Hikmah dan Tujuan al-Maut

C. Hikmah dan Tujuan al-Maut

Rasul Muhammad SAW bersabda, ”Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi (kematian).” 49 karena memahami perjalanan kematian akan mengajarkan kepada insan yang muslim agar terus berbuat amal saleh dalam segala hal, baik itu untuk kemaslahatan dirinya ataupun yang berhubungan dengan kehidupan sosial. Semuanya diaplikasikan dalam

bentuk amal perbuatannya, tadabburnya, dan pikirannya. 50 al-Qur`ân mengisyaratkan akan hikmah dan tujuan al-maut dalam berbagai ayat, diantaranya adalah :

1. Menanamkan Keimanan kepada Hidup dan Pembalasan setelah Mati

Dari sekian hikmah al-maut yang dijelaskan dalam al-Qur`ân, maka hikmah inilah yang mendapat perhatian yang serius, karena keyakinan akan kehidupan setelah mati merupakan salah satu pokok ajaran agama. Menelaah ayat-ayat kematian dalam al-Qur`ân mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa mati bukanlah punahnya kehidupan, semakin banyak ayat yang terkait dengan mati dikaji maka semakin jelas bahwa kematian merupakan awal kehidupan baru. Namun demikian penulis dalam hal ini tidak membahas kehidupan akhirat secara mendetail, penulis membatasi pembahasan ini hanya pada al-maut yang merupakan pintu kehidupan akhirat tersebut.

49 Diriwayatkan oleh al-Nasâ`i dari Abû Hurairah, lihat Sunan al-Nasâ`i bi Syarh al hafîzh Jalâl al-Dîn al-Sayûthî, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1995), juz 4, bab al-Janâiz, h.5

50 ‘Alî Muhammad Lagha, Rihlah al-Maut; Hikmah al-Maut wa atsaruhâ fî I’tidâl al-Hayâh al-Islâmiyyah, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1989), Cet. I, hal. 14

Ayat-ayat al-Qur’ân dan Hadis Nabi menunjukkan bahwa kematian bukanlah ketiadaan hidup secara mutlak, tetapi ia adalah ketiadaan hidup di dunia, dalam arti bahwa manusia yang meninggal pada hakekatnya masih tetap hidup di alam lain dan dengan cara yang tidak dapat diketahui sepenuhnya.

Janganlah kamu menduga bahwa orang-oarng yang gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka hidup disisi Tuhannya dengan mendapat

rezeki (QS. `Âli ’Imrân: 169).

Janganlah kamu mengatkan terhadap orang-orang yang meninggal di jalan Allah bahwa ”mereka itu telah mati”, sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS. al-Baqarah: 154).

Namun manusia yang tidak beriman dan tidak berfikir akan berkata bahwa kematian adalah kejadian biasa yang terjadi pada setiap yang hidup, mereka menduga bahwa kematian disebabkan karena usang dimakan waktu dan tidak akan dibangkitkan setelah kematian. Perkataan mereka disindir Allah dalam al-Qur`ân:

Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada bantahan mereka selain dari mengatakan: "Datangkanlah nenek moyang kami jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. al-Jâtsiyah:24-25)

Kaum musyrikin dalam ucapannya yang direkam ayat di atas

mendahulukan kata ( ! !! ) namût / kita mati atas ( !!! ) nahyâ / kita hidup, padahal mereka berbicara tentang ”kehidupan” sehingga boleh jadi ada yang berkata: ”Mestinya kata kita hidup yang didahulukan.” hal ini disamping untuk menyesuaikan nada penggalan sebelumnya yakni kata ( !!!! !! ) al-dunyâ dengan kata nahya juga karena mereka bermaksud memberikan

Mereka hendak menggarisbawahi bahwa kematian adalah akhir perjalanan wujud

manusia dan tiada kebangkitan sesudahnya. 51 Namun Allah membantahnya dengan firman-Nya:

Katakanlah: "Allah-lah yang menghidupkan kamu kemudian mematikan kamu, setelah itu mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya; akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. al-Jâtsiyah:26)

Allah tidak menyambut usul mereka, karena keimanan yang dituntutnya berkaitan dengan Hari Kemudian adalah iman yang mengandung ujian dalam bentuk kepercayaan kepada yang gaib. Jika nenek moyang mereka dihidupkan maka unsur ujiannya tidak akan terpenuhi. Di sisi lain mereka pun dapat berkata ketika itu bahwa ”Kami disihir/hipnotis.” Karena itu Allah memerintahkan Rasulullah SAW menyampaikan

kekuasaan-Nya menghidupkan dan mematikan. Bahwa Allah kuasa menghidupkan

51 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 13, h. 57 51 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 13, h. 57

menghidupkan sesuatu yang sama sekali belum mengalami hidup sebagaimana keadaan manusia pertama kali? 52

Kesadaran tentang mati sebenarnya ada pada setiap manusia baik yang beriman atau mereka yang kafir terhadap Allah. Hal itu tercermin dari banyak ayat yang merekam ucapan manusia bahwa mereka pasti akan mati, hanya saja mereka mengingkari kebangkitan setelah mati. Ada sekitar 10 ayat yang menjelaskan hal ini, diantaranya;

Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu sesungguhnya akan dikeluarkan (dari kuburmu)? (QS. al-Mu`minûn: 35)

Mereka berkata: "Apakah betul, apabila kami telah mati dan kami telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan ? (QS. al-Mu`minûn: 82)

52 Muhammad al-Râzî Fakhruddîn ibn al-‘Allâmah Dhiyâ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1994), jil.14, h. 272

Apakah kami setelah mati dan setelah menjadi tanah (kami akan kembali lagi) ?, itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin.? (QS. Qâf: 3)

Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: "Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (Tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui, (QS. al-Nahl: 38)

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa siapa pun manusianya pasti sadar bahwa dirinya pasti akan mati, hanya saja mereka yang tidak beriman mengingkari kehidupan setelah mati, bahkan mereka bersumpah bahwa Allah tidak mampu untuk membangkitkan orang mati.

Allah SWT melalui al-Qur`ân mengajak semua manusia, baik yang membantah dan menolak secara jelas keniscayaan Hari Kebangkitan maupun yang masih ragu, untuk merenungkan kuasa Allah dan bukti keniscayaan hari Kebangkitan. Allah berfirman:

”Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada ”Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada

Kuasa atas segala sesuatu. dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur ” (QS. al-Hajj: 5-7)

Al-Qur`ân juga memberikan argumentasi logika yang mudah dicerna akal manusia dalam meyakinkan bahwa Allah kuasa menghidupkan orang yang telah mati dalam banyak ayat, karena hendak memastikan dan menanamkan keyakinan bahwa mati bukan kepunahan, tapi ia

adalah awal dari kehidupan baru. 53 Bagi Allah adalah mudah, sebagaimana firman-Nya:

”Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling? (QS. al- An’âm: 95)

Demikianlah semua makhluk yang perkembangannya terus berputar di dalam alam yang nyata ini, apalagi kalau kita melihat penciptaan

53 al-Râzî , Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib, jil.12, h. 11 53 al-Râzî , Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib, jil.12, h. 11

marhalah 54 (tahapan). Sebagaimana Allah SWT berfirman:

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air

mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat. (QS.Al-Mu`minûn: 12-16)

Allah SWT memberikan suatu kesamaan tentang Penciptaan kembali manusia setelah mati laksana Dia menciptakan tumbuh-tumbuhan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur`ân:

Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah

54 al-Râzî , Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib, jil.12, h. 85

Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran (QS. al-A’râf: 57)

Sebagaimana Allah jadikan bumi yang tandus itu menjadi subur, demikian pula Allah mampu menghidupkan kembali jasad-jasad yang sudah menjadi debu dan hancur lebur di hari kiamat kelak. Ali Muhammad Lagha mengutip pendapat al-Sya’râwî sebagai berikut:

”Sungguh Allah SWT menjadikan kematian itu sebagai peristiwa yang membuktikan adanya suatu kehidupan sedangkan kematian lawan dari suatu kehidupan, maksudnya bahwa hidup itu ada dan lawan

daripada kehidupan adalah kematian, karena sesuatu muncul sebagai pembandingnya. Perumpamaannya seperti kita yang hendak

membangun suatu bangunan, maka kita mulai membangun tingkat yang pertama namun apabila kita hendak menghancurkan bangunan tersebut, kita mulai dari tingkat yang paling akhir, bila aku hendak melakukan suatu perjalanan dan sampai ke tempat tujuan itu, kemudian aku hendak kembali, maka aku mulai dari titik paling akhir dari tempat tujuan itu, inilah merupakan suatu hal yang menggambarkan langkah-langkah kita pertama ketika kita hendak kembali.” 55

Beberapa jawaban Allah melalui ayat-ayat al-Qur`ân adalah sebagai berikut:

Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya). (QS. al-‘Ankabût: 63)

Para ilmuwan menegaskan bahwa air meresap ke dalam bumi, melarutkan unsur-unsur kimia di dalam tanah yang dihisap oleh tumbuh-

55 Lagha, Rihlah al-Maut..., h. 31-32 55 Lagha, Rihlah al-Maut..., h. 31-32

Ayat-ayat di atas memberikan penjelasan tentang tanda-tanda kekeuasaan Allah dalam membangkitkan manusia atau makhluk-Nya yang telah mati. Seakan Allah hendak mengingatkan bahwa sebenarnya yang mereka ingkari bukanlah kehidupan dan kebangkitan setelah mati, tetapi mereka mengingkari dan meragukan kekuasaan dan kemampuan Allah dalam hal kebangkitan ini. Maka pantaslah kalau Allah mempertanyakan tentang keingkaran mereka, (al-Baqarah; 28)

Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya

kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?

Isyarat lain yang dapat ditangkap dari ayat-ayat di atas adalah bahwa redaksi yang digunakan menunjukkan kepada fâ’il atau pelaku mutlak yaitu Allah yang pasti mampu berbuat seperti yang digambarkan dalam ayat-ayat tersebut. Sehingga kalaulah mereka ditanya tentang siapakah yang mampu menurunkan hujan dan mampu menumbuhkan bumi

56 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 10, hal. 536 56 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 10, hal. 536

Demikianlah Allah menggugah hati yang mati dengan ayat-ayat-Nya, melalui argumentasi logika yang dapat diterima oleh siapa pun, baik yang berilmu atau yang awam, al-Qur`ân menjawab semua karaguan tentang

kebangkitan dan kehidupan setelah mati. 57 Hal ini juga telah ditegaskan kepada manusia pertama Nabi Adam as

yang diturunkan ke bumi ini, bahwa dia dan keturunannya akan hidup dan mati di bumi, dan kelak dari bumi juga mereka akan dibangkitkan, sebagaimana firman Allah SWT;

Allah berfirman: "Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan (QS. al-A’râf: 25)

Demikianlah al-Qur`ân dengan bahasanya yang indah mengantarkan manusia kepada keyakinan bahwa kehidupan setelah mati adalah benar dan pasti terjadi. Setelah keyakinan ini tertanam dalam jiwa manusia, selanjutnya al-Qur`ân mengingatkan bahwa kehidupan baru merupakan masa pembalasan terhadap amal yang telah diperbuatnya selama hidup di dunia ini, sebagaimana firman Allah SWT:

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan

57 Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, (Cairo: Dâr Akhbâr al-Yaum, 1991), jil.1, h.223 57 Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, (Cairo: Dâr Akhbâr al-Yaum, 1991), jil.1, h.223

merasakan/mencicipi kematian, untuk mengisyaratkan bahwa ia adalah mukadimah dari sesuatu. Bukankah jika Anda mencicipi sesuatu, anda mengetahui

kemudian setelah dirasakan/dicicipi ia akan dimakan dalam kadar yang lebih banyak dari apa yang dicicipi itu? Sakit yang dirasakan dalam kematian atau kenikmatan adalah bagian kecil dari kepedihan dan nikmat yang akan dirasakan. Untuk diketahui bahwa bagi orang mukmin mati adalah nikmat, karena sesaat sebelum datangnya kematian malaikat datang menunjukkan tempatnya di surga. 58

Dalam ayat tersebut, Allah memberikan motivasi kepada manusia, terutama yang istiqamah dalam memperjuangkan agama-Nya, ”Kamu akan diberikan ganjaran pada hari kiamat”. Kemudian akan dimasukkan tempat yang abadi selama-lamanya, ”Barangsiapa yang dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh dia mendapat suatu keberuntungan”. Maka tidaklah patut bagi mereka yang meyakini tentang kehidupan setelah mati dan ganjaran dari perbuatannya, bersedih atau putus asa akan nasibnya di dunia ini, sebaliknya ia akan selalu bergembira dengan janji-janji Allah yang akan diperolehnya di akhirat. Apalagi setelah ia yakin bahwa hanya dengan ”pintu” kematian ia akan

58 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 2, hal. 300 58 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 2, hal. 300

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan. (QS. al-Ankabût: 57)

Ayat-ayat yang semisal ini banyak jumlahnya, diantaranya:

Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan

dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu

dikembalikan? (QS. al-Baqarah: 28)

Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan (QS. `Âli ‘Imrân: 158)

Sesungguhnya Kami menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada Kami-lah tempat kembali (semua makhluk).(QS. Qâf: 43)

Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS. al-Jumu’ah: 8)

Bila keyakinan dan kerinduan seorang mukmin kepada kehidupan akhirat telah menghujam dalam lubuk hati mereka, maka pantas kalau sebagian mereka mengaharap kematian dalam peperangan, sebagaimana firman-Nya:

59 al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, jil.3, h.1924-1025

Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu menghadapinya; (sekarang) sungguh kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya. (QS. Âli ‘Imrân: 143). 60

Berbeda dengan sindiran Allah kepada kaum Yahudi yang mengaku bahwa bahwa akhirat hanya milik mereka saja, Allah menyuruh mereka untuk mengharap kematian;

Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian(mu), jika kamu memang benar. Dan sekali- kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya. (QS. al-Baqarah: 94-95)

Seperti terbaca pada ucapan kaum Yahudi dalam ayat-ayat lain; Bahwa hanya beberapa hari mereka di neraka dan bahwa surga diciptakan buat mereka, karena mereka adalah kinasih-kinasih Allah. Ayat ini dikemukakan di sini untuk membantah hal tersebut sehingga menyatu beberapa bantahan dalam satu kesempatan, walaupun persoalan yang dibantah tidak disinggung oleh beberapa ayat yang lalu. Demikian pendapat Sayyid Quthb. 61

60 Disini, mereka dikecam karena mengharap pertemuan dengan musuh tetapi ternyata ketika kesempatan telah diberikan, mereka berpaling. Sikap mereka, ingin bertemu dengan lawan dikecam

sebagaimana dikecam juga keengganan mereka berjuang. Itu sebabnya, dalam satu riwayat Rasulullah SAW mengingatkan: ”Wahai manusia, janganlah mengharapkan pertemuan dengan musuh (peperangan), mohonkanlah perlindungan Allah, tetapi kalau bertemu mereka (dalam perang) maka sabar / tabahlah, dan ketahuilah bahwa surga di bawah bayang-banyang / naungan pedang” Lihat al- Naisâbûrî, Shahîh Muslim, bab Karâhah Tamannî liqâ’ al-’Aduw, h. 691

61 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, (Cairo, Dâr al-Syurûq, 1992), juz 1, h. 92

Karena itu dalam rangka membuktikan kebenaran ucapan mereka, “Jika kenikmatan di negeri akhirat itu kamu anggap khusus untuk kamu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian.” Karena semakin percaya seseorang akan indah dan nikmatnya sesuatu semakin ingin ia segera menemuinya, dan karena keinginan mati dapat menjadi bukti hubungan baik dengan Allah, jika kamu benar yakin bahwa kenikmatan akhirat hanya buat kamu. Namun setelah disampaikan

kepada mereka tidak seorang pun yang bersedia untuk mati. Ini disebabkan karena apa yang telah diperbuat oleh tangan mereka sendiri, yakni kezhaliman dan dosa-dosa. Dan Allah Maha Mengetahui orang- orang yang aniaya.

Ibnu Qayyim menafsirkan ayat di atas dengan mengemukakan pendapat Muhammad bin Ishâq dan yang lainnya, bahwa ini termasuk

ayat mubâhalah. 62 Kata ( ! !!!!!!!!! ) artinya mintalah kematian dan

berdoalah agar kematian itu ditimpakan kepada orang yang berdusta dan batil. Lebih lanjut Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa maksud ayat bukan

menginginkan kematian bagi diri diri sendiri, tapi mintalah kematian dan inginilah ia bagi pihak yang batil. Hal ini lebih pas untuk hujjah, merupakan penjelasan yang adil dan lebih bisa menghindari serangan balik dari mereka dengan berkata, “Kalian juga harus menginginkan

62 Mubahalah adalah berdoa agar kematian dan kebinasaan ditimpakan kepada pihak yang berdusta dan membual, hal ini pernah disampaikan Rasulullah kepada mereka yang mengingkarinya,

sebagaimana tercantum dalam firman-Nya: “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak- anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta” (QS. `Âli ‘Imrân:61) sebagaimana tercantum dalam firman-Nya: “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak- anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta” (QS. `Âli ‘Imrân:61)

Perintah kepada mereka agar menginginkan kematian tidak bertentangan dengan larangan Nabi SAW bagi umat Islam untuk menginginkan kematian. Karena perintah ini berkaitan dengan pembuktian ucapan-ucapan mereka, sedang larangan Nabi SAW

berkaitan dengan keputus-asaan menghadapi kesulitan hidup. 64 Di sisi lain, keinginan untuk mengorbankan diri dan mati sebagai syahid, sama

sekali tidak terlarang dalam agama. Bukankah Allah membeli dari orang- orang beriman jiwa dan harta mereka sebagaimana disebutkan dalam sekian banyak ayat? 65

2. Ujian bagi Manusia untuk Memperbaiki Amal.

Keimanan kepada kehidupan setelah mati akan membawa manusia untuk bersikap tanggungjawab atas segala perbuatan yang dilakukan, bahwa ia akan mendapat pembalasan dari perbuatannya. Karena itu Allah menciptakan mati dan hidup sebagai ujian bagi manusia untuk memperbaiki amalnya, sebagaimana firman-Nya:

63 al-Jauziyyah, al-Tafsîr al-Qayyim, edisi Indonesia Tafsîr Ibnu Qayyim; Tafsîr Ayat-ayat Pilihan, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 155

64 Diriwayatkan Muslim dan Bukhârî bahwa Anas ra. berkata, Rasulullah bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengharap kematian karena cobaan yang tengah menimpanya.

Jika ia memang harus mengharapkan kematian, hendaklah ia berdoa, ‘Ya Allah, peliharalah hidupku jika itu yang terbaik bagiku, dan metikanlah aku jika itu yang terbaik bagiku.’ Lihat al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, bab Karâhah Tamannî al-Maut, h. 1034

65 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 1, h. 269 dan lihat QS. al-Taubah: 111

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS. al-Mulk: 2) Kata ( ! !!! ) al-maut / mati biasa diperhadapkan dengan ( !!!! ! ) al-hayah.

Bahkan dalam al-Qur`ân jumlah kata al-maut dan yang seakar dengannya sebanyak jumlah kata al-hayah dan yang seakar dengannya yakni 145

kali. 66 Kematian manusia dalam pentas bumi ini bukanlah ketiadaan. Ia masih wujud tetapi berpindah ke alam lain. Itulah salah satu yang diisyaratkan oleh kata manciptakan kematian. Ada juga yang memahami mati dalam arti ketiadaan wujud. Yang memehami demikian, memahami ayat di atas dalam arti Allah menciptakan sebab-sebab kematian. Kalaupun kematian diartikan dengan ketiadaan, maka itu hanya berarti ketiadaan di pentas bumi.

Penyebutan kata mati dan hidup dari sekian banyak tanda-tanda kodrat dan kuasa-Nya, agaknya disebabkan karena kedua hal ini merupakan bukti yang paling jelas tentang kuasa-Nya dalam konteks manusia. Hidup tidak dapat diwujudkan oleh selain-Nya dan mati tidak dapat ditampik oleh siapa pun.

Ujian menyangkut hidup dan mati dipahami oleh sementara ulama dalam arti musibah kematian yang menimpa keluarga atau teman seseorang, demikian juga anugerah kehidupan serta kelahiran,

66 Shihab, Tafsir al-Mishbah…,vol. 14, h. 342 66 Shihab, Tafsir al-Mishbah…,vol. 14, h. 342

Al-Thâbathâî memahami ayat di atas dalam arti: Allah menciptakan kematian dan kehidupan agar kamu hidup, lalu menguji kamu siapakah yang terbaik amalnya, lalu kamu mati maka kamu diberi balasan sesuai dengan hasil ujian tersebut. Ulama ini menambahkan: ”Karena tujuan yang terpenting dari penggalan ayat ini adalah pembalasan tersebut”, maka ayat di atas mendahulukan kata (! !!!) al-maut/mati. 68

Sedangkan Sayyid Quthub mengomentari ayat di atas dengan menyatakan bahwa: Kematian dan kehidupan adalah ciptaan Allah, ayat ini (bertujuan) membentuk hakikat tersebut dalam benak manusia dan mendorongnya untuk selalu sadar akan tujuan dibalik penciptaan itu, yaitu bahwa kematian dan kehidupan bukanlah kebetulan atau tanpa pengaturan, tetapi ada tujuannya yakni ujian untuk menampakkan apa yang tersembunyi dari ilmu Allah menyangkut tingkah laku manusia di pentas bumi ini serta bahwa mereka wajar memperoleh balasan.

67 Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ibn Hâtim dari Qatâdah: “Sesungguhnya Allah menundukkan anak Adam dengan mati, dan menjadikan dunia ini tempat hidup

kemudian mati, dan menjadikan akhirat tempat pembalasan kemudian kekal selamanya.” Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, juz 4, hal. 396

68 al-Thabâthabâî, al-Mîzân, jil.19, h. 349

Kemantapan hakikat ini dalam benak manusia akan menjadikannya selalu awas dan waspada memperhatikan dengan penuh kesadaran yang kecil dan yang besar, baik dalam niat yang terpendam dalam hati, maupun dalam pengalaman yang nampak di alam nyata. Itu menjadikan manusia tidak lengah, atau lalai dan tidak juga menjadikan ia merasa tenang sehingga beristirahat tidak melakukan upaya. Dari sini – lanjut Sayyid Quthub – ayat di atas ditutup dengan menyatakan bahwa Dia

Maha Perkasa lagi Maha Pengampunan agar menuangkan ketenangan di dalam hati siapa yang memperhatikan tuntunan Allah dan takut kepada- Nya, karena Allah Maha perkasa tetapi juga Maha Pengampun. Demikian lebih kurang Sayyid Quthub. 69

Firman-Nya: ( ! !!!! ! ! !!! ! !! ) ayyukum ahsanu ’amal(an) / siapa yang

lebih baik amalnya tentu saja mengandung pengertian bahwa Allah mengetahui siapa yang lebih baik amalnya, karena tidak dapat diketahui siapa yang terbaik, bila tidak mngetahui secara menyeluruh semua yang

baik, dan tidak dapat diketahui siapa yang terburuk bila tidak diketahui siapa yang buruk amalnya. Bahwa ayat di atas tidak menyebut siapa yang terburuk, untuk mengisyaratkan bahwa sebenarnya berlomba dalam

kebaikan itulah yang seharusnya menjadi perhatian manusia. Penyebutan sifat ( !!!!!! ) al-’azîz / maha Perkasa terkesan ditujukan kepada para pembangkang yang wajar dijatuhi hukuman, dan ( !!!!!! ) al-Ghafûr / Maha

Pengampun kepada yang menyadari kesalahannya dan melangkah mendekatkan diri kepada Allah SWT. 70

69 Sayyid al-Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, (Cairo: Dâr al-Kutub al-’Arabiyyah, tt), juz 29, h.11-12 70 al-Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, juz 29, h.12

Allah menetapkan yang demikian itu untuk menguji keadaanmu, untuk mengetahui kebajikan dan kejahatanmu, dan untuk mengetahui siapa diantara kamu yang lebih baik amalannya, lebih baik keikhlasannya, lebih jauh dari segala yang diharamkan, dan lebih cepat kepada ketaatan. Ringkasnya, hidup ini adalah tempat ujian, sedangkan mati adalah masa pembalasan. 71

Dalam ayat lain Allah menerangkan tentang jenis ujian bagi manusia yang pasti akan mati, sebagaimana firman-Nya:

Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS. al-Anbiyâ`: 34-35)

Ibnu Katsîr menafsirkan ayat di atas sebagai berikut; Kami (Allah) tidak menjadikan hidup kekal di dunia ini bagi seorang manusia pun sebelum engkau hai Muhammad, semua yang berada di atas bumi ini akan mati dan hanya Dzat Tuhanmu yang kekal abadi. Apakah jika engkau mati hai Muhammad, mereka mengira bahwa mereka akan hidup kekal. Hal yang demikian itu tidak mungkin, semuanya akan mengalami kematian. Tiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Dan Kami

71 Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Tafsîr al-Qur`ân al-Majîd al-Nûr, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), jil.5, hal. 4289 71 Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Tafsîr al-Qur`ân al-Majîd al-Nûr, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), jil.5, hal. 4289

Setelah Allah menjelaskan bahwa tujuan penciptaan kematian dan kehidupan sebagai ujian untuk memperbaiki dan berlomba dalam amal kebaikan, maka melalui ayat ini Allah menjelaskan jenis ujian bagi jiwa yang akan merasakan mati, yaitu berupa keburukan dan kebaikan, kemiskinan dan kekayaan, musibah dan kenikmatan, kesempitan dan kelapangan dan sebagainya. Hal ini juga mengisayaratkan bahwa hidup manusia tidak pernah luput dari ujian, karena hidup hanya berkisar pada baik dan buruk. Ujian dengan kebaikan biasanya lebih sulit dari pada ujian dengan malapetaka, karena manusia biasanya lupa daratan di kala dia senang, sedang bila dalam kesulitan, dia lebih cenderung butuh sehingga dorongan untuk mengingat Allah menjadi lebih kuat.

Agaknya kesimpulan dari hikmah al-maut dapat diperoleh dari firman Allah berikut ini:

72 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân…, jil.3, hal. 183

Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur (QS. `Âli ‘Imrân: 145) 73

Ayat ini memberi semangat keberanian kepada orang-orang yang pengecut dan penakut agar mereka mau terjun ke medan perang. Sebab maju ke depan melawan musuh atau lari ke belakang tidak akan

mengurangi umur seseorang atau menambahnya, karena kematian jiwa adalah atas izin Allah dan sudah ditetapkan waktunya yang tidak akan

dimajukan atau diakhirkan. Selanjutnya Allah SWT berfirman barangsiapa beramal sebelum datang kematiannya untuk mengejar hasil duniawi pasti memperolehnya sesuai apa yang ditakdirkan Allah baginya, dan kelak di akhirat tidak mendapat bagian. Sebaliknya yang bertujuan dengan amalnya untuk memperoleh pahala di akhirat akan dianugerahkan oleh Allah pahala itu

73 Ayat ini dan sebelumnya (ayat 144) turun tatkala pasukan Muslimin dikalahkan dalam perang Uhud dan gugur beberapa orang di antara sahabat Rasulullah SAW sebagai syuhada, sedang

Rasulullah sendiri terkena luka di kepalanya, tersiar isyu yang ditiupkan oleh Syetan; bahwa Muhammad telah terbunuh. Bahkan seorang bernama Ibnu Qami’ah mengaku telah membunuh Rasulullah SAW padahal ia hanya memukul Beliau di kepalanya, sehingga menyebabkan terluka. Tersiarnya kabar bohong ini berkesan dalam hati banyak sahabat Rasulullah SAW dan mengacaukan barisan kaum muslimin, sehingga terjadilah kelemahan dan kelesuan untuk melanjutkan pertempuran dan perlawanan terhadap pihak musyrikin. Maka dalam keadaan demikian itu diturunkan oleh Allah ayat ini untuk menemteramkan hati kaum muslimin dan membantah kata-kata bohong itu. Diceritakan oleh Ibnu Abî Nujaih dari ayahnya, bahwa seorang sahabat Muhajirin bertanya kepada seorang sahabat Anshar yang masih berlumuran darah, “Hai Fulan, apakah engkau merasa atau mendengar bahwa Muhammad SAW terbunuh” Sang Anshar menjawab, “Jika Muhammad SAW terbunuh, maka ia telah menyampaikan (risalahnya). Bertempurlah terus membela agamamu.” Kemudian turunlah ayat ini. Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân…, jil.1 hal. 409 Rasulullah sendiri terkena luka di kepalanya, tersiar isyu yang ditiupkan oleh Syetan; bahwa Muhammad telah terbunuh. Bahkan seorang bernama Ibnu Qami’ah mengaku telah membunuh Rasulullah SAW padahal ia hanya memukul Beliau di kepalanya, sehingga menyebabkan terluka. Tersiarnya kabar bohong ini berkesan dalam hati banyak sahabat Rasulullah SAW dan mengacaukan barisan kaum muslimin, sehingga terjadilah kelemahan dan kelesuan untuk melanjutkan pertempuran dan perlawanan terhadap pihak musyrikin. Maka dalam keadaan demikian itu diturunkan oleh Allah ayat ini untuk menemteramkan hati kaum muslimin dan membantah kata-kata bohong itu. Diceritakan oleh Ibnu Abî Nujaih dari ayahnya, bahwa seorang sahabat Muhajirin bertanya kepada seorang sahabat Anshar yang masih berlumuran darah, “Hai Fulan, apakah engkau merasa atau mendengar bahwa Muhammad SAW terbunuh” Sang Anshar menjawab, “Jika Muhammad SAW terbunuh, maka ia telah menyampaikan (risalahnya). Bertempurlah terus membela agamamu.” Kemudian turunlah ayat ini. Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân…, jil.1 hal. 409

Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat (QS. al-Syûrâ: 20) Barangsiapa telah tertanam di hatinya keimanan tentang kehidupan

setelah mati, maka ia akan beramal dengan sebaik-baiknya untuk bekal di kehidupan selanjutnya. Dunia bagi seorang muslim adalah laksana ladang untuk akhirat, semakin banyak yang diraih di kehidupan dunia ini dan digunakan untuk kepentingan akhirat, semakin banyak pula ganjaran yang akan diperolehnya di akhirat, sebagaimana Allah mengajarkan doa untuk meraih hasanah (kebaikan) di dunia dan hasanah di akhirat. Oleh karena itu, melalui ayat di atas Allah hendak memfokuskan mereka kepada suatu hal yang membuat mereka cinta akan mati dan menjauhkan dari hawa nafsu, karena pada hakikatnya bukanlah mati sebenarnya yang harus ditakuti namun kekhawatiran yang utama adalah sudahkah mempersiapkan bekal amal yang mencukupi untuk kehidupan setelah mati?