Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seorang gadis, 13 tahun berinisial VIK mengadukan peristiwa yang ia alami kepada Pusat Kajian Perlindungan Anak PKPA Medan, Sumatera Utara, Kamis, 12 Juli 2007. Remaja yang masih duduk di bangku kelas III SMP ini menceritakan semua peristiwa yang ia alami. Menurutnya, kakak kandungnya berininisial TS, telah melakukan pelecehan seksual ketika ia tinggal di rumahnya di Kota Lintang Atas, Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Nangroe Aceh Darussalam. Hasil visum yang dikeluarkan puskesmas setempat juga memperkuat keterangan korban. Kini, VIK hanya bisa berharap kasus ini dapat segera dibawa ke pengadilan. Tujuannya, agar TS dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya serta dapat dihukum seberat-beratnya. VIK meyakini tidak tertutup kemungkinan banyak gadis remaja korban Tsunami yang mengalami nasib yang sama seperti dirinya www.metrotvnews.com Berita tentang kekerasan, khususnya kekerasan seksual bukan menjadi hal yang langka di negara kita. Bahkan pemberitaan kasus kekerasan seksual meningkat melalui media massa, mulai dari media cetak, elektronik, dan audio-visual. Korban kekerasan seksual sendiri beragam, mulai dari anak-anak, remaja, dan orang orang dewasa. Pelakunya adalah orang- orang yang paling banyak berinteraksi dengan korban, seperti ayah, ibu, juga teman. Pelaku dan korban dapat saja saling kenal melalui aktivitas yang sama, teman lama, tetangga, teman sekelas, teman kerja, kencan buta, ataupun teman seperjalanan Warshaw dalam Ekandari, dkk, 2001. Koss dalam Matlin, 2008 juga menyebutkan bahwa sekitar 85 korban perkosaan mengenal pelaku. Universitas Sumatera Utara Tindak kekerasan seksual layaknya fenomena gunung es, kejadian yang sampai pada publik jauh lebih sedikit dibandingkan kejadian yang nyata terjadi dalam masyarakat. Tingkat kekerasan yang terjadi di Indonesia belakangan ini mengalami laju pertumbuhan yang pesat, baik kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitatif ada kecenderungan terjadinya peningkatan tindak kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual. Kalau disusun sebuah daftar kejadian kekerasan, maka dapat dipastikan setiap hari jumlahnya akan terus bertambah. Peningkatan tindak kekerasan seksual secara kualitatif terlihat dari pelaku perkosaan tidak hanya dilakukan oleh satu orang. Pelakunya melibatkan dua orang bahkan lebih Bagong. S, dkk, 2000. Fenomena ini dialami oleh Bunga yang dikutip pada artikel on-line Harian Kompas 2008. Saat melintas di sekitar lokasi kejadian, korban bertemu dengan teman lainnya, laki-laki. Bunga pun asik mengobrol dan lupa waktu. Saat teman perempuannya pulang, teman lelakinya memaksa Bunga ke sebuah rumah kosong. Lelaki itu juga memanggil teman-temannya untuk memperkosa Bunga. Tindak kekerasan yang dialami anak-anak jarang muncul di hadapan publik dan sulit diteliti, sebab masalah ini seringkali diperlakukan sebagai masalah internal keluarga, dan anak sendiri sebagai korban cenderung lebih bersikap menutup diri, takut dan bersikap pasrah daripada mencoba melawan Suyatno dan Susanti, dalam Bagong. S, dkk, 2000. Secara teoritis, kekerasan terhadap anak child abuse dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggungjawab terhadap kesejahteraan anak. Hal tersebut diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Perlu disadari bahwa kekerasan pada anak sebetulnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik saja, melainkan juga berupa eksploitasi, misalnya melalui pornografi dan penyerangan seksual sexual assault, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi malnutrition, pengabaian pendidikan dan kesehatan educational and medical neglect dan Universitas Sumatera Utara kekerasan-kekerasan yang berkaitan dengan medis medical abuse Gelles, 1982. Tindak kekerasan terhadap anak-anak baru memperoleh perhatian publik secara lebih serius ketika korban-korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak jumlahnya makin meluas, korban bertambah makin banyak, dan menimbulkan dampak yang sangat menyengsarakan anak-anak. Persoalan kekerasan pada anak di Indonesia mulai diperhatikan ketika dilangsungkan Seminar Penelantaran dan Perlakuan Salah terhadap Anak di Yogyakarta pada tanggal 4-7 Agustus 1982. Baru 17 tahun berikutnya, yakni tepatnya bulan Maret 1999 di kota yang sama diadakan lagi seminar tentang child abuse yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata Universitas Gajah Mada. Istilah child neglect dan child abuse digunakan untuk menggambarkan terjadinya tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak- hak anak pada seminar terakhir. Setahun sebelumnya, dalam rangka menyambut peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 1998 di Bandung diterbitkan sebuah buku berisi kumpulan kisah menyedihkan yang dialami anak-anak di berbagai pelosok Tanah Air berjudul “Anak Indonesia Teraniaya: Potret Buram Anak Bangsa” Bandung: Remaja Rosdakarya. Buku tersebut secara ringkas membeberkan kasus-kasus kekerasan yang dialami anak-anak. Mulai dari kisah tentang anak yang menjadi korban penculikan, penganiayaan, pembunuhan hingga kisah tentang anak yang diperkosa dalam Bagong .S, dkk, 2000. Berdasarkan data dan kasus yang terpantau oleh Hotline Services Komisi Nasional Perlindungan Anak, sepanjang tahun 2009 KomNas Perlindungan Anak telah menerima pengaduan sebanyak 1.998 kasus kekerasan terhadap anak. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2008 yakni 1.736 kasus. Sekitar 62,7 persen dari jumlah tersebut adalah kekerasan seksual dalam bentuk Universitas Sumatera Utara sodomi, perkosaan, pencabulan serta incest, dan selebihnya adalah kekerasan fisik dan psikis. www.komnaspa.or.id Perkosaan menjadi bentuk spesifik kekerasan seksual. Beberapa perkosaan direncanakan, dan beberapa diantaranya dianggap lebih impulsif, suatu kejadian yang dilakukan secara spontan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam suasana kencan. Korban perkosaan oleh teman kencan cenderung disalahkan dan menyalahkan diri sendiri daripada korban yang diperkosa oleh orang yang tidak dikenal. Tower 2002 membagi kekerasan seksual sexual abuse berdasarkan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dalam kategori berdasar identitas pelaku, yaitu familial abuse dan extrafamilial abuse. Perempuan dan anak-anak seringkali menjadi korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual. Menurut catatan Saratino dalam Bagong dkk, 2000, sebanyak 300 ribu anak telah menjadi obyek kekerasan seksual sexual abuse selama berkali-kali dalam setahunnya. Anak perempuan empat kali lebih besar kemungkinannya untuk dilecehkan dibanding anak laki- laki Papalia, 2004. Tower 2002 juga mengungkapkan bahwa mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan. Hal itu terjadi karena perempuan dianggap kaum minoritas yang lemah dan sangat rentan. Sesuai dengan Hukum Perlindungan Anak, rentang usia dikatakan sebagai anak adalah usia 8 hingga 18 tahun. Jika dilihat berdasarkan teori Psikologi Perkembangan, usia belasan tahun tergolong usia remaja. Monks 2002 membagi masa remaja menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal 12 sampai 14 tahun, masa remaja pertengahan 15 sampai 17 tahun, dan masa remaja akhir 18 sampai 21 tahun. Fase remaja merupakan saat yang paling penting bagi perkembangan dan intergrasi kepribadian. Faktor-faktor dan pengalaman baru yang tampak ditandai dengan perubahan pada masa remaja meliputi perolehan pertumbuhan fisik yang menyerupai masa dewasa, kematangan seksual yang disertai dorongan-dorongan dan emosi baru, kesadaran terhadap diri sendiri keinginan untuk mengarahkan diri dan mengevaluasi kembali tentang norma, Universitas Sumatera Utara tujuan, dan cita-cita, kebutuhan persahabatan yang bersifat heteroseksual, serta munculnya konflik sebagai dampak dari masa transisi antara masa anak dan masa dewasa Yusuf, 2004. Menurut Erikson dalam Papalia, 2008, tugas utama masa remaja adalah memecahkan krisis identitas versus kebingungan identitas atau identitas versus kebingungan peran, untuk dapat menjadi orang dewasa unik dengan pemahaman akan diri yang utuh dam memahami peran nilai dalam masyarakat. Pembentukan identitas mulai dengan munculnya attachment, perkembangan perasaan diri sense of self, dan munculnya kemandirian pada masa bayi, dan mencapai fase akhirnya dengan suatu tinjauan dan integrasi kehidupan pada masa lanjut usia. Identitas merupakan suatu keterangan untuk menjawab ”who am I.” Identitas diri merupakan pegangan dalam menjalankan peranan tertentu dalam kehidupan sehingga remaja tidak mengalami kebingungan dalam menjalankan peran role confusion. Kebingungan ini muncul dalam satu dari dua pilihan: individu menarik diri, memisahkan diri dari teman-teman sebaya dan keluarga, atau mereka dapat kehilangan identitas mereka dalam kelompok. Krisis identitas selama masa remaja sebenarnya merupakan krisis yang paling berat dan paling berbahaya, karena penyelesaian yang gagal atau berhasil dari krisis identitas itu mempunyai akibat jauh untuk seluruh masa depan Erikson, 1989. Krisis identitas menjadi bentuk kegagalan sementara yang berfungsi untuk menetapkan suatu identitas stabil. Identitas diri dimulai pada masa anak-anak kemudian berlanjut dan berkembang sepanjang siklus kehidupan, dan menjadi tugas utama pada masa remaja Erikson dalam Kroger, 2000. Tahap yang menentukan pembentukan identitas adalah masa remaja yang dimulai umur 13 atau 14 tahun, pada usia ini individu sangat terlibat dalam proses menentukan diri yang sering diiringi dengan rasa takut dan ketegangan, di mana segala sasaran pribadi, tujuan sosial dan cita-cita antarpribadi harus diuji kembali dan diubah Erikson, 1989. Perkembangan identitas merupakan isu sentral pada masa remaja yang memberikan dasar bagi masa dewasa dalam membentuk kepribadian yang sehat. Apabila krisis identitas Universitas Sumatera Utara dapat diselesaikan, timbul suatu bentuk identitas yang terintegrasi, koheren, dan jelas Erikson, 1989. Erikson meyakini bahwa perkembangan identitas pada masa remaja berkaitan erat dengan komitmen terhadap masa depan, peran-peran masa dewasa dan sistem keyakinan pribadi Cobb dalam Yusuf, 2004. Identitas diri merujuk kepada pengorganisasian atau pengaturan dorongan-dorongan, kemampuan-kemampuan dan keyakinan-keyakinan ke dalam citra diri secara konsisten yang meliputi kemampuan memilih dan mengambil keputusan baik menyangkut pekerjaan, orientasi seksual, dan filsafat hidup Woolfolk dalam Yusuf, 2004. Seseorang yang mengembangkan suatu identitas yang sehat akan bersikap fleksibel, adaptif, dan terbuka terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat, relasi, dan dalam karir. Archer Waterman, Marcia dalam Bosma,dkk, 1994 menyatakan bahwa perkembangan identitas diri terjadi karena adanya eksplorasi dan komitmen. Kesempatan dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang beragam, peraturan, dan hubungan meningkatkan pembentukan identitas diri Kroger, 2000. Archer Waterman, Marcia dalam Bosma,dkk, 1994 menggunakan eksplorasi dan komitmen untuk menjelaskan mengenai empat status identitas, yaitu identity achievement pencapaian identitas, foreclosure penutupan, moratorium penundaan, dan identity diffusion difusi identitas. Status identitas ini merupakan empat cara dalam mencapai identitas bagi remaja akhir usia 18-22 tahun. Identitas diri dibentuk melalui hubungan yang timbal balik antara individu dengan lingkungan. Menurut Fuhrmann 1990, pada lingkungan yang heterogen, individu dihadapkan pada banyak pilihan sehingga ia sering mengalami krisis dan dipaksa untuk menentukan suatu keputusan atau pilihan tertentu. Individu memperoleh identitas yang moratorium dalam keadaan ini. Keputusan-keputusan tidak diambil sekali dan untuk selamanya, tetapi harus ditetapkan berkali-kali, seperti siapa yang akan dipacari, apakah Universitas Sumatera Utara harus putus atau tidak, apakah melakukan hubungan seksual atau tidak, apakah menggunakan obat-obatan atau tidak, dan lain-lain Santrock, 1995. Remaja yang mengalami kekerasan seksual juga memiliki tugas perkembangan yang sama dengan remaja lain. Pengalaman traumatis, stigma negatif, dan efek lain yang timbul akibat peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban memberi dampak yang akan mempengaruhi pembentukan identitas dirinya. Tahapan perkembangan menjadi terganggu akibat efek yang ditimbulkan Beitch-man et al, dalam Tower, 2002. Remaja yang mengalami kekerasan seksual mengalami dampak terhadap perkembangan dalam berbagai hal tertentu, khususnya untuk memenuhi tugas perkembangan yang utama yaitu memecahkan krisis identitas diri. Dampaknya mempengaruhi remaja secara psikologis, kognitif, emosi, sosial, dan perilakunya. Menurut Maschi 2009, dampak yang ditimbulkan mempengaruhi masa remaja hingga dewasa. Durasi kekerasan mempengaruhi derajat trauma korban. Menurut Beitch-man et al dalam Tower, 2002, korban yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain, khususnya pada korban incest. Karakteristik dan durasi gangguan perkosaan yang oleh beberapa orang disebut sindrom trauma perkosaan Burgess Holmstorm dalam Davidson,dkk., 2006 sangat tergantung pada kehidupan korban sebelum dan sesudah penyerangan tersebut. Kekerasan seksual juga berlanjut selama periode waktu tertentu. Kekerasan seksual yang terjadi sebagai suatu rangkaian menimbulkan trauma yang lebih lagi dibandingkan dengan yang terjadi sekali. Finkelhor dan Browne dalam Tower, 2002 mengemukakan empat jenis dampak traumatis sexual abuse, yaitu trauma secara seksual traumatic sexualization, penghianatan betrayal, merasa tidak berdaya powerless, dan mendapat stigma negatif dari lingkungan stigmatization. DSM- IV-TR menyebut perkosaan sebagai jenis trauma yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan stres pascatrauma. Universitas Sumatera Utara Melalui perspektif perkembangan, anak yang menjadi korban penganiayaan seksual mengalami konsekuensi jangka pendek atau jangka panjang dalam masa mudanya hingga dewasa Gerwitz Edleson, Watts-English, Forston, Gibler, Hooper, De-Bellis dalam Maschi, 2009. Konsekuensinya dapat dilihat dari simtom internal dan perilaku eksternal. Simtom internal meliputi masalah-masalah afektif dan somatis. Sedangkan perilaku eksternal tampak pada korban yang tidak mengikuti aturan-aturan, bahkan perilaku agresif Maschi, 2009. Hal itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh responden. Ia mengalami konsekuensi yang dapat dilihat dari perilaku ekternal. Bulan mulai terpengaruh pergaulan yang buruk, kemudian mengabaikan peraturan : ” Tulah, di situ Bulan mulai kenal-kenal cowok-cowok Medan lah di gang-gang situ. Tau lah anak-anak Medan yang gini-gini. Bulan udah mulai bandel di situ. Udah ngikut keluar.” Bulan Komunikasi Personal, 9 Februari 2010 ”Akhirnya….Itulah. di situ lah Bulan bandel, udah drastis bandel, udah diresmikan bandel. Udah potong pita di situ, udah resmi bandel.” Bulan Komunikasi Personal, 9 Februari 2010 Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres setelah perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi setelah perkosaan seperti sakit secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa kurang percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan Ekandari, dkk, 2001. Reaksi yang timbul pada beberapa remaja korban pelecehan seksual berupa depresi, menarik diri, atau perilaku yang melukai diri sendiri, keluhan fisik, tindakan ilegal, melarikan diri, atau substance abuse Papalia, 2004. Seperti yang diungkapkan responden I bernama Bulan bukan nama sebenarnya yang sempat menggunakan obat- obatan sebagai reaksi akibat peristiwa yang dialaminya. Responden II bernama Cinta bukan Universitas Sumatera Utara nama sebenarnya, ia merasa malu, takut, dan sempat trauma sebagai reaksi stres yang dirasakannya setelah pencabulan yang dialaminya : ”Sempat malu. Paling Cinta malu, kalo malu sama keadaan Cinta sekarang sama tetangga-tetangga Cinta. Gini kak, pertamanya Cinta down kan, keluar pun malu. Cuma orang-orang kayak jaksa, yang udah bertitel, dia gak jijik sama Cinta. Itu yang Cinta heran….Takut, trauma itu ada.” Cinta Komunikasi Personal, 16 Februari 2010. “Ternyata dia, setelah Bulan hamil, 4 bulan, ditinggalin sama dia…..” Bulan Komunikasi Personal, 9 Februari 2010. “Sempat sih Bulan make obat gitu, tapi cuma nyimeng, suntik, shabu, gak pernah lah.” Bulan Komunikasi Personal, 11 November 2009. Menurut Tower 2002 kebanyakan remaja yang menjadi korban memiliki harga diri yang rendah, bingung akan masa depannya, dan turut pada nilai-nilai yang dianut oleh orangtua. Davidson, dkk. 2006 juga menyatakan konsekuensi yang timbul pada korban perkosaan berupa kebencian terhadap diri sendiri, rasa bersalah, kemarahan, pengkhianatan, depresi, kecemasan, dan terjadi krisis keyakinan. Simon-Roper 1996 mengemukakan bahwa korban kekerasan seksual memiliki gambaran diri yang negatif yang berkembang dari berbagai sumber yang beragam. Anak yang mengalami kekerasan dalam hubungan selama jangka waktu tertentu gagal mengintergrasikan sense of self sendiri. Kegagalan dalam mengintegrasikan diri disebabkan oleh berbagai stigma yang membingungkan anak, yang diperoleh dari berbagai sumber. Hal itu sejalan dengan apa yang diungkapkan D. Stigma negatif bersumber dari ejekan dari abang dan teman-temannya : “Dibilang si Haris kayak gini ‘Dasar kau janda, lonte.’ Gak senang lah aku, ngamuk lah aku, berkelahi lah kami….Kawan-kawan juga sering ngejek ‘Dasar,udah mamaknya mati, orang miskin, diperkosa bapaknya lagi.” Kayak-kayak gitu lah.” D Komunikasi Personal, 7 Februari 2010. Korban berinisial D sering diejek dan mendapat stigma negatif dari abang dan teman- temannya. Stigma ini mengganggu anak dalam tugas perkembangannya, menimbulkan rasa sakit, gambaran diri yang negatif, tidak percaya diri, sehingga memiliki gambaran diri yang terpecah. Cinq-Mars et al., dalam Senn, Theresa E, dkk 2006 mengemukakan bahwa remaja Universitas Sumatera Utara perempuan yang mengalami penganiayaan seksual hingga penetrasi cenderung terlibat dalam hubungan seks bebas dan hamil di luar nikah, dibandingkan dengan remaja yang mengalami kekerasan tanpa penetrasi. Penelitian tersebut sejalan dengan apa yang dialami responden Bulan: ”Awalnya Dedi ini ngejar-ngejar, Bulan gak mau, di kejar-kejarnya juga Bulan. ‘Mungin cowok ini baik, bisa ngelepaskan masa-masa lalu buruk Bulan.’ Pikir gitu. Bulan menilainya beda. Ternyata dia, setelah Bulan hamil, 4 bulan, ditinggalin sama dia.” Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa tujuan utama dari seluruh perkembangan remaja adalah pembentukan identitas diri. Peristiwa traumatis, stigma negatif, dan efek lain yang ditimbulkan akibat peristiwa kekerasan yang dialami remaja perempuan korban kekerasan seksual mempengaruhi proses pembentukan identitas dirinya. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti bagaimana gambaran pembentukan identitas diri pada remaja perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, mulai dari status identitas korban hingga pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri korban.

B. Perumusan Masalah