5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum jo
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan
Hukum
Tuntutan untuk membuat suatu undang-undang tentang bantuan hukum telah ada sejak lama. Bahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 telah
memerintahkan pembentukan undang-undang yang mengatur mengenai pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia, namun undang-undang tersebut tidak
pernah dibentuk dan sebagai gantinya dibentuk beberapa peraturan perundang- undangan yang di dalamnya ada dimuat ketentuan mengenai bantuan hukum
tetapi tidak secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, untuk pertama
kalinya di Indonesia, bantuan hukum disusun dan dibuat dalam suatu tatanan yang teratur dan pasti sehingga diharapkan dapat mewujudkan keadilan dan persamaan
kedudukan di muka hukum bagi rakyat miskin. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 menentukan bahwa
bantuan hukum dilaksanakan berdasarkan asas: a.
Keadilan, maksudnya menempatkan hak dan kewajiban setiap orang secara proposional, patut, benar, baik, dan tertib;
b. Persamaan kedudukan di dalam hukum, maksudnya adalah setiap orang
memiliki hak dan perlakuan yang sama di depan hukum serta kewajiban menjunjung tinggi hukum;
c. Keterbukaan, maksudnya memberikan akses kepada masyarakat untuk
mendapatkan informasi secara lengkap, benar, jujur, serta tidak memihak
Universitas Sumatera Utara
dalam memperoleh jaminan keadilan berdasarkan hak secara konstitusional;
d. Efisiensi, maksudnya memaksimalkan pemberian bantuan hukum melalui
penggunaan sumber anggaran yang tersedia; e.
Efektivitas, maksudnya menentukan pencapaian tujuan pemberian bantuan hukum secara tepat; dan
f. Akuntabilitas, maksudnya bahwa setiap pelaksanaan kegiatan bantuan
hukum harus bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
123
Pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan bantuan hukum, antara lain:
a. Menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk
mendapatkan akses keadilan; b.
Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;
c. Menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara
merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan d.
Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 4 menentukan bahwa bantuan hukum yang diberikan meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun
nonlitigasi. Pemberian bantuan hukum yang diberikan kepada penerima bantuan hukum meliputi perbuatan menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili,
123
Sartono dan Bhekti Suryani, Op. cit., hlm. 45.
Universitas Sumatera Utara
membela, danatau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hukum.
Pasal 6 Undang-Undang menjelaskan bahwa bantuan hukum diselenggarakan untuk membantu penyelesaian permasalahan hukum yang
dihadapi penerima bantuan hukum. Pemberian bantuan hukum tersebut diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan HAM dan dilaksanakan oleh pemberi
bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang. Tugas Menteri sebagaimana dimaksud di atas, yaitu:
a. Menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan bantuan hukum;
b. Menyusun dan menetapkan standar bantuan hukum berdasarkan asas-asas
pemberian bantuan hukum; c.
Menyusun rencana anggaran bantuan hukum; d.
Mengelola anggaran bantuan hukum secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel; dan
e. Menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan bantuan hukum
kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran. Selanjutnya untuk menjalankan tugas dan fungsinya, maka Menteri
Hukum dan HAM memiliki wewenang untuk: a.
Mengawasi dan memastikan penyelenggaraan bantuan hukum dan pemberian bantuan hukum dijalankan sesuai asas dan tujuan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini; dan
Universitas Sumatera Utara
b. Melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga bantuan hukum atau
organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi kelayakan sebagai pemberi bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
Dalam BAB IV Pasal 8 dijelaskan bahwa pelaksanaan bantuan hukum dilakukan oleh pemberi bantuan hukum yang telah memenuhi persyaratan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011. Syarat-syarat tersebut, antara lain:
a. Berbadan hukum;
b. Terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini;
c. Memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
d. Memiliki pengurus; dan
e. Memiliki program bantuan hukum
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2011 membatasi pemberi bantuan hukum hanya pada
badan hukum. Menurut Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013, aturan mengenai para Pemberi Bantuan hukum atau organisasi Bantuan
hukum harus berbadan hukum, tidak dimaksudkan untuk membatasi hak konstitusional dan kemandirian masyarakat dalam berorganisasi, akan tetapi hal
ini harus dipahami sebagai suatu strategi nasional dalam manajemen organisasi yang profesional, efektif, dan berdaya saing serta untuk memudahkan dalam
melakukan kerja sama dan koordinasi yang efektif, baik dengan Pemerintah dan
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Daerah maupun antar sesama pemberi bantuan hukum atau organisasi bantuan hukum.
Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, pemberi bantuan hukum berhak untuk:
a. Melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa
fakultas hukum; b.
Melakukan pelayanan bantuan hukum; c.
Menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan bantuan hukum;
d. Menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan bantuan hukum
berdasarkan Undang-Undang; e.
Mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; f.
Mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk kepentingan pembelaan perkara; dan
g. Mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan
selama menjalankan pemberian bantuan hukum. Di samping hak, berdasarkan Pasal 10 pemberi bantuan hukum
berkewajiban untuk: a.
Melaporkan kepada Menteri Hukum dan HAM tentang program bantuan hukum;
Universitas Sumatera Utara
b. Melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk
pemberian bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang ini; c.
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bantuan hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum yang direkrut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 huruf a; d.
Menjaga kerahasiaan data, informasi, danatau keterangan yang diperoleh dari penerima bantuan hukum berkaitan dengan perkara yang sedang
ditangani, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; dan e.
Memberikan bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang
ini sampai perkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum. Ketentuan Pasal 15 ayat 5 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2011 menentukan syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum dan penyaluran dana bantuan hukum akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Untuk
melaksanakan ketentuan tersebut, diundangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan
Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut diatur dalam Pasal 18 dan 19 bahwa
pendanaan bantuan hukum dibebankan pada APBN dan APBD untuk daerah serta dari hibah atau bantuan lain yang tidak mengikat. Mengenai prosedur penyaluran
dana bantuan hukum selengkapnya dapat dilihat dalam BAB II Sub-Bab 2.6 mengenai Pendanaan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dalam penelitian
ini.
Universitas Sumatera Utara
Selain pendanaan, hal yang juga penting untuk diperhatikan dan diketahui adalah mengenai tata cara pengajuan permohonan dan pemberian bantuan hukum.
Sebagaimana mengenai pendanaan, prosedur pemberian bantuan hukum juga diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
Tentang Bantuan hukum dan dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan
Penyaluran Dana Bantuan Hukum dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 15. Untuk memperoleh bantuan hukum, pemohon bantuan hukum harus
memenuhi syarat sebagai berikut. a.
Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi paling sedikit identitas pemohon bantuan hukum dan uraian singkat mengenai pokok persoalan
yang dimohonkan bantuan hukum; b.
Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan c.
Melampirkan surat keterangan miskin dari Lurah, Kepala Desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon bantuan hukum kepada
pemberi bantuan hukum. Mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum
selengkapnya dapat dilihat dalam BAB II Sub-Bab 2.6 mengenai Pendanaan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dalam penelitian ini.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013, pemberian bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum dibedakan
atas litigasi maupun non-litigasi. Pemberian bantuan hukum secara litigasi dilakukan dengan cara:
Universitas Sumatera Utara
a. Pendampingan danatau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat
penyidikan, dan penuntutan; b.
Pendampingan danatau menjalankan kuasa dalam proses pemeriksaan di persidangan; atau
c. Pendampingan danatau menjalankan kuasa terhadap penerima bantuan
hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara. Sedangkan pemberian bantuan hukum secara non-litigasi meliputi
kegiatan: a.
Penyuluhan hukum; b.
Konsultasi hukum; c.
Investigasi perkara, baik secara elektronik maupun non-elektronik; d.
Penelitian hukum; e.
Mediasi; f.
Negosiasi; g.
Pemberdayaan masyarakat; h.
Pendampingan di luar pengadilan; danatau i.
Drafting dokumen hukum.
124
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 menentukan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang
mengatur mengenai bantuan hukum dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
124
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum: Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15.
Universitas Sumatera Utara
Kehadiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 membawa angin segar dalam sejarah bantuan hukum di Indonesia. Meskipun demikian, para pakar
melihat bahwa masih ada kekurangan yang perlu disempurnakan dalam ketentuan Undang-Undang ini.
Pertama, mengenai limitasi penerima bantuan hukum yang hanya terbatas pada masyarakat tidak mampu. Ketidakmampuan masyarakat harus dimaknai
secara luas, bukan hanya tidak mampu secara ekonomi, tetapi juga ketidakmampuan dalam bidang sosial, politik, dan lain sebagainya sehingga
penerima bantuan hukum tidak hanya sebatas mereka yang miskin secara materi, tetapi juga meliputi kelompok-kelompok masyarakat yang rentan seperti anak,
perempuan, penyandang cacat, dan lain sebagainya. Kedua, mengenai kewenangan tanpa batas penyelenggara bantuan hukum.
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM menjadi satu-satunya penyelenggara bantuan
hukum yang memiliki kewenangan membuat kebijakan regulating,
melaksanakan implementing, anggaran budgeting, dan pengawasan
controlling. Melekatnya semua fungsi tersebut tidak lazim dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik
good governance, dan berpeluang menimbulkan penyalahgunaan wewenang
abuse of power. Ketiga, permasalahan verifikasi dan akreditasi. Perlu diketahui bahwa
masalah verifikasi dan akreditasi harus dimaknai bukan sebagai proses legalisasi organisasi bantuan hukum melainkan hanya bagian dari prosedur untuk
mendapatkan dana bantuan hukum dari pemerintah. Verifikasi dan akreditasi tidak
Universitas Sumatera Utara
boleh membatasi hak untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat yang membutuhkan. Peraturan perundang-undangan harus menjamin bahwa organisasi
bantuan hukum yang tidak ingin mengikuti verifikasi dan akreditasi tidak mengakses dana pemerintah tetap berhak untuk memberikan bantuan hukum
dengan berpegang pada standar bantuan hukum. Keempat, mengenai prosedur mendapatkan bantuan hukum. Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2011 mengatur sedemikian rupa syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum. Akan tetapi, tidak selayaknya hak atas bantuan hukum
terkalahkan oleh persoalan administratif. Seharusnya Undang-Undang dan peraturan pelaksananya memberikan kemudahan-kemudahan agar seseorang yang
betul-betul memenuhi kualifikasi miskin dapat mengakses bantuan hukum tanpa terhambat dengan persoalan-persoalan administratif.
125
Menurut penulis sendiri, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum masih memiliki kekurangan dalam hal sifat dari pemberi bantuan
hukum. Apabila kita selidiki, kita dapat melihat bahwa penerima bantuan hukum adalah pihak yang aktif sedangkan pemberi bantuan hukum malah bersifat pasif.
Dalam Undang-Undang tersebut, bantuan hukum baru diberikan setelah adanya permohonan dari penerima bantuan hukum sedangkan pemberi bantuan hukum
baru akan memberikan bantuan hukum setelah permohonan disetujui. Menurut penulis, seharusnya pemberi bantuan hukum-lah yang bersifat proaktif. Pemberi
bantuan hukum seharusnya tidak hanya menunggu adanya permohonan dari
125
Point Krusial Implementasi UU Bantuan Hukum, diakses dari http:www.pbhi.or.idberitapoint-krusial-implementasi-uu-bantuan-hukum, pada tanggal 2
Januari 2014, pukul 20.00.
Universitas Sumatera Utara
penerima bantuan hukum, melainkan aktif mencari kasus yang dapat didampingi dan diberikan bantuan hukum, apalagi mengingat masih minimnya pengetahuan
masyarakat akan hak mereka atas bantuan hukum apabila berperkara. Apabila pemberi bantuan hukum yang bersifat proaktif, tentunya akan semakin banyak
perkara yang diberikan bantuan hukum cuma-cuma. Dengan demikian, kepentingan hukum masyarakat, terutama masyarakat miskin atau tidak mampu,
akan lebih terjamin.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA
PRO BONO PUBLICO DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN
2011 TENTANG BANTUAN HUKUM STUDI DI LEMBAGA BANTUAN HUKUM MEDAN
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum telah memberikan pengaturan yang cukup jelas mengenai pemberian bantuan hukum
cuma-cuma kepada masyarakat miskin. Akan tetapi, dalam prakteknya, pelaksanaan Undang-Undang tersebut di lapangan perlu dikaji lebih lanjut.
Sebuah penelitian pernah dilakukan oleh tim dari Badan Pembinaan Hukum Nasional di bawah pimpinan Mosgan Situmorang pada tahun 2011,
dengan judul Penelitian Hukum Tentang Tanggung Jawab Negara dan Advokat
dalam Memberikan Bantuan Hukum Kepada Masyarakat. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian bantuan hukum oleh negara kepada masyarakat
yang tidak mampu masih sangat kurang. Beberapa faktor disebutkan dalam penelitian tersebut. Faktor paling utama
adalah kesadaran masyarakat yang terkena kasus pidana pada umumnya masih rendah. Mereka tidak mengetahui bahwa sebagai masyarakat tidak mampu yang
sedang menghadapi masalah hukum mereka berhak untuk mendapat bantuan hukum. Pada umumnya mereka mengatakan bahwa mereka ditawarkan apakah
akan didampingi pengacara atau tidak dan mereka mengatakan tidak karena tidak mampu untuk membayar.
Faktor lain adalah kurangnya kerja sama dari aparat penegak hukum. Menurut para responden dalam penelitian tersebut, polisi yang menyidik kasus
Universitas Sumatera Utara
mereka tidak memberitahukan hak mereka untuk mendapat bantuan hukum. Sedangkan dalam tahap pemeriksaan di sidang pengadilan, mereka hanya ditanya
oleh hakim apakah punya pengacara atau tidak dan tidak menawarkan untuk didampingi oleh pengacara secara
probono. Dari pihak advokat sendiri menganggap bahwa dana yang diberikan oleh negara untuk melaksanakan
bantuan hukum secara probono sangat kecil sementara diperlukan dana yang lebih
besar untuk menangani kasus tersebut.
126
Kenyataan tersebut sangat memprihatinkan karena justru pihak aparat penegak hukum yang malah kurang mengusahakan dengan baik agar tersedia
penasihat hukum bagi tersangkaterdakwa dalam perkara pidana. Hal ini ditambah pula dengan kurangnya sosialisasi dari pemerintah terhadap masyarakat miskin
bahwa sebenarnya mereka berhak untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma apabila berperkara.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, pemberian bantuan hukum cuma-cuma
probono tidak terlalu jelas keberadaannya. Hal ini disebabkan karena belum adanya Undang-Undang
yang mengatur secara konkrit mengenai administrasi dan prosedur pemberian bantuan hukum. Bantuan hukum
probono pada masa itu kebanyakan dilaksanakan oleh para advokat sebagai wujud tanggung jawab profesi yang mulia dan
terhormat officium nobile dan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum
Perguruan Tinggi, yang berdasarkan Lampiran A Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum Pasal 7
126
Mosgan Situmorang, dkk, Op. cit., hlm. 58, et seq.
Universitas Sumatera Utara
ayat 4, terdiri atas Dosen, Asisten Dosen, atau Mahasiswa yang mendapat rekomendasi dari Fakultas Hukum yang bersangkutan. Semua bantuan hukum
tersebut diberikan atas dana pribadilembaga yang bersangkutan. Sedangkan bantuan hukum yang diberikan berdasarkan perintah Pasal 56 KUHAP
dibebankan pada negara.
127
Das sein, das solen. Apa yang diharapkan seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 beserta peraturan
pelaksananya, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum,
diundangkan dengan harapan peraturan tersebut dapat menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negaranya, khususnya bagi orang atau kelompok orang
miskin, untuk mendapatkan akses keadilan dan persamaan di hadapan hukum.
128
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis telah melakukan studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan, selanjutnya disebut LBH Medan. Sejak
didirikannya LBH Medan pada tahun 1981 Namun bagaimanakah implementasinya di Kota Medan, Propinsi Sumatera
Utara?
129
127
Hasil wawancara dengan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan, Amril, pada tanggal 11 Februari 2014, pukul 13.40.
, telah banyak bantuan hukum pro
bono yang diberikan oleh LBH Medan kepada masyarakat miskin atau tidak mampu. Sampai sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
Tentang Bantuan Hukum, bantuan hukum tersebut diberikan dengan
128
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
129
LBH Medan: Dahulu, Sekarang, dan Ke Depan, diakses dari http:www.ylbhi.or.id200507lbh-medan-dahulu-sekarang-dan-ke-depan, pada tanggal 4 Maret
2014 pukul 14.00.
Universitas Sumatera Utara
menggunakan anggaran LBH Medan sendiri dan sumbangan-sumbangan dari pihak-pihak yang berkecukupan dengan suatu sistem yang disebut dengan “sistem
rembes”. Bantuan hukum probono yang diberikan setiap tahunnya sendiri cukup
banyak. Untuk tahun 2011, misalnya, ada sekitar 70 tujuh puluh perkara probono yang ditangani oleh LBH Medan, baik litigasi maupun non-litigasi,
termasuk juga dalam perkara pidana.
130
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, maka sistem pemberian bantuan hukum
probono yang sebelumnya dilaksanakan dan dianut oleh LBH Medan mulai disesuaikan dengan prosedur
yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Misalnya dalam hal persyaratan untuk bertindak sebagai pemberi bantuan hukum. Berdasarkan Pasal 8 ayat 2
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, pemberi bantuan hukum haruslah terakreditasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-
02.HN.03.03 tanggal 31 Mei 2013, LBH Medan telah mendapat akreditasi B dari Kementerian Hukum dan HAM. Apabila ditinjau dari Pasal 7 ayat 1 huruf b
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, disebutkan bahwa Menteri, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM, berwenang untuk melakukan verifikasi dan akreditasi
terhadap lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi kelayakan sebagai pemberi bantuan hukum. Dengan adanya Keputusan
No. M.HH-02.HN.03.03 tanggal 31 Mei 2013 tersebut, maka LBH Medan telah memenuhi kelayakan sebagai pemberi bantuan hukum.
130
Hasil wawancara dengan Ismail Lubis, Advokat dan Staf Lembaga Bantuan Hukum Medan, pada tanggal 4 Maret 2014, pukul 13.30.
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut lagi, apabila ditinjau dari Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, maka LBH Medan telah memenuhi semua persyaratan
lain untuk bertindak sebagai pemberi bantuan hukum, antara lain: 1.
Berbadan hukum. LBH Medan bernaung di bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
YLBHI sehingga berkedudukan sebagai badan hukum. 2.
Terakreditasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-02.HN.03.03
tanggal 31 Mei 2013, LBH Medan terakreditasi B. 3.
Memiliki kantor atau sekretariat yang tetap. LBH Medan berkantor di Jalan Hindu No. 12, Medan.
4. Memiliki pengurus.
LBH Medan memiliki pengurus, antara lain Sdr. Surya Adinata, SH., MKn. sebagai Direktur LBH Medan; M. Khaidir Harahap selaku Wakil Direktur;
dan Irwandi Lubis selaku Bendahara untuk Periode 2012–2015. 5.
Memiliki program Bantuan Hukum.
Sejak diverifikasi dan diakreditasi oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 31 Mei 2013, LBH Medan baru menangani 2 kasus yang dilakukan secara
probono, itupun hanya 1 diantaranya yang merupakan perkara pidana, perkara yang lainnya merupakan perkara Perselisihan Hubungan Industrial. Meskipun
demikian, perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap inkracht van gewijsde di tingkat Pengadilan Negeri karena tidak dilakukan
banding maupun kasasi.
Universitas Sumatera Utara
Pendampingan hukum dalam perkara terdaftar atas nama terdakwa Yogas Sabrin als Yogas No. Reg. 1853Pid.B2013PN.Mdn tersebut dilakukan secara
probono oleh LBH Medan. Apabila ditinjau dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, maka dapat diuraikan sebagai berikut.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima
bantuan hukum. Dalam hal ini LBH Medan telah melaksanakan ketentuan tersebut dengan memberikan bantuan hukum secara gratis
probono terhadap terdakwa Yogas.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 4 ayat 1, bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menghadapi masalah hukum. Dalam hal ini
terdakwa Yogas didakwa melakukan perbuatan pidana tersebut dalam Pasal 170 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, yakni “
Barangsiapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan
terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan.”
Pasal 4 ayat 3 menyatakan bahwa pemberian bantuan hukum meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, danatau melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hukum. Dalam hal ini, LBH Medan telah menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, dan
membela kepentingan hukum terdakwa Yogas Sabrin als Yogas di Pengadilan Negeri Medan.
Universitas Sumatera Utara
Namun dari hasil wawancara penulis dengan pihak LBH Medan, ternyata pendampingan dalam perkara atas nama terdakwa Yogas Sabrin als Yogas baru
mulai dilakukan pada tingkat persidangan di Pengadilan Negeri Medan atas permintaan dari keluarga terdakwa, tetapi pihak LBH Medan tidak pernah
mendampingi terdakwa pada tingkat penyidikan. Apabila ditinjau berdasarkan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan
Hukum, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum,
Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa bantuan hukum untuk kasus pidana seharusnya sudah diberikan sejak tingkat penyidikan sampai pada peninjuan kembali.
Meskipun demikian, Pasal 12 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 menentukan bahwa penerima bantuan hukum berhak mendapatkan bantuan
hukum hingga masalah hukumnya selesai danatau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini pihak LBH Medan telah memenuhi
ketentuan ini dengan mendampingi terdakwa Yogas Sabrin als Yogas sampai perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun, berdasarkan
wawancara dengan pihak LBH Medan, diketahui bahwa hubungan antara pemberi bantuan hukum dengan klien yang didampingi berhenti sampai di situ saja.
Setelah perkara tersebut berkekuatan hukum tetap, hubungan tersebut tidak berlanjut sampai ketika terdakwa telah berada di Lembaga Permasyarakatan LP.
Menurut pengakuan dari pihak LBH Medan, sebenarnya hubungan antara pemberi bantuan hukum dengan klien masih bisa berlanjut sampai di tingkat
Lembaga Permasyarakatan, misalnya dalam hal adanya kemungkinan untuk
Universitas Sumatera Utara
pembebasan bersyarat setelah menjalani 23 masa hukuman. Namun dalam perkara terdakwa Yogas Sabrin als Yogas, hal tersebut tidak dilakukan mengingat
hukumannya yang ringan.
131
Apabila kita tinjau dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Penjelasan Pasal 14 ayat 1 huruf k menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan pembebasan bersyarat adalah bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua
pertiga tersebut tidak kurang dari 9 sembilan bulan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang tersebut, maka dalam perkara atas nama terdakwa Yogas Sabrin
als Yogas, maka sebenarnya terdakwa Yogas Sabrin als Yogas dapat menerima pembebasan bersyarat setelah menjalani 23 masa hukumannya, yaitu 1 tahun 2
bulan, disebabkan minimum 23 dari hukumannya tersebut adalah 9 sembilan bulan. Oleh karena itu seharusnya pihak LBH Medan masih tetap memantau
perkembangan dari terdakwa Yogas Sabrin als Yogas dan tidak membiarkan hubungannya dengan terdakwa berhenti pada saat putusan tersebut telah
berkekuatan hukum tetap. Meskipun demikian, dalam melaksanakan bantuan hukum
probono dalam perkara terdakwa Yogas Sabrin als Yogas, kita dapat melihat bahwa LBH Medan
telah berusaha semampunya untuk membela kepentingan terdakwa. Hal ini terbukti dengan dijatuhkannya vonis penjara 1 tahun 2 bulan oleh hakim kepada
terdakwa Yogas Sabrin als Yogas, hal mana merupakan pengurangan dari
131
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut 2 tahun 4 bulan penjara terhadap terdakwa.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, yang dapat diberi bantuan hukum secara
probono adalah setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan
mandiri. Hak dasar tersebut meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, danatau perumahan.
Dalam mempertimbangkan apakah seseorang dapat diberi bantuan secara probono atau tidak, LBH Medan melihat pada kondisi perekonomian orang
tersebut. Menurut penafsiran LBH Medan, ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 memperbolehkan seseorang diberi bantuan hukum secara cuma-cuma
hanya apabila orang tersebut tidak mampu secara ekonomi. LBH Medan tidak
akan memberikan bantuan hukum secara probono apabila pemohon meminta
bantuan hukum dengan alasan buta hukum. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 menentukan bahwa
untuk memperoleh bantuan hukum probono, pemohon harus memenuhi syarat-
syarat: 1.
Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang
dimohonkan bantuan hukum; 2.
Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan 3.
Melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini, apabila pemohon bantuan hukum tidak mampu menyusun permohonan secara tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan.
LBH Medan menetapkan syarat-syarat serupa dalam mempertimbangkan pemberian bantuan hukum
probono. Persyaratan utama untuk memperoleh bantuan hukum
probono di LBH Medan adalah Surat Keterangan Miskin. Apabila pemohon tidak mempunyai Surat Keterangan Miskin, pemohon dapat
menunjukkan Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat Jamkesmas, Bantuan Langsung Tunai BLT, dan Kartu Beras Miskin sebagai gantinya. Apabila
pemohon tidak mempunyai Surat Keterangan Miskin atau dokumen lain pengganti Surat Keterangan Miskin tersebut, LBH Medan tidak akan memberikan
bantuan hukum probono.
Setelah pemohon menunjukkan Surat Keterangan Miskin atau dokumen lain pengganti Surat Keterangan Miskin, LBH Medan akan melakukan penelitian
lebih lanjut ke lapangan untuk memastikan bahwa pemohon benar-benar tidak mampu secara ekonomi. Setelah mendapatkan kepastian kebenaran status tidak
mampu pemohon, LBH Medan baru akan memberikan bantuan hukum probono.
Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 menentukan bahwa pemberi bantuan hukum dalam jangka waktu paling lama 3 tiga hari kerja
setelah permohonan bantuan hukum dinyatakan lengkap harus memberikan jawaban menerima atau menolak permohonan bantuan hukum. Ketentuan yang
sama juga diterapkan di LBH Medan dimana LBH Medan akan memberikan jawaban paling lama 3 hari setelah permohonan diajukan. Tujuannya adalah untuk
Universitas Sumatera Utara
efektivitas dan efisiensi kerja sehingga kepentingan hukum pemohon dapat dipastikan segera terjamin dan terlindungi dengan baik.
Dari uraian tersebut di atas, kita dapat melihat bahwa Surat Keterangan Miskin atau dokumen lain pengganti Surat Keterangan Miskin, seperti
Jamkesmas, BLT, dan Kartu Beras Miskin, merupakan syarat yang penting yang mutlak harus dimiliki oleh pemohon bantuan hukum. Di sini kita dapat melihat
kekurangan dari LBH Medan dimana masalah pemberian bantuan hukum masih tersangkut dengan masalah administrasi. Terlebih lagi, Pasal 8 Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum sebagai peraturan
pelaksana Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 telah menentukan bahwa apabila pemohon tidak memiliki Surat Keterangan Miskin atau dokumen lain
pengganti Surat Keterangan Miskin, pemberi bantuan hukum seharusnya membantu pemohon untuk memperoleh persyaratan tersebut. Akan tetapi,
berdasarkan wawancara dengan pihak LBH Medan pada tanggal 30 Januari 2014, pihak LBH Medan menyatakan bahwa tanpa Surat Keterangan Miskin atau
dokumen pengganti lainnya, bantuan hukum probono tidak dapat diberikan.
Karena akreditasi LBH Medan yang diperoleh dari Menteri Hukum dan HAM masih sangat baru, sejauh ini pendampingan terhadap masyarakat miskin
yang berperkara, khususnya perkara pidana, masih sangat sedikit. Perkara pidana yang diberikan bantuan secara
probono pun dilaksanakan karena permintaan langsung dari pihak keluarga terdakwa, dalam hal ini keluarga terdakwa Yogas
Sabrin als Yogas. Menurut pihak LBH Medan pada saat diwawancarai pada
Universitas Sumatera Utara
tanggal 30 Januari 2014, inisiatif untuk mendapatkan bantuan hukum probono
selalu berasal dari pihak keluarga klien atau diri klien pribadi tetapi tidak pernah dari pihak LBH Medan. Dari hal ini kita dapat melihat adanya kekurangan lain
dari pihak LBH Medan dimana pihak LBH Medan bersikap pasif dalam pemberian bantuan hukum
probono. Bantuan hukum baru diberikan setelah adanya permohonan langsung dari pihak keluarga terdakwa. Padahal seharusnya
pihak LBH Medan bersikap lebih proaktif dengan mencari perkara yang dapat diberikan bantuan hukum
probono ketimbang hanya menunggu perkara itu dimohonkan kepada LBH.
Dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum probono, sejak
diakreditasi, pihak LBH Medan memperoleh dana bantuan hukum dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN.
132
1. Hibah atau sumbangan; danatau
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 yang menentukan bahwa pendanaan
bantuan hukum yang diperlukan dan digunakan untuk penyelenggaraan bantuan hukum dibebankan kepada APBN. Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang tersebut juga
memperbolehkan sumber dana yang berasal dari:
2. Sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.
Dalam hal ini, LBH Medan memperoleh pendanaan bantuan hukum probono hanya dari APBN, dan belum mendapatkan sumber pendanaan lain
132
Hasil wawancara dengan Ismail Lubis, Advokat dan Staf Lembaga Bantuan Hukum Medan, pada tanggal 30 Januari 2014, pukul 15.00.
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011.
133
Menurut LBH Medan, dana bantuan hukum untuk LBH Medan per- perkara adalah sebesar Rp. 5.000.000,- lima juta rupiah. Untuk memperoleh
dana bantuan hukum, pihak LBH Medan diharuskan menyampaikan laporan setiap 3 bulan, 6 bulan, dan 1 tahun kepada Menteri Hukum dan HAM. Sejak
diakreditasi pada bulan Mei 2013 yang lalu, pihak LBH Medan telah menyampaikan laporan sebanyak 2 kali kepada Menteri Hukum dan HAM yang
diajukan untuk mengklaim dana bantuan hukum probono yang telah diberikan
dalam 2 perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, antara lain perkara Perselisihan Hubungan Industrial dan perkara pidana No. Reg.
1853Pid.B2013PN.Mdn atas nama terdakwa Yogas Sabrin als Yogas. Namun sampai sejauh ini, belum ada tindak lanjut dari pihak Kementerian Hukum dan
HAM.
134
Dalam wawancara yang dilakukan dengan pihak LBH Medan pada tanggal 30 Januari 2014 yang lalu, pihak LBH Medan mengakui adanya
kekecewaan terhadap pihak Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini berkaitan dengan persoalan pencairan dana terhadap perkara pidana No. Reg.
1853Pid.B2013PN.Mdn atas nama terdakwa Yogas Sabrin als Yogas yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap di tingkat Pengadilan Negeri karena tidak ada
133
Hasil wawancara dengan Ismail Lubis, Advokat dan Staf Lembaga Bantuan Hukum Medan, pada tanggal 30 Januari 2014, pukul 15.00.
134
Hasil wawancara dengan Reni Lorensa, Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum Medan pada tanggal 30 Januari 2014, pukul 16.00.
Universitas Sumatera Utara
pengajuan banding dan kasasi terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut.
Apabila kita kaji, ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 menentukan bahwa penyaluran dana bantuan hukum litigasi dilakukan
setelah pemberi bantuan hukum menyelesaikan perkara pada setiap tahapan proses beracara dan pemberi bantuan hukum menyampaikan laporan yang disertai
dengan bukti pendukung. Untuk kasus pidana, tahapan proses beracara yang dimaksud antara lain meliputi penyidikan, dan persidangan di pengadilan tingkat
I, persidangan tingkat banding, persidangan tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
Selanjutnya, berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang dimaksud dengan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah: 1.
Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh KUHAP;
2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu
yang ditentukan oleh KUHAP; atau 3.
Putusan kasasi.
135
Berdasarkan ketentuan Pasal 233 ayat 2 jo Pasal 234 ayat 1 KUHAP, banding diajukan dalam waktu 7 hari setelah putusan dijatuhkan atau
diberitahukan kepada terdakwa. Apabila tidak diajukan banding dalam jangka
135
Ilman Hadi, Kapan Putusan Pengadilan Dinyatakan Berkekuatan Hukum Tetap?
diakses dari http:www.hukumonline.comklinikdetaillt50b2e5da8aa7ckapan-putusan- pengadilan-dinyatakan-berkekuatan-hukum-tetap, pada tanggal 30 Januari 2014, pukul 20.00.
Universitas Sumatera Utara
waktu 7 hari, maka para pihak dianggap menerima putusan sehingga putusan berkekuatan hukum tetap.
Dalam perkara pidana No. Reg. 1853Pid.B2013PN.Mdn atas nama terdakwa Yogas Sabrin als Yogas, bantuan hukum
probono telah diberikan oleh LBH Medan selama di Pengadilan Tingkat I. Namun ternyata, Jaksa Penuntut
Umum tidak mengajukan banding dalam jangka waktu yang ditentukan dalam KUHAP sehingga Putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut berkekuatan hukum
tetap. Dengan demikian, LBH Medan telah melaksanakan bantuan hukum probono tersebut sampai perkaranya selesai.
Menurut pihak LBH Medan, seharusnya dana bantuan hukum untuk perkara tersebut sudah dapat diklaim sesuai dengan ketentuan Pasal 27 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2011. Akan tetapi, pihak Menteri Hukum dan HAM meminta agar pihak LBH Medan meminta Surat Keterangan
Inkracht dari Pengadilan Negeri Medan terlebih dahulu untuk membuktikan bahwa putusan
tersebut benar-benar telah berkekuatan hukum tetap di Pengadilan Negeri Medan. Dan untuk bantuan hukum
probono yang telah diberikan dalam perkara tersebut, dana yang akan diberikan oleh Menteri Hukum dan HAM adalah sebesar Rp.
2.000.000,- dua juta rupiah, kurang dari dana yang ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000,- lima juta rupiah per-perkara. Hal tersebut disebabkan karena dana
sebesar Rp. 5.000.000,- lima juta rupiah tersebut sebenarnya diperuntukkan untuk tahapan proses beracara dari penyidikan, persidangan di pengadilan tingkat
I, persidangan tingkat banding, persidangan tingkat kasasi, sampai pada peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Undang-Undang
Universitas Sumatera Utara
Nomor 16 Tahun 2011. Karena perkaranya sudah selesai di pengadilan tingkat I, pihak Menteri Hukum dan HAM memutuskan untuk mengurangi dana bantuan
hukum hingga sebesar Rp. 2.000.000,- dua juta rupiah. Menurut pihak LBH Medan, hal ini tentu saja mengecewakan. Padahal
sebenarnya dana sebesar Rp. 5.000.000,- lima juta rupiah per-perkara yang ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM pun sudah terlalu kecil. Untuk perkara
terdakwa Yogas Sabrin als Yogas, dana tersebut malah dikurangi lagi hingga sebesar Rp. 2.000.000,- dua juta rupiah.
Pihak LBH Medan mengakui bahwa dana memang menjadi kendala dalam pemberian bantuan hukum
probono. Menurut Ismail Lubis, Advokat dan Staf LBH Medan yang memberikan bantuan hukum
probono, kesulitan dalam pemberian bantuan hukum
probono adalah karena dana dari APBN baru dicairkan setelah perkara selesaiberkekuatan hukum tetap sementara terkadang proses
penyelesaian perkara tersebut di pengadilan, terutama perkara perdata, bisa memakan waktu yang lama. Selama dana dari APBN belum cair, dana untuk
pendampingan terhadap perkara dibebankan pada kantor dalam hal ini Kantor LBH Medan.
Selain itu, jumlah dana yang diberikan per-perkara terlalu sedikit sementara untuk membiayai pendampingan hukum di tiap tahapan proses beracara
perkara pidana di persidangan, meliputi dari penyidikan, pengadilan tingkat I, pengadilan tingkat banding, pengadilan tingkat kasasi, sampai pada Peninjauan
Universitas Sumatera Utara
Kembali membutuhkan dana yang jauh lebih besar daripada jumlah dana yang ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM per-perkara.
136
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Amril, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan. Menurut beliau, kendala dalam memberikan bantuan hukum
probono terletak pada prosedur pencairan dana yang rumit. Selain itu, kurangnya kesadaran dari masyarakat yang berperkara bahwa mereka berhak atas bantuan
hukum juga berperan besar. Kebanyakan tersangkaterdakwa sewaktu diberitahukan haknya untuk mendapatkan bantuan hukum menolak dengan alasan
memperumit persidangan perkaranya. Di sisi lain, aparat penegak hukum juga kurang bekerja sama dan tidak mau direpotkan demi kepentingan terdakwa.
137
Berdasarkan hasil penelitian penulis tersebut, kita dapat melihat bahwa sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
sampai dengan saat ini, penerapan bantuan hukum pro bono publico, khususnya di
Kota Medan, Propinsi Sumatera Utara, masih sangat kurang dan perlu dikembangkan lagi. Selain itu, kita dapat melihat bahwa masih kurangnya kerja
sama antara negara, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM, dengan pihak LBH Medan dalam hal pelaksanaan pemberian bantuan hukum
probono sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
Di sisi lain, masyarakat miskin yang hendak memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma juga masih terkendala dengan persoalan administrasi, seperti
harus adanya Surat Keterangan Miskin atau dokumen pengganti lainnya yang
136
Hasil wawancara dengan Ismail Lubis, Advokat dan Staf Lembaga Bantuan Hukum Medan pada tanggal 30 Januari 2014, pukul 15.00.
137
Hasil wawancara dengan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan, Amril, pada tanggal 11 Februari 2014, pukul 13.40.
Universitas Sumatera Utara
harus ditunjukkan kepada pihak LBH Medan guna memperoleh bantuan hukum cuma-cuma. Tanpa adanya surat-surat dimaksud, pihak LBH Medan tidak akan
memberikan bantuan. Hal ini menjadi masukan dan bahan pertimbangan, tidak hanya bagi LBH Medan, tetapi juga pemberi bantuan hukum lainnya di Kota
Medan, untuk mengkaji ulang tata cara dan persyaratan pemberian bantuan hukum cuma-cuma yang mereka tetapkan sehingga kepentingan hukum kaum
miskin dapat lebih terjamin dengan baik. Selain itu, masih perlu diadakan pembenahan bagi setiap oknum penegak
hukum di Kota Medan untuk benar-benar menegakkan pemberian bantuan hukum cuma-cuma ini terhadap masyarakat miskin. Jangan sampai hal yang terungkap
dalam penelitian oleh tim Badan Pembinaan Hukum Nasional terulang kembali, yakni dalam hal ada yang sebenarnya secara formal didampingi pengacara pada
tahap penyidikan akan tetapi pengacara tersebut hanya menandatangani BAP saja tanpa pernah mendampingi tersangka. Kasus ini terjadi di daerah hukum Polda
Sumatera Utara.
138
Dengan adanya kesadaran dari para penegak hukum dan kerja sama antara negara dan para penegak hukum yang digalang dengan baik, serta dengan adanya
sosialisasi terhadap masyarakat luas, terutama masyarakat miskin, niscaya tujuan negara Indonesia sebagai negara hukum untuk mewujudkan keadilan dan
persamaan di depan hukum guna tercapainya masyarakat yang adil dan makmur dapat terwujud di Indonesia.
138
Mosgan Situmorang, dkk, Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, maka selanjutnya dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Bantuan hukum baru dikenal di Indonesia pada masa penjajahan Belanda
ketika diundangkan dalam R.O. dan HIR. Namun ketentuan dalam R.O. dan HIR masih sangat lemah dimana kemungkinan untuk mendapatkan bantuan
hukum terbatas pada ketersediaan penasihat hukum dan apakah mereka mau memberikannya. Setelah kemerdekaan Indonesia, bantuan hukum mulai
mendapatkan kepastian dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan lahirnya Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta pada tanggal 26
Oktober 1970, disusul dengan lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan Hukum di berbagai daerah. Konsep bantuan hukum yang dikenal sekarang ini adalah
konsep bantuan hukum struktural yang dikembangkan oleh Lembaga Bantuan Hukum. Bantuan hukum diberikan oleh pemberi bantuan hukum yang
meliputi Lembaga Bantuan Hukum, advokat, pokrol, Fakultas Hukum, dan Organisasi Advokat.
Bantuan hukum diberikan berdasarkan dana dari APBN atau APBD, dan dapat juga berasal dari hibah atau sumbangan atau sumber
pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat. Tata cara pemberian bantuan hukum diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013
Universitas Sumatera Utara