Bersyukur dan Berharap Untuk Kehidupan Akhirat
5. Bersyukur dan Berharap Untuk Kehidupan Akhirat
Syukur didefinisikan oleh sementara ulama dengan memfungsikan anugerah yang diterima sesuai dengan tujuan penganugerahannya. Ia selalu menggunakan
dikehendaki oleh Penganugerahnya, sehingga penggunaannya itu mengarah sekaligus menunjuk Penganugerah. Tentu saja untuk maksud ini, yang bersyukur perlu mengenal siapa Penganugerah (dalam hal ini Allah swt.), mengetahui nikmat yang dianugerahkan kepadanya, serta fungsi dan cara menggunakan nikmat itu sebagaimana dikehendaki-Nya, sehingga yang dianugerahi nikmat itu benar-benar menggunakannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Penganugerah. Hanya dengan demikian, anugerah dapat berfungsi sekaligus menunjuk kepada Allah, sehingga ini pada gilirannya mengantar pujian kepada Allah yang lahir dari rasa kekaguman kepada-Nya dan kesyukuran atas anugerah-Nya. 41
41 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil. 7, h.164 Shihab, Menjemput Maut..., h.120
Beberapa ayat al-Qur`ân menjelaskan hakikat yang tetap mengenai persoalan kematian dan urusan kehidupan, juga tentang apa yang ada sesudah hidup dan sesudah mati, yang berupa hikmah dan pengaturan Allah, dan ujian bagi hamba-hamba-Nya beserta balasannya. Firman Allah:
"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. `Âli ‘Imrân: 145)
Tiap-tiap makhluk yang bernyawa mempunyai ajal yang telah ditentukan waktunya, dan tidaklah seseorang akan meninggal dunia sebelum sempurna ajal yang telah ditetapkan untuknya. Maka rasa takut, berkeluh kesah, rakus, dan mundur dari medan perang tidak akan dapat memperpanjang ajal. Keberanian, kemantapan, maju ke depan, dan memenuhi tugas yang harus ditunaikan juga tidak akan mengurangi usia yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, orang yang penakut dan tidak dapat tidur karena takut, tidaklah akan terkurangi atau bertambah ajalnya barang sehari. 42
Sayyid Quthb mengomentari ayat ini dalam tafsirnya Fî Zhilâl al- Qur`ân bahwa, orang yang berusaha untuk kehidupan akhirat tidaklah berarti menghalangi seseorang untuk menikmati kesenangan duniawi. Tetapi hendaknya ia menerawangkan pandangan hidupnya ke atas
42 Al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, vol. 4, h. 266 42 Al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, vol. 4, h. 266
Ibnu Katsîr berkata, siapa yang perbuatannya untuk urusan dunia saja, ia akan memperolehnya seperti yang telah ditetapkan Allah baginya, tetapi di akhirat ia tidak memperoleh bagiannya. Sebaliknya, siapa yang perbuatannya untuk kepentingan akhirat, Allah akan memberikannya dan memberikan pula apa yang telah ditetapkan baginya di dunia. 44 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, yang berbunyi:
"Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat." (QS. al-Syûrâ: 20)
Demikianlah, menggabungkan antara kepentingan dunia dan akhirat adalah sesuatu yang memberikan ketenteraman bagi jiwa dan menjauhkannya dari ketakutan akan kematian. Jadi, tidaklah ia memilih kedua alam itu melainkan karena ia memang akan berpindah dari alam fana ini ke alam kekal, sementara pahala dan ganjaran yang menantinya adalah yang paling utama. Pada gilirannya, kebalikan dari takut, yang
43 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil. 2, h.76
Ibn Katsîr, Muktashar Tafsîr ibn Katsîr, vol 1, h.323 Ibn Katsîr, Muktashar Tafsîr ibn Katsîr, vol 1, h.323
Syukur merupakan maqam tertinggi yang didambakan Rasul saw. Ketika kaki beliau telah bengkak berdiri shalat, memuji Allah, sementara sahabatnya iba melihat beliau dan menyarankan untuk berhenti sejenak, beliau menjawab: "Bukankah seharusnya aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?" Karena syukur adalah maqam tertinggi, wajar jika
syukur identik dengan hikmah, dan siapa yang diberi hikmah, maka sesungguhnya ia telah diberi kebajikan yang banyak. Sayang tidak banyak yang memperolehnya karena seperti firman-Nya: Sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang sangat pandai bersyukur" (QS. Saba': 13). Kalaulah kita tidak syâkir/sangat pandai dan banyak bersyukur, maka paling tidak kiranya kita mampu bersyukur walau secukupnya saja. 46
Kebalikan dari rasa syukur adalah pengingkaran terhadap apa yang telah Allah anugerahkan. Sebagaimana telah digambarkan dalam firman Allah berbunyi:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad) Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Âli ‘Imrân: 144)
46 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhim, jil 4, h. 111 Shihab,Menjemput Maut…, h.123
Dalam ungkapan ini terdapat gambaran yang hidup mengenai kemurtadan yaitu ungkapan yang berbunyi, “In qalabtum ‘alâ a’qâbikum “ ‘Kamu berbalik ke belakang’ dan “wa man yanqalib ‘alâ ‘aqibaih” ‘dan barangsiapa yang berbalik ke belakang’. Gerakan indrawi dalam berbalik ini mempersonifikasikan makna murtad dari akidah Islam, seakan-akan sebuah pemandangan yang dapat dilihat. Pada dasarnya, yang dimaksudkan bukanlah gerakan kemurtadan jiwa yang menyertainya ketika terdengar teriakan, “Sesungguhnya Muhammad telah terbunuh!”
Maka, sebagian kaum muslimin merasa tidak ada gunanya berperang dengan kaum musyrikin. Mereka juga merasa bahwa dengan kewafatan Nabi Muhammad SAW., maka berakhirlah urusan agama ini, dan berakhir pula jihad terhadap kaum musyrikin. 47
Inilah gerakan jiwa yang dipersonifikasikan dalam ungkapan ini, yaitu digambarkannya gerakan murtad itu sebagai gerakan kembali ke belakang, sebagaimana berbaliknya mereka ke belakang dalam peperangan. Inilah yang diperingatkan kepada mereka oleh an-Nadir ibn Anas r.a. ketika mereka telah melepaskan tangan sambil berkata, “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah gugur. “ Lalu, al-Nadhir berkata, “Apakah yang akan kalian lakukan terhadap kehidupan ini sepeninggal beliau? Maka bangkitlah dan matilah sebagaimana
Rasulullah SAW. wafat !” 48 maka “Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
47 Al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, jil. 4, h. 264 48 Al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, jil. 4, h. 265
Orang yang bersyukur adalah orang yang taat kepada Allah, berperang membela agama-Nya, dan mengikuti Rasul-Nya baik saat beliau hidup maupun setelah beliau wafat. Dalam hal ini terkandung pendidikan agar diri mereka dan orang-orang setelah mereka sadar bahwa seruan Allah itu telah disampaikan dan terus berlaku hingga hari kiamat, dan bahwa pahala dari Allah tersedia sepanjang masa, diperuntukkan bagi mukmin yang benar.
Yang bersyukur kepada Allah adalah dia yang menyadari nikmat dan
mengakuinya bahwa itu semata-mata merupakan anugerah atas dasar kasih sayang Allah, lalu memuji-Nya sepenuh hati dan seindah mungkin, dan
menggunakan nikmat tersebut sesuai dengan tujuan penganugerahannya. 49 Seakan-akan dengan peristiwa dan ayat ini Allah SWT. hendak menyapih kaum muslimin dari ketergantungannya yang berat kepada pribadi Nabi SAW. ketika beliau masih hidup di tengah-tengah mereka. Allah hendak menghubungkan mereka secara langsung kepada sumbernya, yaitu sumber yang tidak dipancarkan oleh Nabi Muhammad SAW., Karena, beliau hanya datang untuk menunjukkan sumber itu dan menyeru manusia kepada alirannya yang deras, sebagaimana diisyaratkan sebelumnya oleh para rasul, dan mereka panggil para kafilah untuk minum darinya. 50
Hanya orang-orang yang bersyukurlah yang dapat menjaga keimanannya sampai ahir hayat, karena seluruh potensinya dipergunakan untuk Allah, maka tepatlah ketika Allah menutup ayat- Nya dengan “dan Kami membalas orang-orang yang bersyukur”.
49 Shihab,Menjemput Maut…, h.122 50 Al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, jil. 4, h. 265