Responden II Interpretasi Data

Berdasarkan hasil observasi selama wawancara, Bulan tergolong remaja yang aktif, tetapi cenderung cepat merasa bosan pada sesuatu hal. Selama proses wawancara berlangsung, Bulan ingin segera mengakhiri wawancara dan wawancara dilakukan saat Bulan benar-benar siap untuk diwawancarai. Saat wawancara, Bulan lebih suka berbincang-bincang pada tempat yang terbuka. Oleh karena itu, peneliti mengajak Bulan ke USU selama wawancara berlangsung. Bulan sering terpengaruh pandangannya saat melihat lelaki yang berlalu saat wawancara. Sewaktu Bulan menceritakan tentang masa kecil, terlihat air muka yang bersedih. Waktu ia menceritakan tentang anaknya, Bulan tak kuasa menahan air matanya.

2. Responden II

Status Identitas Diri pada Cinta Crisis Commitment Achievement X X Keterangan: X : Ada O : tidak ada ? : kabur Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan, yang diikuti dengan perubahan dan perkembangan secara biologis, kognitif dan sosial yang saling mempengaruhi Santrock, 2001. Pada masa perkembangan ini, selain pemikiran semakin logis, abstrak dan idealistik, remaja juga mulai memiliki waktu luang yang banyakdi luar keluarga dan mulai membentuk hubungan dekat dengan lawan jenis Santrock, 2001. Menurut Erikson, semua perubahan dan perkembangan yang terjadi menjadi bagian dari diri remaja dan akan terus berkembang membentuk identitas remaja. Erikson 1968 mempertegas bahwa masa remaja adalah masa krisis pencarian identitas identity crisis yang menunjukkan bahwa pada masa ini individu dihadapkan pada tugas perkembangan yang Universitas Sumatera Utara utama yaitu menemukan kejelasan identitas sense of identity. Marcia dalam Bosma, dkk, 1994 mengembangkan teori Erikson yang memandang bahwa pada masa remaja individu mengalami masa krisis karena harus berhadapan dengan berbagai peran baru merupakan masa ekplorasi dan memilih satu peran merupakan bentuk komitmen dalam mempersiapkan diri memasuki masa dewasa. Responden II bernama Cinta telah mengalami masa eksplorasi dan membentuk komitmen. Oleh karena itu Bulan berada pada status Achievement. Archer Waterman, Marcia dalam Bosma,dkk, 1994 menyatakan bahwa remaja yang telah mengalami suatu krisis dan sudah membuat suatu komitmen digolongkan ke dalam identitas Achievement. Seseorang yang berada pada identitas Achievement telah meyelesaikan masa krisisnya dan telah mencapai suatu komitmen. Berbagai masalah telah dilalui Cinta. Sejak ibu meninggal Cinta tinggal satu atap dengan adik-adik ibunya beserta anak-anaknya masing-masing. Pada saat itu masalah mulai muncul, hubungan Cinta dengan paman dan bibinya tidak harmonis. Konflik sering terjadi di dalam rumah yang berisikan empat keluarga tersebut, bahkan satu dengan yang lain tidak saling perduli. Paman dan bibi Cinta sering acuh kepada Cinta dan adik-adiknya. Cinta menjadi tulang pungung untuk kakek, nenek, dan ketiga adiknya. Setelah ibu tiada, ayah menjadi tidak perduli dan kurang tanggung jawab kepada anak- anaknya. Keadaan ekonomi keluarga yang memprihatinkan melahirkan komitmennya untuk bekerja. Permasalahan tak kunjung usai, pada usia 18 tahun, Cinta mengalami pencabulan yang dilakukan oleh kekasihnya hingga berujung pada kehamilan. Awalnya hal itu membuatnya tertekan dan putus asa. Seiring berjalannya waktu, Cinta pun belajar dari permasalahan yang dihadapinya dan belajar dari kesalahan. Cinta menjadi lebih tegar sekarang dan tidak ingin mengecewakan adik-adiknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi Cinta membentuk identitas dirinya adalah pola asuh, lingkungan yang heterogen, model untuk identifikasi, pengalaman masa kanak-kanak, Universitas Sumatera Utara perkembangan kognisi, sifat individu dan pengalaman kerja. Orang tua mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan identitas seseorang. Kedekatan hubungan Cinta dengan ibunya mempengaruhi kualitas diri Cinta sekarang. Ibu adalah sosok yang berpengaruh terhadap kehidupan Cinta. Perhatian dan kasih sayang ibu sangat berbeda jika dibandingkan dengan ayahnya. Ayah adalah pribadi yang kurang perduli dan pendiam. Cinta mengaku tidak terlalu dekat dengan ayahnya. Sewaktu Cinta berusia kanak-kanak, ia tinggal di lingkungan yang sama dengan sekarang. Berbagai perilaku masyarakatnya memberi pengaruh yang tidak baik bagi Cinta. Masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut terdiri dari wanita asusila hingga pengguna obat-obatan. Pengaruh negative tidak mempengaruhi Cinta karena ia pun bisa membedakan hal yang baik dan yang tidak baik. Tentu saja hal itu mempengaruhi identitas Cinta. Menurut Fuhrmann 1990 orang dewasa yang berperan sebagai model bagi remaja dapat mempengaruhi pembentukan identitas dirinya. Kakek adalah sosok yang diteladani Cinta. Nasehat-nasehat kakek membantunya untuk menjalani hidup yang pada akhirnya berpengaruh dalam menilai diri sendiri. Hal yang membuat Cinta kagum pada kakek adalah keyakinan agama yang kuat. Semasa mudanya kakek sering terlibat kejahatan, bahkan sering keluar masuk tahanan, namun kini kakek telah berubah menjadi religius. Masa kecil Cinta tidak ada ubahnya dengan anak-anak seusianya. Cinta masih memiliki keluarga yang lengkap. Saat ibu masih ada di sampingnya, Cinta dapat dengan mudah menyelesaikan masalah-masalah. Ibu dengan setia mendampingi dan memberikan nasehat bagi Cinta. Nasehat-nasehat ibu menjadi pedoman bagi Cinta sekarang dalam berperilaku dan menyelesaikan masalah. Remaja dapat berpikir operasional formal. Cinta yang berusia 20 tahun tentu saja dapat berpikir secara abstrak dan memiliki penalaran hipotetis-deduktif. Misalnya saja dalam Universitas Sumatera Utara memperoleh informasi yang berkaitan dengan pekerjaan. Cinta mempertimbangakan pekerjaan yang ditawarkan terlebih dahulu. Furhmann 1990 berpendapat bahwa keinginan yang kuat untuk mengadakan eksplorasi membantu tercapainya identity achievement. Cinta telah dihadapkan pada berbagai peran dalam hidupnya. Keadaan ekonomi yang memprihatinkan dan hilangnya tanggung jawab ayah memaksa Cinta untuk segera bekerja, ditambah lagi dengan peristiwa pencabulan yang dialaminya yang berujung pada kehamilan. Proses persidangan pun dilalui Cinta tanpa dukungan penuh dari keluarga, seringkali Cinta datang sendiri ke Poltabes dalam keadaan hamil untuk melaporkan kasusnya. Cinta sekarang bekerja dan sebelumnya telah memiliki pengalaman kerja di beberapa tempat. Furhmann 1990 mengatakan bahwa individu yang telah memiliki pengalaman kerja atau telah memasuki dunia kerja akan menstimulasi pembentukan identitas dirinya, hal itulah yang mendukung identitas Cinta dalam menyelesaikan krisis identitasnya sehingga ia berada pada achievement. Selama waktu wawancara, peneliti sedikit kesulitan untuk bertemu dengan responden. Sebelum melakukan wawancara, peneliti harus membuat janji terlebih dahulu dengan Cinta, ia bekerja siang hari hingga malam, 6 hari dalam seminggu. Cinta adalah seseorang yang terbuka. Pertama bertemu dengan Cinta, ia tidak segan-segan menceritakan pengalaman hidupnya. Cinta mendengarkan pertanyaan dengan antusias. Pertanyaan-pertanyaan dijawab secara jelas. Setiap kali wawancara, responden sering menggunakan ’ya kan’ saat menyatakan pernyataannya. Pembahasan Russel dalam Tower, 2003 menemukan menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual. Hal ini berbeda dengan yang dialami oleh responden I bernama Bulan. Pencabulan yang dilakukan oleh kekasihnya Universitas Sumatera Utara saat ia berusia 14 tahun tidak mempengaruhi hasratnya untuk berhubungan seksual, bahkan ia mengatakan ada sesuatu yang kurang jika ia tidak melakukan hubungan seksual. Apa yang diungkapkan responden I sejalan dengan penelitian Cinq-Mars et al., dalam Senn, Theresa E, dkk 2006 mengemukakan bahwa remaja perempuan yang mengalami penganiayaan seksual hingga penetrasi cenderung terlibat dalam hubungan seks bebas dan hamil di luar nikah. Berbeda dengan yang dialami responden II, hubungannya dengan kekasihnya sekarang terasa biasa saja. Rasa takut, mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban disertai denga rasa sakit. Hal itu lah yang dialami oleh responden II setelah mengalami penganiayaan seksual. Tower 2002 menyatakan bahwa dampak kekerasan seksual adalah timbulnya perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Hal itu tidak sejalan dengan yang dialami oleh responden II. Keadaan ekonomi yang tidak mencukupi mendorongnya untuk segera bangkit dan berkomitmen untuk bekerja. Funderburk,dkk dalam Matlin, 2008 menyatakan dalam studinya bahwa kebanyakan korban perkosaan merasa tidak berdaya dan kebanyakan menyalahlahkan diri sendiri. Menyalahkan diri sendiri merupakan reaksi utama karena pada hampir seluruh kasus, korban tidak melakukan apa-apa untuk mencegah kekerasan seksual. Sikap terhadap penganiayaan juga tergantung pada keadaan lingkungan. Pada umumnya orang menyalahkan korban jika pelakunya adalah kekasih atau kenalan dibandingkan jika pelakunya adalah orang lain. Menurut Maschi 2009 dampak kekerasan seksual mempengaruhi masa remaja hingga dewasa, secara psikologis, kognitif, emosi, sosial, dan perilakunya. Dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa dampak yang ditimbulkan mempengaruhi perkembangan responden. Responden merasa takut, merasa bersalah, dan mendapat stigma negatif dari masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu, pengaruh lingkungan, dan reaksi responden Universitas Sumatera Utara menanggapinya, mempengaruhi bagaimana ia mengontrol pengalaman yang tidak mengenakkan. Hal itu sejalan dengan dengan pernyataan Slater et al., dalam Matlin 2008 bahwa korban yang dianiaya lama-kelamaan mampu mengontrol pengalaman yang kurang baik sebagai cara untuk membuatnya lebih kuat, lebih berani, dan lebih tabah. Hal itu sejalan dengan apa yang diungkapkan responden II, sekarang ia lebih berani dan tegar. Responden II tidak ingin berlarut-larut dalam penyesalan dan memutuskan untuk segera bangkit. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan pada Bab I sebelumnya, maka dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu bagaimana gambaran pembentukan identitas diri pada remaja perempuan korban kekerasan seksual, penjabarannya sebagai berikut: 1. Status identitas remaja perempuan korban kekerasan seksual Responden I berada pada status identitas Moratorium. Moratorium menggambarkan remaja yang sedang berada di tengah-tengah krisis, tetapi belum membentuk komitmen. Individu sedang berada pada periode pembuatan keputusan dan mungkin telah melakukan beberapa keputusan yang bersifat kabur dan umum. Hal ini dapat dilihat pada responden I yang bingung akan masa depannya. Ia tidak memiliki pengetahun dan keahlian pada bidang tertentu sebagai modal untuk bekerja yang layak, bahkan ia tidak mendapat arahan dari keluarga untuk menjadi lebih baik. Responden I belum membuat keputusan untuk masa depannya. Responden II berada pada status identitas Achievement. Ia telah mengalami krisis dan sudah membuat suatu komitmen. Peristiwa pencabulan menghadapkannya pada berbagai masalah yang lain. Responden telah memutuskan komitmen untuk bekerja dan bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga, terkhusus untuk adik-adiknya. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas diri pada remaja perempuan korban kekerasan seksual Pola asuh, lingkungan yang heterogen, model untuk identifikasi, pengalaman masa kanak-kanak, sifat individu dan pengalaman kerja merupakan faktor yang mempengaruhi Universitas Sumatera Utara