Peraturan ini merupakan peraturan sementara sembari menunggu lahirnya undang-undang tentang bantuan hukum.
114
Hal ini berarti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, maka istilah “pokrol” tidak lagi dipergunakan dan sebaliknya dipergunakan
istilah “advokat”. Demikian pula dengan tata cara pengangkatan serta persyaratannya disesuaikan dengan tata cara pengangkatan dan persyaratan untuk
menjadi advokat. Dengan demikian Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor 1 Tahun 1965 tidak berlaku lagi.
Namun sewaktu diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, ditentukan dalam Pasal
32 ayat 1 dan 2 bahwa advokat, penasihat hukum, pengacara praktek pokrol dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat Undang-Undang tersebut mulai
berlaku dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Khusus bagi pengangkatan sebagai pengacara praktek
yang pada saat Undang-Undang tersebut mulai berlaku masih dalam proses penyelesaian diberlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003.
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman Dicabut Dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Dalam usaha untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan hukum acara di Indonesia, telah diundangkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tanggal 31 Oktober 1964 Tentang
114
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 95.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang dicabut oleh Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1969 yang kemudian dicabut kembali dengan Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tanggal 17 Desember 1970.
115
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dinamakan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tetapi isinya bukan hanya sekedar mengatur
mengenai masalah-masalah peradilan semata namun juga mengenai beberapa ketentuan pokok tentang hukum acara pidana pada umumnya. Masalah bantuan
hukum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 diatur secara khusus dalam Bab VII Pasal 35 sampai dengan Pasal 38.
116
Dalam ketentuan tersebut diatur suatu ketentuan mengenai bantuan hukum yang mengatur secara tegas adanya suatu jaminan bagi seseorang untuk
memperoleh bantuan hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara pidana. Undang-Undang tersebut lebih lanjut menghendaki adanya suatu ketentuan-
ketentuan tentang bantuan hukum yang berdiri sendiri dalam hukum acara pidana nasional.
Bunyi Pasal 35 sampai 38 yang mengatur mengenai bantuan hukum adalah sebagai berikut.
“ Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum.” Pasal 35
115
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Loc. cit.
116
Abdurrahman, Op. cit, hlm. 84.
Universitas Sumatera Utara
“ Dalam perkara pidana seorang tersangka terutama sejak saat
dilakukan penangkapan danatau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum.”
Pasal 36
“ Dalam memberi bantuan hukum tersebut dalam Pasal 36, penasihat
hukum membantu melancarkan penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pancasila, hukum, dan keadilan.”
Pasal 37
“ Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 35, 36, dan 37 diatur lebih lanjut
dengan undang-undang.” Pasal 38
Pasal 35 merupakan penegasan bahwa bantuan hukum adalah hak seseorang yang tersangkut dalam suatu perkara untuk mendapatkan bantuan
hukum dari para ahli hukum atau sarjana hukum sesuai dengan sifat dan hakikat suatu negara hukum yang menempatkan supremasi hukum di atas segalanya yang
berfungsi sebagai pelindung dan pengayom terhadap semua warga masyarakat di samping adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan
adanya jaminan yang demikian, maka setiap orang akan benar-benar merasakan bahwa dalam keadaan bagaimana pun juga hukum itu tetap berfungsi sebagai
pelindung baginya. Pasal 36 merupakan penegasan kepada seorang tersangka untuk diberikan
haknya sejak ia ditangkap danatau ditahan untuk menghubungi dan meminta bantuan hukum kepada seorang penasihat hukum untuk membantunya dalam
suatu proses penyelesaian suatu perkara berkenaan dengan suatu sangkaan yang disangkakan kepadanya. Landasan pemikiran adanya ketentuan ini diatur dalam
Penjelasan Pasal 36 yaitu bahwa sesuai dengan sila Perikemanusiaan maka
Universitas Sumatera Utara
seorang tertuduh harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia dan selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak bersalah. Karena
itu ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan keluarga atau penasehat hukumnya terutama sejak ia ditangkapditahan. Tetapi hubungan ini dengan
sendirinya tidak boleh merugikan kepentingan pemeriksaan yang dimulai dengan penyidikan.
Akan tetapi dalam bunyi pasal 36 terdapat sedikit kejanggalan. Mestinya yang aktif menghubungi tersangka adalah penasihat hukum, bukan sebaliknya
tersangka yang menghubungi penasihat hukum sebab bagaimana tersangka bisa aktif sementara dirinya berada dalam tahanan sehingga ruang geraknya terbatas.
Pasal 37 memberikan ketegasan bahwa peran dari penasihat hukum adalah ikut memperlancar penyelesaian perkara, membantu jalannya pemeriksaan. Di
sinilah letak arti pentingnya penasihat hukum karena pemeriksaan perkara pidana merupakan usaha untuk mencari keadilan dan kebenaran sesungguhnya.
Sedangkan Pasal 38 merupakan bagian penutup yang menentukan bahwa untuk pelaksanaan bantuan hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 akan diatur dalam suatu undang-undang.
117
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ternyata tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan yang mengharuskan terhadap Undang-Undang tersebut
dibuat penyesuaian-penyesuaian sehingga dibentuklah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang
117
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 35.
Universitas Sumatera Utara
tersebut kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian dicabut kembali dengan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, terdapat ketentuan-
ketentuan baru mengenai bantuan hukum yang diatur dalam BAB XI Pasal 56 dan Pasal 57 yang berbunyi sebagai berikut.
“ 1 Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh
bantuan hukum; Pasal 56
2 Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.”
“ 1 Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada
pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
Pasal 57
2 Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan
terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 3 Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, maka pemberian bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma bagi para pencari keadilan yang
tidak mampu. Ketentuan Undang-Undang ini menegaskan perlindungan terhadap hak rakyat miskin sebagai bentuk tanggung jawab negara.
Tidak seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 memberikan definisi dan ruang lingkup yang jelas
mengenai bantuan hukum. Selain itu ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun
Universitas Sumatera Utara
2009 juga memberikan ketentuan yang lebih tegas sehubungan dengan pemberian bantuan hukum dimana bantuan hukum diberikan melalui pos bantuan hukum
yang dibentuk pada setiap pengadilan negeri dan diberikan secara cuma-cuma pada setiap tingkat peradilan sampai putusan tersebut mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang