Murtad setelah Iman

3. Murtad setelah Iman

"Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS.al-Baqarah:217)

Menurut al-Marâghî, barangsiapa di antara kalian murtad (keluar) dari agama Islam dan kembali kepada kekafiran, lalu mati dalam keadaan kafir, maka hapuslah semua amalnya seolah-olah ia tidak pernah beramal

baik sekalipun. Sebab, kegelapan telah menyelimuti hatinya, sehingga amal saleh yang telah membekas dalam hatinya turut hilang ditelan kegelapan kemurtadan tadi. Akibatnya, ia berada dalam kerugian baik di dunia maupun di akhirat. Adapun tentang kerugian dunia, ia tidak akan mendapatkan keuntungan apa pun dari Islam, sebab ia akan dihukum mati pada saat ia melakukan kemurtadan dan tidak berhak mendapat pertolongan dari siapa pun dari kalangan kaum muslimin, isterinya tertalak bain (tiga kali) dan dilarang mewaris. Sedangkan perihal kerugiannya di akhirat, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. 67

Sikap murtad dapat terungkap melalui perkataan seperti mengingkari sesuatu masalah agama yang sudah pasti dan diketahui oleh semua orang. Bisa juga melalui perbuatan yang menunjukkan penghinaan secara terang-terangan terhadap agama seperti, menyembah matahari, berhala atau menghina mushaf dan lain sebagainya. 68

67 al-Marâghî , Tafsîr al-Marâghî , vol.2. h.237 68 al-Marâghî , Tafsîr al-Marâghî , vol.2. h.238

Penjelasan ayat di atas mengenai orang-orang yang telah terpengaruh oleh fitnahan sehingga ia meninggalkan agamanya. Selanjutnya, konteks ayat di bawah ini mengenai penjelasan hukum-hukum orang-orang yang kufur setelah beriman. Firman Allah:

"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi

orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar." (QS. al-Nahl:106)

Sayyid Quthb, menjelaskan bahwa konteks ayat ini sangat mengecam jarîmah 'kejahatan' orang-orang yang kufur kepada Allah setelah ia beriman. Karena ia telah mengenal keimanan dan merasakannya, kemudian murtad drinya semata mementingkan kehidupan dunia ketimbang akhirat. Akhirnya, mereka ditimpakan kemurkaan Allah, azab yang pedih, diharamkan dari hidayah, diidentikkan dengan kelalaian, terkunci mati hati, pendengaran, dan penglihatannya. Juga diputuskan bahwa mereka di akhirat nanti termasuk golongan orang-orang yang merugi. 69

Lebih lanjut beliau menjelaskan, Akidah tidak boleh dijadikan sebagai ajang tawar-menawar, hitungan keuntungan dan kerugian. Kapan saja hati seseorang beriman kepada Allah, maka tidak dibenarkan masuknya pengaruh-pengaruh yang ada di muka bumi ini. Masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah-masalah di atas bumi ini, itu ada hisabnya. Begitu pula masalah akidah, ada hisabnya sendiri. Masing-masing dari

69 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.5, h.30 69 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.5, h.30

Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan hukum orang yang dipaksa untuk kafir tapi hatinya tetap beriman. Yaitu, orang yang menampakkan kekufuran dengan lisannya demi menyelamatkan ruhnya dari keibnasaan sementara hatinya tetap beriman, condong dan tenang dengannya. Riwayat sahih mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan sahabat 'Ammâr ibn Yâsir. 71

Ibnu Jarîr meriwayatkan dari Abû Ubaidah Muhammad ibn 'Ammâr ibn Yâsir bahwa ia berkata, "Kaum musyrikin menyiksa 'Ammâr ibn Yâsir habis-habisan. Lalu 'Ammâr ibn Yâsir mengabarkannya kepada Rasulullah tentang hal itu. Rasulullah bertanya, "Bagaimana keadaan hatimu saat itu, hai 'Ammâr?" 'Ammâr menjawab, 'Saya tetap tenang dengan keimanan.' Maka, Rasulullah bersabda, 'Kalau mereka menyiksamu lagi, maka lakukanlah perbuatan itu." Sikap ‘Ammar ibn Yâsir itu akhirnya pun menjadi rukhshah (dispensasi) bagi orang yang mengalami hal yang serupa dengannya. 72

70 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.5, h.31 71 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.5, h.31 72 Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, jil.5, h.31