Sakarat al-Maut
B. Sakarat al-Maut
Sebelum membahas tentang sakaratul maut yang merupakan detik- detik terakhir perpisahan roh dari jasad. Ada beberapa hal yang terkait tentang sakaratul maut ini, diantaranya adalah tentang jiwa yang mengalami sakaratul maut, malaikat maut dan sakarat itu sendiri.
1. Jiwa atau Ruh
Dalam pembahasan tentang jiwa atau ruh ini, penulis merujuk kepada buku “al-Rûh” karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. 19 Dalam bukunya, dia memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan roh atau jiwa orang yang sudah mati ataupun yang masih hidup, disertai dalil dari Kitab, Sunnah, atsar dan pendapat para ulama yang pilihan. Buku ini menurut hemat penulis mengandung banyak manfaat bagi umat Islam, oleh karena itu, hampir sebagian besar bahasan tentang ini penulis merujuk kepada buku ini.
19 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Rûh, alih bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi, Roh, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), h. 334-335
Ibnu Qayyim menjawab beberapa pertanyaan seputar nafs (jiwa) dan ruh, apakah keduanya satu jenis atau dua hal yang berbeda? Ibnu Qayyim menjelaskan, bahwa nafs dalam al-Qur`ân digambarkan sebagai dzat (diri) secara keseluruhan. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT,
Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri (QS. al-Nûr: 61)
(Ingatlah) suatu hari (ketika) tiap-tiap diri datang untuk membela dirinya sendiri (QS. al-Nahl: 111)
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS. Al-Muddatstsir: 38)
Sebagaimana nafs juga digunakan untuk menyebut ruh secara
tersendiri. Seperti firman-Nya: Hai jiwa yang tenang (QS. al-Fajr: 27) !!!!!!!!!!!!!! !!!!!Ê !!!ƒ!!!ƒ!!!!! ƒ!!!!! "Keluarkanlah nyawamu" (QS. al-An’âm:93) !! !! !! !!!!!!!!!!! Ê !!! !!. dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, (QS. al-Nâzi’ât:40) !! !!!!!! ! !!!!ƒ!!! Ê ! !!! !! ƒ!!!!!. kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yûsuf; 53) Ê !!!! !!Ê !!!!!!!!!!!!!!!! ƒ!!!!!!!! Ê !
Roh disebut dengan al-rûh ( ! !!!! ) , karena dengan roh itu ada kehidupan badan, seperti ( ! !!!! ) angin yang mendatangkan kehidupan. Disebut ( ! !!!! ) al-Nafs, boleh jadi karena ia termasuk ( ! !!!!! ) al-nafîs,
sesuatu yang berharga, karena nilai dan kemuliaannya, atau boleh jadi karena termasuk ( ! !!!!!! ) al-tanaffus, hembusan nafas, sesuatu jika napas
itu terhembus keluar dan karena banyaknya hembusan yang keluar masuk di dalam badan, sehingga disebut ( ! !!!! ) nafas, maka jika orang itu terhembus keluar dan karena banyaknya hembusan yang keluar masuk di dalam badan, sehingga disebut ( ! !!!! ) nafas, maka jika orang
Ibnu Qayyim kemudian mengatakan bahwa ilmu mempunyai roh, kebajikan mempunyai roh, tawakal mempunyai roh, kejujuran mempunyai roh, dan manusia saling berbeda-beda tentang roh-roh ini. Di antara mereka ada yang memiliki dominasi roh-roh ini, sehingga dia menjadi manusia yang lebih menitikberatkan unsur rohani, di antara mereka ada yang kehilangan roh-roh itu dan mayoritas di antaranya, sehingga dia menjadi makhluk yang memiliki sifat keduniaan dan kebinatangan. 21
Sayyid Salamah al-Saqqâ mengemukakan beberapa perkataan para salaf ini jelas sekali bahwa mereka memandang manusia sebagai ruh dan jasad; bahwa dengan dua hal inilah terwujud eksistensi manusiawinya; dan bahwa keduanya merupakan esensi hidup yang saling berbeda. 22
20 Sebagian ahli hadits, fiqih, dan tasawuf mengatakan bahwa roh bukan jiwa, Muqâtil berkata,”Manusia itu memiliki kehidupan, roh dan jiwa. Kija ia tidur, maka jiwanya keluar dan ia bisa
memikirkan segala hal, sementara kehidupan dan roh tetap berada di dalam badan, membolak-balik dan bernapas. Jika Allah hendak mematikannya di dalam tidurnya, maka Dia memegang jiwa yang keluar iru. Golongan dari ahli atsar berkata, ”Roh itu bukan jiwa, dan jiwa bukan roh. Tegaknya jiwa dengan roh, jiwa merupakan gambaran hamba (manusia), sedangkan hawa nafsu, sahwat dan ujian merupakan adonan di dalam jiwa. Jika tidak menghendaki kecuali keduniaan dan hanya dunia itulah yang dicintainya, sementara roh mengajak kepada akhirat dan mempengaruhinya. Hawa nafsumengikuti jiwa, syetan mengikuti jiwa dan hawa nafsu, sementara para malaikat bersama akal dan roh. Allah menolong akal dan roh dengan ilham dan taufik-Nya. al-Jauziyyah, al-Rûh, h. 336
21 al-Jauziyyah, al-Rûh, h. 339 22 al-Saqqâ, Asrâr al-Maut..., h. 131
Dia juga mengutip pendapat Ibnu Sina yang berpendapat bahwa subtansi yang ada dalam diri manusia itu sebenarnya tidak hancur setelah kematian dan tidak musnah setelah meninggalkan badan, tetapi tetap abadi sebagaimana keabadian Pencipta, sebab subtansinya lebih kuat dari subtansi badan, di samping karena menjadi penggerak badan, pembimbingnya dan pengendalinya. Badan terpisah dari ruh ini yang mengikutinya. 23
Sementara Ibnu Qayyim mengatakan: “Ruh itu merupakan jasad yang berbeda secara esensial dengan jasad konkret ini. Ruh ini adalah jasad yang bersifat cahaya, tinggi, ringan, hidup dan bergerak yang menembus pada subtansi anggota badan, mengalir di dalamnya seperti aliran air di atas bunga mawar, mengalirnya minyak dalam zaitun dan api di atas arang. Selama anggota tubuh ini layak untuk menerima pengaruh-pengaruh yang melimpah atasnya dari jasad yang lembut, maka jasad lembut ini akan tetap ada dalam keadaan menghubung satu sama lain dengan anggota-anggota badan dan memberikan manfaat kepadanya pengaruh-pengaruh ini yang berupa perasaan dan gerakan sadar. Apabila anggota-anggota tubuh ini rusak dan menyimpang dari menerima pengaruh-pengaruh itu, maka ruh akan meninggalkan badan serta memisahkan diri menuju alam arwah.” 24
Kematian itu tidak lebih dari adanya jiwa yang meninggalkan penggunakan alat-alatnya yaitu seluruh tubuh yang kumpulannya dinamakan badan, sebagaimana pembuat sesuatu meninggalkan penggunaan perangkat kerjanya. Jiwa itu adalah subtansi yang bukan fisik dan bukan pula eksiden. Sifatnya tidak menerima kerusakan. Subtansi ini berbeda dengan subtansi tubuh dan berlainan sekali dengannya secara dzat, ciri khas, perbuatan, dan pengaruhnya. Demikian
23 al-Saqqâ, Asrâr al-Maut …, h. 131 24 al-Jauziyyah, al-Rûh, hal. 291 23 al-Saqqâ, Asrâr al-Maut …, h. 131 24 al-Jauziyyah, al-Rûh, hal. 291
Ibnu Qayyim lebih lanjut menjelaskan bahwa jiwa ini mempunyai empat tempat tinggal, yang setiap tempat tinggal lebih besar dari sebelumnya; 26
1. Berada di perut sang ibu yang sempit, pengap dan gelap, tiga keadaan yang harus dialami.
2. Tempat tinggal yang membesarkannnya, tempatnya mengerjakan kebaikan dan keburukan, mencari sebab-sebab kebahagaiaan dan penderitaan.
3. Barzakh yang lebih luas dari tempat tinggal dunia dan lebih lebar. Bahkan perbandingan Barzakh dengan alam ini seperti perbandingan alam ini dengan rahim ibu.
4. Tempat tinggal yang kekal abadi, yaitu surga dan neraka. Setelah itu tidak ada lagi tempat tinggal yang lain.
Allah memindahkan jiwa dari satu tahapan ke tahapan berikutnya, hingga tiba di tempat tinggal yang terakhir, dan itulah yang layak baginya. Itulah yang diciptakan dan dipersiapkan bagi amal yang menghantarkannya ke sana. Setiap tempat tinggal mempunyai hukum sendiri-sendiri dan memiliki keadaan yang berbeda dengan tempat tinggal yang lain.
25 al-Saqqâ, Asrâr al-Maut...,h. 132 26 al-Jauziyyah, al-Rûh, h. 197
Ruh adalah esensi lembut yang bersifat cahaya, tidak memerlukan makanan dan memiliki beberapa kondisi: 27
1. Kondisi tidak ada, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT,
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS. al-`Insân: 1)
2. Kondisi ada (eksis) di alam arwah, sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan
semua ruh mendahului jasad dalam rentang waktu sekitar seribu tahun.”
3. Kondisi bergantung dan penghembusan. Sebagaimana disebutkan firman Allah SWT,
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya". (QS. Shâd: 72);
Kondisi perpisahan, seperti diterangkan oleh firman-Nya,
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati (QS. `Âli ‘Imrân: 185)
4. Kondisi pengembalian. Berdasarkan firman Allah SWT,
dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka (QS. al-Kahfi: 47)
Sayyid Salamah al-Saqqâ 28 mengutip juga pendapat al-Suhrawardi yang menganggap bahwa jasad adalah penjara tempat ditahannya ruh.
27 Sebagaimana dikutip Sayyid Salamah al-Saqqâ dari pendapat Muhyiddîn ibn ‘Arabî, lihat al-Saqqâ, Asrâr al-Maut..., h. 132-133
28 al-Saqqâ, Asrâr al-Maut..., h. 133
Jika kematian datang, maka ruh tersebut terbebas dari ikatannya. Kemudian lahir pula orang-orang yang mempunyai pemikiran yang menyerupai pemikiran yang menyerupai pemikiran di atas. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya manusia itu adalah ruh tanpa jasad dan jasad itu hanya sebuah selendang yang suatu saat akan dicampakkan. Manusia menurut ungkapan mereka hanyalah ruh yang memiliki jasad bukan jasad yang memiliki ruh. Mereka mengatakan bahwa manusia itu
hanya ruh saja, sedangkan jasad hanya penampilan luar saja yang tidak ada hubungannya dengan dzat ini dan juga bukan pemilik ruh itu, bahkan jasad itu sendiri milik induknya yaitu bumi; jasad berasal dari tanah maka kepadanya akan kembali.
Sedangkan golongan lain berpendapat bahwa ruh itu tidak mati karena ia diciptakan untuk keabadian (imortal) berdasarkan dalil,
Bahkan mereka di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki (QS. `Âli ‘Imrân: 169).
Sedangkan kalangan salaf dan para imam, mereka menilai – sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim-; Pendapat yang benar, kematian jiwa adalah terpisahnya jiwa itu dari badan dan keluarnya dari sana. Jika yang dimaksud kematiannya dengan gambaran seperti ini, maka memang ia bisa mati. Tapi jika yang dimaksudkan bahwa jiwa itu hilang dan lenyap sama sekali, maka ia tidak mati dengan gambaran ini, tapi ia tetap kekal dalam kenikmatan atau siksaan-Nya. Nâsh juga Sedangkan kalangan salaf dan para imam, mereka menilai – sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim-; Pendapat yang benar, kematian jiwa adalah terpisahnya jiwa itu dari badan dan keluarnya dari sana. Jika yang dimaksud kematiannya dengan gambaran seperti ini, maka memang ia bisa mati. Tapi jika yang dimaksudkan bahwa jiwa itu hilang dan lenyap sama sekali, maka ia tidak mati dengan gambaran ini, tapi ia tetap kekal dalam kenikmatan atau siksaan-Nya. Nâsh juga
Selanjutnya Ibnu Qayyim menjelaskan: bahwa tempat tinggal sementara bagi ruh di alam Barzakh kelak –selama masa transisi antara kematian dan hari kiamat- cenderung berbeda-beda dengan disting yang sangat mencolok. Ada ruh yang berada di ‘illiyyîn yaitu di tempat tertinggi, dan itulah ruh para Nabi. Ada ruh orang-orang yang mati syahid yang berada pada tembolok burung-burung hijau yang bebas berkelana di surga sesukanya. Ada juga arwah yang berada di pintu surga. Ada arwah yang tertahan di kuburnya. Ada
arwah yang tertahan di bumi dan ruhnya tidak naik ke tempat yang tinggi. Ada arwah yang berada di dalam tungku yaitu para pezina laki-laki dan perempuan. Ada arwah yang berada di sungai darah. Ada arwah yang dipanjangkan di atas neraka setiap pagi dan petang, dan lain sebagainya. Semua keadaan itu terpapar dengan dalil yang jelas di dalam al-Qur`ân, Al-Sunah dan Atsar. 30
Dari keterangan ini kita dapat menyimpulkan bahwa ruh adalah rahasia kehidupan, yaitu rahasia yang khusus diketahui oleh ilmu Allah SWT. Sedangkan bagaimana cara penempatannya pada jasad dan cara perpisahannya dengan jasad, serta bagaimana cara badan diberi sifat-sifat yang tersembunyi ketika ruh itu meninggalkannya, semua itu adalah urusan gaib yang tidak diketahui kecuali oleh Allah SWT.
Maka pantaslah Thabâthabâî ketika menafsirkan ayat berikut ini, memberikan kesimpulan bahwa roh yang dinyatakan ayat ini:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit" (QS.al-Isrâ`:85)
29 al-Jauziyyah, al-Rûh, h. 66 30 al-Jauziyyah, al-Rûh, h. 165-197
Bahwa hakikat roh yang dibicarakan oleh al-Qur`ân dalam banyak ayat itu, dan jawaban yang diberikan ayat ini adalah bahwa roh itu urusan Tuhan sedang ilmu yang kamu miliki yang dianugerahkan Allah kepada kamu – tentang roh adalah sedikit dari banyak. Roh mempunyai wilayah dalam wujud ini, mempunyai kekhususan dan ciri-ciri serta dampak di alam raya ini yang sungguh indah dan mengagumkan, tetapi ada tirai yang menghalangi kamu mengetahuinya.” 31
2. Sekarat
Datangnya Sakarat al-maut pada seseorang merupakan peristiwa yang sangat mendebarkan. Sakarat al-maut pasti menimpa semua orang, siapa pun dia. Para Nabi dan Rasul pun mengalami peristiwa yang sangat krusial tersebut.
Sakarat al-maut datang pada setiap orang bila ajalnya telah tiba. Ketika saat naza’ tiba, 32 tidak ada lagi orang yang dapat menolongnya dari bahaya kematian. Bagi orang beriman dan beramal saleh, dia akan menghadapi peristiwa sangat mendebarkan itu dengan perasaan tenang dan penuh kepasrahan. Sementara bagi orang kafir dan zhalim, dia akan
31 Shihab, Tafsir al-Mishbah..., vol. 7, h. 537 32 Naza’ (sakarat al-maut) adalah gambaran tentang kepedihan yang menimpa ruh, karena
seluruh bagian ruh telah menyebar dan menyatu dengan seluruh anggota badan. Kalau salah satu anggota badan terkena sabetan pedang, maka yang merasakan sakit hanya bagian yang terkena pedang, akan tetapi naza’ menimpa seluruh anggota badan termasuk rambut yang menurut kita tidak mengalir darah di dalamnya. Gambaran kepedihan naza’ ini seperti orang yang terbakar seluruh tubuhnya – bahkan lebih dahsyat- karena tidak satu pun anggota badan yang selamat dari api. Kepedihan naza’ menghujam dalam seluruh bagian tubuh, persedian bahkan keringat. Lihat Ibrâhîm Muhammad Jamâl, al-Hayâh ba’da al-Maut, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, tt), hal.77 seluruh bagian ruh telah menyebar dan menyatu dengan seluruh anggota badan. Kalau salah satu anggota badan terkena sabetan pedang, maka yang merasakan sakit hanya bagian yang terkena pedang, akan tetapi naza’ menimpa seluruh anggota badan termasuk rambut yang menurut kita tidak mengalir darah di dalamnya. Gambaran kepedihan naza’ ini seperti orang yang terbakar seluruh tubuhnya – bahkan lebih dahsyat- karena tidak satu pun anggota badan yang selamat dari api. Kepedihan naza’ menghujam dalam seluruh bagian tubuh, persedian bahkan keringat. Lihat Ibrâhîm Muhammad Jamâl, al-Hayâh ba’da al-Maut, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, tt), hal.77
Dan datanglah sakarat al-maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya (QS. Qâf; 19)
Kata ( !!! ! ) sakrah terambil dari kata ( !! ! ) sakara, yang dari segi
bahasa pada mulanya berarti menutup. Seorang yang mabuk ditunjuk dengan kata ( ! !!! ! ) sakrân, karena akalnya tertutup, tidak menyadari
ucapan dan tingkah lakunya. Dari sini, ( ! !!!! !!! ! ) sakarat al-maut dipahami banyak ulama dalam arti kesulitan dan perih yang dialami
seseorang beberapa saat sebelum ruhnya meninggalkan badan. 33 Al- Munjid al-Muhîth juga menjelaskan dalam arti kesulitan yang dialami saat akan mati. 34
Yang dimaksud dengan sakaratul maut adalah sekaratnya mati atau sengsara, kesusahan, dan pedihnya mati. Karena itulah kematian merupakan musibah yang tidak sama dengan musibah yang biasa menimpa manusia. Allah menamakan sekarat dengan musibah sebagaimana firman-Nya:
“lalu kamu ditimpa musibah kematian” (QS. al-Maidah: 106) Nabi SAW mengabarkan bahwa kematian merupakan musibah yang
paling besar yang menimpa umat, karena kematian adalah musibah, maka Allah menjadikannya sebagai tebusan bagi dosa-dosa dan
33 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 13, hal. 296 34 Louis Ma`lûf, Qâmûs al-Munjid fî al-Lughah wa al-A'lâm, (Beirut: Dâr al-Masyriq,
1998), h. 341 1998), h. 341
setiap muslim.” 35 Al-Qurthûbî berkata, “Hal itu karena orang yang mati mendapatkan beberapa musibah”, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang terkena musibah tertusuk duri atau lebih dari itu, kecuali Allah akan memberi tebusan dari kejelekan-kejelekannya.” 36
Tidak dapat disangkal oleh agamawan, adanya sakarat al-maut, sebagaimana dikatakan ayat di atas (QS. Qâf; 19). Ayat ini dapahami oleh para pakar tafsir dalam arti, datanglah pada saat roh akan dicabut, sakarat al-maut . Yakni kesulitan yang menjadikan siapa yang akan tercabut nyawanya dalam situasi yang sangat sulit dan menyakitkan. Kedatangannya haq, yakni pasti tidak dapat dihindari oleh siapa pun. Atau kedatangannya pasti lagi tidak berubah, sehingga ia tidak akan berhenti kecuali dengan kematian, yakni kematian yang dulu kamu hai manusia – khususnya kaum musyrik – selalu menghindarinya atau menghindari sebab-sebabnya sepanjang hidup kamu di dunia. 37
35 Diriwayatkan oleh Abû Nu’aim dari Âshim al-A’wal dari Anas ibn Mâlik dalam kitab al- Hilyah (3/121) dan kitab Târîkh Baghdad (1/347), al-Isma’îlî dalam kitab Majmu’nya dengan jalan
hadis dari Anas dan sebagian jalan periwatanya tidak masalah. Al-Irâqî telah mengumpulkan jalan- jalan periwayatan dan berkata, “Hadis ini telah mencapai tingkat hasan.” Ibn ‘Arabi menganggap hadis ini shahîh dalam kitab Sirâj al-Murîdîn. Abû ‘Umar al-Shadafî berkata, “Hadis ini memenuhi syarat shahîhnya al-Bukhârî dan Muslim.” Al-Marakasyî menyebut hadis ini dalam kitab al-Dzill dan al- Takmilah (2/1/460). lihat ’Abdullâh al-Taliyadi, Masyâhid al-Maut wa Ahwâl al-Barzakh al-Qubûr, diterjemahkan oleh Safyi’ Ulinnuha, Metode Menyambut Maut Husnul Khatimah, (Jogjakarta: Diva Press, 2007), hal.247
36 Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, (Bairut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2003), bab Tsawâb al-Mu’min fîmâ Yushîbuhû, h. 997
37 Shihab, Tafsir al-Mishbah..., vol. 13, hal. 295, dan Shihab, Perjalanan Menuju Keabadian; Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), cet III, hal.54
Beberapa ayat lain –walau tidak menggunakan kata sakarat al-maut, juga dijadikan dasar para ulama untuk menyatakan adanya kesulitan dalam menghadapi kematian (sekarat). Pakar tafsir al-Qurthûbî menyebut tiga ayat, selain ayat QS. Qâf di atas, yang menggambarkan beratnya kesulitan dan kepedihan maut, diantaranya:
Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya (QS. al-An’âm: 93)
Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan (QS.al- Wâqi’ah:83)
Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan (QS. al-Qiyâmah: 26)
Seorang muslim tidaklah wajar menolak adanya apa yang dialami sakarat al-maut , cukuplah satu ayat ini untuk menetapkan keberadaanya dan menilai yang menolaknya sebagai menolak kebenaran al-Qur`ân. Memang al-Qur`ân tidak menjelaskan bagaimana sakitnya, tetapi hal itu Seorang muslim tidaklah wajar menolak adanya apa yang dialami sakarat al-maut , cukuplah satu ayat ini untuk menetapkan keberadaanya dan menilai yang menolaknya sebagai menolak kebenaran al-Qur`ân. Memang al-Qur`ân tidak menjelaskan bagaimana sakitnya, tetapi hal itu
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sakarat al-maut itu pasti terjadi pada jiwa saat berpisah dengan badan, maka sangat tepat apa yang disampaikan oleh Sayyid Quthb dalam menafsirkan ayat QS. Qâf di atas; bahwa penyifatan kehadiran sakarat al-maut dengan ( ّﻖﺤﻟا) al-haqq dipahami sebagai isyarat tentang keadaan jiwa manusia pada saat terjadi sakarat al-
maut itu. Yakni ketika itu dia akan melihat haq / kebenaran dengan sangat sempurna. Dia melihatnya tanpa tirai penghalang dan dia mengetahui
38 diriwayatkan Imam Bukhârî dari Sayyidah ’Âisyah berkata: Ketika Nabi SAW. sakit yang membawa kematian beliau, aku mendengar suaranya menjadi kasar lagi kudengar beliau berucap, ﻊ ﻣ
ﻦﯿﺤﻟﺎﺼﻟاو ءاﺪﮭﺸﻟاو ﻦﯿﻘﯾﺪﺼﻟاو ﻦﯿﯿﺒﻨﻟا ﻦﻣ ﻢﮭﯿﻠﻋ ﺖﻤﻌﻧأ ﻦﯾﺬﻟا (bersama mereka yang telah diberi anugerah oleh Allah, yaitu para nabi, shaddiqin, syuhada’serta para orang-orang shaleh). QS. al-Nisâ`. Sayyidah ’Âisyah berkata: ”Ketika itu kuketahui bahwa beliau diberi pilihan, dan beliau memilih bertemu dengan Allah.” Memang, menurut istri Nabi SAW. itu, beliau pernah mendengar Nabi SAW. bersabda; ”Tidak seorang nabi pun yang sakit (sakit yang membawa kematiannya) kecuali diberi pilihan antara dunia dan akhirat.” Selanjutnya Imam Bukhârî juga meriwayatkan keterangan ’Âisyah ra. bahwa Rasul SAW wafat di rumahku dan pada giliran hariku. Beliau wafat antara dada dan bawah leherku. Allah menggabungkan ludahku dan ludah beliau ketika wafatnya. Ketika itu saudara Abdurrahman datang mengunjungiku dan aku menyandarkan Rasulullah SAW di dadaku dan di tangan beliau ada siwak, lalu kulihat beliau memandang kepada siwak itu, maka ketika itu kuketahui bahwa beliau menyukainya. Maka kukatakan kepada beliau, “Apakah Rasul mau kuambilkan (untuk digunakan Rasul)? Beliau menganggukkan kepala, maka kuberikan kepada beliau, dan beliau memasukkan ke mulutnya, tetapi rupanya siwak itu terasa keras oleh beliau, sehingga memberikannya kembali kepadaku. Lalu aku berkata, “Maukah kulunakkan siwak ini untukmu?” Beliau menganggukkan kepala, mengiyakan, maka kulunakkanlah, setelah itu beliau menggosokkan (pada gigi beliau dengannya). Ketika itu di hadapan beliau ada wadah dari kulit atau kayu yang berisi air. Beliau memasukkan tangan ke wadah itu dan mengusap wajahnya sambil bersabda, “Lâ ilâha illallâh, sungguh ada sakarat bagi maut.” Kemudian beliau mengangkat tangannya dan berkata, al-Rafîq al- A’lâ (yakni menuju Teman Yang Maha Tinggi, Allah SWT) lalu wafatlah Rasul SAW. dan terjatuhlah juga tangan beliau (yang terangkat menunjuk ke atas tadi). Dalam riwayat lain dinyatakan –agaknya sebelum detik-detik itu juga- oleh Sayyidah ‘Âisyah bahwa, “Aku melihat Rasul SAW wafat dan ketika itu ada wadah yang berisi air (di samping beliau) maka beliau memasukkan tangannya di wadah itu sambil bermohon, “Ya Allah, Bantu aku atas (menghadapi) sakarat al-maut”. Muhammad ibn Ismâ’îl ibn al-Mughîrah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî (Kairo: Maktabah al-Syurûq, 2003), jil.13, hal. 359 ﻦﯿﺤﻟﺎﺼﻟاو ءاﺪﮭﺸﻟاو ﻦﯿﻘﯾﺪﺼﻟاو ﻦﯿﯿﺒﻨﻟا ﻦﻣ ﻢﮭﯿﻠﻋ ﺖﻤﻌﻧأ ﻦﯾﺬﻟا (bersama mereka yang telah diberi anugerah oleh Allah, yaitu para nabi, shaddiqin, syuhada’serta para orang-orang shaleh). QS. al-Nisâ`. Sayyidah ’Âisyah berkata: ”Ketika itu kuketahui bahwa beliau diberi pilihan, dan beliau memilih bertemu dengan Allah.” Memang, menurut istri Nabi SAW. itu, beliau pernah mendengar Nabi SAW. bersabda; ”Tidak seorang nabi pun yang sakit (sakit yang membawa kematiannya) kecuali diberi pilihan antara dunia dan akhirat.” Selanjutnya Imam Bukhârî juga meriwayatkan keterangan ’Âisyah ra. bahwa Rasul SAW wafat di rumahku dan pada giliran hariku. Beliau wafat antara dada dan bawah leherku. Allah menggabungkan ludahku dan ludah beliau ketika wafatnya. Ketika itu saudara Abdurrahman datang mengunjungiku dan aku menyandarkan Rasulullah SAW di dadaku dan di tangan beliau ada siwak, lalu kulihat beliau memandang kepada siwak itu, maka ketika itu kuketahui bahwa beliau menyukainya. Maka kukatakan kepada beliau, “Apakah Rasul mau kuambilkan (untuk digunakan Rasul)? Beliau menganggukkan kepala, maka kuberikan kepada beliau, dan beliau memasukkan ke mulutnya, tetapi rupanya siwak itu terasa keras oleh beliau, sehingga memberikannya kembali kepadaku. Lalu aku berkata, “Maukah kulunakkan siwak ini untukmu?” Beliau menganggukkan kepala, mengiyakan, maka kulunakkanlah, setelah itu beliau menggosokkan (pada gigi beliau dengannya). Ketika itu di hadapan beliau ada wadah dari kulit atau kayu yang berisi air. Beliau memasukkan tangan ke wadah itu dan mengusap wajahnya sambil bersabda, “Lâ ilâha illallâh, sungguh ada sakarat bagi maut.” Kemudian beliau mengangkat tangannya dan berkata, al-Rafîq al- A’lâ (yakni menuju Teman Yang Maha Tinggi, Allah SWT) lalu wafatlah Rasul SAW. dan terjatuhlah juga tangan beliau (yang terangkat menunjuk ke atas tadi). Dalam riwayat lain dinyatakan –agaknya sebelum detik-detik itu juga- oleh Sayyidah ‘Âisyah bahwa, “Aku melihat Rasul SAW wafat dan ketika itu ada wadah yang berisi air (di samping beliau) maka beliau memasukkan tangannya di wadah itu sambil bermohon, “Ya Allah, Bantu aku atas (menghadapi) sakarat al-maut”. Muhammad ibn Ismâ’îl ibn al-Mughîrah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî (Kairo: Maktabah al-Syurûq, 2003), jil.13, hal. 359
3. Malaikat Maut dan Proses Pencabutan Nyawa
Menyangkut malaikat, kita hanya dituntut untuk mempercayai wujudnya sebagai makhluk yang diciptakan Allah. Mereka nyata, bukan maya, bukan ilusi dan bukan pula sesuatu yang menyatu dalam diri
manusia. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang taat, yang diberi tugas-tugas tertentu oleh-Nya, seperti membagi rezeki, memikul singgasana Ilahi, mencatat amal-amal manusia, menjadi utusan Allah kepada manusia dan lain-lain. Tetapi bagaimana cara mereka melakukan tugasnya, tidaklah wajib mempercayainya. Memang dari al Qur`ân dan sunnah Nabi SAW. baik sunnah shahih maupun dha’îf (lemah), ditemukan sejumlah rincian mengenai hal itu. Tetapi karena sifatnya tidak mutawâtir atau maknanya diperselisihkan, informasi tersebut tidak dapat dijadikan akidah. 40
Tentang Malaikat maut, al Qur’an menegaskan dalam beberapa ayat:
Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan." (QS. al-Sajadah: 11)
39 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 13, hal. 298 40 Shihab, Perjalanan Menuju…, h. 64-65
Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat- malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. (QS. al-An’âm: 61)
Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat
memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya. (QS. al-An’ân: 93)
Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat mencabut nyawa mereka seraya memukul-mukul muka mereka dan punggung mereka? (QS. Muhammad: 27)
(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun'alaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan". (QS. al-Nahl: 32)
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" (QS. al-Nisâ`: 97)
(yaitu) orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat zalim kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri
(sambil berkata); "Kami sekali-kali tidak ada mengerjakan sesuatu kejahatanpun". (Malaikat menjawab): "Ada, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan". (QS. al-Nahl: 28)
Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): "Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar", (tentulah kamu akan merasa ngeri). (QS. al-Anfâl: 50)
Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras. dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut. (QS. al-Nâzi’ât: 1-2)
Bahwa malaikat adalah perntara Allah dengan sesuatu yang lain. Hakekat ini terbaca jelas dalam ayat-ayat al-Qur`ân. Dalam hal kematian misalnya peranan mereka sangat jelas. Bukankah mereka yang bertugas mewafatkan suatu nyawa sebagaimana tersirat dalam QS. al-Sajdah:11 di atas. Quraish Shihab mengutip pendapat Al-Biqâî dalam menjelaskan makna ayat QS. al-Sajdah:11, sebagai berikut;
Bahwa penolakan kaum musyrikin itu disebabkan karena mereka menduga bahwa manusia tidak mungkin dapat bangkit dari kematiaannya setelah percampuran badan manusia yang telah lapuk dengan tanah. Ayat ini, menurut al-Biqâî menjawab keberatan mereka; ”Malaikat maut akan mencabut nyawa kamu secara sempurna dari jasad setelah sebelumnya telah bercampur dengan bagian-bagian badan, dan yang dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan atau dibedakan satu dengan yang lain. Itu dilakukan dengan mudah oleh salah satu hamba-hamba Allah. Begitu perintah Allah kepada malaikat untuk mencabut ruh yang menyatu dengan badan itu, serta merta badan menjadi lunglai dan terjatuhlah tanpa gerak, walau badan itu sendiri masih dalam keadaan utuh.” Kalau salah satu hamba-Nya dapat melakukan hal tersebut pada ruh yang demikian padat percampurannya dengan badan menjadi melebihi pencampuran sisa- Bahwa penolakan kaum musyrikin itu disebabkan karena mereka menduga bahwa manusia tidak mungkin dapat bangkit dari kematiaannya setelah percampuran badan manusia yang telah lapuk dengan tanah. Ayat ini, menurut al-Biqâî menjawab keberatan mereka; ”Malaikat maut akan mencabut nyawa kamu secara sempurna dari jasad setelah sebelumnya telah bercampur dengan bagian-bagian badan, dan yang dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan atau dibedakan satu dengan yang lain. Itu dilakukan dengan mudah oleh salah satu hamba-hamba Allah. Begitu perintah Allah kepada malaikat untuk mencabut ruh yang menyatu dengan badan itu, serta merta badan menjadi lunglai dan terjatuhlah tanpa gerak, walau badan itu sendiri masih dalam keadaan utuh.” Kalau salah satu hamba-Nya dapat melakukan hal tersebut pada ruh yang demikian padat percampurannya dengan badan menjadi melebihi pencampuran sisa-
Thabâthabâî menjelaskan bahwa, ”Sebenarnya kalian tidak binasa. Kematian bukanlah kelenyapan diri kamu. Tidak juga terkuburnya kamu akibat kamu hilang dan binasa. Malaikat maut yang bertugas mengambil nyawa kamu sebenarnya mengambil kamu dari badan kamu dalam keadaan sempurna. Dia mencabut ruh kamu dari badan kamu, hanya dalam arti memutus hubungan ruh itu dengan badan kamu, sedang
arwah kamu itulah hakekat kamu. ”Kamu” sebenarnya terpelihara, tidak ada sesuatu dari ”kamu” yang hilang atau binasa di bumi, yang hilang dan berubah hanya badan yang memang selama ini selalu berubah sejak kejadiannya. Kamu semua terpelihara sampai kamu kembali kepada Tuhan dengan kembalinya ruh ke jasad masing-masing.” 42
Pada ayat QS. al-Sajdah: 11 menunjuk pencabut nyawa sebagai satu malaikat, karena kata ( ﻚﻠﻣ) malak menunjuk kepada tunggal, jamaknya adalah kata ( ﺔﻜﺋﻼﻣ) malaikah . Sementara dalam QS. al-An’âm:61 disebutkan bahwa yang mewafatkan adalah ( ﺎﻨﻠﺳر) rusuluna yang berarti utusan-utusan kami (malaikat-malaikat kami). Di tempat lain Allah berfirman:
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya (QS. al-Zumar: 42)
41 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 11, hal. 188 42 Al-Thabâthabâî, al-Mîzân, jil.16, h. 252
Di sini maknanya jelas, bahwa yang mewafatkan adalah Allah SWT. Persoalan pertama yang muncul adalah apakah malaikat maut hanya satu malaikat atau banyak?
Ini terjawab dengan penjelasan sahabat Nabi SAW Ibn ’Abbâs, yang menyatakan bahwa malaikat maut yang satu itu mempunyai pembantu- pembantu, itulah yang dimaksud oleh ayat di atas dengan rasul-rasul Kami. Demikian dikemukakan oleh pakar riwayat dan tafsir, Ibn Jarîr al-
Thabarî. 43 Jawaban lain adalah berdasar kaidah kebahasaan. Bahasa membenarkan untuk menggunakan bentuk jamak, bila yang dimaksud adalah tiap sesuatu yang disebut dalam kelompok. Karena konteks ayat ini berbicara tentang manusia keseluruhannya, maka dari segi makna, jumlah mereka banyak. Selanjutnya karena setiap manusia itu dicabut ruhnya oleh satu malaikat –sedang manusia banyak– maka ayat ini dengan menggunakan bentuk tunggal untuk yang diwafatkan bermaksud menyatakan bahwa masing-masing ditangani oleh satu malaikat yang bertugas mencabut ruhnya. Inilah yang dimaksud oleh ayat di atas.
Jawaban lain dikemukakan oleh al-Jamâl dalam bukunya yang mengomentari Tafsîr al-Jalâlain, yaitu bahwa yang dimaksud dengan rusuluna adalah satu malaikat saja, yaitu malaikat maut, tetapi penggunakan jamak itu untuk mengisyaratkan keagungan dan kehebatan malaikat tersebut. 44
43 Abû Ja’far ibn Jarîr al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî; Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, (Baerut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), jil.5, h. 314
44 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 11, hal. 189-190
Pertanyaan kedua; siapa sebenarnya yang mewafatkan, malaikat atau Allah? Hal ini dapat dijawab dengan menyatakan bahwa yang mewafatkan adalah Allah SWT melalui perintah-Nya kepada malaikat maut agar mencabut nyawa dan merekalah yang dimaksud dengan utusan-utusan Kami. Ini dapat diilustrasikan dengan hasil tulisan. Yang menulis adalah komputer atau pena, tetapi yang menggerakkan alat itu adalah jari-jari atau tangan, sedang di ”belakang” tangan, ada otak yang
memerintah kepada tangan dan jari-jari agar bergerak. 45 Secara zhahir, cara atau proses kematian orang beriman dengan orang kafir terkadang tidak berbeda. Hal ini telah dijelaskan dalam sub bab sakaratul maut, bahwa setiap jiwa akan mengalami kepedihan saat naza’. Kondisi zhahir mengenaskan atau terlihat tenang dan damai inilah yang mampu disaksikan oleh mata manusia. Oleh karena itu, dalam al-Qur`ân dijelaskan bahwa Allah SWT lebih dekat dengan orang yang akan meninggal dibanding orang-orang yang berada di dekat orang tersebut. 46 Sebagaimana firman-Nya;
Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat (QS. al-Wâqi’ah: 85)
Esensi kematian yang dialami oleh orang-orang kafir diterangkan Allah SWT dalam QS. al-An’âm: 93 di atas, bahwa mereka akan diwafatkan sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" Di hari ini kamu dibalas dengan siksa
45 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 11, hal. 190 46 Mâhir Ahmad al-Shûfî, al-Maut wa ‘Alam al-Barzakh, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah,
2004), hal. 42 2004), hal. 42
Firman-Nya: "Keluarkanlah nyawamu", dipahami bukan dalam arti ucapan, karena kematian dan kehidupan bukanlah sesuatu yang berada dalam wilayah kemampuan manusia untuk meraih atau menampiknya. Atas dasar itu, perintah di atas dapat dipahami sebagai gambaran dari keengganan seseorang untuk meninggal dunia. Ini menggambarkan
betapa kasar dan kejam malaikat menghadapi mereka seakn-akan mereka berkata, ”Keluarkanlah nyawamu dari siksa yang akan kamu hadapi.” Memang semua orang enggan mati, tetapi seorang mukmin pada saat malaikat maut datang mengambil nyawanya melihat tempatnya kelak di surga. Ketika jiwanya merasa tenang dan senang bertemu dengan Allah, Allah pun senang bertemu dengannya. Sedang seorang durhaka, diperlihatkan kepadanya –saat sekarat- tempat yang akan dihuninya di neraka, sehingga hatinya gusar, tidak ingin mati, nyawanya bagaikan enggan keluar karena melihat dan menyadari apa yang akan dialaminya. 47
Sementara bagi seorang mukmin yang selalu mempertahankan ketakwaannya hingga akhir umurnya, sebagaimana dilukiskan dalam QS. al-Nahl: 32 di atas, (yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun'alaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”
47 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 4, hal. 202
Kata (! !!! ) thayyibîn adalah bentuk jamak dari kata (! !! ) thayyib. Kata ini dipahami juga dalam arti bebasnya sesuatu dari segala yang mengeruhkannya. Bahwa orang bertakwa dimatikan dalam keadaan thayyibin berarti bahwa mereka mati dalam keadaan yang sangat baik. Kematiannya tidak disertai oleh sesuatu yang mengeruhkannya. Mereka akan terhindar dari sû’ul-khâtimah dan kesulitan sakaratul maut. Oleh karena dikatakan kepada mereka, "Salâmun'alaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. Dalam ayat lain dikatakan:
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba- hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS. al-Fajr: 27-30)
Dengan demikian, esensi proses kematian yang dialami oleh orang- orang beriman adalah rahmat, meski secara zhahir cara mereka menjalani kematian terlihat menderita. Dan esensi kematian yang dialami oleh orang-orang kafir adalah azab, meski secara zhahir kematian mereka terlihat tenang dan damai.
Ungkapan di atas bukanlah penggambaran seluruh esensi proses kematian yang dialami oleh manusia. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa ada sesuatu yang bersifat zhahir yang dapat terbaca oleh penglihatan kita dan ada sesuatu yang bersifat batin dan tidak kita
ketahui. 48 Hal ini telah penulis kemukakan dalam pembahasan Sakarat al- maut di atas.
48 al-Shûfî, al-Maut wa ‘Alam al-Barzakh, hal. 45