Hubungan Antara Ajal dan al-Maut
A. Hubungan Antara Ajal dan al-Maut
Pembahasan tentang kematian pasti terkait dengan ajal (batas ahir hidup). Sayyid Salamah al-Saqqâ menyebutkan bahwa kematian mempunyai waktu kedatangan, sehingga seseorang tidak dapat melewati ajal yang telah ditentukan Allah bagi hamba-Nya. Banyak orang yang berpikir bahwa kematian memiliki banyak sekali sebab. Padahal penyebab kematian itu satu, dan sebab itu adalah berakhirnya ajal. Yang mematikan hanya Allah semata dan yang langsung mengadakan kematian itu adalah Allah SWT. 1
Hal itu disebabkan, bahwa sesuatu baru bisa dikatakan sebab jika dapat menghasilkan akibat secara pasti. Karena itu, tidak benar untuk dikatakan tentang suatu penyakit bahwa ia menjadi sebab kematian. Karena seringkali terjadi penyakit dan para dokter telah sepakat untuk menyatakan bahwa kondisi si sakit sudah tidak bisa disembuhkan, sudah tidak ada
1 Sayyid Salamah al-Saqqâ, Asrâr al-Maut wa al-Hayât wa al-Rûh wa al-Jasad, edisi Indonesia dengan judul Menguak Rahasia Kehidupan, Kematian, Ruh, dan Jasad,, diterjemahkan oleh
Saefuddin Zuhri, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2006), Cet.I, hal 222 Saefuddin Zuhri, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2006), Cet.I, hal 222
Dalam bahasa Arab, 2 Ajal dapat berarti ( ! !!!!!!!!! ) ghâyah al-waqt, yang
terdiri atas huruf-huruf Alim, Jîm, dan Lâm, yaitu waktu telah sampai, yang dalam bahasa Indonesia dapat berarti sebagai batas. Pengertian sampai dan batas dapat juga berarti mencapai. Dengan demikian apabila kedua pengertian itu dikaitkan dengan usia atau umur, maka ajal dapat berarti batas, yaitu batas usia atau umur manusia.
Kata ajal dari segi bahasa berarti batas akhir, sepert firman-Nya;
“telah sampai kepada ajal yang Engkau tentukan bagi kami.” (QS. al- An’âm:128)
Menurut Quraish Shihab, sebagian lain memahami ajal dalam arti batas akhir peringkat yang diraih dari hasil upaya dan perbuatan selama hidup, bukan
batas akhir hidup. 3 Namun, dari pemahaman ulama tentang ajal, mayoritas sepakat bahwa ajal adalah batas akhir kehidupan di dunia ini (mati).
Imam al-Qurthûbî mengatakan bahwa kata ( !! ! Æ ! ! ) muajjalun dari kata ( !! ! ! ) ajalun adalah waktu atau batasan yang telah ditentukan sampai kematian, atau telah menjadi ketentuan dari Allah SWT. adapun waktu atau
2 Abû Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariyya, Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah, Baerut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 61
3 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`ân, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet.ke-3, vol. 4, hal. 285 3 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`ân, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet.ke-3, vol. 4, hal. 285
Istilah ajal dengan segala perubahannya dalam al-Qur`ân dipergunakan sebanyak kurang lebih 57 kali. 6 Pemakaian dalam konteks yang berbeda-beda tersebut tentu akan mempunyai arti dan maksud yang berbeda pula. Istilah ajal antara lain dapat berarti; 1). Waktu yang sudah ditentukan, 2). Ditangguhkan, 3). Kematian, 4). Ketentuan, 5). Batas waktu, 6). Waktu tertentu, 7). Masa, dan 8). Waktu yang dijanjikan. 7
Menurut Quraish Shihab, ajal adalah batas akhir dari sesuatu. Kematian terkadang dinamakan ajal karena ia adalah batas akhir dari waktu keberadaan hidup di dunia. Batas akhir dari masa kontrak pun juga dinamai
dengan ajal. 8 Ajal adalah suatu ketentuan-Nya yang pasti dan mutlak. Di samping ada ajal kematian juga ada ada ajal untuk kebangkitan setelah mati yang juga telah ditentukan oleh-Nya. Allah berfirman:
Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu- ragu (tentang berbangkit itu). (QS. al-An’âm: 2)
4 Imam Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al- Qur’ân, (Bairut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), juz 6, h. 251
5 ‘Imâd al-Dîn Abû al-Fidâ Ismâ’îl bin Katsîr al-Damsyiqî, Tafsîr al-Qur`ân al-Azhîm, (Bairut: Dâr al-Qur`ân al-Karîm, 1981), juz 2, h. 180
6 Muhammad Fuâd Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm, (Bairut: Dâr al-Fikr, tt), h. 14
7 Lihat QS. al-An’âm: 128, QS. al-Mursalât: 12, QS. al-An’âm: 2, 60, QS. al-A’râf: 34, QS. Hûd: 104, QS. al-Ra’d:38, QS. al-‘Ankabût: 5
8 Shihab, Tafsir al-Mishbah…,vol. 4, hal. 443
Setelah menjelaskan dalam ayat pertama -dari surat yang sama- tentang kekuasan-Nya mencipta langit dan bumi, gelap dan terang, ditegaskan-Nya tentang penciptaan manusia dari tanah yang bercampur air. Seakan Allah menunjukkan kepada mereka yang masih ragu tentang kebangkitan setelah kematian, dimana jasad telah terkubur dan bercampur dengan tanah. Ayat ini meluruskan pandangan itu dengan mengingatkan asal kejadian manusia dari ( !! ) thîn, yakni tanah yang bercampur air. Allah
juga telah menentukan bagi masing-masing makhluk hidup, ajal yakni kematian atau masa akhir keberadaan di pentas bumi ini. Penggunaan bentuk nakirah / indefinite untuk kata ( !!! ) ajal menunjukkan, bahwa ajal
manusia tidak dapat diketahui manusia kapan tibanya secara pasti. 9 Selanjutnya, ayat di atas mengisyaratkan dua macam ajal. Ini juga dipahami dari penggunaan bentuk nakirah kata ajal. Yakni, kata ajal pertama menunjuk kepada kematian dan kata ajal kedua menunjuk kepada hari
kebangkitan. 10 Firman-Nya ( !! !! ) ‘indahû / di sisi-Nya, memberi isyarat bahwa
9 Shihab, Tafsir al-Mishbah…,vol. 4, hal. 10-11 10 Dinyatakan dalam kaidah tafsir; “Apabila kata isim disebut dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan; 1) Jika kedua-duanya ma’rifat, maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat pertama. 2) Jika kedua-duanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama. 3) Jika pertama nakirah dan yang kedua ma’rifat, maka kedua adalah hakikat yang pertama, karena itulah yang sudah diketahui. 4) Jika yang pertama ma’rifat dan yang kedua nakirah, maka apa yang dimaksud bergantung pada qarinah, terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda. Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhis fî ’Ulûm al-Qur`ân, diterjemahkan oleh Mudzakir, Studi Ilmu- ilmu al-Qur`ân, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000), h. 266. Ada juga yang memahami ajal pertama dalam arti tidur dan ajal kedua adalah mati, atau ajal pertama adalah ajal generasi terdahulu dan ajal kedua ajal generasi yang datang kemudian. Atau ajal pertama ajal masing-masing yang telah lewat dan ajal kedua adalah yang belum dilalui. Pendapat yang terkuat tentang ini adalah ajal kematian dan ajal kebangkitan, karena biasanya al-Qur`ân menggunakan kata ajal bagi manusia dalam arti kematian. Di sisi lain, ayat ini dikemukakan dalam konteks pembuktian tentang keesaan Allah dan keniscayaan hari kebangkitan, sehingga sangat wajar kata ajal menujuk kematian dan hari kebangkitan. Lihat Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 4, h. 11. dan al-Sayyid Muhammad Husain al-Thabâthabâî, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, (Baerut: Muassasah al-A’lâmî li al- Mathbû’ât, 1974), jil.7, h. 9 9 Shihab, Tafsir al-Mishbah…,vol. 4, hal. 10-11 10 Dinyatakan dalam kaidah tafsir; “Apabila kata isim disebut dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan; 1) Jika kedua-duanya ma’rifat, maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat pertama. 2) Jika kedua-duanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama. 3) Jika pertama nakirah dan yang kedua ma’rifat, maka kedua adalah hakikat yang pertama, karena itulah yang sudah diketahui. 4) Jika yang pertama ma’rifat dan yang kedua nakirah, maka apa yang dimaksud bergantung pada qarinah, terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda. Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhis fî ’Ulûm al-Qur`ân, diterjemahkan oleh Mudzakir, Studi Ilmu- ilmu al-Qur`ân, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000), h. 266. Ada juga yang memahami ajal pertama dalam arti tidur dan ajal kedua adalah mati, atau ajal pertama adalah ajal generasi terdahulu dan ajal kedua ajal generasi yang datang kemudian. Atau ajal pertama ajal masing-masing yang telah lewat dan ajal kedua adalah yang belum dilalui. Pendapat yang terkuat tentang ini adalah ajal kematian dan ajal kebangkitan, karena biasanya al-Qur`ân menggunakan kata ajal bagi manusia dalam arti kematian. Di sisi lain, ayat ini dikemukakan dalam konteks pembuktian tentang keesaan Allah dan keniscayaan hari kebangkitan, sehingga sangat wajar kata ajal menujuk kematian dan hari kebangkitan. Lihat Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 4, h. 11. dan al-Sayyid Muhammad Husain al-Thabâthabâî, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, (Baerut: Muassasah al-A’lâmî li al- Mathbû’ât, 1974), jil.7, h. 9
Quraish Shihab mengutip pendapat ar-Râghib al-Ashfahânî tentang ajal, yakni waktu tertentu atau masa berakhirnya sesuatu, ulama ini menjelaskan bahwa ajal ada dua macam. Ajal secara umum yang tidak diketahui kapan datangnya, dan ajal yang berada di sisi Allah, dan tidak dapat berubah berdasar pengaitannya dengan kata di sisi-Nya. Hubungan antara ajal yang pertama dengan ajal kedua, serupa dengan hubungan antara sesuatu yang mutlak dengan sesuatu yang bersyarat. Sesuatu yang bersyarat bisa saja tidak terjadi jika syaratnya tidak
terpenuhi. 12 Dengan memperhatikan firman-Nya yang menyatakan:
”Bagi tiap-tiap ajal ada Kitab/ ketentuan. Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab” (QS. al-Ra’d: 38-39).
Thabâthabâî masih meneruskan bahwa ajal yang ditentukan di sisi- Nya, adalah apa yang dalam Ummul Kitâb itu, sedangkan ajal pertama yang tidak disertai dengan kata ’indahû (di sisi-Nya) adalah ajal yang ditentukan tetapi dapat dihapus atau tidak oleh Allah swt. Ini dinamai oleh Thabâthabâî dengan lauh al-mahw wa al-itsbât, yakni keputusan takdir yang bisa tetap dan bisa juga berubah. Apa yang terdapat dalam Ummul Kitâb (Kitab induk atau Lauh Mahfûzh ) adalah peristiwa-peristiwa yang pasti terjadi dalam kenyataan
11 al-Thabâthabâî, al-Mîzân …,jil.7, h. 9 12 Shihab, Tafsir al-Mishbah…,vol. 4, h. 12 11 al-Thabâthabâî, al-Mîzân …,jil.7, h. 9 12 Shihab, Tafsir al-Mishbah…,vol. 4, h. 12
Pembentukan diri manusia dengan segala potensi yang dianugerahkan Allah, menjadikan dia dapat hidup dengan normal, bisa jadi sampai 100 atau 120 tahun, inilah yang tertulis dalam lauh al- mahw wa al-itsbât. Tetapi semua bagian dari alam raya mempunyai
hubungan dan pengaruh dalam wujud/kelangsungan hidup makhluk. Bisa jadi, faktor-faktor dan penghalang-penghalang yang tidak diketahui jumlahnya itu saling mempengaruhi dalam bentuk yang kita tidak ketahui, sehingga tiba ajal sebelum berakhir waktu kehidupan normal yang mungkin bisa sampai pada batas 100 atau 120 tahun itu. Karena itu, bisa jadi ajal pertama berbeda dengan ajal kedua, dan bisa jadi juga, jika tidak ada faktor penghalang, ajal kedua sepenuhnya sama dengan ajal pertama. Namun demikian, yang pasti dan tidak berubah adalah ajal yang ditetapkan Allah dalam Ummul Kitab itu. Demikian Thabâthabâî menutup pendapat tentang ajal. 14
Ajal juga dapat diartikan sebagai runtuhnya suatu sistem, firman-Nya;
13 al-Thabâthabâî, al-Mîzân …,jil.7, h. 10 14 Apa yang dikemukakan Thabâthabâî itu, oleh sementara ulama Ahlu Sunnah dinamai qadhâ’ mu’allaq yakni ketetapan Allah yang masih tergatung / bersyarat dan qadhâ’ mubram yakni yang telah pasti. Ada ketetapan Allah yang bergantung dengan berbagai syarat yang dapat tidak terjadi karena berbagai faktor, antara lain karena doa atau usaha maksimal manusia, dan ada juga ketetapan- Nya yang pasti yang tidak dapat berubah sama sekali. Ajal manusia yang dinyatakan-Nya tidak dapat diajukan atau diundurkan adalah ajal yang dalam Ummul Kitab dan yang sifatnya mubram. Dari sini kita dapat berkata bahwa, manusia memiliki keterlibatan dalam panjang atau pendeknya usia, atau dengan istilah lain, manusia dapat berupaya untuk memperpanjang harapan hidupnya dengan berusaha menghindari faktor-faktor yang dapat menghalangi berlanjutnya usianya dalam batas kehidupan yang normal. Dalam konteks ini Nabi SAW. Bersabda: ”Siapa yang ingin diperluas rezekinya dan diperpanjang usianya maka hendaklah dia bersilaturrahim.” Lihat Thabâthabâî, al-Mîzân, jil.7, h.10. Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 4, hal. 12-13, dan Shihab, Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), cet. III, h. 25-26
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (QS. al-A’râf: 34)
Ayat di atas mengisyaratkan adanya ajal, yakni masa keruntuhan dan kehancuran umat atau tatanan masyarakat manusia. Ayat ini berbeda dengan firman-Nya; ”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (QS. Âli ‘Imrân: 185), karena ayat tersebut berbicara tentang perorangan. Adapun ayat di atas berbicara tentang runtuhnya sistim satu tatanan masyarakat walau boleh jadi orang-orang yang hidup dalam masyarakat tersebut tetap hidup. Ayat ini menjelaskan bahwa ada ajal bagi kelompok masyarakat di samping ajal perorangan. Ajal di sini dipahami sebagai batas waktu runtuhnya kejayaan dari satu sistim tatanan kelompok masyarakat tertentu. 15
Ayat-ayat lain yang menyatakan ajal antara lain sebagai berikut;
Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan. (QS. al-An’âm: 60)
....lalu berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebahagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.... (QS. al-An’âm: 128)
15 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, vol. 5, h. 82-83
Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu (QS. Hûd: 104)
Niscaya dikatakan kepada mereka:) "Sampai hari apakah ditangguhkan (mengazab orang-orang kafir itu)?" (QS. al-Mursalât: 12)
Allah dengan Qalam (pena)-Nya telah mencatat hal itu di Lauh al- Mahfuzh dan para malaikat yang mulia mencatatnya ketika seseorang masih
ada di rahim ibunya, sehingga seseorang tidak dapat terlambat dari apa yang telah ditulis untuknya dan tidak juga dapat maju. Setiap orang yang mati,
terbunuh, tenggelam, jatuh dari pesawat terbang atau mobil, terbakar atau karena sebab-sebab yang lain, maka dia telah mati menurut ajal yang telah
ditentukan Allah dan telah dilaksanakan-Nya. 16 Hal ini telah ditunjukkan oleh banyak nash, diantaranya;
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.(QS.Âli ‘Imrân:145)
Sesuatu yang bernyawa makhluk apapun ia, dan setinggi apa pun kedudukannya dan kemampuanya tidak akan mati dengan satu atau lain sebab melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Quraish Shihab mengutip Syekh Mutawallî al-Sya’râwî yang mengatakan :
16 ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, al-Yaum al-Âkhir, al-Qiyâmah al-Shughrâ wa ‘Alâmah al- Qiyâmah al-Kubrâ, (Bairut: Dâr al-Thayyibah li al-Nasyr wa al- Tauzî’, 1999), diterjemahkan oleh
Abdul Majid Alimin Kiamat Sughra, Misteri di Balik Kematian, (Solo: Era Intermedia, 2005), Cet.I, hal.25
Seandainya ada seseorang yang akan membunuh dirinya, maka dia tidak akan mati –walau usahanya telah maksimal– kecuali sudah izin Allah kepada malaikat maut untuk mencabut nyawanya. Kalau yang mau bunuh diri saja tidak dapat mati kecuali seizin-Nya, maka lebih- lebih mereka yang memelihara dirinya. Hal tersebut demikian, karena ajal telah ditentukan Allah, dan dengan demikian, tidak wajar seseorang menghindar dari peperangan karena takut mati.” 17
Al-Qur`ân juga memberitakan bahwa ketika ajal datang, tidak ada sedikit pun pengetahuan yang dimiliki para hamba tentang waktu datangnya kematian dan dimana ia menimpa mereka, karena ilmu tentangnya hanya milik Allah semata, ia adalah salah satu kunci kegaiban, 18 sebagaimana firman-Nya:
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Luqmân: 34)
17 Shihab, Tafsir al-Mishbah…, h. 236 18 Rasulullah SAW bersabda: “Kunci kegaiban ada lima, ia tidak diketahui kecuali oleh
Allah. Sesungguhnya Allah hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat, dan Dialah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada di rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahuilagi Maha Mengenal. (HR. Bukhârî) lihat al-Imâm Zainuddîn Ahmad ibn Abd Lathîf al-Zabîdî, al-Tajrîd al-Shahîh li Ahâdîts al-Jâmi’ al- Shahîh, edisi Bahasa Indonesia Ringkasan Shahîh al- Bukhârî, (Bandung: Mîzân, 2001), cet. 5, h. 227
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. (QS. al- Nisâ`: 78)
Banyaknya istilah ajal dalam al-Qur`ân meniscayakan pengertian yang beragam. Ajal dan maut keduanya tidak dapat dipisahkan, ajal selalu datang sebelum maut. Ajal juga dapat dipahami sebagai maut, sebagaimana dijelaskan di atas, bahkan ajal juga diartikan sebagai hari kebangkitan, ajal juga berarti batas akhir kehidupan, umur, batas waktu dan lainnya.