Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kemitraan Dalam Pengelolaan Hak Atas Tanah Usaha Perkebunan Berdasarkan Program Revitalisasi Perkebunan

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRINSIP KEMITRAAN

DALAM PENGELOLAAN HAK ATAS TANAH

USAHA PERKEBUNAN BERDASARKAN

PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN

TESIS

Oleh

MUSA RAJEKSHAH

077005042/HK

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRINSIP KEMITRAAN

DALAM PENGELOLAAN HAK ATAS TANAH

USAHA PERKEBUNAN BERDASARKAN

PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUSA RAJEKSHAH

077005042/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRINSIP KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN HAK ATAS TANAH USAHA PERKEBUNAN BERDASARKAN PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN

Nama Mahasiswa : Musa Rajekshah

Nomor Pokok : 077005042

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a

(Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, SH, MLI) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal

02 Maret 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

:

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota

:

1. Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, SH, MLI

2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

3. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

4. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Program revitalisasi perkebunan bertujuan untuk meningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan perekonomian masyarakat yang dapat dilihat dari pola kemitraan dalam lingkup perjanjian inti plasma antara petani dengan perusahaan sebagai mitra usaha. Kemitraan dimaksud berupa pengelolaan seluruh kebun baik milik mitra usaha maupun milik pekebun yang dilakukan oleh mitra usaha mulai dari persiapan, pengelolaan kebun, pengolahan dan pemasaran yang ditujukan untuk tetap menjaga kualitas kebun dan kesinambungan usaha. Di samping itu guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan komitmen perusahaan perkebunan maka petani peserta programa revitalisasi sebagai binaan mitra usaha menjual hasil kebunnya kepada mitra usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan atau kesepakatan bersama antara mitra usaha dan petani peserta. Hal ini mereduksi bahwa perjanjian inti plasma merupakan pelaksanaan sistem sub-contracting antara petani peserta (koperasi) dan perusahaan perkebunan sebagai mitra usaha. Program revitalisasi perkebunan apabila dikaitkan dengan tanggungjawab sosial perusahaan merupakan implementasi kewajiban perusahaan dan memiliki manfaat bagi perusahaan. Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini meliputi: Pertama, bagaimana ketentuan-ketentuan kerjasama antara petani peserta/koperasi dengan mitra usaha perusahaan perkebunan berdasarkan program revitalisasi perkebunan. Kedua, bagaimana penerapan kerjasama pengelolaan hak atas tanah usaha perkebunan antara petani peserta/koperasi dengan mitra usaha perusahaan perkebunan berdasarkan program revitalisasi perkebunan. Ketiga, bagaimana tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dalam pelaksanaan program revitalisasi perkebunan.

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data skunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library research) berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Di samping itu untuk melengkapi data pustaka dilakukan wawancara sebagai data primer yakni informan di PT. Anugerah Langkat Makmur, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Ketentuan-ketentuan kerjasama antara petani peserta plasma dengan perusahaan inti dalam pelaksanaan kemitraan tertuang dalam suatu perjanjian yang lazim disebut sebagai contract farming, pada pelaksanaan penerapan kerjasama pengelolaan hak atas tanah usaha perkebunan melalui program revitalisasi dalam praktek mengalami beberapa kendala yang meliputi beberapa peraturan daerah di kabupaten/kota yang berbeda, peran pemerintah daerah saat ini kurang mendukung pelaksanaan program revitalisasi, pihak bank pemerintah yang ditunjuk menerapkan administrasi yang berbelit-belit, apabila berakhirnya tenggang waktu perjanjian kredit antara petani plasma dan perusahaan inti sebagai avalis di bank maka petani plasma ada yang menjual kebunnya kepada pihak ketiga sehingga tujuan dari program revitalisasi telah beralih fungsi. Revitalisasi perkebunan merupakan salah satu bentuk implementasi perwujudan tanggungjawab sosial perusahaan di bidang perkebunan, misalnya penerapan program


(6)

revitalisasi perkebunan yang dilakukan oleh PT. Anugerah Langkat Makmur dengan KUD BAJA PIRLOK Sei Lepan telah meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat baik di bidang ekonomi maupun di bidang pendidikan. Peningkatan ini didasarkan pada wujud nyata implementasi PT. Anugerah Langkat Makmur dalam rangka mensejahterakan masyarakat melalui program-program tanggungjawab sosial masyarakat jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.


(7)

ABSTRACT

Plantation revitalization program intended to improve the welfare and economic growth of community can be seen from the pattern of patnership in the agreement made between the farmers and the company as business partner. The partnership in this context is in the form of the management of all plantations belong to the farmers or those belong to the plantation company done by the farmers commencing from the preparation, plantation management, processing and marketing in order to maintain the quality of the plantations and business continuity. To improve community’s welfare and the committment of plantation company, the farmers in their capacity as the members of revitalization program as well as business partner sell their crops to the plantation company according to the statement stated in the agreement they jointy made. This statement reduces the assumption that the core plasma agreement is the implementation of sub-contracting system between the farmers (members of cooperative) and the plantation company as business partner. Related to corporate social responsibility, plantation revitalization program is the implementation of company’s responsibility and is useful for the company. The purpose of this study is to find out, first, the legal forms of cooperation between the farmers as cooperative members and the plantation company as business partner; second, how the cooperation of plantation land-right management between the farmers as cooperative members and the plantation company as business partner has been applied; and, third, the forms of corporate social responsibility of the plantation company in the implementation of the plantation revitalization program.

The data for this analytical descriptive study with normative juridical approach were based on secondary data in the forms of secondary and tertiary legal materials obtained through library research. The primary data for this study were obtained through interviewing the staff of PT. Anugerah Langkat Makmur. The data obtained were then qualitatively analyzed.

The legal forms of the coorperation between plasma farmers and core plantation company in the implementation of partnership are stated in an agreement which is commonly called contract farming, in practice, the implementation of the cooperation in managing the plantation land-right through the revitalization program experienced various constraints in the forms of different local regulations applied by different district/city governments. Currently, the role of local (district/city) government does not much support the implementation of revitalization program and the state-owned banks assigned to support the revitalization program apply an unclear administrative regulation. When the period of time of credit agreement between the farmers and the plantation company in the bank ends, some of the farmers sell their plantation to the third party that the objective of the revitalization program cannot be achieved because the function of the plantation changes. Plantation revitalization is one of the implementation forms of the corporate social responsibility materialization in the field of plantation such


(8)

as the application of plantation revitalization program implemented by PT. Anugerah Langkat Makmur together with KUD BAJA PIRLOK Sei Lepan which has economically and educationally improved the community’s welfare. This improvement is based on the materialization of the corporate social responsibility implemented by PT. Anugerah Langkat Makmur to improve community’s welfare before Law No. 40/2007 on Limited Liability Company was issued.


(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum, Wr.Wb

Alhamdulillah, Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas kesehatan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Adapun topik penelitian pada tesis ini yakni” Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kemitraan Dalam Pengelolaan Hak Atas Tanah Usaha Perkebunan Berdasarkan Program Revitalisasi Perkebunan. Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul, bimbingan, ujian dan perampungan penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum kekhususan Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

2. Ibu, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa. B. M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah


(10)

diberikan bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum kekhususan Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Pembimbing Utama sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Megister Ilmu Hukum kekhususan Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLI, selaku Komisi Pembimbing yang penulis rasakan cukup memberikan atensi dan perhatian yang begitu besar dalam memotivasi penulis untuk secepat mungkin menyelesaikan studi.

5. Ibu Dr. Sunarmi, SH. M. Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum juga sebagai Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis.

6. Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, MH, selaku penguji, terima kasih atas masukan dan dorongan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis.

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M. Hum, selaku penguji, terima kasih atas masukan dan pendapatnya dalam penyempurnaan substansi tesis ini.

8. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(11)

9. Seluruh staf dan pegawai Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya staf dan pengawai Program Studi Magister Ilmu Hukum

Ucapan terima kasih dan do’a penulis untuk orang tua dan mertua, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan-kebaikannya. Do’a-do’a beliau selalu mengiringi penulis sampai sekarang ini. Khusus untuk isteri dan anak-anak penulis yang telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dan menyelesaikan studi ini, semoga apa yang telah Dadak lakukan menjadi motivasi mereka untuk terus belajar. Kepada seluruh saudara-saudara, sahabat dan kerabat yang telah mendukung dan mendo’akan, penulis ucapkan terima kasih atas segala bantuan dan perhatiannya. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kombes Pol. Drs. Roni Shompie, SH, MH, Bapak AKBP Arie Wishnu Gautama, SH, M. Hum, Dr. (cdt). Alpi Sahari, A.ma, SH. M.Hum terima kasih atas dukung dan bantuannya dalam merampungkan penyelesaian penelitian tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf dan karyawan PT. Anugerah Langkat Makmur yang telah memberikan masukan dan data yang berkaitan dengan penelitian tesis ini, semoga penelitian tentang program revitalisasi perkebunan di PT. Anugerah Langkat Makmur ini dapat menjadi kerangka acuan dan pedoman di dalam penerapan revitalisasi perkebunan. Penulis berharap semoga ada penelitian lanjutan mengenai revitalisasi perkebunan di PT. Anugerah Langkat Makmur sehingga visi “Untuk Menjadi Perusahaan


(12)

Agribisnis Nasional Yang Terkemuka Dan Maju Berkembang Bersama Mitra” dapat dideskripsikan dengan baik dan berdayaguna dalam penerapannya.

Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang prinsip kemitraan pada program revitalisasi perkebunan.

Semoga Allah SWT memberikan berkah, karunia dan kekuatan lahir batin kepada kita semua.

Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.

Medan, Maret 2009

Penulis.


(13)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Musa Rajekshah

Temp/Tgl. Lahir : Medan/ 01 April 1974 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pendidikan :

1. Sekolah Dasar Harapan Medan

2. Sekolah Menengah Pertama Harapan Medan 3. Sekolah Menengah Umum Harapan Medan

4. Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Jurusan Ilmu Hubungan Masyarakat Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan

5. Kelas Kekhususan Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR... v

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR SINGKATAN... xiv

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 20

C. Tujuan Penelitian ... 21

D. Manfaat Penelitian ... 21

E. Keaslian Penulisan ... 23

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 23

1. Kerangka Teori... 23

2. Kerangka Konsepsiomal ... 39

G. Metode Penelitian ... 42

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 42

2. Sumber Data... 43

3. Teknik Pengumpulan Data... 45

4. Analisis Data ... 46

BAB II : KETENTUAN KETENTUAN KERJASAMA ANTARA PETANI PESERTA/KOPERASI DENGAN MITRA USAHA PERUSAHAAN PERKEBUNAN BERDASARKAN PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN ... 47

A. Program Revitalisasi Bertujuan Untuk Membangun Perkebunan Rakyat... 47

B. Kepemilikan Lahan Sebagai Persyaratan Program Revitalisasi . 58 C. Hubungan Hukum Antara Perusahaan Inti Dengan Plasma Pada Program Revitalisasi Perkebunan... 63


(15)

1. Hubungan Hukum Para Pihak... 74

2. Hubungan Hukum Antara antara Petani dengan Perusahaan.... 75

3. Hubungan Hukum antara Koperasi dengan Perusahaan ... 77

4. Hubungan Hukum antara Petani Plasma dengan Bank ... 78

BAB III : PENERAPAN KERJASAMA PENGELOLAAN HAK ATAS TANAH USAHA PERKEBUNAN ANTARA PETANI PESERTA/KOPERASI DENGAN MITRA USAHA PERUSAHAAN PERKEBUNAN BERDASARKAN PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN ... 81

A. Ruang Lingkup Perjanjian Inti Plasma di PT. Anugerah Langkat Makmur... 81

1. Identitas para pihak ... 86

2. Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Inti Plasma 88 3. Kewajiban dan Hak Para Pihak Dalam Perjanjian Inti Plasma ... 92

4. Hubungan Hubungan Perusahaan Inti sebagai Avalis dengan Bank ... 96

5. Wanprestasi dan Ganti Kerugian ... 98

6. Perselisihan dan Domisili ... 99

7. Berakhirnya Perjanjian Inti Plasma... 100

B. Perjanjian Inti Plasma Antara PT. Anugerah Langkat Makmur dengan KUD BAJA Perlok Sei Lepan Sebagai Sarana Mengembangkan Usaha Kecil di Kabupaten Langkat... ... 101 BAB IV : TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN CORPORATE SOCIAL RESPONBILITY DALAM PELAKSANAAN PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN... 110

A. Revitalisasi Perkebunan Untuk Membangun Kemitraan Melalui Tanggungjawab Sosial Perusahaan ... 110

B. Pengadaan Plasma Sebagai Kewajiban Tanggungjawab Sosial Perusahaan ... 114


(16)

A. Kesimpulan ... 120 B. Saran... 123 DAFTAR PUSTAKA... 127


(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Target Pengembangan Revitalisasi Perkebunan (1.000 Ha) ... 48 2 Ruang Lingkup Kegiatan Program Revitalisasi Perkebunan ... 50 3 Perbedaan Menyangkut Keterkaitan Pola PIR dengan Program

Revitalisasi Perkebunan ... 51 4 Rekapitulasi Penerimaan dan Pengeluaran Uang Hasil Produksi


(18)

DAFTAR SINGKATAN BUMN : Badan Usaha Milik Negara BUMD : Badan Usaha Milik Daerah

BI : Bank Indonesia

BRI : Bank Rakyat Indonesia

CSR : Corporate Social Responsibility

CPO : Crude Palm Oil

CDC : Commonwealth Development Corporation

HGU : Hak Guna Usaha

IUP : Izin Usaha Perkebunan

KK : Kepala Keluarga

KUD : Berkat Anugerah Jaya

NES System : Nucleus Estate and Smallholders system

PIR : Perkebunan Inti Rakyat

PIR-BUN : Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan PT. ALAM : PT.Anugerah Langkat Makmur

RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah

TBS : Tandan Buah Segar

UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria UPK : Usaha Pertanian Kontrak UPP : Unit Pelaksanaan Proyek


(19)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pembangunan yang berkelanjutan (sustainable) di bidang ekonomi sebagai tujuan pembangunan nasional mensyaratkan adanya harmonisasi hubungan antara pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan baik pada tingkat infrastruktur maupun suprastruktur pembangunan. Salah satunya adalah terciptanya hubungan yang harmonis bagi pelaku usaha dengan masyarakat. Hubungan ini meliputi sikap yang menekankan pada masyarakat dan pengusaha sebagai pelaku utama pembangunan1 dan pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban untuk mengarahkan, menciptakan, menyelenggarakan suasana yang menunjang pembangunan.2 Hal ini memerlukan sikap saling mengisi dan melengkapi sebagai suatu sistem untuk mencapai tujuan pembangunan. Tujuan dari harmonisasi ini adalah adanya keteraturan.3

1

Djuhaedah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisonta (Suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 4, bahwa pembangunan menghendaki pembaharuan sikap dari masyarakat yang sedang membangun, dalam pembangunan yang sedang dilaksanakan di Indonesia dewasa ini jelas dibutuhkan pula perubahan sikap dari masyarakat Indonesia sendiri agar pembangunan dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.

2

Supraba Sekarwati, Gagasan Mengenai Pembentukan Bank Tanah (Land Bank) Dalam Rangka Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Yang Berkelanjutan Di Indonesia, (Bandung: Naskah Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003), hlm. 6,bahwa dalam hal peran pemerintah (dalam arti luas) untuk menjalankan tugasnya termasuk menyelenggarakan kegiatan pembangunan harus berdasarkan hukum.

3

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum-Universitas Padjadjaran, Binacipta, Cetakan Kedua, 1986), hlm.2, menyatakan adanya keteraturan ini merupakan pencerminan dan adanya ketertiban, adapun pernyataan beliau sebagai berikut: “Ketertiban adalah


(20)

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk itu dilakukan pembangunan yang hakekatnya ialah pembangunan manusia Indonesia seluruhnya dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar dan pedoman bagi pembangunan nasional. Pelaksanaan konsep kepemilikan hak atas tanah oleh perusahaan perkebunan dalam rangka pembangunan perekonomian masyarakat dan kesejahteraan masyarakat lokal tentunya tidak dapat dipisahkan dari prinsip-prinsip hukum agraria nasional, terutama menyangkut hak menguasai dari negara. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memberi dasar-dasar hukum bagi pelaksanaan politik hukum agraria nasional. Untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pembangunan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Pembangunan hukum pertanahan nasional Indonesia merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila di bidang pertanahan untuk terciptanya kesejahteraan masyarakat.

Usaha mensejahterakan masyarakat sebagai kewajiban pemerintah mensyaratkan berbagai upaya harus dilakukan guna menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan sesuai dengan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) sebesar 5,1%-8,2%. Upaya yang dilakukan adalah pengembangan sektor riil sebagai kontribusi terbesar yakni sektor pertanian, perdagangan dan industri manufaktur sebagai strategi pertumbuhan ekonomi (growth oriented strategy).4

tujuan pokok dan pertama daripada segala hukum. Kebutuhan akan ketertiban ini,syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur”.

4

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Book Terrace&Library, 2007), hlm. 102 bahwa strategi pertumbuhan ekonomi (growth oriented strategy) yang berorientasi kepada


(21)

Oleh karena itu perlu adanya upaya terobosan untuk meningkatkan sektor riil agar tumbuh positif dan upaya ini dapat dilakukan melalui pengembangan perkebunan khususnya melalui pelaksanaan program revitalisasi perkebunan kelapa sawit, karet dan kakao.5 Pilihan komoditi kelapa sawit, karet dan kakao dalam program revitalisasi perkebunan di atas hak atas tanah yang diberikan oleh Negara didasarkan beberapa pertimbangan strategis antara lain:6

1. Komoditi yang dikembangkan mempunyai peranan yang sangat strategis sebagai sumber pendapatan masyarakat.

2. Komoditi yang dikembangkan mempunyai prospek pasar, baik pasar dalam negeri maupun ekspor.

3. Mampu menyerap tenaga kerja baru.

4. Mempunyai peranan dalam melestarikan fungsi lingkungan hidup.

Peranan ini didasarkan dari data Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian sebagai berikut:7

“Dari data yang ada menunjukkan bahwa pada tahun 2005 pengembangan 3 (tiga) komoditi ini mampu menyerap tenaga kerja yang paling besar yaitu pengembangan tanaman kelapa sawit 2,7 juta Kepala Keluarga (KK), pengembangan tanaman karet 1,4 juta Kepala Keluarga (KK) dan sektor non-migas sebagai penggerak utamanya telah menempatkan pentingnya sektor industri. Orientasi baru ekonomi Indonesia tersebut telah membuka kesempatan bagi dunia usaha khususnya sektor swasta, baik perusahaan yang beskala besar, menengah maupun kecil, untuk mendorong berkembangnya industri di Indonesia.

5 Kebijakan Pemerintah tentang Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK)

yang dicanangkan oleh Presiden RI pada bulan Juni 2005 di Jatiluhur, Jawa Barat.

6

Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menyatakan bahwa:

(1) Hak guna usaha untuk usaha perkebunan diberikan dengan jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun.

(2) Jangka waktu sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), atas permohonan pemegang hak diberikan perpanjangan waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun oleh instansi yang berwenang di bidang pertanahan, jika pelaku usaha perkebunan yang bersangkutan menurut penilaian Menteri memenuhi seluruh kewajibannya dan melaksanakan pengelolaan kebun sesuai dengan ketentuan teknis yang ditetapkan.

7


(22)

pengembangan tanaman kakao 500 ribu Kepala Keluarga (KK). Di samping itu, dari total ekspor komoditi perkebunan yang memberikan nilai sebesar US$ 10,9 milyar, sekitar 70% berasal dari ekspor komoditas kelapa sawit, karet dan kakao. Prospek pasar ketiga komoditas tersebut sangat cerah, baik untuk pasar ekspor maupun dalam negeri. Upaya untuk mengembangkan 3 (tiga) komoditi tersebut tentunya akan dapat meningkatkan peran penting komoditi tersebut dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja maupun penerimaan devisa ekspor”.

Pemanfaatan hak atas tanah oleh perusahaan perkebunan untuk kesejahteraan masyarakat dalam rangka peningkatan pengembangan komoditas pengembangan sektor riil ditujukan melalui program kemitraan antara masyarakat lokal sebagai plasma dengan perusahaan inti sebagai pola bapak angkat.8 Pola kemitraan tersebut dilakukan berdasarkan program revitalisasi perkebunan.9

Setidak-tidaknya terdapat empat tujuan revitalisasi perkebunan sebagai berikut: Pertama, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat melalui pengembangan perkebunan. Kedua, meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktifitas dan pengembangan industri hilir berbasis perkebunan. Ketiga, meningkatkan penguasaan ekonomi nasional dengan mengikutsertakan masyarakat dengan pengusaha lokal. Keempat, mendukung pengembangan wilayah. Pelaksanaan pengembangan perkebunan melalui program revitalisasi perkebunan

8

Pedoman Umum Program Revitalisasi Perkebunan, Kelapa Sawit, Karet, Kakao, Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta, Januari 2007, hlm. 4 bahwa kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil/pekebun dengan usaha menengah dan/atau usaha besar sebagai mitra usaha disertai dengan pembinaan dan pengembangan usaha menengah dan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling menukar, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

9

Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/Permetan/OT.140/2006 Tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan, bahwa Program Revitalisasi Perkebunan adalah upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra dalam pengembangan perkebunan, pengolahan dan pemasaran hasil.


(23)

harus didukung melalui kebijakan yang berbasis masyarakat (political will) oleh pemerintah baik pusat maupun daerah guna mendukung program revitalisasi perkebunan,10 di samping kemampuan dan kemauan perusahaan yang bergerak di bidang usaha perkebunan sendiri. Hal ini didasarkan pada pelaksanaan program revitalisasi perkebunan yang diorientasikan bagi pembangunan perkebunan rakyat dengan pendekatan pengembangan sebagai berikut:11

1. Pengembangan perkebunan rakyat yang dilakukan adalah melalui kemitraan, baik pada pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) maupun kemitraan lainnya. Untuk wilayah yang tidak tersedia mitranya, dimungkinkan pengembangan dilakukan secara langsung oleh pekebun atau melalui Koperasi dengan pembinaan oleh jajaran Departemen Pertanian dan Dinas yang membidangi perkebunan provinsi dan kebupaten.

2. Setiap lokasi pengembangan diarahkan untuk terwujudnya hamparan yang kompak serta memenuhi skala ekonomi.

3. Luas lahan maksimum untuk masing-masing petani peserta yang ikut dalam Program Revitalisasi Perkebunan adalah 4 ha per KK, kecuali untuk wilayah khusus yang pengaturannya ditetapkan oleh Menteri Pertanian.

4. Untuk memberikan jaminan kepastian dan keberlanjutan usaha, pengembangan perkebunan yang melibatkan mitra usaha dapat dilakukan melalui pengelolaan kebun dalam satu manajemen minimal 1 (satu) siklus tanaman.

5. Bunga kredit yang diberikan kepada petani sebesar 10% dengan subsidi bunga menjadi beban pemerintah sebesar selisih antara bunga pasar yang berlaku untuk kredit sejenis dengan bunga yang dibayar petani peserta. Subsidi bunga

10

Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal (Studi Kesiapan Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral), (Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana, 2005), hlm. 294 bahwa Pemerintah Daerah memiliki peran yang sangat strategis dalam peningkatan penanaman modal secara nasional, dengan cara mendorong iklim investasi yang kondusif di daerah. Kewenangan bidang penanaman modal pada daerah paling tidak dapat memangkas mata rantai birokrasi dalam perijinan investasi. Dengan demikian diharapkan dapat mengurangi ekonomi biaya tinggi (high cost economy) sebagai langkah awal yang strategis dalam menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif. Pemberian kewenangan bidang pelayanan penanaman modal kepada daerah juga diharapkan mampu mempercepat pembangunan infra struktur investasi di daerah sehingga lebih menggairahkan iklim invesatsi nasional. Oleh karena itu sejak keluarnya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 kewenangan bidang penanaman modal mulai diserahkan kepada daerah.

11

Pedoman Umum Program Revitalisasi Perkebunan, Kelapa Sawit, Karet, Kakao, Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta, Januari 2007, hlm. 12-13


(24)

diberikan selama masa pembangunan yaitu sampai dengan tanaman menghasilkan (maksimal 5 tahun untuk kelapa sawit dan kakao dan 7 tahun untuk karet). Besarnya suku bunga yang dibayar pekebun setelah masa tenggang adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bank (tanpa subsidi bunga).

6. Untuk meningkatkan dan memperkuat kesinambungan kemitraan usaha, setiap unit pengembangan diarahkan teritegrasi dengan unit pengolahan, dan secara bertahap petani peserta/koperasi petani dimungkinkan memiliki saham perusahaan mitra.

7. Petani peserta yang belum memiliki mitra usaha, secara bertahap akan didorong melakukan kemitraan dengan perusahaan yang memiliki industri pengolahan dibidang perkebunan.

8. Untuk mengawal pelaksanaan program ini akan memenfaatkan tenaga sarjana pertanian (sistem kontrak) dan diutamakan dari perguruan tinggi setempat sebagai petugas pendamping.

Pelaksanaan revitalisasi perkebunan pada hakekatnya merupakan bahagian dari reformasi agraria yang bertujuan untuk menghasilkan revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan yang kokoh. Reformasi agraria yang berhasil ditandai oleh kepastian penguasaan tanah yang menjamin penghidupan dan kesempatan kerja bagi petani, tata-guna tanah yang mampu memperbaiki pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian mutu lingkungan hidup, kedaulatan pangan, kemampuan produktivitas yang mampu membuat keluarga petani mampu melakukan re-investasi dan memiliki daya beli yang tinggi.12 Kalau hal ini terjadi, sektor pertanian akan menjadi sandaran hidup mayoritas rakyat dan juga sekaligus penyokong industrialisasi nasional. Dengan demikian reformasi agraria akan mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan keamananan. Dengan kata lain tujuan pokok dari reformasi agraria (yang sejati)

12

Dianto Bachriadi, Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program

Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY,


(25)

adalah penciptaan keadilan sosial yang ditandai dengan adanya keadilan agraria (agrarianjustice), peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat.13 Keadilan agraria itu sendiri dapat dimaknai sebagai suatu kondisi dimana struktur penguasaan tanah secara relatif tidak memperlihatkan ketimpangan, yang memberikan peluang bagi terciptanya penyebaran dan penguatan aktivitas perekonomian rakyat yang berbasis di pedesaan, dan kemudian menjadi basis bagi partisipasi aktif (dan produktif) bagi sebagian besar penduduk yang nyatanya bergantung pada aktivitas pertanian untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan nasional baik secara sosial, ekonomi, maupun politik.

Tujuan revitalisasi sebagaimana dimaksud di muka untuk mengatasi konflik konflik agraria yang merebak selama ini, karena konflik agraria itu sendiri merefleksikan pudarnya keadilan agraria di dalam suatu masyarakat (negara).14 Reformasi agraria dimaksudkan untuk menjawab ketimpangan dan konflik yang timbul. Konflik agraria selain merupakan akibat tidak dilaksanakannya reformasi agraria, juga dapat terjadi dalam proses reformasi agraria apabila persiapannya tidak matang. Untuk itu pelaksanaan revitalisasi perkebunan hendaknya tidak sekedar menempatkan reformasi agraria sebagai program penyerta atau complementary program bagi revitalisasi pertanian.15 Apalagi gagasan tentang revitalisasi pertanian itu masih disandarkan pada cara-cara lama, yakni mengandalkan kekuatan modal besar yang diundang dari luar pedesaan untuk mengeksploitasi potensi lokal. Jika

13

Ibid

14

Ibid

15


(26)

reforma agraria hanya ditempatkan sebagai complementary program, apalagi lebih diorientasikan untuk memberikan kepastian hukum (secara formal) bagi penguasaan tanah oleh petani semata untuk kemudian dilibatkan dalam program program pengembangan ekonomi yang eksploitatif yang dikendalikan oleh korporat-korporat bisnis.16

Berdasarkan pola kemitraan antara petani peserta,17 pekebun18 dan perusahaan perkebunan19 sebagai mitra usaha20 serta progran revitalisasi perkebunan menunjukkan bahwa konsep dasar peraturan yang mengatur penguasaan dan pemilikan atas tanah oleh perusahaan perkebunan. Program revitalisasi perkebunan dilaksanakan oleh perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan/atau izin usaha industri sebagai mitra usaha koperasi/kelompok tani dan/atau pekebun dengan persyaratan mitra usaha pengembangan perkebunan rakyat adalah perusahaan besar swasta, BUMN (Badan Usaha Milik Negara), BUMD (Badan

16

Ibid

17

Pasal 1 angka (9) Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/Permentan/OT. 140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan bahwa petani peserta adalah pekebun dan/atau penduduk setempat yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagai penerima fasilitas program revitalisasi perkebunan

18

Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun Tahun 2004 tentang Perkebunan bahwa pekebun adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu. Lihat juga Pasal 1 angka (10) Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/Permentan/OT. 140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan bahwa pekebun adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan dengan skala usaha kurang dari 25 Ha.

19

Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun Tahun 2004 tentang Perkebunan bahwa perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu

20

Mitra usaha adalah perusahaan besar swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak di bidang perkebunan dan telah memenuhi Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan/atau izin usaha industri maupun koperasi yang berbadan hukum dan bergerak di bidang perkebunan.


(27)

Usaha Milik Daerah) maupun koperasi yang berbadan hukum dan bergerak di bidang perkebunan yang telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Izin Usaha Industri yang telah dikeluarkan oleh Menteri Pertanian atau Bupati dan/atau Perusahaan yang memiliki HGU (Hak Guna Usaha) atau dalam proses. Adapun syarat mitra usaha dalam pelaksanaan program revitalisasi perkebunan melakukan kerjasama kemitraan dengan koperasi/kelompok tani dan atau petani peserta, kerjasama kemitraan dibuat dalam bentuk perjanjian yang meliputi beberapa ketentuan sebagai berikut:

1. Perijinan usaha dan legalitas di bidang perkebunan, pengurus dan usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku (SIUP, IUP,TDP,NPWP, dll).

2. Perusahaan/manajemen perusahaan berpengalaman di bidang usaha perkebunan.

3. Perusahaan atau pengurus telah memiliki pengalaman di bidang usaha perkebunan yang akan dibiayai (termasuk group usahanya).

4. Mitra usaha harus menjadi avalis (penjamin) pinjaman petani peserta/koperasi.

5. Mitra usaha harus memenuhi persyaratan Bank Teknis.

6. Mitra usaha telah memiliki perjanjian kerjasama dengan koperasi yang mewakili petani peserta/kelompok tani yang diketahui oleh Bupati/Walikota. 7. Studi kelayakan/proposal kegiatan pembangunan perkebunan yang akan

dilaksanakan

Perjanjian kerjasama mitra usaha dengan koperasi dilakukan dalam penentuan beberapa klausula kesepakatan, misalnya mitra usaha membina secara tekhnis dan manajemen para pekebun agar mampu mengusahakan kebunnya, baik selama pengembangan maupun selama tanaman menghasilkan serta memfasilitasi peremajaan tanaman. Di samping itu petani peserta yang bersama-sama mendirikan badan hukum dalam bentuk koperasi berkewajiban untuk menjual hasil kebun kepada


(28)

mitra usaha dengan harga sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan mitra usaha wajib membeli hasil kebun dengan harga sesuai ketentuan yang berlaku. Perjanjian kemitraan ini menekankan terjadinya sub-contracting untuk memenuhi hasil produksi perusahaan perkebunan sebagai mitra usaha masyarakat peserta program revitalisasi perkebunan.21

Peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan perekonomian masyarakat melalui pelaksanaan sistem sub-contracting antara petani peserta (koperasi) dan perusahaan perkebunan sebagai mitra usaha dapat dilihat dari pola kemitraan antara petani dengan perusahaan sebagai mitra usaha melalui pengelolaan seluruh kebun baik milik mitra usaha maupun milik pekebun yang dilakukan oleh mitra usaha mulai dari persiapan, pengelolaan kebun, pengolahan dan pemasaran yang ditujukan untuk tetap menjaga kualitas kebun dan kesinambungan usaha. Di samping itu guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan komitmen perusahaan perkebunan maka petani peserta programa revitalisasi sebagai binaan mitra usaha menjual hasil

21

Bismar Nasution, Op.cit, hlm. 104, bahwa di Indonesia pranata hukum yang mengatur praktik sub- contracting belum dapat memberikan sumbangan yang maksimal kepada pengembangan industri kecil. Walaupun telah adanya peraturan perundang-undangan yang pengaturannya bertujuan mengembangkan industri kecil melalui peningkatan praktik sistem sub contracting antara perusahaan besar dan perusahaan kecil. Seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang menggariskan salah satu kemitraan usaha besar/menengah dan usaha kecil dapat melakukan kemitraan dengan pola sub-contracting belum dapat ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat undang-undang. Oleh karena itu pelaksanaan hukumnya belum sepenuhnya berjalan mulus dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi industri kecil. Kenyataannnya peraturan praktik sub contracting belum sepenuhnya berjalan lancar. Disebabkan industri kecil yang menjadi sub-kontraktor sering menghadapi masalah-masalah yang sangat berkaitan dengan praktik sistem sub contacting. Dalam dialog temu usaha kecil, menengah dan koperasi dengan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Swasta tanggal 12 Maret 1997 di Jakarta terungkap bahwa kalangan pengusaha kecil dan koperasi menghadapi berbagai masalah, seperti terbatasnya kapasitas produksi dan permodalan, masih lemahnya wawasan kemampuan serta lemahnya penguasaan hukum mapun ketentuan dalam perdagangan Internasional.


(29)

kebunnya kepada mitra usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan atau kesepakatan bersama antara mitra usaha dan petani peserta.22 Hal ini dapat dilihat dari contoh pelaksanaan program revitalisasi PT. Anugerah Langkat Makmur (PT. ALAM) sebagai mitra usaha dengan KUD Berkat Anugerah Jaya (BAJA) PIR LOK SEI LEPAN Kabupaten Langkat sebagai petani peserta dalam rangka mensejahterakan dan meningkatkan tarap perekonomian masyarakat sekitar dengan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Adapun pelaksanaan program revitalisasi perkebunan yang telah dilakukan PT. Anugerah Langkat Mamur terhadap petani peserta revitalisasi dengan perolehan hasil produksi perbulan sebesar Rp. 4.271.878.84 setelah dikeluarkan biaya-biaya dan simpanan wajib untuk tanam ulang (replanting).

Adapun beberapa permasalahan yang muncul pada pelaksanaan revitalisasi perkebunan dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan pertumbunan perekonomian masyarakat sebagai tujuan dari perogram revitalisasi sebagaimana dirumuskan dalam Peraturan Menteri Pertanian RI, No.33/Permentan/OT.140/7/2006

22

Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menyatakan bahwa

(1) Perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan.

(2) Kemitraan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), polanya dapat berupa kerja sama penyediaan sarana produksi, kerja sama produksi, pengelolaan dan pemasaran, transportasi, kerja sama operasional, kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya.


(30)

tanggal 26 Juli Tahun 2006, tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan sebagai berikut:23

1. Persyaratan perbankan untuk pola non kemitraan mengalami hambatan dalam proses sertifikasi lahan;

2. Masih terdapat kredit peremajaan kebun rakyat yang belum lunas. 3. Standar biaya sertifikasi lahan masih beragam.

4. Jaminan untuk perkebunan rakyat yang berupa sertifikat tanah perorangan maupun tanah ulayat mengalami kendala dalam implementasinya dilapangan. 5. Belum adanya pemahaman yang sama tentang Program revitalisasi

perkebunan antara Pusat, Provinsi dan di tingkat Kabupaten/Kota;

6. Proses Administrasi (penetapan calon petani dan lahan serta calon mitra) lambat;

7. Persyaratan avalis sebagai mitra pengembangan perkebunan rakyat dirasakan memberatkan;

8. Beragamnya standar biaya sertifikasi lahan;

9. Jaminan untuk perkebunan rakyat (sertifikat tanah perorangan maupun tanah ulayat).

Selanjutnya, salah satu pola program revitalisasi perkebunan adalah dukungan kredit investasi perbankan dengan subsidi bunga oleh pemerintah yang melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil. Dukungan kredit investasi dan subsidi bunga dapat meningkatkan laju pertumbuhan program revitalisasi dan membantu perkembangan perekonomian koperasi sebagai petani peserta dalam rangka mensejahterakan masyarakat maupun mitra usaha perusahaan perkebunan. Hal ini didasarkan beberapa pertimbangan sebagai berikut:24

23

Hasil wawancara dengan Chairuddin Harahap, Corporate Secretary PT.Anugerah Langkat Makmur, tanggal 16 Desember 2008

24

Pedoman Umum Program Revitalisasi Perkebunan, Kelapa Sawit, Karet, Kakao, Op.cit, hlm. 32-33


(31)

1. Pendanaan untuk pembangunan perkebunan petani peserta 100% berasal dari dana Bank dengan mendapat subsidi bunga dari pemerintah. Subsidi bunga menjadi beban pemerintah yang harus dibayar kepada bank. Biaya untuk pembangunan kebun dan atau fasilitas pengolahan milik perusahaan mitra menjadi beban perusahaan mitra. Kredit untuk program revitalisasi perkebunan diberikan dan dikelola oleh perusahaan mitra setelah disetujui oleh bank yang kemudian akan dikonversi kepada petani peserta atau melalui koperasi setelah kebun memenuhi standar teknis dan mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Perkebunan. Untuk pengembangan perkebunan yang belum ada perusahaan mitra, khususnya karet dan kakao kredit diberikan secara langsung kepada petani peserta dan atau melalui koperasi.

2. Sumber pembiayaan berasal dari kredit investasi perbankan dengan bunga yang dikenakan kepada petani peserta ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) selama masa pembangunan (maksimal lima tahun untuk kelapa sawit dan kakao, tujuh tahun untuk karet) dan sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Biaya pembangunan kebun petani peserta adalah biaya yang mulai dari tahap pembangunan kebun sampai dengan saat penyerahan kebun termasuk bunganya, yang jumlahnya dihitung berdasarkan unit cost ditambah jasa manajemen fee sebesar 5 % (lima persen) dan biaya masa pembangunan (interst during contraction/IDC).

4. Bank yang telah menyatakan kesediaanya menyiapkan dana kredit untuk program revitalisasi perkebunan saat ini adalah PT. BRI (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri, PT. BUKOPIN, PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara dan Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat (Bank Nagari).

Perjanjian menyangkut pemberian kredit invetasi bagi program revitalisasi dibuat di dalam suatu kontrak pembiayaan proyek (offering letter) dengan memuat beberapa klausula yakni mempertimbangkan beberapan aspek yang menjadi dasar pembiayaan Bank, misalnya pembiayaan Perkebunan Kelapa Sawit pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat) Trans Sei Lepan Kabupaten Langkat KUD Berkat Anugerah Jaya oleh Bank Indonesia (BI) melalui BRI (Bank Rakyat Indonesia) Cabang Binjai Langkat Sumatera Utara dengan kredit anggota sebagai binaan PT Anugerah Langkat


(32)

Makmur (PT.ALAM).25 Adapun beberapa aspek pertimbangan dimaksud sebagai berikut:26

1. Aspek Hukum

Beberapa bahagian pada aspek hukum dalam pertimbangan meliputi, anggaran dasar KUD Baja, identitas anggota KUD Baja, dokumen pendukung dari bapak angkat yakni PT. Anugerah Langkat Makmur (PT. ALAM) berupa Akte Pendirian PT. ALAM beserta perubahannya serta pengesahan dari Departemen Kehakiman sebagai badan hukum, struktur/organ perseroan, identitas direksi sebagai organ perseroan dan laporan keuangan PT. ALAM dua tahun terakhir (Neraca dan Laba Rugi) yang telah diaudit oleh akuntan publik. Di samping itu, adanya perjanjian tertulis antara PT. ALAM dan KUD BAJA tentang pengelolaan proyek yang menyangkut hak dan kewajiban masing-masing serta mekanisme kerjasama yang diketahui oleh bank pelaksana mencakup perawatan tanaman, panen, pengangkutan TBS, perawatan infra struktur (jalan, jembatan), pengembalian kredit, mekanisme kerjasama. Perjanjian antara KUD BAJA dan anggotanya yang diketahui oleh bapak angkat mengenai tugas dan kewajiban dalam pengelolaan kebun termasuk penjualan TBS melalui KUD, pemotongan hasil penjualan untuk angsuran kredit, penyerahan sertifikat tanah kepada Bank. Perjanjian serah terima pengelolaan proyek transmigrasi dari Departemen Transmigrasi dan PPH kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Langkat. 2. Aspek Pemasaran

Aspek pemasaran yang terpenting adalah pemasaran TBS, beberapa informasi yang diperlukan dari aspek pasar dalam negeri adalah nama dan kapasitas PKS di sekitar lokasi proyek, luas perkebunan kelapa sawit di sekitar proyek dan di Kabupaten Langkat, apabila bapak angkat belum mempunyai PKS sendiri perlu ada kontrak penjualan TBS dengan pemilik PKS yang disertai akte notaris untuk beberapa tahun mendatang, apabila bapak angkat merencanakan pendirian PKS

25

Hasil wawancara dengan Chairuddin, Corporate Secretary PT. Anugerah Langkat Makmur tanggal 16 Desember 2008 bahwa Executive Summary Perkebunan Kelapa Sawit Inti Rakyat (PIR) PT. Anugerah Langkat Makmur dan KUD Berkat Anugerah Jaya di Kecamatan Sei Lepan Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara, Januari 2007 bahwa dana refinancing untuk proyek disetujui oleh Bank Indonesia dan dicairkan melalui Bank Rakyat Indonesia Cabang Binjai Langkat Sumatera Utara dengan kredit KKPA dengan hak-hak yang diterima kebun kelapa sawit yang sudah menghasilkan seluas 2 Ha berikut sertifikat, lahan perkarangan 500 M2, rumah Type berikut sertifikat dan fasilitas listrik. Jika diperhitungkan dana investasi yang telah dikeluarkan oleh perusahaan inti yakni PT. Anugerah Langkat Makmur (PT ALAM) untuk membangun kebun dan perumahan dimaksud secara riil cukup besar dan setelah diperhitungkan bantuan kredit tersebut hanya dapat membangun kebun, sehingga pembangunan perumahan serta fasilitasnya murni dari dana perusahaan inti, namun demikian perusahaan inti dengan rela dan ikhlas perumahan telah diserahkan sepenuhnya kepada peserta Pirlok sebagai sumbangsih pihak perusahaan.

26

Bank Indonesia, Tanggapan Usulan Proyek Perkebunan Kelapa Sawit Pola PIR Trans Sei Lepan, Langkat KUD Berkat Anugerah Jaya, 19 September 1996


(33)

perlu disertai dengan penjelasan kapan akan dibangun, sumber biaya dan kapasitas.

3. Aspek Teknis

Salah satu bahagian yang perlu diperhatikan mengenai aspek teknis yakni penjelasan teknis budidaya yang dilaksanakan mulai dari pembukaan lahan sampai dengan tanaman menghasilkan seperti antara lain pembibitan, pembukaan lahan, pembuatan tapak kuda, tersering (bila diperlukan), pemancangan, penanaman, pemeliharaan tanaman TBM, pemeliharaan TM, peta lokasi proyek dan peta blok lahan kebun serta perumahan transmigran, hasil analisa tanah dan rekomendasi pemupukan dari instansi berwenang.

4. Aspek Manajemen

Aspek manajemen meliputi uraian pengelolaan kebun oleh PT ALAM dan KUD BAJA, susunan organisasi proyek dilengkapi dengan chart organisasi, manajemen pengelolaan kredit.

5. Aspek Keuangan

Secara umum yang perlu dilihat dalam aspek keuangan meliputi proyeksi arus kas dan laba rugi perlu disesuaikan dengan kondisi bahwa pembiayaan kredit dengan sistem konversi dengan jumlah biaya sesuai dengan persetujuan bank pelaksana, penyusutan tanaman pada laba rugi dimulai pada saat tanaman mulai menghasilkan, perhitungan IRR, NPV dan B/C ratio untuk proyek perkebunan selapa sawit adalah untuk jangka waktu sampai dengan 25 tahun (umur produktif tanaman), bukan selama masa kredit. Discount rate yang dipakai untuk NPV dan B/C adalah 14% (bunga KKPA), analisis kepekaan (sensitity analysis) dilakukan dengan mengubah beberapa variabel penting satu persatu dan kombinasi (bila perlu) yang cukup menentukan seperti penurunan harga TBS, penurunan produksi dari yang direncanakan, kenaikan biaya operasional, perubahan variabel misalnya 10% atau besaran lain yang dianggap masuk akal dan realistis.

6. Aspek Jaminan/Agunan

Aspek jaminan juga meliputi jaminan tambahan yang dipakai seperti sertifikat tanah anggota, hasil panen hasil TBS, jaminan tambahan dari bapak angkat (sertifikat tanah). Beberapa sertifikat yang akan dijaminkan, luasnya, jenis sertifikat (tanah kebun, pekarangan), bentuk sertifikat (hak milik, HGB,HGU) dan jaminan lain yang dianggap perlu.

Salah satu syarat pemberian kredit investasi dalam pendanaan program revitalisasi perkebunan yakni kepemilikan hak atas tanah bagi petani peserta program revitalisasi yang dijadikan sebagai agunan ke Bank. Apabila tidak dipenuhinya syarat dimaksud mengakibatkan dana revitalisasi perkebunan tidak dapat dicairkan oleh


(34)

perani peserta program revitalisasi, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Washington Siregar selaku Kasubdin Bina Usaha Tani Dinas Perkebunan Sumut sebagai berikut:27

“Sedikitnya Rp. 358,421 milyar dana untuk program revitalisasi perkebunan di sumetara utara tidak dapat disalurkan bank kepada petani. Meski sebanyak 7.017 petani di daerah ini sudah ditetapkan sebagai peserta program revitalisasi perkebunan nonmitra, sejak dimulainya program revitalisasi perkebunan sejak awal tahun 2007 hingga saat ini, baru 6 hektar yang sudah menerima dana program revitalisasi perkebunan. Dana sebesar Rp. 113 juta itu diterima oleh 6 Kepala Keluarga (KK) petani di Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Padahal, sejak tahun 2007 hingga saat ini sedikitnya sudah ada 12.174 hektar lahan pertanian milik 7.017 petani yang sudah ditetapkan bupati di daerah masing-masing sebagai penerima peserta program revitalisasi perkebunan non mitra. Jumlah tersebut meliputi 10.635 hektar perkebunan karet, 1.237 hektar perkebunan kakao dan 906 hektar perkebunan kelapa sawit.”

Program revitalisasi perkebunan melalui pola kemitraan antara petani peserta (koperasi) dan mitra usaha perusahaan perkebunan pada dasarnya merupakan implementasi tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility)28 yang awalnya meliputi tanggungjawab moral perusahaan baik terhadap karyawan

27

Washington Siregar, Kasubdin Bina Usaha Tani Dinas Perkebunan Sumut, Harian Medan Bisnis, Rabu, 30 April 2008

28

Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa:

(1). Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan.

(2). Tanggungjawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatuhan dan kewajaran

(3). Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban tanggungjawab sosial dan lingkungan akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggungjawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.


(35)

perusahaan dan masyarakat sekitar perusahaan menjadi nilai bisnis.29 Dunia usaha tidak lagi dihadapkan pada tanggungjawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangan namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya.30 Oleh karena itu, ada empat bidang yang dianggap dan diterima sebagai tanggungjawab sosial perusahaan yakni:31

1. Keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas. Sebagai salah satu bentuk dan wujud tanggungjawab sosial perusahaan, perusahaan diharapkan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang terutama dimaksudkan untuk membantu memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi tanggungjawab sosial dan

29

Banu Astono, Semua Berawal Dari CSR, Kompas, Jum’at, 25 April 2008 bahwa belakangan ini banyak pengusaha besar yang mulai memasuki sektor pertanian, yang awalnya dari niatan melakukan CSR. Usaha pertanian tak lagi menjadi bisnis recehan. Kemajuan tekhnologi dan tuntutan zaman membuat pertanian bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut. Kebutuhan akan sumber bahan bakar terbarukan dari minyak nabati menjadi bisnis pertanian kini layaknya tambang emas. Tanpa ragu mereka mengakusisi perkebunan kelapa sawit berharga miliyaran dollar AS, mengembangkan riset tanaman pangan sampai membangun infrastruktur untuk memudahkan distribusi produknya. Salah satu pengusaha pemilik Grup Medco dan Dewan Penasehat Medco Foundation Arifin Panigoro. Arifin berhasil meningkatkan produktivitas sawah di lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah dari 2,5 juta ton gabah kering giling per hektar menjadi 5 ton gabah kering giling per hektar. Proyek ini adalah mengembangkan pertanian pangan pengahasil etanol di Merauke, Papua seperti jagung, singkong dan tebu. Selain itu, Arifin juga tengah menggodok rencana penanaman padi seluas 1.000 hektar dengan pola perusahaan perkebunan (rice estate) di luar Jawa.

30

Yusuf Wibisono, Membedah Konsep & Aplikasi CSR (Corporate Social Responsibility), (Gresik: Fascho Publishing, 2007), hlm. 24 bahwa dunia usaha bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi keberlangsungan usahanya, melainkan juga tanggungjawab terhadap sosial dan lingkungan. Dasar pemikirannya mengantungkan semata-mata pada kesehatan finansial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi terkait lainnya termasuk dimensi sosial dan lingkungan. Menghadapi tren tersebut, perusahaan mulai melihat serius pengaruh dimensi sosial dan lingkungan pada setiap aktivitas bisnisnya karena aspek-aspek tersebut bukan suatu pilihan yang terpisah melainkan berjalan beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan operasi perusahaan. Mereka jua meyakini bahwa progran CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainable) perusahaan, artinya CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost center) melainkan sebagai centra laba (profit center) di masa mendatang.

31

Bismar Nasution, Aspek Hukum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Disampaikan pada “Semiloka Peran dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan terhadap Masyarakat Lokal Wilayah Operasional Perusahaan Presfektif Hak Asasi Manusia, diselenggarakan oleh Komisi Hak Asasi Manusia Riau Pekanbaru, tanggal 23 Februari 2008, hlm. 3-4


(36)

moral perusahaan disini terutama terwujud dalam bentuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang berguna bagi masyarakat.

2. Perusahaan telah diuntungkan dengan mendapat hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada dalam masyarakat tersebut dengan mendapatkan keuntungan bagi perusahaan tersebut. Karena itu, keterlibatan sosial merupakan balas jasa terhadap masyarakat.

3. Dengan tanggungjawab sosial melalui berbagai kegiatan sosial, perusahaan memperlihatkan komitmen moralnya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas. Dengan ikut dalam berbagai kegiatan sosial, perusahaan merasa punya kepedulian punya tanggungjawab terhadap masyarakat dan dengan demikian akan mencegahnya untuk tidak sampai merugikan masyarakat melalui kegiatan bisnis tertentu.

4. Dengan keterlibatan sosial, perusahaan tersebut menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan masyarakat dan dengan demikian perusahaan tersebut akan lebih diterima kehadirannya dalam masyarakat tersebut. Ini pada gilirannya akan membuat masyarakat merasa memiliki perusahaan tersebut dan dapat menciptakan iklim sosial dan politik yang lebih aman, kondusif dan menguntungkan bagi kegiatan bisnis perusahaan tersebut. Ini berarti keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial juga akhirnya mempunyai dampak positif dan menguntungkan bagi kelangsungan bisnis perusahaan tersebut di tengah masyarakat.

Penerapan Corporate Social Responsibility (tanggung jawab sosial masyarakat yang selanjutnya disebut CSR)32 oleh perusahaan perkebunan sebagai mitra usaha petani peserta pada hakekatnya memberikan manfaat perusahaan, antara lain:33

a. Peningkatan penjualan dan pangsa pasar (Increased sales and market share)

32

Penjelasan Pasal 15 huruf (b) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menerangkan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.

33


(37)

b. Memperkuat posisi nama atau merek dagang (strengthened brand positioning)

c. Meningkatkan kemampuan untu menarik, memotivasi dan mempertahankan pegawai (Increased ability to attract, motivate, and retain employees)

d. Meningkatkan citra perusahaan (Enhanced corporate image and clout) e. Menurunkan biaya operasi (Decreasing operating cost)

f. Meningkatkan daya tarik bagi investor dan analis keuangan (Increased appeal to investors and financial analysts).

Implementasi CSR oleh PT. Anugerah Langkat Makmur dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pirlok Sei Lepan dapat dideskripsikan sebagai berikut:34

1. Pembangunan 2 unit gudang KUD

2. Pembangunan 2 unit gudang Tempat Pemasaran Kebutuhan (TPK) KUD 3. Pembangunan 2 unit Madrasah masing-masing 3 (tiga) lokal, dilengkapi

dengan rumah guru.

4. Bantuan pembangunan 5 (lima) unit gereja.

5. Penyerahan lahan seluas 1 Ha untuk pembangunan Sekolah SMP Negeri 6. Pemberian bibit rambutan untuk 243 KK.

7. Pemberian bea siswa kepada anak peserta sebanyak 10 orang sejak tahun 1998 8. Pembangunan 2 unit Masjid di lingkungan pemukiman I dan II

9. Bantuan kredit Taft Hiline sebanyak 1 (satu) unit tanpa bunga. 10.Pembangunan 5 (lima) unit sumur bor di lingkungan pemukiman II

11.Bantuan honor guru Madrasah dan beberapa orang guru honor SD Negeri Pirlok Sei Lepan.

12.Bantuan Honor Nazir Masjid dan Pengurus Gereja

13.Bantuan pemasangan jaringan listrik PLN di lingkungan pemukiman II

34

Executive Summary Perkebunan Kelapa Sawit Inti Rakyat (PIR) PT. Anugerah Langkat Makmur dan KUD Berkat Anugerah Jaya di Kecamatan Sei Lepan Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara, Januari 2007


(38)

14.Bantuan kredit pupuk (tanpa bunga)

15.Mengirim anak petani sebanyak 3 (tiga) orang ke Bukit Tinggi Sumatera Barat untuk mengikuti pendidikan membordir selam 2 (dua) tahun

16.Membangun sekolah membordir dengan penyediaan fasilitas sekolah di Pirlok Sei Lepan.

B. Rumusan Masalah

Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini maka perlu dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian35 yang akan dikaji lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang telah diidentifikasi tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan-ketentuan kerjasama antara petani peserta/koperasi dengan mitra usaha perusahaan perkebunan berdasarkan program revitalisasi perkebunan?

2. Bagaimana penerapan kerjasama pengelolaan hak atas tanah usaha perkebunan antara petani peserta/koperasi dengan mitra usaha perusahaan perkebunan berdasarkan program revitalisasi perkebunan?

3. Bagaimana tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dalam pelaksanaan program revitalisasi perkebunan?

35

Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis,(Jakarta: PPM, 2003), hlm. 35 bahwa masalah penelitian merupakan suatu pertanyaan yang mempersoalkan keberadaan suatu variabel atau mempersoalkan hubungan antara variabel pada suatu penomena. Variabel merupakan suatu arti yang dapat membedakan antara sesuatu dengan yang lainnya. Untuk membedakan antara manusia dalam wujud pria dan wanita dengan manusia dalam wujud yang lulus SD, SMU atau Sarjana, diberikan suatu arti pada wujud pertama di atas sebagai “jenis kelamin” (variabel Pertama) dan kedua sebagai tingkat pendidikan (variabel kedua). Jenis kelamin dan tingkat pendidikan adalah dua variabel yang berbeda.


(39)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui ketentuan-ketentuan kerjasama antara petani peserta/koperasi dengan mitra usaha perusahaan perkebunan berdasarkan program revitalisasi perkebunan

2. Untuk mengetahui penerapan kerjasama pengelolaan hak atas tanah usaha perkebunan antara petani peserta/koperasi dengan mitra usaha perusahaan perkebunan berdasarkan program revitalisasi perkebunan

3. Untuk mengetahui tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dalam pelaksanaan program revitalisasi perkebunan.

D. Manfaat Penelitian

Bertitik tolak dari tujuan penulisan yang didasarkan pada tujuan penelitian yaitu:

“…… to discover answers to questions through the application of scientific procedures. These procedures have been developed in order to increase the likelihood that the information gathered will be relevant to the question asked and will be reliable and unbiased. (Terjemahan bebas ... untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan melalui aplikasi prosedur-prosedur ilmiah. Prosedur


(40)

ini telah dikembangkan untuk meningkatkan kemungkinan dari informasi dikumpulkan akan berkait dengan pertanyaan tersebut dan terpercaya)36

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum ekonomi mengenai pengelolaan hak atas tanah oleh petani peserta/koperasi dengan mitra usaha perusahaan perkebunan berdasarkan program revitalisasi perkebunan dan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kerjasama kemitraan perkebunan khususnya kelapa sawit. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam penerapan prinsip kemitraan antara koperasi dan perusahaan perkebunan.

2. Secara Praktis

Manfaat penelitian ini memberikan masukan kepada pelaku usaha dalam mengambil pertimbangan untuk melaksanakan kemitraan dalam pengelolaan hak atas tanah usaha perkebunan berdasarkan program revitalisasi dan petani peserta/koperasi untuk memahami prinsip-prinsip dasar hukum kemitraan, selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat

36

Calire Seltz et.,al: 1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm. 9


(41)

bermanfaat bagi para pihak yang terkait dengan pengelolaan hak atas tanah usaha perkebunan melalui program revitalisasi khususnya pemerintahan propinsi maupun pemerintahan daerah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang tinjauan yuridis terhadap prinsip kemitraan dalam pengelolaan hak atas tanah usaha perkebunan berdasarkan program revitalisasi perkebunan belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Prinsip kemitraan yang dilakukan oleh badan usaha perkebunan melalui revitalisasi perkebunan dengan melibatkan berbagai kepentingan masyarakat (stakeholder) yang terlibat dalam usaha untuk mensejahterakan masyarakat tentunya memerlukan hubungan yang timbal balik dan saling menguntungkan. Disatu sisi masyarakat mempunyai peranan yang besar dari kelangsungan hidup sebuah


(42)

perusahaan dan masyarakat juga dapat menjadi first line defence yang akan membantu perusahaan dalam menghadapi masalah, disisi lain masyarakat juga membutuhkan perusahaan baik untuk mensuplai kebutuhannya tetapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.

Hubungan timbal balik ini dilandasi oleh pemikiran dilakukannya penerapan tanggungjawab sosial perusahaan kepada stakeholdernya yang mendasari dari konsepsi stakeholder theory yang dikenal semenjak kurang lebih 76 tahun yang lalu.37 Stakeholders secara singkat adalah orang atau instansi yang berkepentingan (pihak yang berkepentingan). Fokus daripada teori terletak pada dua wacana utama yakni:38 Pertama, apa yang menjadi tujuan dari perusahaan. Kedua, apa tugas yang diemban oleh manajer atau pengelola perusahaan terhadap para stakeholders. Teori stakeholders secara garis besar menyatakan bahwa tujuan daripada suatu perusahaan adalah mendatangkan manfaat bagi semua stakeholders yang berasumsi bahwa nilai-nilai (values) merupakan faktor yang sangat penting dan secara eksplisit merupakan bagian dari kegiatan bisnis sehingga melahirkan konsekuensi logis bahwa perusahaan mempunyai kewajiban dan tanggungjawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) untuk mengambil bagian dalam mencapai kesejahteraan

37

Bismar Nasution, Pengelolaan Stakeholder Perusahaan, Disampaikan pada Pelatihan Mengelola Stakeholders yang dilaksanakan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) tanggal 17 sampai dengan Oktober 2008 di Sei Karang Sumatera Utara, hlm. 4 bahwa kurang lebih 76 tahun yang lalu, E. Merrick Dodd menulis “For Whom Are Corporate Managers Trustees?”. Dalam tulisan ini Dodd meyakini bahwa perusahaan adalah kuasi entitas publik yang tidak hanya punya kewajiban dan tanggung jawab pada satu kelompok tapi juga kepada banyak pihak.

38

R. Edward Freeman, Andrew C. Wicks dan Binhan Parmar dalam Bismar Nasution, Ibid, hlm. 5


(43)

masyarakat dimana masyarakat bertindak sebagai bahagian dari masyarakat dan dapat menjamin kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka waktu yang panjang.39 a. corporate social responsibility dan sub-contracting

Kehadiran sistem ekonomi pro pasar (free private enterprise exchange economy) di sektor riil mikro ekonomi yang berbasis kerakyatan melaui pola pathnership (kemitraan) antara petani peserta revitalisasi perkebunan sebagai mitra usaha perusahaan perkebunan tentunya tidak menghilangkan peran pemerintah dan sangat dibutuhkan karena pemerintah sebagai forum untuk menetapkan rule of the game yang sudah ditetapkan.40 Atas dasar inilah maka sistem ekonomi pro pasar menurut pandangan hukum tidaklah tanpa batas yang diarahkan guna terwujudnya starategi pertumbuhan ekonomi (growth oriented strategy), kebijaksanaan pemerintah dalam menetapkan rule of the game dapat menciptakan perbaikan iklim investasi untuk mendorong semakin meningkatnya pertumbuhan perekonomian disertai dengan perusahaan yang menjalankan prinsip-prinsip kewajiban perusahaan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) misalnya kewajiban CSR.

39

Ibid, hlm. 15

40

Pasal 19 Undang-Undang Nomor 18 Tahun Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menyatakan bahwa ada beberapa kewajiban pemerintah sebagai berikut:

(1). Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota mendorong dan memfasilitasi pemberdayaan pekebun, kelompok pekebun, koperasi pekebun, serta asosiasi pekebun erdasarkan jenis tanaman yang dibudidayakan untuk pengembangan usaha agribisnis perkebunan.

(2) Untuk membangun sinergi antarpelaku usaha agribisnis perkebunan.

(3) Pemerintah mendorong dan memfasilitasi terbentuknya dewan komoditas yang berfungsi sebagai wadah untuk pengembangan komoditas strategis perkebunan bagi seluruh pemangku kepentingan perkebunan.


(44)

Menyangkut kewajiban CSR sangat berkaitan dengan teori utilitarisme yang dikemukakan oleh Jerrmy Bentham.41 Padangan teori ini menekankan pada suatu perbuatan atau aturan adalah baik, kalau membawa kesenangan paling besar untuk jumlah orang paling besar (the greatest good for the greatest number) dengan perkataan lain kalau memaksimalkan manfaat (Jutility Realisme).42 Artinya bahwa bila perusahaan melakukan kegiatan bisnis demi mencari keuntungan dan juga ikut memikirkan kebaikan, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dengan ikut melakukan berbagai kegiatan sosial yang berguna bagi masyarakat. Kegiatan sosial tersebut sangat beragam misalnya menyumbangkan untuk membangun rumah ibadah, membangun prasarana dan fasilitas sosial dalam masyarakat seperti listrik, air, jalan, melakukan penghijauan, menjaga sungai dari pencemaran atau ikut membersihkan sungai dari polusi, melakukan pelatihan cuma-cuma bagi pemuda yang tinggal disekitar perusahaan, memberi beasiswa kepada anak dari keluarga yang kurang mampu ekonominya dan seterusnya.43

Kebebasan private enterprise exchange economy yang dimaksudkan di atas adalah kebebasan dibawah hukum dan hanya berfungsi bila ada kerangka hukum yang mendasarinya. Smith menyatakan bahwa peran negara atau pemerintah itu hanya sebatas berfungsi sebagai penonton (inpartial spectator), dalam hal ini negara

41

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatau Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 79. Lihat juga, Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 64 bahwa hakekat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan, Seirama dengan ini Dworkin juga mengatakan the brand of utiltarianism wich gives importance to some conception of good life, exelence or welfare.

42

K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanusius, 2000), hlm. 238

43

A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansiny, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 123


(45)

atau pemerintah intervensi kalau mekanisme pasar gagal.44 Artinya pemerintah hanya boleh masuk untuk menyeimbangkan pasar, dimana bila tidak ada intervensi pemerintah akan menimbulkan distrosi dan tentunya terjadi monopoli alamiah (natural monopoly) misalnya tersedia tiga pilihan untuk menghadapinya yakni:45

1. Monopoli dilakukan oleh swasta. 2. Monopoli oleh pemerintah.

3. Dikeluarkan regulasi oleh pemerintah.

Kegagalan pasar sebagai alasan utama untuk intervensi pemerintah di bidang ekonomi sekaligus pula harus membuat hukum untuk mengarahkan kegiatan ekonomi, sehingga tepatlah sebagaimana yang pernah diamati Robert W. Gordon, bahwa hukum adalah salah satu di antara berbagai sistem yang berarti bagi rakyat dalam rangka pembangunan.46 Oleh karenanya hukum harus dirumuskan dengan keakuratan yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai landasan pembangunan ekonomi. Berdasarkan perlunya perlakuan yang adil dan wajar terhadap petani peserta program revitalisasi dengan mitra usaha maka dalam rangka pembangunan ekonomi dapat disimpulkan bahwa sistem hukum sub-contracting yang menuju perlindungan petani peserta program revitalisasi harus merupakan suatu hukum yang

44

Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, Tanggal 17 April 2004, hlm. 5

45

Ibid, hlm. 6

46

Robert W. Gordon, New Depelopments In Legal Theory, dalam Bismar Nasution, Ibid, hlm. 7


(46)

baik (responsive law).47 Jerome Frank mengemukakan responsive law harus merupakan kelanjutan dari keinginan merumuskan teori hukum yang modern, yang lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Karena dalam bertanggungjawab termasuk selektif dan penyesuaian diri. Lembaga hukum yang responsif akan tetap mempertahankan unsur-unsur yang penting bagi integritasnya, sambil terus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan baru di sekitar lingkungannya. Lebih jauh hukum yang responsif akan menganggap desakan masyarakat sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Dalam pengembangan petani peserta (koperasi) program revitalisasi perusahaan perkebunan dalam sistem hukum sub-contracting di Indonesia, maka model hukum yang responsif ini perlu menjadi perhatian dengan memasukkan unsur teori kepentingan sosial (theory of social interst) dari Roscoe Pound. Menurut Pound hukum yang responsif harus menawarkan sesuatu yang lebih dari hanya keadilan yang prosedural (prosedural justice). Tetapi hukum itu harus kompeten sekaligus adil dan harus dapat membantu menetapkan kepentingan umum serta harus menjadi komitmen dalam keadilan substansial (substantive justice).48

Pelaksanaan hukum dalam rangka pembangunan di Indonesia terdapat beberapa permasalahan dalam melaksanakan konsepsi hukum ini yakni sebagai sarana pembangunan di bidang ekonomi, masalah-masalah tersebut antara lain:

47

Phillipe Nonet dan Phillipe Zelznick, Law and Sociaty in Transsition: Toward Responsive Law (New: York: Harper Colophon Books, 1978), hlm. 73 dalam Bismar Nasution, Hukum Ekonomi I, Op.cit, hlm. 115

48


(47)

1. Indonesia menganut perundang-undangan sebagai cara pengaturan hukum yang utama,49 maka perundang-undangan ini yang akan lebih banyak digunakan sebagai sarana pembangunan masyarakat dibandingkan dengan yurisprudensi. Berkaitan dengan hal ini kesulitan yang akan dihadapi:

a. Dalam menetapkan prioritas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

b. Untuk membuat hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat. Sekarang ini sebagai pedoman ditetapkan prioritas pada pembinaan hukum yang menunjang pembangunan ekonomi. 2. Masalah dalam suatu masyarakat yang sedang membangun yang harus diatur

oleh hukum terbagi atas dua golongan, yaitu:

a. Masalah-masalah yang langsung mengenai kehidupan pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya spritual masyarakat.

49

Bandingkan dengan Mazhab Sejarah yang dipelopori oleh Von Savigny yang menolak bentuk perundang-undangan yang dibuat oleh negara dengan alasan bahwa hukum akan dengan sendirinya terwujud dan berkembang dalam setiap masyarakat. Disisi lain kubu positivisme hukum menekankan pada kepastian hukum termasuk dalam pembuatan perundang-undangan. Lihat juga uraian yang dikemukakan Law School Cornell University Herman J. Pietersen bahwa “... The chief purpose of legal formalism is to buid a comperehensive and tight (seamless) body of legal principles, proposition, and justificatory structures that can be applied to legal practice in the manner of a logical-deductive science like mathematics but without recourse to any nonlegal disciplines such philosophy or social science....”. Jadi menurut Herman J. pietersen maksud utama legal formalism adalah membangun prinsip-prinsip hukum, proposisi dan justificatory structures yang komprehensif dan ketat yang dapat diaplikasikan pada praktek-praktek hukum dengan cara (metode) ilmu alam yang deduktif logis tanpa bantuan disiplin ilmu-ilmu lain seperti filsafat ataupun ilmu sosial. Fx. Adji Samekto, Studi Hukum Kritis Kritik Terhadap Hukum Modern, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 7


(48)

b. Masalah-masalah yang bertalian dengan masyarakat dan kemajuan pada umumnya bersifat netral dilihat dari sudut kebudayaan. Bidang-bidang hukum yang netral lebih mudah dibina dan ditangani dan ini harus didahulukan.

b. Perjanjian Kemitraan

Perkebunan besar sebagai lembaga agraris yang mempunyai peranan dinamis untuk mendukung proses pembangunan, disarankan untuk dapat diterapkan pada usaha sektor pertanian lainnya, termasuk pada tanaman pangan.50 Kelompok ahli pembangunan berpendapat bahwa pembangunan perkebunan besar justru bersifat anti pembangunan dan menyebabkan "kemiskinan kronis" di pedesaan. Secara mikro sistem ini tidak atau kurang memberikan kesejahteraan yang sebanding dengan keuntungan dan nilai tambah yang diperoleh, terutama bagi para buruhnya. Kelompok ini berpendapat bahwa perkebunan besar menyebabkan proses pemiskinan yang terus-menerus, karena sifatnya yang "self contained dan enclave". Sifat ini dimungkinkan terjadi karena dalam bentuknya yang klasik, perkebunan besar ditandai dengan tingkat upah rendah yang tidak menumbuhkan konsumsi dan permintaan berarti pada sektor-sektor lainnya. Sistem produksi dan pengolahan

50

Benjamin White, Peranan Agrobisnis Dalam Industrialisasi Perkebunan dalam Rimbo Gunawan, Dilema Petani Plasma, Pengalamam PIR-BUN Jawa Barat, (Bandung: Yayasan Akatiga, 1995), hlm. 7


(49)

terintegrasi secara vertikal yang dikembangkan perkebunan besar, tidak memerlukan masukan dari masyarakat disekitarnya.51

Pandangan ini muncul berbagai upaya perbaikan sistem pengelolaan di sektor perkebunan besar, agar dampak buruknya dapat dikurangi atau dihilangkan. Sekarang terdapat kecenderungan berkembangnya bentuk-bentuk khas organisasi yang mengkaitkan secara vertikal satuan-satuan usaha kecil/rakyat dengan pengusaha besar agroindustri. Menurut Freeman dan Karen, tipe hubungan transaksi yang "menjanjikan" adalah hubungan antara sattelite farming di sekeliling corporate core, yaitu petani sebagai satelit dengan perusahaan agroindustri sebagai inti. Bentuk hubungan tersebut selanjutnya disebut usaha tani kontrak (contract farming) yang dirumuskan Colin Kirk, sebagai berikut:52

"Contract farming adalah suatu cara mengatur produksi pertanian, dengan cara itu petani kecil atau outgrower dikontrak oleh suatu badan sentral untuk memasok hasil pertanian sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam sebuah kontrak atau perjanjian. Badan sentral yang membeli hasil tersebut dapat menyediakan nasehat teknis, kredit dan masukkan-masukkan lainnya, serta menangani pengolahan dan pemasaran. Sistem ini juga disebut model inti satelit, di mana badan pusat sebagai inti membeli hasil pertanian dari petani satelit yang telah dikontrak itu. Dalam varian khusus yang dikembangkan oleh The Commonwealth Development Corporation (CDC), inti umumnya sebuah nucleus estate, yaitu perkebunan kecil beserta unit pengolahannya dan kepadanyalah petani dikontrak untuk memberikan hasil pertaniannya".

Selanjutnya Rimbo Gunawan mengatakan, model yang dikembangkan oleh Commonwealth Development Corporation (DCD), ini secara internasional disebut

51

Rimbo Gunawan, Ibid

52


(50)

NES System (Nucleus Estate and Smallholders system), di Indonesia sistem ini diterjemahkan dalam bentuk PIR (Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan). Dengan demikian "contract farming'' dalam arti ini mencakup berbagai bentuk PIR (Perusahaan Inti Rakyat), seperti: PIR-BUN (Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan), TIR (Tebu Inti Rakyat), PIR-unggas (Perusahaan Inti Rakyat Unggas).53

Selanjutnya, agar dapat memberikan pengertian apa yang dimaksudkan dengan perjanjian inti plasma, maka haruss dilihat terlebih dahulu awal timbulnya perjanjian inti plasma tersebut. Perjanjian inti plasma berawal dari contract farming. Lebih jelasnya perlu di lihat terlebih dahulu definisi yang baku tentang contract farming. Menurut Sompop Manarungsan and Suebskum Suwanjindar, definisi dari contract farming adalah:54

"Contract Farming is a way of coordinating the flows of goods through a vertical chain of production and marketing. In Contract farming, the firm exercises considerable control over raw material production without ownership of the production units. In contract farming arrangements, a central processing or exporting unit purchase are arranged ini advance through contract which are generally signed at planting time and which speedy the quantity the company will buy and the price it will pay. The firm often provides credit, production inputs, farm machinery rental, and technical assistance, and it retains the right to reject substandard produce." Adapun maksudnya sebagai berikut: contract farming adalah cara mengkoordinir arus barang melalui mata rantai produksi dan pemasaran yang vertikal. Dalam contract farming, perusahaan banyak mengendalikan bahan mentah tanpa, memiliki unit-unit produksi dalam pengaturannya. Contract farming merupakan unit pengolahan pusat atau unit ekspor yang melaksanakan pembelian hasil panen dan para petani yang independen. Pembelian-pembelian ini dapat melengkapi atau menggantikan produksi oleh unit pusat itu sendiri. Syarat-syarat pembelian

53

Ibid

54

Sampop Manrungsang and Suesbskun Suwanjidar, Contract Farming and Outgrower Schemes in Thailand, dalam contract farming in Southeast Asia, Three Country Studies, Institute for advances Studies University Malaka, Kuala Limpur, 1992,hlm. 2


(51)

diatur sebelumnya melalui kontrak yang umumnya ditanda tangani pada waktu penanaman dan menentukan kuantitas yang akan dibeli perusahaan dengan harga yang akan dibayarnya. Perusahaan sering memberikan kredit. masukkan produksi, sewa mesin pertanian, dan bantuan teknis dan perusahaan dapat juga menolak produksi yang substandard.

Di Indonesia contract farming ini, lebih banyak dikenal dengan usaha pertanian kontrak. yang memiliki berbagai macam model atau pola. Pola-pola tersebut dapat berbentuk PIR-BUN (Perusahaan Inti Rakyat-Perkebunan), TIR (Tebu Inti Rakyat), PIR-unggas (Perusahaan Inti Rakyat-unggas) dan lain-lain. Dengan demikian perjanjian inti plasma adalah perjanjian yang dibuat antara perusahaan inti dengan petani plasma, yang di dalamnya mengatur tentang jual beli hasil produksi dan pemasaran hasil produksi, termasuk golongan perjanjian bernama. Oleh karena itu perjanjian ini, sesuai dengan Pasal 1319 KUHPerdata. Dengan demikian asas-asas perjanjian dalam KUHPerdata akan berlaku, kecuali apabila para pihak memperjanjikan lain.

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 sebelum diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah,55 menyebutkan bahwa inti plasma adalah salah satu pola kemitraan antara perusahaan besar dan perusahaan kecil. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 27 Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, yang menyatakan:

55

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah perihal menimbang menyatakan bahwa sehubungan dengan perkembangan lingkungan perekonomian yang semakin dinamis dan global, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang hanya mengatur Usaha Kecil perlu diganti, agar Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Indonesia dapat memperoleh jaminan kepastian dan keadilan usaha.


(52)

"Pola inti plasma adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah dan usaha besar, yang di dalamnya usaha menengah atau usaha besar bertindak sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma, perusahaan inti melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis sampai dengan pemasaran hasil produksi".

Sedangkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 menyatakan bahwa:

“Pelaksanaan kemitraan dengan pola inti-plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a, Usaha Besar sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang menjadi plasmanya dalam:

a. penyediaan dan penyiapan lahan; b. penyediaan sarana produksi;

c. pemberian bimbingan teknis produksi dan manajemen usaha; d. perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi yang diperlukan; e. pembiayaan;

f. pemasaran; g. penjaminan;

h. pemberian informasi; dan

i. pemberian bantuan lain yang diperlukan bagi peningkatan efesiensi dan peroduktivitas dan wawasan usaha”.

Selanjutnya Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 menyatakan bahwa:

“Kemitraan dilaksanakan dengan pola: a. inti-plasma;

b. subkontrak; c. waralaba;

d. perdagangan umum;

e. distribusi dan keagenan; dan

f. bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti: bagi hasil, kerjasama operasional,usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing).

Dengan demikian, kemitraan yang terjadi antara perusahaan inti dengan petani plasma tersebut, diikat oleh suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian inti


(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRINSIP KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN HAK ATAS TANAH USAHA PERKEBUNAN BERDASARKAN PROGRAM REVITALISASI

PERKEBUNAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUSA RAJEKSHAH 077005042/Hk Ekonomi

SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

Telah diuji pada Tanggal 2 Maret 2009

---

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLI 2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

3. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH 4. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum


(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan atas Perpanjangan Sertipikat Hak Guna Bangunan yang Berada di Atas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pakanbaru

4 112 105

Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kota Tanjung Balai

6 129 121

PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH HAK GUNA USAHA (HGU) PERKEBUNAN Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Hak Guna Usaha (Hgu) Perkebunan Di Jawa Tengah (Studi Analisis Terhadap Tanah Terlantar).

0 1 14

Analisis Yuridis Perubahan Hak Atas Tanah Dari Status Hak Guna Usaha Menjadi Hak Pengelolaan Pada Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei PT.Perkebunan Nusantara III (Persero)

0 0 14

Analisis Yuridis Perubahan Hak Atas Tanah Dari Status Hak Guna Usaha Menjadi Hak Pengelolaan Pada Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei PT.Perkebunan Nusantara III (Persero)

0 0 2

Analisis Yuridis Perubahan Hak Atas Tanah Dari Status Hak Guna Usaha Menjadi Hak Pengelolaan Pada Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei PT.Perkebunan Nusantara III (Persero)

0 0 25

Analisis Yuridis Perubahan Hak Atas Tanah Dari Status Hak Guna Usaha Menjadi Hak Pengelolaan Pada Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei PT.Perkebunan Nusantara III (Persero)

0 0 67

Analisis Yuridis Perubahan Hak Atas Tanah Dari Status Hak Guna Usaha Menjadi Hak Pengelolaan Pada Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei PT.Perkebunan Nusantara III (Persero)

0 0 5

BAB II PENGATURAN POLA KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN ANTARA PERUSAHAAN PERKEBUNAN DENGAN MASYARAKAT A. Tinjauan Umum Pola Kemitraan Perkebunan - Tinjauan Yuridis Perjanjian Pola Kemitraan Perkebunan Kelapa Sawit Inti-Plasma Antara PT. Boswa Megalopolis Denga

0 0 33

KETIMPANGAN DALAM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN Variasi dan Perkembangan Sistem Kemitraan

0 0 15