Belum Taubat sampai Kedatangan Saat Mati
4. Belum Taubat sampai Kedatangan Saat Mati
Ayat di bawah ini menggambarkan prilaku orang-orang yang tidak mau bertaubat sampai datangnya kematian disebabkan gemarnya melakukan dosa. Firman Allah:
"Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan:"Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." (QS. al-Nisâ`:18)
Menurut Sayyid Quthb, ayat di atas menjelaskan taubatnya orang yang terpaksa, padahal dalam hatinya masih ada keinginan untuk melanggar dan bergelut dengan dosa-dosa. Taubat yang dilakukan hanya karena tidak ada kesempatan baginya untuk mengerjakan dosa-dosa. Taubat semacam ini tidak diterima oleh Allah, karena tidak berdampak pada kesalehan dalam hati dan kehidupan, dan tidak menunjukkan adanya kemauan yang serius dan keinginan untuk mengubah arah kehidupannya. 73
Lebih lanjut beliau menjelaskan, sesungguhnya diterimanya taubat itu adalah karena ia sebagai pintu terbuka yang dimasuki oleh orang-orang yang berlari menuju ke tempat perlindungan yang aman. Maka, mereka mengembalikan diri mereka dari padang kesesatan dan bermaksud mengembalikan kemanusiaan dirinya dari komunitas kesesatan di bawah panji-panji setan. Mereka kembali untuk mengerjakan amal saleh—jika
73 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.2, h.160
Allah menakdirkannya berumur panjang setelah bertaubat, atau minimal untuk mengutamakan hidayah daripada kesesatan, jika ajal sedang menantikan mereka sedang mereka tidak merasa bahwa mereka berada di altar kematian. 74
Tetapi, yang mereka lakukan justru memutuskan tali penghubung antara mereka dengan taubat, dan mereka telah menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan pegampunan. 75 Maka bagi mereka akan mendapatkan siksa yang pedih dari Allah SWT., sebagai konsekwensi atas perbuatan yang mereka lakukan. Selanjutnya, ayat di bawah ini menjelaskan prilaku orang-orang yang enggan bertaubat setelah mengetahui kebenaran. Firman Allah:
"Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang-orang yang sesat." (QS. `Âli ‘Imrân:90)
Quraish Shihab, menjelaskan bahwa mereka yang melakukan kekufuran diperingatkan-Nya agar tidak menambah kekufuran di atas kekufuran, baik dengan menambah kualitas atau kuantitas kekufuran, maupun masanya. Seorang yang menunda-nunda pertaubatan dari pelanggaran tertentu berarti menambah masa kekufurannya, dan seseorang yang melakukan kekufuran di samping kekufuran yang selama ini dilakukannya, maka ia pun pada hakikatnya menambah kekufurannya. Karena itu, ayat ini antara lain merupakan dorongan untuk segera bertaubat. Hal itu dianjurkan karena: Sesungguhnya orang-orang yang kafir mengingkari keesaan Allah dan atau kerasulan Nabi-Nya, serta menutupi fitrah kesucian yang melekat pada dirinya sesudah keimanan mereka, yakni sesudah datangnya bukti-bukti keesaan dan kenabian, dan sesudah melekatnya fitrah kesucian dalam jiwa mereka, kemudian bertambah kekafirannya, dengan melakukan
75 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.2, h.161 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.2, h.161 75 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.2, h.161 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.2, h.161
Dari sini telah jelas bahwa, tidak diterimanya taubat tersebut karena memang mereka tidak pernah bertaubat, atau karena taubat mereka hanya di mulut, sehingga itu berarti bahwa kesesatan mereka telah mendarah daging pada diri mereka. Kesesatan tersebut, karena hati mereka selalu diliputi oleh kekufuran. Sehingga, prilaku demikian menyebabkan dirinya terhalang oleh keniscayaan hidayah.
Demikianlah ketatnya manhâj Rabbânî dalam masalah hukuman, tetapi pada waktu yang sama Allah SWT. membuka pintu lebar-lebar untuk taubat. Sehingga, terdapatlah keseimbangan dalam manhâj Rabbânî yang unik ini, dan menimbulkan dampak-dampaknya dalam kehidupan, suatu manhâj 'metode' yang tidak dapat dilakukan oleh manhâj lain baik konvensional maupun yang modern. 77
77 Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, hal. 139 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.2, h.161