masyarakat dimana masyarakat bertindak sebagai bahagian dari masyarakat dan dapat menjamin kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka waktu yang panjang.
39
a. corporate social responsibility dan sub-contracting
Kehadiran sistem ekonomi pro pasar free private enterprise exchange economy di sektor riil mikro ekonomi yang berbasis kerakyatan melaui pola
pathnership kemitraan antara petani peserta revitalisasi perkebunan sebagai mitra usaha perusahaan perkebunan tentunya tidak menghilangkan peran pemerintah dan
sangat dibutuhkan karena pemerintah sebagai forum untuk menetapkan rule of the game yang sudah ditetapkan.
40
Atas dasar inilah maka sistem ekonomi pro pasar menurut pandangan hukum tidaklah tanpa batas yang diarahkan guna terwujudnya
starategi pertumbuhan ekonomi growth oriented strategy, kebijaksanaan pemerintah dalam menetapkan rule of the game dapat menciptakan perbaikan iklim investasi
untuk mendorong semakin meningkatnya pertumbuhan perekonomian disertai dengan perusahaan yang menjalankan prinsip-prinsip kewajiban perusahaan berdasarkan tata
kelola perusahaan yang baik good corporate governance misalnya kewajiban CSR.
39
Ibid, hlm. 15
40
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 18 Tahun Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menyatakan bahwa ada beberapa kewajiban pemerintah sebagai berikut:
1. Pemerintah, provinsi, kabupatenkota mendorong dan memfasilitasi pemberdayaan pekebun, kelompok pekebun, koperasi pekebun, serta asosiasi pekebun erdasarkan jenis tanaman yang
dibudidayakan untuk pengembangan usaha agribisnis perkebunan. 2 Untuk membangun sinergi antarpelaku usaha agribisnis perkebunan.
3 Pemerintah mendorong dan memfasilitasi terbentuknya dewan komoditas yang berfungsi sebagai wadah untuk pengembangan komoditas strategis perkebunan bagi seluruh pemangku kepentingan
perkebunan.
Musa Rajekshah : Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kemitraan Dalam Pengelolaan Hak Atas Tanah Usaha Perkebunan Berdasarkan Program Revitalisasi Perkebunan, 2009
USU Repository © 2008
Menyangkut kewajiban CSR sangat berkaitan dengan teori utilitarisme yang dikemukakan oleh Jerrmy Bentham.
41
Padangan teori ini menekankan pada suatu perbuatan atau aturan adalah baik, kalau membawa kesenangan paling besar untuk
jumlah orang paling besar the greatest good for the greatest number dengan perkataan lain kalau memaksimalkan manfaat Jutility Realisme.
42
Artinya bahwa bila perusahaan melakukan kegiatan bisnis demi mencari keuntungan dan juga ikut
memikirkan kebaikan, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dengan ikut melakukan berbagai kegiatan sosial yang berguna bagi masyarakat. Kegiatan sosial
tersebut sangat beragam misalnya menyumbangkan untuk membangun rumah ibadah, membangun prasarana dan fasilitas sosial dalam masyarakat seperti listrik, air, jalan,
melakukan penghijauan, menjaga sungai dari pencemaran atau ikut membersihkan sungai dari polusi, melakukan pelatihan cuma-cuma bagi pemuda yang tinggal
disekitar perusahaan, memberi beasiswa kepada anak dari keluarga yang kurang mampu ekonominya dan seterusnya.
43
Kebebasan private enterprise exchange economy yang dimaksudkan di atas adalah kebebasan dibawah hukum dan hanya berfungsi bila ada kerangka hukum
yang mendasarinya. Smith menyatakan bahwa peran negara atau pemerintah itu hanya sebatas berfungsi sebagai penonton inpartial spectator, dalam hal ini negara
41
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatau Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993, hlm. 79. Lihat juga, Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori
Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 64 bahwa hakekat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan, Seirama dengan ini Dworkin juga mengatakan the brand
of utiltarianism wich gives importance to some conception of good life, exelence or welfare.
42
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanusius, 2000, hlm. 238
43
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansiny, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 123
Musa Rajekshah : Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kemitraan Dalam Pengelolaan Hak Atas Tanah Usaha Perkebunan Berdasarkan Program Revitalisasi Perkebunan, 2009
USU Repository © 2008
atau pemerintah intervensi kalau mekanisme pasar gagal.
44
Artinya pemerintah hanya boleh masuk untuk menyeimbangkan pasar, dimana bila tidak ada intervensi
pemerintah akan menimbulkan distrosi dan tentunya terjadi monopoli alamiah natural monopoly misalnya tersedia tiga pilihan untuk menghadapinya yakni:
45
1. Monopoli dilakukan oleh swasta.
2. Monopoli oleh pemerintah.
3. Dikeluarkan regulasi oleh pemerintah.
Kegagalan pasar sebagai alasan utama untuk intervensi pemerintah di bidang ekonomi sekaligus pula harus membuat hukum untuk mengarahkan kegiatan
ekonomi, sehingga tepatlah sebagaimana yang pernah diamati Robert W. Gordon, bahwa hukum adalah salah satu di antara berbagai sistem yang berarti bagi rakyat
dalam rangka pembangunan.
46
Oleh karenanya hukum harus dirumuskan dengan keakuratan yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai landasan pembangunan
ekonomi. Berdasarkan perlunya perlakuan yang adil dan wajar terhadap petani peserta program revitalisasi dengan mitra usaha maka dalam rangka pembangunan
ekonomi dapat disimpulkan bahwa sistem hukum sub-contracting yang menuju perlindungan petani peserta program revitalisasi harus merupakan suatu hukum yang
44
Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan, Tanggal 17 April 2004, hlm. 5
45
Ibid, hlm. 6
46
Robert W. Gordon, New Depelopments In Legal Theory, dalam Bismar Nasution, Ibid, hlm. 7
Musa Rajekshah : Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kemitraan Dalam Pengelolaan Hak Atas Tanah Usaha Perkebunan Berdasarkan Program Revitalisasi Perkebunan, 2009
USU Repository © 2008
baik responsive law.
47
Jerome Frank mengemukakan responsive law harus merupakan kelanjutan dari keinginan merumuskan teori hukum yang modern, yang
lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Karena dalam bertanggungjawab termasuk selektif dan penyesuaian diri. Lembaga hukum yang responsif akan tetap
mempertahankan unsur-unsur yang penting bagi integritasnya, sambil terus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan baru di sekitar lingkungannya. Lebih jauh
hukum yang responsif akan menganggap desakan masyarakat sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Dalam pengembangan petani
peserta koperasi program revitalisasi perusahaan perkebunan dalam sistem hukum sub-contracting di Indonesia, maka model hukum yang responsif ini perlu menjadi
perhatian dengan memasukkan unsur teori kepentingan sosial theory of social interst dari Roscoe Pound. Menurut Pound hukum yang responsif harus menawarkan
sesuatu yang lebih dari hanya keadilan yang prosedural prosedural justice. Tetapi hukum itu harus kompeten sekaligus adil dan harus dapat membantu menetapkan
kepentingan umum serta harus menjadi komitmen dalam keadilan substansial substantive justice.
48
Pelaksanaan hukum dalam rangka pembangunan di Indonesia terdapat beberapa permasalahan dalam melaksanakan konsepsi hukum ini yakni sebagai
sarana pembangunan di bidang ekonomi, masalah-masalah tersebut antara lain:
47
Phillipe Nonet dan Phillipe Zelznick, Law and Sociaty in Transsition: Toward Responsive Law New: York: Harper Colophon Books, 1978, hlm. 73 dalam Bismar Nasution, Hukum Ekonomi
I, Op.cit, hlm. 115
48
Ibid
Musa Rajekshah : Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kemitraan Dalam Pengelolaan Hak Atas Tanah Usaha Perkebunan Berdasarkan Program Revitalisasi Perkebunan, 2009
USU Repository © 2008
1. Indonesia menganut perundang-undangan sebagai cara pengaturan hukum
yang utama,
49
maka perundang-undangan ini yang akan lebih banyak digunakan sebagai sarana pembangunan masyarakat dibandingkan dengan
yurisprudensi. Berkaitan dengan hal ini kesulitan yang akan dihadapi: a.
Dalam menetapkan prioritas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
b. Untuk membuat hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran
hukum masyarakat. Sekarang ini sebagai pedoman ditetapkan prioritas pada pembinaan hukum yang menunjang pembangunan ekonomi.
2. Masalah dalam suatu masyarakat yang sedang membangun yang harus diatur
oleh hukum terbagi atas dua golongan, yaitu: a.
Masalah-masalah yang langsung mengenai kehidupan pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya spritual
masyarakat.
49
Bandingkan dengan Mazhab Sejarah yang dipelopori oleh Von Savigny yang menolak bentuk perundang-undangan yang dibuat oleh negara dengan alasan bahwa hukum akan dengan
sendirinya terwujud dan berkembang dalam setiap masyarakat. Disisi lain kubu positivisme hukum menekankan pada kepastian hukum termasuk dalam pembuatan perundang-undangan. Lihat juga
uraian yang dikemukakan Law School Cornell University Herman J. Pietersen bahwa “... The chief purpose of legal formalism is to buid a comperehensive and tight seamless body of legal principles,
proposition, and justificatory structures that can be applied to legal practice in the manner of a logical-deductive science like mathematics but without recourse to any nonlegal disciplines such
philosophy or social science....”. Jadi menurut Herman J. pietersen maksud utama legal formalism adalah membangun prinsip-prinsip hukum, proposisi dan justificatory structures yang komprehensif
dan ketat yang dapat diaplikasikan pada praktek-praktek hukum dengan cara metode ilmu alam yang deduktif logis tanpa bantuan disiplin ilmu-ilmu lain seperti filsafat ataupun ilmu sosial. Fx. Adji
Samekto, Studi Hukum Kritis Kritik Terhadap Hukum Modern, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 7
Musa Rajekshah : Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kemitraan Dalam Pengelolaan Hak Atas Tanah Usaha Perkebunan Berdasarkan Program Revitalisasi Perkebunan, 2009
USU Repository © 2008
b. Masalah-masalah yang bertalian dengan masyarakat dan kemajuan
pada umumnya bersifat netral dilihat dari sudut kebudayaan. Bidang- bidang hukum yang netral lebih mudah dibina dan ditangani dan ini
harus didahulukan.
b. Perjanjian Kemitraan