subsidi bunga dan kredit investasi selambat-lambatnya pada awal Pebruari tahun berjalan kepada Direktur Jenderal Perkebunan. Rencana Operasional Tahunan
dimaksud meliputi : a Rencana kegiatan penanaman, pemeliharaan menurut umur tanaman, peremajaan, perluasan, rehabilitasi untuk tahun berikutnya; b Rencana
kebutuhan biaya investasi tanaman; c Rencana jumlah petani peserta yang akan menerima kredit.
85
B. Kepemilikan Lahan Sebagai Persyaratan Program Revitalisasi Perkebunan
Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa
non migas bagi Indonesia. Komoditi minyak sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah untuk memacu pengembangan areal perkebunan
kelapa sawit. Selama 14 tahun terakhir peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 2,35 juta ha, yaitu dari 606.780 pada tahun 1996 menjadi hampir 3 juta
ha pertahun 1999.
86
Menurut data dari Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan sd Maret 1998 hutan yang dikonversi untuk tujuan pembangunan
perkebunan tahap persetujuan pelepasan seluas 8.204.524 ha dan yang sudah mendapat SK Pelepasan seluas 4.012.946 ha meliputi kawasan hutan produksi
terbatas seluas 166.532 ha, hutan produksi tetap seluas 455.009 ha.
87
85
Pedoman Umum Program Revitalisasi Perkebunan, Lo.cit
86
E. G. Togu Manurung, Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia, http:www.yahoo.co.id
, diakses tanggal 15 Desember 2008
87
Ibid
Musa Rajekshah : Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kemitraan Dalam Pengelolaan Hak Atas Tanah Usaha Perkebunan Berdasarkan Program Revitalisasi Perkebunan, 2009
USU Repository © 2008
Dengan demikian, kegiatan konversi hutan untuk pembangunan areal perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu sumber pengrusakan hutan alam
Indonesia dan sekaligus merupakan ancaman hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati yang terdapat dalam ekosistem hutan hujan tropis Indonesia, serta
menyebabkan berkurangnya habitat satwa liar. Permasalahan lainnya, pembangunan areal perkebunan kelapa sawit skala
besar juga telah menyebabkan dipindahkannya masyarakat lokal yang tinggal atau berada di dalam wilayah perkebunan kelapa sawit tersebut. Ganti rugi tanah pada
areal pengembangan kelapa sawit seringkali menimbulkan permasalahan karena tidak dibayar dengan harga yang adil, di samping itu sering terjadi penyerobotan lahan
masyarakat adat oleh perkebunan kelapa sawit padahal di atas tanah tersebut masih terdapat tanaman pertanian milik masyarakat. Tindakan penyerobotan tanah milik
masyarakat adat ini dilakukan baik dengan cara wajar maupun dengan cara paksaan, misalnya dengan cara pembakaran lahan yang telah diorganisir oleh pihak
perusahaan.
88
Sebagai akibatnya, seringkali timbul permasalahan oleh masyarakat setempat terhadap areal perkebunan kelapa sawit.
Berbagai permasalahan ini telah menyulut permasalahan konflik sosial yang berkepanjangan yang merugikan semua pihak, terutama bagi masyarakat yang
mengalami dampak negatif dari pembangunan perkebunan kelapa sawit, sehingga biaya sosial yang harus dibayar menjadi konflik sosial yang terjadi akhirnya menjadi
88
Potter, L and Lee, 1998b, Oil Palm in Indonesia, its role in forest conversion and the fires of 199798, A report for WWF Indonesia Programme, Jakarta Indonesia
Musa Rajekshah : Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kemitraan Dalam Pengelolaan Hak Atas Tanah Usaha Perkebunan Berdasarkan Program Revitalisasi Perkebunan, 2009
USU Repository © 2008
sumber resiko dan ketidakpastian bagi perusahaan kelapa sawit dalam melakukan bisnis usahanya secara berkelanjutan. Contoh kasus: Penerapan pola perkebunan
kelapa sawit di Kalimantan Barat hanya merupakan bagian dari proses pemiskinan masyarakat adat.
89
Pola itu mengharuskan rakyat pemilik tanah menyerahkan lahan disertai kewajiban mengembalikan cicilan kredit secara periodik atas kebun seluas 2,5
hektar, masyarakat adat rugi dua kali karena mesti menyerahkan lahan lebih 2,5 hektar, dan begitu akad kredit dimulai, masyarakat adat sebagai petani harus
mengembalikan cicilan utang kebun sawit. Selama ini yang terjadi begitu proyek perkebunan kelapa sawit masuk, masyarakat adat secara otomatis kehilangan lahan,
tanpa diberi ganti rugi secara memadai. Mereka akhirnya semata-mata menggantungkan hidupnya dari perusahaan perkebunan dengan penerimaan
maksimal Rp. 400.000 per bulan dari penghasilan lahan 2,5 hektar.
90
Selanjutnya menyangkut persyaratan lahan pada pelaksanaan program revitalisasi yang berasal dari tanah adat dapat dijadikan sebagai kepemilikan tanah
bagi petani plasma. Hal ini sebagaimana termuat pada Pasal 17 ayat 2 Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33PermentanOT.14072006 yang menyatakan bahwa:
“Tanah untuk pengembangan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berasal dari tanah petani, tanah adatulayat, tanah negara termasuk hutan
konversi serta tanah lainnya yang dimungkinkan untuk pengembangan perkebunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”
89
Yohanes Cyprianus Thambun Anyang, Kedudukan dan Penggunaan Tanah Adat di Kalimantan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Hukum Adat Universitas Tanjungpura, 9-3-2003
90
Ibid
Musa Rajekshah : Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kemitraan Dalam Pengelolaan Hak Atas Tanah Usaha Perkebunan Berdasarkan Program Revitalisasi Perkebunan, 2009
USU Repository © 2008
Dalam melaksanakan Revitalisasi Perkebunan untuk mendukung operasional di lapangan diperlukan persyaratan lahan sebagai berikut:
91
a. Luasan lahan per hamparan diarahkan untuk memenuhi skala ekonomi sesuai
dengan jenis komoditasnya. b.
Maksimal lahan yang dapat dibiayai 4 empat ha per petani peserta; c.
Kelas kesesuaian lahan untuk masing-masing komoditi adalah S1, S2 dan S3; d.
Lokasi lahan dapat dijangkau oleh petani dari pemukimannya; e.
Lahan tidak bermasalah atau diokupasi oleh pihak lain; f.
Mempunyai ijin pelepasan kawasan hutan bagi yang berasal dari kawasan hutan.
Untuk menghindari konflik sosial dengan masyarakat menyangkut kepemilikan lahan pada program revitalisasi perkebunan sebaiknya perusahaan inti
harus memperhatikan acuan yang termuat pada Keppres Nomor 97 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal sebagaimana diubah dengan Keppres Nomor
115 Tahun 1998 dan Nomor 117 Tahun 1999, untuk itu Kepala BPN wajib menyesuaikan serta mengatur kembali mengenai tata cara memperoleh izin lokasi dan
hak atas tanah bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri negara Agrariakepala BPN No.2 Tahun 1993.
Peraturan ini sekaligus mencabut Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 1992 tentang Tata Cara bagi Perusahaan untuk memperoleh Pencadangan Tanah, Izin lokasi,
Pemberian, Perpanjangan, dan Pembaharuan Hak atas Tanah serta penerbitan
91
Pedoman Umum Program Revitalisasi Perkebunan, Loc.cit
Musa Rajekshah : Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kemitraan Dalam Pengelolaan Hak Atas Tanah Usaha Perkebunan Berdasarkan Program Revitalisasi Perkebunan, 2009
USU Repository © 2008
Musa Rajekshah : Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kemitraan Dalam Pengelolaan Hak Atas Tanah Usaha Perkebunan Berdasarkan Program Revitalisasi Perkebunan, 2009
USU Repository © 2008
sertifikatnya. Izin lokasi yang dimasudkan dalam Peraturan Kepala BPN ini adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah sesuai dengan Tata
Ruang Wilayah, yang berlaku sebagai izin pemindahan hak. Untuk mendapatkan izin lokasi, perusahaan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan
dengan melampirkan rekaman surat persetujuan penanaman modal bagi PMDN atau surat pemberitahuan Persetujuan Presiden bagi PMA.
Dalam mempersiapkan Izin Lokasi, Kepala Kantor Pertanahan mengadakan koordinasi dengan instansi terkait. Keputusan Kepala Kantor Pertanahan atas
permohonan izin lokasi sudah harus keluar dalam waktu selambat-lambatnya 12 hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan secara lengkap. Berdasarkan Surat
Keputusan Izin Lokasi tersebut perusahaan dapat memulai kegiatan perolehan tanah. Tanah yang diperoleh dari tanah yang dikuasai negara, pemohon terlebih
dahulu harus membebaskan garapan atau penguasaan lainnya atas tanah, tersebut sebelum mengajukan permohonan haknya. Setelah memperoleh izin lokasi dan
kegiatan perolehan tanah selesai, perusahaan wajib mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanahnya. Untuk HGU permohonan diajukan kepada Kepala
Kantor Wilayah setempat dengan dilampiri rekaman, izin lokasi, bukti-bukti perolehan tanah, jari diri pemohonakte pendirian perusahaan yang telah memperoleh
pengesahan sebagai badan hukum, Keputusan pelepasan kawasan hutan dari menteri Kehutanan dalam hal tanahnya diperoleh dari hutan konversi, Gambar situasi hasil
pengukuran kadasteral oleh Kantor Pertanahan setempat.
C. Hubungan Hukum Antara Perusahaan Inti Dengan Plasma Pada Program Revitalisasi Perkebunan