Girimenang, sehingga total Posbakum di Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menjadi 74 Posbakum.
47
Usaha untuk membentuk suatu undang-undang khusus mengenai bantuan hukum membuahkan hasil dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut, pemberian bantuan hukum di Indonesia mencapai suatu ketegasan melalui tatanan
prosedural yang tegas dan pasti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut sehingga lebih menjamin kepastian hukum bagi perlindungan hak-hak masyarakat
miskin guna memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum.
B. Konsep Bantuan Hukum dan Perkembangannya
Sejalan dengan kegiatan bantuan hukum untuk masyarakat miskin yang semakin meluas dan memasyarakat, suatu pandangan kritis terhadap konsep-
konsep bantuan hukum yang kini dikembangkan di Indonesia mulai banyak dilontarkan oleh kalangan hukum dan kalangan ilmuwan sosial.
48
Pertama, konsep bantuan hukum tradisional. Konsep ini bertitik pada
pelayanan hukum yang diberikan kepada masyarakat miskin secara individual. Sifat dari bantuan hukum ini pasif dan cara pendekatannya sangat formal-legal,
dalam arti melihat segala permasalahan hukum kaum miskin semata-mata dari Para ahli
tersebut mengkategorikan bantuan hukum dalam 2 konsep pokok.
47
Tahun 2014 Posbakum Bertambah 5 Menjadi 74, diakses dari http:www.badilag.netdirektori-dirjen17982-tahun-2014-posbakum-bertambah-5-menjadi-74-
111.html, pada tanggal 2 Januari 2014, pukul 19.00.
48
Abdul Hakim G. Nusantara, “ Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural” dalam
Abdul Hakim dan Mulyana W. Kusumah, Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum: Ke
Arah Bantuan Hukum Struktural, Bandung: Penerbit Alumni, 1981, hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
sudut hukum yang berlaku. Orientasi dan tujuan bantuan hukum ini adalah untuk menegakkan keadilan untuk si miskin menurut hukum yang berlaku, kehendak
mana dulunya didasarkan atas landasan semangat charity dan tanggung jawab
profesi. Konsep bantuan hukum tradisional yang individual ini pada dasarnya
memang merupakan konsep lama yang sejalan dengan sistem hukum yang ada dimana bantuan hukum diberikan pada setiap kasus yang menurut hukum
beralasan untuk dibela. Namun demikian, penekanan di dalam konsep bantuan hukum ini lebih kepada hukum itu sendiri, hukum yang selalu diandaikan netral,
sama rasa, dan sama rata. Hal ini menimbulkan permasalahan dimana sering terjadi hukum itu tidak memberikan keadilan dan bahkan hukum itu pada
posisinya yang netral justru menguntungkan mereka yang berkuasa dan yang berpunya dan merugikan mayoritas rakyat miskin.
49
Tuntutan keberpihakan terhadap kaum miskin yag seharusnya dilakukan dalam hal pemberian bantuan hukum pada akhirnya menimbulkan suatu keadaan
dimana bantuan hukum tradisional itu tidak lagi cukup. T. Mulya Lubis mengemukakan 7 alasannya sebagai berikut.
1. Bahwa sifat bantuan hukum tradisional itu adalah individual sebagaimana yang
terlihat dari Pasal 259 HIR dan Pasal 35, 36, 37 UU Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal-pasal dalam KUHAP yang
menggantikan HIR juga tetap bersifat tradisional dan individual. Di sini bantuan hukum kurang lebih sama dalam pelayanan kesehatan individual yang
49
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 26¸et. seq.
Universitas Sumatera Utara
tidak mempertimbangkan kondisi-kondisi sosial. Asal seseorang itu membuktikan dirinya tidak sehat atau buta hukum dan miskin, maka orang
tersebut punya hak untuk diobati atau diberi bantuan hukum. Padahal sesungguhnya rakyat yang sakit itu adalah rakyat yang diasingkan dari hak-hak
dasar mereka; 2.
Sistem hukum Indonesia menunjang sistem bantuan hukum tradisional yang individual. Masih belum dimungkinkan suatu bantuan hukum kolektif dalam
hukum acara Indonesia, seperti class action di Amerika. Dalam hukum acara di
Indonesia, orang yang dirugikan harus memberi kuasa sehingga proses hukum tidak sederhana dan cepat. Seharusnya gugatan satu orang dapat dijadikan
dasar bagi yang lain untuk mengajukan klaim apabila gugatan itu berhasil sehingga kita dapat terhindar dari proses berperkara yang mahal dan lama;
3. Bantuan hukum kita masih sangat bersifat perkotaan dan belum menyentuh
lapisan masyarakat pinggiran; 4.
Sifat hukum kita yang pasif sebenarnya lebih berperan sebagai legitimasi status quo yang mempertahankan pola hubungan menindas antara Pusat masyarakat
yang kuat dan berkuasa dengan Pinggiran masyarakat yang lemah dan miskin. Seharusnya hukum itu bersifat aktif mendatangi Pinggiran dan
menyelesaikan konflik yang terjadi di Pinggiran antara pusat dengan Pinggiran. Dengan kata lain, hukum yang aktif itu tidak saja bergerak secara horizontal,
tetapi juga struktural; 5.
Bantuan hukum masih terlalu terikat dengan pendekatan-pendekatan hukum semata sehingga pendekatan bukan hukum kurang diperhatikan padahal
Universitas Sumatera Utara
pendekatan tersebut justru bisa membantu mempercepat penyeleseaian sengketa atau konflik sosial;
6. Bantuan hukum masih berjalan sendiri atau baru pada tahapan bekerja sama
dengan sesama organisasi bantuan hukum. Padahal dimensi sengketa dan konflik tidak semata bersifat hukum sehingga kerja sama seharusnya diperluas
dengan organisasi-organisasi di luar lembaga bantuan hukum sehingga akan mempercepat penyelesaian konflik yang lebih menyeluruh atau struktural;
7. Bantuan hukum belum mengarah pada terciptanya gerakan sosial.
50
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka menurut T. Mulya Lubis, pola hubungan yang menindas antara Pusat-Pinggiran haruslah dihadapi dengan
pendekatan yang lebih integral dan ekstra-legal. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka berkembanglah suatu konsep
bantuan hukum yang kedua, yaitu konsep bantuan hukum konstitusional. Konsep
ini mengadakan bantuan hukum untuk rakyat miskin yang dilakukan dalam kerangka usaha dan tujuan yang lebih luas, seperti:
1. Menyadarkan hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum;
2. Penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sendi
utama bagi tegaknya negara hukum. Berbeda dengan konsep bantuan hukum tradisional, sifat dari jenis bantuan
hukum konstitusional lebih aktif dimana bantuan hukum diberikan tidak saja secara individual melainkan juga kepada kelompok-kelompok masyarakat secara
kolektif. Cara pendekatan yang dilakukan di samping formal-legal, juga melalui
50
Ibid, hlm. 52, et seq.
Universitas Sumatera Utara
jalan politik dan negosisasi. Hal ini berarti usaha menyelesaikan masalah hukum tidak selalu ditempuh melalui jalur hukum yang berlaku tetapi melalui jalur
politik dan negosiasi. Oleh karena itu, aktivitas seperti kampanye penghapusan ketentuan hukum yang dianggap membatasi ruang gerak bagi partisipasi aktif
rakyat miskin, kontrol terhadap birokrasi pemerintah, pendidikan hukum masyarakat menjadi bagian yang esensial dalam konsep bantuan hukum
konstitusional. Dengan demikian, lingkup kegiatan bantuan hukum ini cukup luas, tidak
terbatas pada pelayanan hukum di dalam maupun di luar pengadilan. Orientasi dan tujuannya adalah usaha mewujudkan negara hukum yang berlandaskan pada
prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Bantuan hukum untuk rakyat miskin dipandang sebagai suatu kewajiban dalam rangka untuk menyadarkan
mereka sebagai subyek hukum yang memiliki hak-hak yang sama dengan golongan masyarakat lain.
51
Terhadap konsep bantuan hukum konstitusional, para pengamat dari kalangan ilmuwan sosial yang berorientasi ke bawah menganggap bahwa bentuk-
bentuk bantuan hukum tersebut masih belum mampu menembus permasalahan dasar yang dihadapi masyarakat miskin di Indonesia. Bentuk bantuan hukum
konstitusional lebih merupakan konsekuensi dari cara golongan menengah dalam memandang permasalahan sosial di Indonesia. Pendidikan dan penerangan hukum
dalam kerangka menciptakan proses penyadaran hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum tidak akan banyak merubah nasib golongan miskin tanpa
51
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 28, et seq.
Universitas Sumatera Utara
merubah pola hubungan yang mendasari suatu kehidupan sosial yang menimbulkan dan mempertahankan kemiskinan masyarakat.
52
Berdasarkan pada pemikiran bahwa ternyata konsep bantuan hukum yang sudah ada, baik konsep bantuan hukum yang tradisional maupun konstitusional,
masih belum memenuhi kebutuhan masyarakat miskin di Indonesia, maka timbul suatu pertanyaan bagi para ahli pada masa itu yang kemudian terdorong untuk
mengembangkan suatu konsep hukum yang baru yang kiranya mampu mengatasi persoalan-persoalan struktural yang ada dalam masyarakat Indonesia sehubungan
dengan pemberian bantuan hukum. Dari sinilah kemudian Lembaga Bantuan Hukum memperkenalkan
konsep bantuan hukum struktural yang ternyata mendapatkan sambutan yang hangat dari kalangan di dalam maupun luar
Lembaga Bantuan Hukum. Konsep bantuan hukum struktural merupakan suatu konsep kegiatan
pemberian bantuan hukum yang bertujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah struktur yang timpang menuju
ke arah struktur yang lebih adil tempat peraturan hukum dan pelaksanaannya menjamin persamaan kedudukan, baik di lapangan ekonomi maupun lapangan
politik. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan dan pengembangan hukum harus dilihat dari sudut bantuan hukum struktural yang dilaksanakan dalam konteks turut
membangun masyarakat yang adil dan makmur.
53
Konsep bantuan hukum struktural pada dasarnya berangkat dari kaitan erat antara bantuan hukum dengan kemiskinan struktural. Menurut Adnan Buyung
52
Abdul Hakim G. Nusantara, “ Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural” dalam
Abdul Hakim dan Mulyana W. Kusumah, Op. cit.¸hlm. 26.
53
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara
Nasution, bantuan hukum pada hakikatnya adalah sebuah program yang tidak hanya merupakan aksi kultural, akan tetapi juga aksi struktural yang diarahkan
pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman bagi golongan mayoritas.
Oleh karena itu, bantuan hukum bukanlah masalah yang sederhana karena ia merupakan rangkaian tindakan guna pembebasan masyarakat dari belenggu
struktur poleksos yang sarat dengan penindasan.
54
Mulyana W. Kusumah mengatakan bahwa bantuan hukum struktural tidak hanya sekedar mencakup pengertian bantuan hukum secara gratis kepada mereka
yang tidak mampu, melainkan lebih mendasar lagi, yaitu melaksanakan bentuk- bentuk pelayanan hukum bagi mayoritas rakyat miskin dalam rangka
memperjuangkan hak-hak mereka, dalam arti luas, untuk memerdekakan diri dari suatu tata hubungan di sektor-sektor kepentingan mereka yang dalam kenyataan
telah merugikan dan menindas. Atau dengan perkataan lain, sebagai pranata hukum, di samping pranata-pranata dan kekuatan-kekuatan makro-sosiologis lain
dalam masyarakat, yang didayagunakan dan dihasilgunakan untuk mengubah pola hubungan politik, ekonomi, dan sosial, yang secara langsung atau tidak langsung
mempertahankan ketidakadilan struktural terhadap mayoritas rakyat miskin tersebut.
55
Menurut T. Mulya Lubis, konsep bantuan hukum struktural yang kita miliki haruslah memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Sifat bantuan hukum haruslah struktural.
54
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Loc. cit.
55
Mulyana W. Kusumah, “ Beberapa Masalah Sekitar Bantuan Hukum Struktural” dalam
Abdul Hakim dan Mulyana W. Kusumah, Op. cit., hlm. 74.
Universitas Sumatera Utara
Artinya, bantuan hukum haruslah sepenuhnya memihak pada Pinggiran. Bantuan hukum struktural haruslah mengutamakan bantuan kepada kelompok
walaupun tidak tertutup pada perorangan. Sebagai contoh, konflik antara buruh dengan majikan bisa saja terjadi antara seorang majikan dengan seorang
buruh, akan tetapi implikasinya bisa struktural dalam arti bisa mengubah hubungan antara majikan dengan buruh secara keseluruhan.
2. Sistem hukum Indonesia harus diubah.
Perubahan tersebut dalam artian aksi-aksi hukum kelompok atau aksi hukum struktural harus mulai dimungkinkan. Khususnya hukum acara kita harus
secara konsekuen memberlakukan asas peradilan cepat, murah, sederhana, dan terbuka. Birokrasi di pengadilan harus segera dihapuskan dan dikembalikan
pada rakyat. 3.
Sifat bantuan hukum Indonesia haruslah menjadi pedesaan di samping tetap berurusan dengan kota.
4. Sifat bantuan hukum haruslah aktif.
5. Bantuan hukum harus mulai mendayagunakan pendekatan-pendekatan di luar
hukum atau bukan hukum extralegal approach.
Pendekatan di luar hukum diperlukan mengingat dimensi konflik antara Pusat- Pinggiran bersifat struktural, meliputi sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Pendekatan hukum semata dapat membuat hukum menjadi sempit dan bukan mustahil
counter-productive. 6.
Bantuan hukum harus mulai membuka diri terhadap organisasi sosial yang bukan hukum.
Universitas Sumatera Utara
7. Bantuan hukum haruslah menjadi suatu gerakan sosial yang bertujuan tidak
saja pada konsientisasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya, tetapi justru harus menciptakan
power resources untuk menghadapi Pusat yang menindas agar dapat efektif.
56
Dengan demikian, maka dengan bantuan hukum struktural, diinginkan adanya perubahan tatanan sosial dari tatanan yang tidak adil menjadi tatanan yang
berkeadilan dimana sumber-sumber daya sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya dikembalikan kepada mayoritas rakyat.
57
Hal ini berarti perubahan
struktural, perubahan pola hubungan sosial dalam artian suatu perubahan pada hubungan yang menjadi dasar kehidupan sosial menuju ke pola hubungan yang
lebih sejajar.
58
Menurut Johan Galtung, sebagaimana dikutip oleh T. Mulya Lubis, pada prinsipnya ada 2 perubahan struktural yang penting untuk dicapai, antara lain:
1. Perubahan yang ditujukan kepada vertical division of labor, yaitu pola
hubungan vertikal yang menyuburkan hubungan masyarakat yang berkelas; 2.
Perubahan yang ditujukan kepada feodal interaction structure, yaitu pola hubungan yang mengikat segelintir elite di puncak sementara lapisan rakyat
terbesar di bawah terpecah-pecah.
59
Menurut T. Mulya Lubis, kedua pola hubungan yang dijelaskan oleh Johan Galtung itu mempunyai karakteristik yang sama, yaitu
repressive and exploitative,
56
T. Mulya Lubis, Op. cit., hlm. 55.
57
Ibid, hlm. 153.
58
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 31.
59
T. Mulya Lubis, Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
baik pada tingkat makro maupun mikro. Pola hubungan itu terjadi di semua bidang kehidupan, sosial, politik, ekonomi, hukum, dan budaya. Sebagai
akibatnya, masyarakat miskin dan melarat yang mempunyai daya yang berada di bawah tidak didayagunakan.
60
Bantuan hukum struktural pada dasarnya sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila.
Namun demikian, bantuan hukum struktural masih belum dapat mengatasi sepenuhnya beberapa masalah besar, umumnya yang terjadi di perkotaan.
Mulyana W. Kusumah mengemukakan sebagai berikut. “
Di wilayah perkotaan, misalnya, maka paling tidak dua masalah besar menganga dan menantang:
Pertama, masalah urbanisasi yang semakin cepat di muka pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan jumlah penduduk yang
lebih besar daripada kebutuhan sektor industri di kota-kota akan tenaga kerja. Akibatnya, luas daerah liar selalu bertambah lebih
cepat daripada daerah modern. Di hadapan arus urbanisasi semacam ini, usaha modernisasi kota terus ketinggalan jauh
sehingga dualisme terus hadir dan sering semakin menajam, terutama apabila penguasa mengarahkan paksaannya untuk
menindak daerah liar demi terpeliharanya eksistensi daerah modern.
“ Permasalahan lain, adanya masalah-masalah hukum yang berpadu
dengan konflik politik yang terjadi sebagai akibat persaingan untuk pelayanan-pelayanan, tanah, pekerjaan, dan lain-lain yang dapat
dipertajam oleh kebinekaan penduduk kota, kelas, dan kasta, kelompok-kelompok etnis, rasial, dan suku yang hidup berdekatan
dalam kota-kota dan bersaing demi sumber daya yang langka.
“ Sebagai demikian, gerakan bantuan hukum struktural di wilayah
perkotaan –dan juga di pedesaan– menghadapi masalah yang tak hanya terletak di arena hubungan-hubungan hukum sebagai hasil
bekerjanya komponen-komponen sistem hukum dan penegakan hukum yang represif dan selektif, melainkan juga pada upaya untuk
60
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mengubah pola hubungan poleksos yang sama sekali tidak menguntungkan mayoritas miskin, bahkan konflik-konflik spasial.”
61
Konsep bantuan hukum yang bersifat struktural, walaupun sampai saat ini masih tetap aktual dan berlaku, masih memerlukan perombakan agar dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat dinamis. Sebagaimana yang dikatakan oleh T. Mulya Lubis, bantuan hukum saja tidaklah cukup. Malah
bantuan hukum struktural pun tidaklah cukup. Ini barulah suatu kerja awal daari serangkaian pekerjaan yang harus dilakukan secara simultan di segala bidang.
Yang penting yang harus diingat dan diperjuangkan di sini adalah agar kepada rakyat miskin mayoritas yang berada di Pinggiran harus dikembalikan hak-hak
dasar mereka akan sumber-sumber daya politik, ekonomi, teknologi, informasi, dan sebagainya agar mereka bisa menentukan masyarakat bagaimana yang
mereka kehendaki.
62
C. Ruang Lingkup dan Jenis-Jenis Bantuan Hukum