Mak Intan Program Magister Kesehatan Kerja Sekolah Pascasarjana USU

Dulunya, lingkungan di Tanah 600 sebagian besar merupakan daerah pertanian, tetapi perkembangan zaman dan pertambahan penduduk yang membutuhkan tempat tinggal, menyebabkan banyaknya lahan pertanian yang telah berubah menjadi tapak-tapak perumahan. Sehingga, menjadi pemandangan yang biasa _jika berkeliling ke sekitar lingkungan di Tanah 600_, tampak beberapa rumah-rumah, di sebelah atau di depan rumah tersebut masih ada sawah-sawah produktif, yang bukan milik mereka. Sedangkan selebihnya masyarakat Tanah 600 memiliki pekerjaan sebagai buruh pabrik, tukang cuci, tukang ojek, dan lain-lain. Selama penelitian juga tidak jarang ditemukan masyarakat berkumpul-kumpul di depan rumah sambil memotongmerapikan tali selop. Selop-selop yang dipotong atau dirapikan oleh warga masyarakat tanah 600 adalah produk dari sebuah pabrik selop ‘Swallow’, dimana keberadaan pabrik ini masih tidak jauh dari lokasi tempat tinggal mereka. Satu warga setiap harinya dapat menyelesaikan 2 lusin 48 buah selop, setiap selop dihargai Rp.100. Satu keluarga dapat menghasilkan sepuluh ribu rupiah setiap sore. Mereka juga menganggap bahwa apa yang mereka dapatkan sudah bisa mengganti uang jajan anak-anak mereka.

4.2 Mak Intan

Di daerah ini ditemukan satu rumah tempat mengolah TOGA ke dalam bentuk jamu dan minuman sehat. Tempat pengolahan TOGA ini dikelola oleh satu keluarga yang dikenal dengan keluarga Mak Stepia. Dia sangat memahami seluk beluk TOGA. Ulina Karo-Karo : Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga Toga Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, 2009 USU Repository © 2008 Pengetahuan dan keterampilan mengolah TOGA ini diperolehnya semenjak kecil, yang diwariskan oleh kakek, nenek dan ibunya sendiri. Mak Intan lahir pada tanggal 12 Desember 1951 di daerah Titi Rante, Padang Bulan. Beliau anak paling kecil dari 4 bersaudara satu laki-laki dan tiga orang perempuan. Kesulitan ekonomi yang menimpa orangtuanya menyebabkan keluarga orangtuanya pindah ke Tanah 600 _saat itu usia mak Intan baru 3 bulan_ untuk tinggal bersama kakek dan neneknya dari pihak ayahnya. Ketika usia mak Intan menginjak 4 tahun, ibunya meninggal dunia, sehingga dia diasuh oleh kakek dan nenek. Ayahnya menikah lagi dan tinggal di tempat yang berbeda dengan mereka. Kakek dan neneknya merupakan orang-orang yang sejak masa mudanya sudah memanfaatkan tanaman-tanaman untuk pengobatan. Setiap ada anggota keluarga yang sakit, obat yang diberikan selalu dari bahan tanaman, baik yang diminum atau yang dioleskan pada tubuh si sakit. Dan, semua anggota keluarga diajari cara-cara pengobatan ini, tetapi hanya mak Intan yang menaruh minat cukup besar untuk mempelajarinya. Sejak usia 4 tahun, mak Intan sudah diajari kakek dan neneknya untuk mengenali dan menanam jenis-jenis rumput yang berguna sebagai bahan obat. Keterlibatan awal mak Intan adalah dengan mengisi plastik-plastik bekas kantong belanja dengan tanah-tanah yang diambil dari pembakaran sampah. Tanah-tanah ini setelah diisi ke dalam plastik-plastik tersebut, dibiarkan sekitar 2 minggu, baru kemudian ditanami oleh tanaman obat, seperti kunyit, jahe, temulawak, seledri, dan sebagainya. Selain dari pembakaran sampah, pengisian tanah ke dalam kantong- Ulina Karo-Karo : Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga Toga Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, 2009 USU Repository © 2008 kantong plastik tersebut, sering juga dari tanah-tanah yang ada di paritselokan. Perlakuan terhadap tanah parit ini sama dengan tanah bakaran sampah. Kantong yang berisi tanah parit juga dibiarkan untuk beberapa lama, baru bisa ditanami oleh tanaman obat. Dulunya beliau bingung mengapa mesti tanah bekas membakar sampah atau tanah dari parit, yang dijadikan tanah untuk menanam tanaman tersebut, tetapi kakeknya dengan sabar menjelaskan tentang ‘kesuburan tanah’ dari debu sisa-sisa pembakaran sampah atau proses pembusukan dari sampah-sampah yang berada di selokan atau parit. Pengetahuan itu tetap menjadi pegangan mak Intan sampai saat ini. Tanaman obat miliknya tidak pernah dipupuk dengan menggunakan pupuk kimia. Pupuk yang digunakan olehnya adalah pupuk kompos yang dibuatnya sendiri, yaitu dengan memasukkan ke dalam sebuah lubang beberapa sampah-sampah organik, menutupnya dan membiarkannya berminggu-minggu. Ketika tiba masa memupuk, maka yang digunakan adalah pupuk buatan tersebut. Sehingga beliau _dengan keyakinan penuh _ mengatakan bahwa tanaman obat yang dimilikinya merupakan tanaman obat organik, tanaman yang terbebas dari pupuk-pupuk kimia. Dalam meracik tanaman obat menjadi jamu, maka mak Intan juga dilibatkan oleh kakek dan neneknya. Setiap ada kegiatan pembuatan jamu, maka beliau selalu diajak serta membuatnya. Neneknya selalu mengulang-ulang nama-nama tanaman yang dicampurkan untuk membuat satu jenis jamu. Terkadang, jika ada tanaman yang kurang dalam campurannya, maka nenek selalu menyuruh mak Intan untuk mencarinya di pinggir-pinggir jalan atau di pekarangan tetangga. Ulina Karo-Karo : Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga Toga Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, 2009 USU Repository © 2008 Tehnik pengajaran ini juga diterapkannya kepada salah seorang anak menantunya, yang juga sangat meminati pemanfaatan TOGA sebagai obat. Keterlibatan anak menantunya untuk mempelajari pembuatan jamu adalah dengan cara dia mengumpulkan tanaman-tanaman yang diperlukan untuk satu jenis jamu. Ketika semua sudah terkumpul maka mak Intan memeriksa kelengkapan semua jenis tanaman tersebut. Tidak hanya itu, saat ini perawatan tanaman obat miliknya, telah sepenuhnya diserahkan ke tangan anak menantunya. Mak Intan hanya sekali-sekali memeriksa kesehatan tanaman tersebut. Tehnik pendidikan yang seperti ini membuat anak menantunya lebih cepat mempelajari jenis-jenis tanaman obat beserta khasiatnya serta cara perawatannya. Pada tahun 1972, mak Intan menikah dengan pemuda bernama Wahyu. Pernikahan ini menyebabkan beliau pindah ke Titi Rante, Padang Bulan. Saat itu suaminya bekerja sebagai buruh pengangkut barang porter, di pelabuhan Belawan Medan. Ketidakpuasan mak Intan akan keadaan ekonomi keluarganya telah memunculkan ide yang terpendam, yaitu untuk kembali menggeluti pembuatan jamu- jamu dan menjualnya. Ketika kelahiran anak kelima tahun 1980, maka mak Intan beserta suami dan anak-anaknya boyongan kembali pindah ke Tanah 600. Alasan kepindahan ke Tanah 600 saat itu sangat sederhana, karena di sana masih ada kakek dan nenek mak Intan tempat untuk berguru kembali dalam pembuatan jamu. Sinar terang sepertinya memang berada di Tanah 600. Pada tahun 1981 ini juga, mak Intan memulai debutnya sebagai penanam TOGA dan pembuat jamu. Jam 4 pagi, dia dan suaminya mengolah sepuluh jenis tanaman obat - kencur, jahe, Ulina Karo-Karo : Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga Toga Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, 2009 USU Repository © 2008 temulawak, jeruk nipis, kunyit, sambiroto, lengkuas, beras, daun sirih dan asam jawa - untuk membuat jamu. Jam 6 pagi mak Intan sudah berangkat menjajakan jamu- jamunya ke daerah seputar Marelan. Tetapi sejak beliau mendapat hadiah sepeda tua dari mamak mertuanya, daerah penjualan jamu mak Intan semakin luas, sampai ke Hamparan Perak, Klumpang dan daerah-daerah perkebunan sekitar Deli Serdang. Jam 6 sore, mak Intan baru kembali ke rumah. Pada tahun 1988, suami mak Intan terpilih sebagai kepala lingkungan, walaupun bergaji kecil, tetapi keberadaannya sebagai istri seorang kepala lingkungan telah membuatnya selalu ikut dalam kegiatan-kegiatan Posyandu dan PKK. Kegiatan di Posyandu dan PKK ini telah membuka peluang untuk semakin berkembang dalam pemanfaatan TOGA. Pergaulannya dengan orang-orang di dinas kesehatan dan dinas pertanian, semakin meningkatkan wawasannya dan peluang-peluang yang dapat diraih dalam bidang TOGA. Sambil menjalankan usaha penjualan jamu, dimana ruang lingkupnya semakin luas, mak Intan terus menambah koleksi tanamannya. Jumlah tanaman obatnya yang semakin banyak, seiring juga dengan digalakkannya program pemanfaatan pekarangan dengan menanam TOGA oleh pemerintah, telah mampu membuat pihak dinas pertanian untuk selalu mengajak serta mak Intan setiap ada kegiatan pameran. Beliau bersyukur memiliki suami yang cukup pengertian dan mendukung usaha yang dijalankannya. Selama mak Intan berjualan, urusan rumah tangga dijalankan suaminya dan dibantu oleh anak-anak yang sudah cukup besar. Mak Intan memiliki enam orang anak, tiga orang perempuan dan tiga orang laki-laki. Anak Ulina Karo-Karo : Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga Toga Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, 2009 USU Repository © 2008 tertua lahir pada tahun 1974, diikuti adik-adiknya berturut-turut pada tahun 1976, 1978, 1980, 1983 dan 1989. Selama berjualan jamu ini, mak Intan tetap berusaha untuk menambah pengetahuannya tentang pemanfaatan TOGA. Keputusannya untuk menggeluti TOGA secara sepenuh hati, memberikan bukti. Anak-anaknya semua bisa mengenyam pendidikan menengah, keperluan-keperluan keluarga lainnya juga bisa dipenuhi dari hasil pemanfaatan TOGA. Rumah mak Intan memiliki luas bangunan 6 x 17 m. Disamping rumahnya juga terdapat sebidang tanah berukuran 8 x 20 m yang dipergunakan untuk menanam TOGA. Rumah tempat tinggal mak Intan dikelilingi oleh tanaman-tanaman, yang jika sepintas dipandang tidak memiliki nilai keindahan yang spesifik. Tanaman yang ada di pekarangan rumah ini tidak tampak berbeda dengan tanaman-tanaman liar yang tumbuh sebagai semak belukar di hutan-hutan, sehingga tidak terlihat keistimewaannya. Tidak seperti tanaman anggrek yang menghasilkan bunga beranekaragam yang indah dan tahan lama, atau juga tanaman aglonema yang menonjolkan pancaran keindahan dari daun-daunnya. Tanaman yang kebanyakan ditanam di samping rumah ini biasa-biasa saja. Beberapa pot tanaman digantung, beberapa pot lagi dibiarkan tergeletak di tanah, dan sebagian lagi, untuk tanaman-tanaman ukuran besar, seperti kumis kucing, kunyit dan kejibeling, tumbuh begitu saja pada bagian tepi halaman. Tampak membedakan hanya pemasangan paranet, sebagai tanda bahwa tanaman yang dinaunginya tidak bisa bersentuhan langsung dengan sinar matahari. Ulina Karo-Karo : Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga Toga Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, 2009 USU Repository © 2008 Ketika tanaman-tanaman tersebut didekati secara langsung, barulah saya bisa melihat perbedaan-perbedaan dari beberapa tanaman. Dari seluruh tanaman yang ada di pekarangan rumah mak Intan, ‘hanya’ sebagian kecil yang bisa ditebak namanya, selebihnya saya harus bertanya pada mak Intan. Kekaguman saya dengan mak Intan tidak dapat dipungkiri, beliau bisa sangat hapal dengan nama, jenis dan khasiat tanaman yang ditanamnya. Salah satu tanaman yang membuat saya tertarik adalah tanaman Stevia yang memiliki kegunaan sebagai pengganti gula pada penderita diabetes melitus. Ketika saya bertanya lebih dalam mengenai tanaman ini, mak Intan dengan lugas bisa menjawab semua pertanyaan mengenai khasiat dan cara penggunaan tanaman tersebut, bahkan beliau bisa menguraikan dengan baik pengembangan tanaman ini ke depan _jika diolah secara modern _ bagi penderita diabetes melitus yang dirawat di rumah sakit dan rawat jalan.

4.3 Jamu-Jamu Instant