Berinfak dan Membelanjakan Harta di Jalan Allah

7. Berinfak dan Membelanjakan Harta di Jalan Allah

Harta benda merupakan faktor yang sering melalaikan orang dan menyibukkannya bila hati tidak selalu waspada dan mengetahui puncak tujuan dari keberadaannya. Juga bila hati tidak menyadari bahwa sesungguhnya ia memiliki target yang tinggi sesuai dengan kualitas makhluknya yang diciptakan oleh Allah dan ditiupkan kepadanya ruh ciptaan-Nya. Ruh ciptaan-Nya tersebut selalu menyemangati manusia untuk mencapai dan mewujudkan sifat-sifat Ilahiah dalam batasan kemampuannya sebagai manusia. 54

54 al-Marâghî , Tafsîr al-Marâghî , vol.2. h.238 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.10, h.127

Mengenai persoalan ini, Allah SWT. memberikan bimibngan untuk menyentuh mereka dalam tema infak dengan sentuhan-sentuhan yang bermacam-macam. Sebagaimana yang tertera dalam QS. al-Munâfiqûn ayat 10 Firman Allah berbunyi:

"Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata:"Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh" (QS. al-Munâfiqûn: 10)

Sayyid Quthb memberikan penjelasan bahwa, Allah mengingatkan mereka di sini dengan Sumber dari segala rezeki yang ada di tangan mereka. Jadi ia dari sisi Allah yang mereka imani dan Tuhan yang menyuruh mereka untuk berinfak. Sehingga, dia akan meninggalkan segala sesuatu dari harta bendanya untuk orang lain dan para ahli warisnya. Kemudian dia baru sadar setelah melihat bahwa ternyata tidak ada satu pun yang dia infakkan untuk dirinya sendiri, dan hal itu merupakan tindakan paling bodoh dan kerugian yang paling merugikan. Kemudian barulah dia berkhayal dan berangan-angan seandainya dia dimundurkan sedikit dari waktu ajalnya sehingga dia bisa berinfak dan bersedekah agar termasuk dalam golongan orang-orang yang saleh. 55

Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa orang-orang yang tidak mempersiapkan bekal untuk matinya kelak pasti akan menyesal, bahkan ia minta kepada Allah agar dikembalikan ke alam dunia agar ia dapat

55 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.10, h.127 55 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.10, h.127

Allah telah menganugerahkan harta benda dan anak-anak agar manusia menjadi khalifah di muka bumi ini, bukan untuk melalaikan mereka dari berzikir kepada Allah dan berhubungan dengan Sumber

segala sesuatu yang dibutuhkannya sebagai manusia. Barangsiapa yang lalai dari berhubungan dengan Sumber itu dan melalaikan dirinya dari berzikir kepada Allah agar menjadi sempurna hubungan itu, maka

"mereka itulah orang-orang yang rugi". 56 Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh al-Qur`ân surat al-Munâfiqûn ayat 9 berbunyi:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah hrata-hartamu dan anak- anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (QS. al-Munâfiqûn: 9)

Hal pertama yang menjadikan mereka merugi adalah kehilangan karakter dan ciri itu, yaitu karakter dan ciri sebagai manusia. Jadi, karakter dan ciri itu sangat bergantung kepada hubungan dengan Sumber yang membuat manusia sebagai manusia. Barangsiapa yang kehilangan dirinya sendiri, maka dia telah kehilangan segalanya, walaupun dia memiliki harta benda dan anak-anak.

56 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.10, h.127

Dari penjelasan ayat di atas, mafhum bagi kita bahwa bersegeralah berbuat kebaikan seperti halnya bersadaqah sebelum ajal menjemput kita. Karena semua amal kebaikan akan terputus setelah datangnya kematian kecuali tiga perkara, seperti yang dijelaskan dalam hadis nabi saw. sebagai berikut:

"Apabila seorang anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah segala amalannya melainkan dari tiga perkara; yaitu, ilmu

yang dapat diambil kemanfaatannya, sadaqah jariyah (yang mengalir pahalanya), dan anak yang saleh yang suka mendo'akan keselamatan orang tuanya" (HR. Muslim)

Infak pada hakikatnya bukanlah memberi melainkan mengambil, tidak mengurangi melainkan menambah. Gelombang pemberian dan perkembangan itu terus berjalan di jalannya, lalu melipatkan perasaan yang terpesona oleh pemandangan tentang tanaman dan hasilnya itu. Allah melipatgandakan pahala bagi siapa yang dikehendaki-Nya, melipatgandakannya tanpa perhitungan dan hisab. Sesuai dengan firman Allah berbunyi:

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. al- Baqarah:261)

Dalam mensyariatkan infak, Islam tidak hanya semata-mata menutup keperluan, mengisi perut, dan memuhi kebutuhan. Tidak demikian.

Tetapi, Islam hendak mendidik, membersihkan, dan menyucikan jiwa si pemberi. Dengan tujuan untuk membangitkan rasa kemanusiaannya dan untuk menjalin hubungan dengan saudaranya yang fakir karena Allah dan karena sama-sama sebagai manusia. Juga untuk mengingatkannya akan nikmat Allah atas dirinya yang disertai dengan ikatan janji untuk memakan nikmat itu dengan tidak berlebihan dan tidak congkak. Dan, dianjurkannya agar berinfak "di jalan Allah" dengan tidak ada rasa enggan dan menyebut-nyebut pemberian. 57

Di samping itu, Islam juga bermaksud menyenangkan dan memberi kemurahan kepada si penerima, serta untuk menguatkan hubungannya dengan saudaranya sesama hamba Allah dan sesama manusia. Juga untuk menjalin persaudaraan antar jamaah agar mereka hidup di atas prinsip saling menanggung dan saling membantu. Diingatkannya dia akan kesatuan unsurnya, kesatuan kehidupannya, kesatuan arahnya, dan kesatuan tugasnya. Akan tetapi, menyebut-nyebut pemberian akan menghilangkan semua itu dan mengubah infak menjadi racun dan api. 58

Melaui infak, al-Qur`ân mengajak manusia untuk mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati, karena pada saat ajal tiba, semua manusia menyesali dirinya baik mereka yang berbuat baik ataupun yang mereka yang ingkar. Bagi yang telah berbuat baik dengan segala amal shaleh termasuk infak, ia menyesal karena terlalu sedikit yang ia persiapkan. Apalagi bagi mereka yang ingkar dan kikir, mereka akan menyesal sehingga ruh mereka harus dipukul malaikat agar keluar dari jasadnya, karena mereka minta penangguhan kematian walau hanya sebentar.

58 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.10, h.248 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.10, h.248

Sû’ul Khatimah berarti kesudahan yang buruk, yakni kematian dalam keadaan ingkar kepada Allah. Dalam hal ini banyak ulama menggarisbawahi bahwa sû’ul khatimah tidak akan dialami seseorang, selama -secara lahir dan batin- amal-amalnya baik dan tulus kepada Allah SWT. Kesudahan buruk itu bisa terjadi bagi mereka yang tidak tulus, atau sering kali melakukan dosa besar, walau dalam saat lain perjalanan hidupnya ia melakukan amal-amal baik. Mereka itulah yang berhasil diperdaya oleh setan pada detik-detik akhir

hidupnya, sehingga dia terjerumus dalam sû’ul khatimah. 59 Dalam persoalan ini, penulis menyusun beberapa amalan yang menyebabkan seseorang pada akhir hidupnya menuai keburukan. Beberapa amalan yang buruk tersebut telah digambarkan dalam al-Qur`ân dan beberapa hadis Nabi SAW. sebagai berikut di bawah ini: