan suatu jaminan pemenuhan akan
kebutuhan terhadap suatu sarana yang dapat menyediakan perlindungan hukum terhadap orang miskin atau tidak mampu guna memperoleh kesetaraan di muka
hukum. Salah satu wujud dari hal tersebut adalah dengan adanya pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma
pro bono publico. Dengan adanya pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma, diharapkan
proses hukum menjadi adil bagi rakyat miskin sehingga mereka dapat memperoleh kesempatan untuk membela kepentingannya di muka hukum.
Dengan adanya bantuan hukum, diharapkan dapat mencegah perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi sehingga tercapai proses hukum yang adil dan
terjaminnya pemenuhan hak konstitusional bagi golongan yang tidak mampu.
B. Perumusan Masalah