perlakuan yang sama di hadapan hukum. LBH dapat dianggap sebagai alternatif untuk meredam keresahan sosial dan gejolak sosial akibat kesenjangan dalam
masyarakat. Memang, LBH juga mempunyai keterbatasan. Namun setidaknya LBH dapat membela masyarakat yang mempunyai kasus-kasus hukum, baik di
dalam maupun di luar pengadilan. Tidak terbayangkan apabila LBH tidak pernah ada di Indonesia, masyarakat miskin pasti akan terlantar dan tidak memperoleh
bantuan hukum dalam menyelesaikan permasalahnnya.
97
5. Organisasi Advokat
Sejarah pembentukan organisasi advokat di Indonesia bertalian erat dengan ketentuan organisasi advokat internasional
International Bar Association, selanjutnya disebut IBA, yang bermarkas di London yang berfungsi
sebagai PBB-nya advokat yang telah mempunyai aturan tersendiri tentang profesi advokat dan organisasi advokat yang dikenal sebagai
IBA Standards for the Independence of the Legal Profession yang selanjutnya dijadikan panutan oleh
hampir semua asosiasi advokat atau bar associations di seluruh dunia untuk
menghimpun, mempersatukan, dan menyeragamkan standar profesi advokat. IBA menekankan pentingnya kehadiran organisasi advokat di setiap
yurisdiksi negara dalam IBA Standards dimana disebutkan sebagai berikut.
“ There shall be established in each jurisdiction one or more
independent self governing associations of lawyers recognized in law whose council or other executive body shall be freely elected by
all the members without interference of any kind by any other body or person. This shall be without prejudice to their right to form or
97
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas
Kasihan, Op. cit., hlm. 55, et seq.
Universitas Sumatera Utara
join in addition other professional associations of lawyers and jurists.”
98
Sebelum dibentuknya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, belum ada wadah tunggal advokat di Indonesia. Yang ada adalah beberapa organisasi
advokat yang independen. Walaupun pernah ada beberapa kali usaha untuk menciptakan suatu wadah tunggal advokat, seperti yang pernah terjadi pada
Musyawarah Nasional Advokat tanggal 10 November 1985 di Hotel Indonesia, Jakarta dimana disepakati pembentukan suatu wadah tunggal advokat yang
disebut Ikatan Advokat Indonesia IKADIN, namun kesepakatan tersebut tidak di-
follow-up secara konsekuen oleh para pendirinya. Yang terjadi malah timbul perpecahan di dalam tubuh IKADIN sehingga mengakibatkan bermunculannya
organisasi-organisasi advokat di luar IKADIN yang semuanya diakui oleh pemerintah.
99
Namun usaha untuk membentuk suatu wadah tunggal mencapai titik balik dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang
Advokat dimana disebutkan dalam Pasal 32 ayat 4 perintah untuk membentuk suatu organisasi advokat yang bersifat
single bar association wadah tunggal dalam jangka waktu 2 tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut.
Berdasarkan perintah tersebut, dibentuklah Persatuan Advokat Indonesia PERADI.
Dengan lahirnya PERADI, maka organisasi-organisasi advokat yang ada di seluruh Indonesia, seperti IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM,
98
Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia – Citra, Idealisme, dan Keprihatinan, Op.
cit., hlm. 65.
99
Ibid, hlm. 80.
Universitas Sumatera Utara
dan APSI seharusnya bergabung dan melebur menjadi satu dalam PERADI. Namun demikian, dalam prakteknya, organisasi-organisasi advokat di luar
PERADI tersebut masih tetap ada keberadaannya sampai saat ini. Berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, organisasi advokat yang ada di
Indonesia seharusnya berbentuk wadah tunggal single bar association. Namun
dalam prakteknya, organisasi advokat yang ada di Indonesia berwujud multi bar
association beberapa organisasi advokat yang independen dalam satu negara. Meskipun demikian, sebenarnya IBA tidaklah menentukan apakah
organisasi advokat yang ada di suatu negara harus berbentuk single bar, multi bar,
atau integrated bar federasi beberapa organisasi advokat. Ketiga bentuk
organisasi advokat tersebut sama-sama diakui dan diperbolehkan sesuai ketentuan IBA. Akan tetapi, yang patut diperhatikan di sini adalah perlunya ditetapkan
secara tegas apakah Indonesia menganut single bar association ataukah multi bar
association. Apabila memang Indonesia menganut single bar sebagaimana yang tercermin dalam perintah Pasal 34 ayat 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003,
maka organisasi-organisasi advokat lainnya harus dileburkan menjadi satu dalam PERADI sebagai wadah tunggal organisasi advokat Indonesia. Dengan demikian,
akan tercapai suatu kepastian hukum serta persatuan dan kesatuan advokat- advokat Indonesia.
Fungsi daripada organsisasi advokat sendiri dibahas dalam seminar antara bar leaders pemimpin asosiasi-asosiasi advokat di Brussels, Belgia pada tahun
1988, dimana IBA untuk pertama kalinya membahas mengenai pengawasan seorang advokat, profesi advokat, dan etika advokat yang harus diselenggarakan
Universitas Sumatera Utara
oleh organisasi advokat sendiri secara profesional dalam rangka memberikan jasa- jasa danatau bantuan hukum kepada mereka yang membutuhkannya tanpa
membedakan asal-usul, keturunan, warna kulit, strata sosial-ekonomi, agama, kepercayaan, kewarganegaraan, jenis kelamin, dan lain-lain.
Peranan organisasi advokat sangat penting dalam mengawasi dan mendidik para anggotanya mengingat tanpa adanya pengawasan praktek advokat,
seorang advokat dapat bertindak menyimpang dan merugikan masyarakat, terutama masyarakat kecil, serta tidak akan tercapai pengadilan yang bebas dan
mandiri. Dengan adanya pengawasan praktek advokat oleh organisasi profesi advokat yang dapat bertindak sebagai
bar association akan menjamin masyarakat pada umumnya, terutama masyarakat miskin, untuk memperoleh pembelaan,
nasihat, konsultasi, dan bantuan hukum yang berkualitas oleh advokat yang jujur, etis, profesional, dan berintegritas tinggi.
100
F. Pendanaan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum