iii. Model untuk Identifikasi
Cinta sangat dekat dengan kakeknya. Kakek juga menjadi seseorang yang menjadi teladan baginya. Cinta mengagumi kakek karena dahulu kakek memiliki masa lalu yang tidak
baik dan kini berubah menjadi seorang yang religius. “Dia dari preman dari ke keagamaan. Kita lebih bagus dari preman sampe jadi orang
religius, daripada dari orang religius malah jadi preman. Kakek Cinta bolak-balik masuk penjara dulu kak. Karna misalnya mencuri atau apa.”
S2.W1b.627-633Hal.13
iv. Pengalaman Masa Kanak-kanak
Masa kecil Cinta tak jauh berbeda dengan anak-anak seumurannya pada waktu itu. Cinta masih memiliki keluarga yang lengkap. Menceritakan keluh kesah bukanlah menjadi
hal yang langka saat ia masih kanak-kanak. Semasa kecil, Cinta sudah diajarkan untuk beribadah dan membantu ibu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
“Masa kecil Cinta kek biasa lah kak, kayak anak-anak yang lain juga lah. Lengkap pastinya, ada apa namanya itu? Bapak, ibu, trus pun masalah kan masih bisa kita cerita-
cerita lah. Gak ini, gak kayak sekarang-sekarang ini, gitu.” S2.W1b.019-026Hal.1
“…kalo subuh Cinta dibanguni nenek, suruh sholat.” S2.W1b.042-043Hal.1
“Iya, tapi dari kecil Cinta ini kak, nyuci piring lah, nyuci piring Cinta bisa, nyuci baju gak di kasi ibu. Jadi semua-semua ibu, gitu.”
S2.W1b.050-053Hal.2
v. Perkembangan Kognisi
Kemampuan berpikir operasional formal tampak ketika Cinta mengambil keputusan dalam hidupnya. Komitmen Cinta untuk bekerja awalnya dikarenakan keadaan ekonomi yang
sangat memprihatinkan. Usianya yang sekarang menuntutnya untuk lebih bertanggung jawab dan menjadi tulang punggung keluarga. Ayah tidak lagi memenuhi nafkah bagi keempat
anaknya.
Universitas Sumatera Utara
“Dari Cinta lah kak.” S2.W2b.015Hal.16
“Buat sekolah adek Cinta, ya udah Cinta.” S2.W2b.037-038Hal.16
Cinta memperoleh informasi kerja dari teman-temannya, tentu saja Cinta
memanfaatkan informasi tersebut. “Dari orang yang jatuhkan Cinta juga kak. Kawan Cinta juga, orang gang kan.”
S2.W3b.065-067Hal.33 “Yang SPG Farmasi? Itu dari kawan Cinta.”
S2.W3b.071-072Hal.33
vi. Sifat Individu
Cinta menilai dirinya bodoh, mudah percaya, terlalu penurut, tidak bisa membantah, dan mudah percaya pada orang. Cinta juga merasa bahwa ia tidak bisa menilai diri seutuhnya,
yang dapat menilai dia adalah orang lain. Masalah dan kejadian yang dialami Cinta membentuknya menjadi seseorang yang tegar dan lebih menerima diri apa adanya.
“Cinta itu ini kak, bodoh lah. Mudah percaya sama orang, iya-iya. Gak bisa membantah, orang nya lembek. Mudah kali percaya sama orang kak, itu aja.”
S2.W1b.498-502Hal.11 “Itu lah sampe sekarang ini kak, Cinta gak bisa nilai diri Cinta, kan yang nilai diri kita
kan orang lain. Jadi ya udah lah, Cinta gak bisa nilai diri Cinta.” S2.W2b.664-668Hal.29
“…dari pengalaman yang Cinta alami itu kak, Cinta istilahnya udah semakin kuat lah, udah semakin tegar.”
S2.W2b.687-690Hal.29
vii. Pengalaman Kerja
Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Kejuruan, Cinta memutuskan untuk bekerja. Tak lama setelah ia tamat sekolah Cinta bekerja sebagai sales promotion girl SPG di sebuah
perusahaan farmasi. Cinta sempat bekerja di beberapa tempat, dan sekarang Cinta bekerja sebagai SPG di sebuah perusahaan produksi susu. Keputusannya menjadi bulat dikarenakan
keterbatasan pendapatan di keluarganya, oleh karena itu ia mengurungkan niatnya untuk
Universitas Sumatera Utara
kuliah. Cinta bekerja untuk membiayai kebutuhan sehari-hari sekaligus biaya sekolah adik- adiknya.
“Setelah lulus sekolah Cinta SPG Farmasi.” S2.W3b.027-028Hal.32
“Cinta kerja di SOGO. Gak boleh bawa bontot. Habis itu Cinta di Sosro, di Chitato. Habis itu Cinta di ini, ke susu.”
S2.W3b.043-047Hal.32 “duit gak ada, lemah lah ekonomi. Makan gak makan, asal ngumpul lah. Gak mungkin
lah Cinta kuliah. Adek Cinta aja dulu, biar siap sekolahnya.” S2.W3b.174-178Hal.35
“Kalo misalnya Cinta gak kerja, ya gak sekolah lah kak adik-adik.” S2.W2b.197-199Hal.20
C. Interpretasi Data
1. Responden I
Status Identitas Diri pada Bulan
Crisis Commitment
Moratorium X ?
Keterangan: X : Ada
O : tidak ada ? :
kabur Erikson menyatakan bahwa pada usia remaja, krisis yang harus diselesaikan berkaitan
dengan pencarian identitas diri Schulz, 1994. Dampak peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban akan mempengaruhi perkembangan identitasnya. Pembentukan identitas diri
dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya kriteria-kriteria eksplorasi dan komitmen. Erikson dalam Bosma, dkk, 1994 mengatakan bahwa remaja pada
status identitas Moratorium masih mengalami masa krisis, namun jika krisis berkepanjangan, akan membuat remaja menjadi bingung, cemas, bimbang, dan tidak stabil serta akan
mengalami identity confusion. Bulan memiliki status identitas Moratorium. Bulan yang
Universitas Sumatera Utara