Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga (Toga) Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan

(1)

PEMANFAATAN TANAMAN OBAT KELUARGA (TOGA) UNTUK PENGOBATAN SENDIRI DAN PENGEMBANGAN

USAHA DI KELURAHAN TANAH 600 KECAMATAN MEDAN MARELAN

TESIS

Oleh

ULINA KARO-KARO 077033038/PKIP

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PEMANFAATAN TANAMAN OBAT KELUARGA (TOGA) UNTUK PENGOBATAN SENDIRI DAN PENGEMBANGAN

USAHA DI KELURAHAN TANAH 600 KECAMATAN MEDAN MARELAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan

Program Studi Promosi Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ULINA KARO-KARO 077033038/PKIP

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(3)

Judul Tesis : PEMANFAATAN TANAMAN OBAT KELUARGA (TOGA) UNTUK PENGOBATAN SENDIRI DAN PENGEMBANGAN USAHA DI KELURAHAN TANAH 600 KECAMATAN MEDAN MARELAN Nama Mahasiswa : Ulina Karo-Karo

Nomor Pokok : 077033038

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Promosi Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Fikarwin Zuska) (Dra. Syarifah, MS) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM) (Prof. Dr. Ir. T Chairun Nisa B, M. Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 11 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Fikarwin Zuska Anggota : 1. Dra. Syarifah, MS

2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM 3. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK


(5)

PERNYATAAN

PEMANFAATAN TANAMAN OBAT KELUARGA (TOGA) UNTUK PENGOBATAN SENDIRI DAN PENGEMBANGAN

USAHA DI KELURAHAN TANAH 600 KECAMATAN MEDAN MARELAN

TESIS

Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2009


(6)

ABSTRAK

Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) tidak hanya sebagai bumbu masakan dan obat, tetapi jika ditekuni dengan sepenuh hati akan memberi nilai kepuasan, bahkan sebagai penpang kehidupan.

Penelitian ini dilakukan dalam bentuk penelitian kualitatif dengan metode ‘Individual’s life history ‘ pada satu keluarga yang telah memanfaatkan TOGA sejak lama di tanah 600 Kecamatan Medan Marelan. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengalaman satu keluarga yang berhasil memanfaatkan TOGA sebagai sumber pendapat keluarga. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara mendalam. Penelitian dilakukan selama Februari – April 2009. Informan dalam penlitian ini adalah mak Intan, dilengkapi dengan keterangan suami, anak, menantu dan orang lain yang mengenal mak Intan. Penganalisisan data dilakukan dengan tehnik ‘on going analysis’.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan TOGA memerlukan pengetahuan, perjuangan untuk mengembangkan TOGA dan keinginan-keinginan. Pengetahuan diperoleh tidak hanya dari warisan keluarga dan membaca tetapi dapat ditingkatkan dengan adanya pujian dan jalinan kerja,baik dengan Dinas Kesehatan atau teman seprofesi. Perjuangan pengembangan TOGA dimulai dengan tahap jamu gendong, mengikuti pameran dan pembuatan jamu instant. Pemanfaatan TOGA akan memberikan nilai ekonomis, nilai keindahan, dan nilai kepuasan.

Kata kunci : Tanaman obat keluarga, pemanfaatan, pengobatan, pengembangan usaha .


(7)

ABSTRACT

Utilization of Family Crops Medicine (TOGA) not only as a culinary spice and medicine, but if is learned seriously, it will gave a satisfaction, even as the source of life.

This research is a qualitative research ith the ‘individual’s life history’ method in a family that has been utilized TOGA since long time in the tanah 600 District Marelan Medan. The goal of this research to know the experience of one family that succesfully utilize TOGA as a treatment in it self overcome the health problems, and as a financing source of family. Data is collected by obsevation and depth interviews. Research conducted during February to April 2009. Informants in this research is an old women called mak Intan, added with information from the husband, son in law and anyone who know other people who mak Intan. Data is analyzed with ‘on going analyzed ‘on going analysis’ technic.

Result of research indicate that the TOGA utilization requires knowledge, strong will in to develop TOGA. Knowledge obtained not only from the famly heritage, and read but can be improved with the praise and braided work. Both with the health office or occuational friend. TOGA development starts with the of herbal medicine pickaback, attending the exhibition and making instant herbal midicine. Utilization of TOGA will provide economic value, the value of esthetic, value of satisfaction.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat kemurahan-NYA memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul “Pemanfaatan Tanaman Obat keluarga (TOGA) untuk Pengobatan Sendiri dan Pengembangan Usaha di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan“ sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi jenjang pendidikan Strata-2 pada Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Kekhususan Promosi Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Ir.T. Chairun Nisa B, M.Sc sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM selaku Ketua Jurusan Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana USU dan sebagai Komisi Pembanding.

3. Dr. Fikarwin Zuska sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan pemikiran dengan penuh kesabaran ditengah-tengah kesibukannya.

4. Dra. Syarifah, MS sebagai Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran-saran dan masukan serta dorongan dalam penyelesaian tesis ini.

5. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK selaku Komisi Pembanding yang banyak memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan Tesis ini.


(9)

6. Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan yang meberikan kesempatan untuk izin belajar.

7. Seluruh Staf Dosen dan administrasi Kekhususan Kesehatan Kerja Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi pengajaran, bimbingan dan arahan selama pendidikan.

8. Mak Intan sebagai Imforman dalam penelitian ini yang telah banyak memberikan informasi untuk penyelesaian Tesis ini.

9. Suami tercinta R. Sembiring, STH dan anak-anak tersayang Ana Veronika S, Dian Arini S, Eka Satria S, Dian Valentin S, Dessy Titien Kristin S, yang senantiasa memberi semangat belajar dan inspirasi serta mendoakan selama penulis mengikuti perkuliahan hingga selesai pendidikan di Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Promosi Kesehatan Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Penulisan Tesis ini masih jauh dari sempurna, walaupun demikian penulis berharap tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Medan, Juni 2009 Penulis, Ulina Karo - Karo


(10)

RIWAYAT HIDUP

A. IDENTITAS

1. Nama : Ulina Karo-karo 2. Jenis Kelamin : Perempuan 3. Agama : Kristen Protestan

4. Tempat/Tgl lahir : Tigalingga/ 30 Juni 1958

B. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Negeri IV Sidikalang tahun 1963 - 1969 2. SMP Negeri I Sidikalang tahun 1969 - 1972 3. SMA Negeri 225 Sidikalang tahun 1973 - 1975 4. SPRA RS Herna Medan tahun 1977 - 1979 5. D-III Keperawatan Poltekkes Medan tahun 2002 - 2005 6. S1- Keperawatan UMPRI Medan tahun 2005 - 2007 7. Program Magister Kesehatan Kerja

Sekolah Pascasarjana USU tahun 2007 - 2009

C. RIWAYAT PEKERJAAN

1. Puskesmas Medan Johor tahun 1980 - 1989 2. Puskesmas Medan Amplas tahun 1980 - 1982 3. Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 1983 - sekarang


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP...v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN...x

BAB 1 PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Permasalahan...6

1.3 Tujuan Penelitian ...6

1.4 Manfaat Penelitian ...7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...8

2.1 Pengobatan Tradisional...8

2.2 Ramuan Tradisional Sebagai Pengobatan Alternatif ...10

2.3 Prospek Obat Tradisional...12

2.4 Pengetahuan, Sikap dan Tindakan ...13

2.5 Pemberdayaan Masyarakat ...16

BAB 3 METODE PENELITIAN...19

3.1 Jenis Penelitian...19

3.2 Lokasi dan Waktu penelitian...19

3.3 Pemilihan Informan ...20

3.4 Metode Pengumpulan Data ...21

3.5 Metode Analisa Data ...22

BAB 4 GAMBARAN UMUM...24

4.1 Kecamatan Medan Marelan ...24

4.2 Mak Intan ...28

4.3 Jamu- Jamu Instant...34


(12)

BAB 5 PEMANFAATAN TANAMAN OBAT KELUARGA...36

5.1 Pengetahuan Tentang TOGA ...36

5.2 Perjuangan Mengembangkan TOGA...55

5.3 Hambatan-Hambatan dalam Mengembangkan TOGA ...71

5.4 Keinginan – Keinginan ...75

5.5 Pemanfataan TOGA ...80

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...87

6.1 Kesimpulan ...87

6.2 Saran ...89

DAFTAR PUSTAKA ………...90


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk

Menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Marelan 2007 ...25

4.2. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Menurut Kelurahan Di Kecamatan Medan Marelan Tahun 2007 ...26

5.1. Buku – Buku Kesehatan Koleksi mak Intan ...41 5.2. Kumpulan Berita Tentang Mak Intan di Koran ...61 5.3. Produk Jamu Instant Mak Intan ...67


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 6.1. Pemanfaatan TOGA ...88


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Daftar nama-nama TOGA milik Mak Intan...93

2. Daftar nama jamu instant, khasiat dan komposisinya ...132

3. Pemeriksaan IMS ...136

4. Surat Rekomendasi...137

5. Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan ...138

6. Permintaan Pendaftaran Merek ...139

7. Piagam Penghargaan ...140

8. Piagam Partisipasi ...141

9. The Organic Nature Farming ...142

10. Piagam Penghargaan Pekan Pasar Pertanian ...143

11. Sertifikat Sosialisasi HAKI ...144

12. Surat Keterangan Pelatihan Budi Daya Air Tawar ...145

13. Jamu Sapu Jagat Ala Bu Inten ...146

14. Sarinten Tanam 500 Jenis tanaman Obat ...147

15. Membuat Minuman Sehat dan Alami ...148

16. Sarinten Tawarkan Ratusan Jenis Tanaman Obat Berkhasiat ...149

17. Kelapa Pandan Si Mungil yang Potensial ...150

18. Pemilik 500 Jenis Tanaman Obat ...151


(16)

20. Hiasi Rumah Dengan Tanaman Obat...153

21. Tanaman Obat Mak Intan Makin Diminati...154

22. Pemanis Pengganti Gula Non Kalori ...155

23. Leunca Usir berbagai penyakit ...156

24. Surat Izin Penelitian Direktur Pascasarjana ...157

25. Surat Izin Penelitian Camat Medan Marelan ...158


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tesis ini mengkaji tentang pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) pada salah satu keluarga. Pemanfaatan TOGA ini ternyata memberikan manfaat yang luarbiasa pada keluarga ini, selain sebagai obat dalam bentuk jamu dan bumbu masakan, ternyata TOGA dapat memberikan manfaat yang lain yaitu memberikan suatu nilai kepuasan, bahkan sebagai penopang kehidupan jika pemanfaatannya benar-benar ditekuni dengan sepenuh hati.

TOGA dapat digunakan untuk meningkatkan kesehatan keluarga dan masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan. Sejak pemerintahan kabinet orde baru sampai dengan pemerintahan pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pembangunan kesehatan selalu bertujuan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat setiap penduduk sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal.

Salah satu upaya yang pernah dianjurkan pemerintah dan kini dilakukan oleh sebagian masyarakat dalam peningkatan derajat kesehatan tersebut adalah pemanfaatan tanaman obat keluarga (TOGA)1 Pemanfaatan TOGA dalam bentuknya yang lebih alami oleh masyarakat Indonesia, dilakukan sebagai salah satu upaya

1

Toga adalah tanaman yang ditanam di pekarangan keluarga yang dipergunakan masyarakat untuk mengatasi penyakit yang dideritanya.


(18)

dalam penanggulangan masalah kesehatan dan sudah dilakukan secara turun temurun sebagai warisan budaya bangsa.

Menurut WHO (2003:2), negara-negara Asia dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer, bahkan di Afrika sebanyak 80% dari jumlah penduduk menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer. Di Indonesia menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2001, sebanyak 31,7% masyarakat Indonesia memanfaatkan obat tradisional2, dan 9,8% memilih cara pengobatan tradisional3 untuk mengatasi masalah kesehatannya (Depkes, 2004:1).

Indonesia memiliki sumber daya hayati dan merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia, dan menduduki urutan kedua setelah Brazil. Kekayaan herbal sekitar 30.000 jenis tumbuhan obat tersebut merupakan potensi untuk pengembangan produk herbal yang kualitasnya setara dengan obat modern dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Akan tetapi, sumber daya alam tersebut belum dimanfaatkan secara optimal, baru sekitar 1200 spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan dan diteliti sebagai obat tradisional (Litbang Depkes, 2007:1).

Tanaman obat tradisional (jamu) digunakan oleh masyarakat dan dilaporkan secara empirik memberikan manfaat dalam meningkatkan kesehatan tubuh dan pengobatan berbagai penyakit (Wibisana dalam Santoso, 1992:13). Penggunaan

2

Obat tradisional adalah obat jadi (berbungkus) berasal dari bahan hewan, tumbuhan, atau mineral, belum mempunyai data klinik dan dipergunakan dalam usaha pengobatan berdasarkan pengalaman. 3

Pengobatan tradisional adalah cara-cara pengobatan yang menggunakan obat-obat tradisional dan pengobatnya diakui oleh masyarakat di sekitarnya sebagai orang yang mampu melaksanakan pengobatan tradisional.


(19)

tanaman obat secara tradisional semakin disukai karena secara umum sedikit menimbulkan efek samping. Beberapa keuntungan penggunaan obat tradisional di antaranya: efek samping relatif lebih rendah bila digunakan secara benar dan tepat, baik takaran, waktu dan cara penggunaan, adanya efek sinergisme4 dalam ramuan obat tradisional, obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif (Katno, dkk, 2008: 2-5). Kelebihan yang lain menurut Wakidi (2003:3) obat tradisional diperoleh tanpa tenaga medis, dapat diramu sendiri, tanaman obat dapat ditanam sendiri oleh pemakainya. Berdasarkan kelebihan obat tradisional tersebut maka pemanfaatan tanaman obat perlu dikembangkan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan.

Sejumlah manfaat tanaman obat keluarga (TOGA) antara lain, menjaga kesehatan, mengobati penyakit ringan, memperbaiki gizi keluarga dan bisa menjadi sumber pendapatan masyarakat. Penyediaan bahan baku tanaman obat dapat dilakukan seluruh warga masyarakat secara mandiri. Caranya, dengan memanfaatkan pekarangan dalam bentuk tanaman obat keluarga, dan budidaya tanaman obat di lahan khusus (Kompas, 2006:1-2).

Walaupun manfaat dan kegunaan obat tradisional sangat besar, namun penggunaan obat tradisional masih meninggalkan masalah. Selain banyaknya pendapat yang pro dan kontra, juga dianggap belum dapat disejajarkan dengan obat-obat modern. Dasar-dasar ilmiahnya dianggap belum kuat, baik komposisi obat-obat

4

. Efek sinergisme yaitu: efek yang saling mendukung satu sama lain dari beberapa jenis obat dalam satu ramuan obat tradisional untuk mencapai efektifitas pengobatan.


(20)

maupun manfaat dan kegunaannya. Kendala tersebut harus diatasi sesegera mungkin dengan melaksanakan berbagai penelitian, terutama oleh perguruan tinggi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Tjokronegoro,A, dkk, 1992:51-52). Diharapkan pemanfaatan obat tradisional dapat menunjang upaya pelayanan kesehatan masyarakat.

Pemanfaatan obat tradisional sangat ditentukan oleh kepercayaan masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang percaya akan keampuhan jamu atau obat tradisional akan membeli obat bebas tradisional atau juga dengan cara mengolah sendiri (Oemijati, dkk, 1992:28).

Penelitian Supardi (2003:179) mengungkapkan bahwa perilaku pencarian pengobatan oleh masyarakat Indonesia yang mengeluhkan sakit (proporsi terbesar 62,65% di perkotaan dan 61,88% di pedesaan) adalah dengan cara pengobatan sendiri, selebihnya adalah mencari pengobatan medis dan tradisional. Sementara persentase penduduk Indonesia yang menggunakan obat tradisional dalam pengobatan sendiri cenderung meningkat dengan meningkatnya umur. Hal ini dimungkinkan karena keluhan sakit pada kelompok usia tua lebih banyak terjadi. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa persentase penduduk Indonesia yang menggunakan obat tradisional dalam pengobatan sendiri lebih tinggi di desa dengan keluhan lumpuh, campak, kejang, dan kecelakaan. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa penduduk yang tinggal di desa cenderung lebih menyukai penggunaan obat tradisional karena ketersediaan tanaman obat lebih banyak dan lebih dikenal di desa.


(21)

Oleh sebab itu ramuan obat tradisional yang dapat digunakan untuk pengobatan sendiri, oleh pemerintah dikembangkan dalam program TOGA. Program TOGA lebih mengarah kepada pengobatan sendiri untuk menjaga kesehatan anggota keluarga serta untuk menangani penyakit ringan. Sebagai sumber tanaman, masyarakat menyediakan sendiri baik secara individu, keluarga maupun secara bersama-sama dalam suatu lingkungan tempat tinggal masyarakat (Suharmiati dan Handayani, L, 2006:5-6).

Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah saat ini adalah menggerakkan masyarakat agar masyarakat mau memanfaatkan TOGA untuk pengobatan sendiri. Promosi kesehatan ini mendukung visi pembangunan kesehatan, yang ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia, yaitu “Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat”. Masyarakat mandiri dapat menanggulangi sendiri permasalahan yang ada pada masyarakat itu sendiri. Dengan meningkatnya kemandirian keluarga dan masyarakat dalam bidang kesehatan maka masyarakat akan lebih berperan dalam peningkatan derajad kesehatannya (Depkes, 2007: 15).

Berdasarkan piagam penghargaan dari Presiden tanggal 21 Nopember tahun 2006, bahwa Tanah 600 merupakan satu daerah potensial menjadi pengembangan TOGA terbaik di Sumatera Utara. Di daerah tersebut sering dilaksanakan kegiatan penyuluhan akan pentingnya pemanfaatan TOGA sebagai pengobatan sendiri. Penyuluhan tersebut adalah sebagai bagian dari usaha promosi kesehatan. Daerah Tanah 600 juga menjadi percontohan TOGA di 15 lingkungan dan melibatkan


(22)

seluruh masyarakat Tanah 600 dengan luas tanah pekarangan yang ditanami TOGA masing-masing 2x1 meter.

Peneliti juga menemukan bahwa di Kelurahan Tanah 600 terdapat 1 home

industri yang sudah memiliki izin Depkes dalam mengelola TOGA. Selain ditanam

sendiri, bahan TOGA tersebut juga sebagian diperoleh dari masyarakat setempat yang memanfaatkan TOGA. Bagi masyarakat yang memanfaatkan TOGA, disamping dapat digunakan untuk pengobatan sendiri dalam mengatasi masalah kesehatan, juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dengan menjualnya ke industri rumahan di lokasi Tanah 600.

1.2. Permasalahan

Penelitian ini mencoba mengkaji pengalaman satu keluarga yang berhasil memanfaatkan Tanaman Obat Keluarga sebagai pengobatan sendiri dalam mengatasi masalah kesehatannya, serta sebagai sumber pendapatan keluarga/rumah tangga.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengalaman satu keluarga yang berhasil memanfaatkan Tanaman Obat Keluarga sebagai pengobatan sendiri dalam mengatasi masalah kesehatannya, serta sebagai sumber pendapatan keluarga/rumah tangga.


(23)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Dinas Kesehatan sebagai bahan acuan dalam menyusun kebijakan dan intervensi program promosi kesehatan dalam pemanfaatan TOGA di masyarakat.

2. Sebagai informasi pentingnya manfaat TOGA sebagai pengobatan sendiri untuk mengatasi masalah kesehatan dan juga dalam meningkatkan kesehatan.


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengobatan Tradisional

Kemajuan tekonologi mendorong semua orang berorientasi pada hal-hal yang serba cepat, mulai dari makanan siap saji, hingga obat yang diyakini bisa mengatasi keluhan dengan cukup sekali minum obat saja. Disisi lain kondisi tersebut mengandung dampak negatif bahkan mungkin mendorong pada perubahan pola penyakit yang lebih kompleks akibat pola hidup yang negatif (Wijayakusuma, 2007:5).

Seiring dengan resesi yang tiada berkesudahan, perekonomian masyarakat pun menampakkan grafik yang menurun. Dampaknya, kemampuan untuk berobatpun menurun, terlebih dengan kenyataan semakin membumbungnya harga obat dan pengobatan. Dalam hal ini, pengobatan tradisional perlu terus dikembangkan dan disebarluaskan sebagai pengobatan yang efektif, efisien, aman, dan ekonomis (Wijayakusuma, 2007:5).

Indonesia kaya dengan tumbuhan obat dari Sabang sampai Merauke, mulai dari tumbuhan buah, tumbuhan bunga, hingga tumbuhan rimpang yang selama ini banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur. Tumbuh-tumbuhan tersebut masing-masing memiliki khasiat bagi kesehatan, hanya tinggal ditunjang oleh kemauan dan kesungguhan untuk memanfaatkannya secara optimal (Wijayakusuma, 2007:5).


(25)

Dewasa ini pengobatan tradisional merupakan salah satu pilihan masyarakat yang cukup penting dalam mencari pemecahan terhadap masalah kesehatan. Survei Kesehatan Rumah Tangga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat (30,3% pada 1980 dan 17,3% pada 1986) mencari pengobatan tradisional dan mencoba pengobatan sendiri dengan cara/bahan tradisional lebih dulu bila menderita sakit (Salan, 1998: 56-59). Menurut Susenas 2001, sebanyak 31,7% masyarakat menggunakan obat tradisional dan 9,8% mencari pengobatan dengan cara tradisional untuk mengatasi masalah kesehatannya (Depkes, 2004:1)

Peranan pemeliharaan kesehatan secara tradisional yang sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu, didasarkan pada kenyataan bahwa kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran belum sepenuhnya mampu mengatasi semua penyakit dan kesakitan, sedangkan jangkauannya ke daerah pedesaan masih terbatas. Para pengobat tradisional5 cenderung bertambah jumlahnya, sehingga perlu dibina dengan upaya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan kesehatan (Salan, 1998: 56-59).

Indonesia dikenal dengan berbagai jenis pengobatan tradisional yang menurut cara pengobatannya dapat dibagi atas:

1. Upaya pengobatan tradisional yang menggunakan obat-obatan (ramuan) tradisional, seperti dukun ramuan, sinse, tabib, dan sebagainya.

2. Upaya pengobatan tradisional yang menggunakan keterampilan khusus, seperti dukun beranak, dukun patah, dukun urut, akupunktur nonmedis dan sebagainya. 3. Upaya pengobatan tradisional yang menggunakakan cara magic-mistik.

5

Pengobat tradisional adalah seseorang yang diakui oleh lingkungan masyarakat sekitarnya sebagai orang yang dianggap mampu melaksanakan pengobatan tradisional .


(26)

4. Upaya pengobatan tradisional yang berlandaskan/berkaitan dengan kehidupan beragama.

Pembagian ini berdasarkan hasil loka karya tentang penelitian praktik pengobatan tradisional (Salan, 1998:56-59)

2.2 Ramuan Tradisional Sebagai Pengobatan Alternatif

Pada hakekatnya upaya pengobatan tradisional di Indonesia merupakan bagian dari budaya bangsa yang diturunkan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya, baik secara lisan maupun secara tertulis. Sementera ilmu pengobatan itu sendiri ada yang berasal warisan nenek moyang dalam negeri dan dari luar negeri (Sudibyo, 2006:5-7).

Hingga sekarang, pengobatan tradisional masih diakui keberadaannya di kalangan masyarakat luas. Ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang terus membina dan mengembangkannya. Diketahui bahwa sebenarnya sebagian besar penduduk Indonesia masih banyak yang tinggal di pedesaan atau di daerah pegunungan yang pada umumnya masih belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan modern yang memadai, baik dari pemerintah maupun swasta. Mereka itu masih banyak yang berekonomi lemah atau kurang mampu. Di daerah seperti itu umumnya masih sedikit atau sulit ditembus dengan peredaran obat modern yang harganya semakin mahal. Padahal problem kesehatan disana sangat bervariasi dan ada kalanya sulit pula cara penanggulangannya.Dalam posisi semacam inilah obat tradisional atau pengobatan tradisional ditampilkan sebagai salah satu pengobatan alternatif yang


(27)

sangat penting artinya, khususnya untuk penanganan/pelayanan kesehatan primer (PKP), baik sebagai obat preventif maupun sebagai pengobatan (Sudibyo, 2006:5-7).

Pengetahuan tentang obat tradisional perlu disebarluaskan. Dengan demikian, pengetahuan tentang pengobatan tradisional diharapkan dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Salah satu pengobatan tradisional yang sedang trend saat ini adalah ramuan tanaman obat. Secara empirik, ramuan tradisional dengan tanaman obat paling banyak digunakan oleh masyarakat. Penggunaan ramuan tradisional tidak hanya untuk menyembuhkan suatu penyakit, tetapi juga untuk menjaga dan memulihkan kesehatan. Saat ini telah ditemukan ratusan bahkan ribuan jenis tanaman obat yang tersebar di berbagai pelosok nusantara. Namun demikian, dari jumlah tersebut belum semuanya dimanfaatkan sebagai tanaman obat secara maksimal (Sudibyo, 2006:5-7)

Dalam upaya memberikan pelayanan yang optimal bagi masyarakat Indonesia, tidak cukup hanya dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan Profesi kesehatan saja, melainkan perlu melibatkan semua potensi sumber daya termasuk obat tradisional. Obat tradisional merupakan warisan budaya bangsa yang perlu terus dilestarikan dan dikembangkan untuk menunjang pembangunan kesehatan sekaligus untuk meningkatkan perekonomian rakyat. Untuk dapat ikut meningkatkan pelayanan dan meningkatkan pemerataan obat-obatan tradisional, maka perlu dukungan dari pemerintah dan dari masyarakat itu sendiri (Notoadmodjo, 2007: 330-331).


(28)

2.3 Prospek Obat Tradisional

Pembangunan kesehatan dewasa ini serta masa datang berpedoman kepada Sistem Ketahanan Nasional. Dalam sistem ini ditekankan bahwa pengobatan tradisional yang berhasil guna dan berdaya guna akan dibina, dibimbing dan dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan, sedangkan pengawasan terhadap penyalahgunaan yang merugikan masyarakat secara bertahap ditingkatkan (Salan, 1998: 56-59).

Penelitian, pengembangan, dan pengadaan obat, termasuk obat bahan alam, ditujukan untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat yang cenderung semakin kompleks. Salah satu penyebab semakin kompleksnya masalah kesehatan masyarakat ialah adanya perubahan lingkungan, perubahan perilaku hidup manusia, serta peningkatan mobilitas penduduk akibat pesatnya perkembangan iptek. Perubahan dan perkembangan tersebut di satu sisi merupakan pendorong terjadinya perubahan atau pergeseran pola penyakit, di sisi lain merupakan peluang bisnis. WHO dan WHA

(World Health Assembly) menyatakan bahwa walaupun IPTEK di bidang kesehatan

semakin maju dan anggaran kesehatan meningkat di banyak negara anggota WHO, tetapi tidak semua masalah kesehatan dapat ditangani secara efektif dengan cara pengolahan dan obat modern. Beranjak dari keadaan tersebut maka WHA merekomendasikan kepada negara-negara anggota WHO untuk memanfaatkan cara pengobatan tradisional dan obat herbal yang telah terbukti dan bermanfaat (Dalimartha, 2006:5).


(29)

Kecenderungan kuat untuk menggunakan pengobatan dengan bahan alam, tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga berlaku di banyak negara karena cara-cara pengobatan ini menerapkan konsep ”back to nature” atau kembali ke alam yang diyakini mempunyai efek samping yang lebih kecil dibandingkan obat-obat modern (Notoadmojo, 2007:343).

2.4 Pengetahuan, Sikap dan Tindakan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek (Notoatmodjo, 2005:50)

Sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya (Azwar, 2007: 5)

Teori tindakan beralasan mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku dengan suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal. Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tetapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga oleh norma-norma subjektif yaitu keyakinan mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat. Ketiga, sikap


(30)

terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu (Azwar, 2007: 11)

Struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang yaitu komponen kognitif (cognitive) yang merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen afektif (affective) merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional dan komponen konatif (conative) yang merupakan aspek kecenderungan untuk berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki (Azwar, 2007: 23-24).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap yaitu (Azwar, 2007: 30-35) :

1) Pengalaman pribadi

Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.

2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin dikecewakan, atau seseorang yang berarti khusus akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Di antara orang yang biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang


(31)

yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, isteri atau suami, dan lain-lain.

3) Pengaruh Kebudayaan

Apabila kita hidup dalam budaya sosial yang sangat mengutamakan kehidupan berkelompok, maka sangat mungkin kita akan mempunyai sikap yang belum tentu sesuai dengan sikap diri kita sendiri, karena kita akan lebih mengutamakan kepentingan berkelompok daripada kepentingan pribadi.

4) Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Lembaga pendidikan dan lembaga agama akan meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajarannya. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sikap kepercayaan, maka tidak heran kalau konsep tersebut ikut berperanan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal. 5) Media Massa

Walaupun pengaruh media massa tidaklah sebesar pengaruh interaksi individual secara langsung, namun dalam proses pembentukan dan perubahan sikap, peranan media massa tidaklah kecil. Dalam hal ini informasi dalam media massa yang positif dapat menimbulkan pengaruh afektif yang positif pula.

Menurut Walgito (2003:112-113), ada beberapa faktor determinan sikap yang dianggap penting, yaitu:


(32)

a) Faktor fisiologis seseorang akan ikut menentukan bagaimana sikap seseorang. Berkaitan dengan ini adalah faktor umur dan kesehatan. Pada umumnya orang muda bersikap lebih radikal daripada sikap orang yang lebih tua, sedangkan orang dewasa bersikap lebih moderat.

b) Faktor pengalaman langsung terhadap objek yang akan dipengaruhi langsung oleh pengalaman orang yang bersangkutan terhadap objek tersebut.

c) Faktor kerangka acuan, merupakan faktor penting dalam sikap seseorang, karena kerangka acuan ini akan berperan terhadap objek sikap.

d) Faktor komunikasi sosial yang berwujud informasi dari seseorang kepada orang lain.

2.5 Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat adalah suatu upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat yang mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Di bidang kesehatan, pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan (Notoadmodjo, 2007: 107-109).

Menurut Notoadmodjo (2007:107-109), tujuan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan adalah:

1. Tumbuhnya kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman akan kesehatan bagi individu, kelompok, atau masyarakat. Pengetahuan dan kesadaran tentang


(33)

cara-cara memelihara dan meningkatkan kesehatan adalah awal dari keberdayaan kesehatan.

2. Timbulnya kemauan atau kehendak ialah sebagai bentuk lanjutan dari kesadaran dan pemahaman terhadap objek, dalam hal ini kesehatan. Kemauan atau kehendak merupakan kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan. Kondisi ini disebut dengan sikap atau niat sebagai indikasi akan timbulnya suatu tindakan.

3. timbulnya kemampuan masyarakat di bidang kesehatan berarti masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, telah mampu mewujudkan kemauan atau niat kesehatan mereka dalam bentuk tindakan atau perilaku sehat.

Menurut Adisasmito (2008:177-178) Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan beberapa strategi, yaitu:

1. Melakukan penguatan lembaga dan organisasi masyarakat guna mendukung peningkatan posisi tawar dan akses masyarakat untuk memperoleh dan memanfaatkan input sumber daya yang dapat meningkatkan kegiatan ekonomi. 2. Mengembangkan kapasitas masyarakat melalui bantuan peningkatan keterampilan

dan pengetahuan, penyediaan prasarana dan sarana seperti modal, informasi pasar dan teknologi, sehingga dapat memperluas kerja dan memberikan pendapatan yang layak, khususnya bagi keluarga dan kelompok masyarakat miskin.

3. Mengembangkan sistem perlindungan sosial, terutama bagi masyarakat yang terkena musibah bencana alam dan masyarakat yang terkena dampak krisis ekonomi.


(34)

4. Mengurangi berbagai bentuk pengaturan yang menghambat masyarakat untuk membangun lembaga dan organisasi guna penyaluran pendapat, melakukan interaksi sosial untuk membangun kesepakatan di antara kelompok masyarakat dan dengan organisasi sosial politik.

5. Membuka ruang gerak seluas-luasnya bagi masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik melalui pengembangan forum lintas yang dibangun dan dimiliki masyarakat setempat.

6. Mengembangkan potensi masyarakat untuk membangun lembaga dan organisasi keswadayaan masyarakat di tingkat lokal untuk memperkuat solidaritas dan ketahanan sosial masyarakat dalam memecahkan berbagai masalah kemasyarakatan dan khususnya untuk membantu masyarakat miskin dan rentan sosial.

Menurut Suyono dalam Notoadmodjo (2005:255) paling tidak ada tiga syarat dalam proses pemberdayaan masyarakat, yaitu:

1. Kesadaran, kejelasan, serta pengetahuan tentang apa yang akan dilakukan.

2. Pemahaman yang baik tentang keinginan berbagai pihak (termasuk masyarakat) tentang hal-hal apa, dimana, dan siapa yang akan diberdayakan.

3. Adanya kemauan dan keterampilan kelompok sasaran untuk menempuh proses pemberdayaan.


(35)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pendekatan kualitatif yang digunakan adalah ‘individual’s life

history’. Penggunaan metode ini sebagai upaya untuk memperoleh suatu pandangan

dari dalam, reaksi, tanggapan, interpretasi seseorang/individual tentang sesuatu dalam hidupnya (Koentjaraningrat, 1977:158), yang dalam hal ini adalah pemanfaatan TOGA. Riwayat hidup yang diangkat di sini adalah riwayat hidup mak Intan yang sangat memanfaatkan TOGA, bahkan menjadikan TOGA sebagai tulang punggung perekonomian keluarganya.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, propinsi Sumatera Utara. Kelurahan Tanah 600 tersebut memiliki karakteristik tingkat pemanfaatan TOGA yang cukup baik, diantaranya pada tahun 2006 kelurahan Tanah 600 mendapat penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai daerah potensial pengembangan TOGA terbaik di Sumatera Utara. Di kelurahan ini banyak orang yang memanfaatkan TOGA, di antaranya


(36)

seorang ibu rumah tangga yang begitu sangat memanfaatkan TOGA, bahkan berhasil menjadikan TOGA sebagai industri rumah tangga.

Penelitian kualitatif ini telah dilaksanakan sejak Februari sampai dengan April 2009.

3.3 Pemilihan Informan

Subjek dalam penelitian ini adalah individu/keluarga yang memanfaatkan TOGA di Tanah 600. Penentuan salah satu individu/keluarga yang akan ditulis pengalamannya dalam bentuk ‘life history’ membutuhkan penyaringan. Penyaringan ini diperlukan karena di Tanah 600 ada sebanyak 50 keluarga yang memanfaatkan TOGA. Dari beberapa keluarga yang diwawancarai, kemudian diperoleh dua individu yang sejak tahun 1980 sampai sekarang tetap eksis atau tetap bertahan memanfaatkan TOGA, bahkan terus berupaya mengembangkan TOGA. Sementara keluarga-keluarga lainnya sudah tidak lagi memanfaatkan TOGA secara serius, penanaman dan pemanfaatan TOGA telah menjadi usaha sambilan yang tidak begitu ditekuni lagi.

Salah satu individu yaitu mak Salon, yang mendapatkan penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia menanam dan memanfaatkan TOGA sejak tahun 1982. Hanya saja mak Salon, dalam memanfaatkan TOGA ini tidak sampai ke tingkat pengolahan TOGA menjadi jamu instant. Individu yang kedua adalah mak Intan. Mak Intan sudah memahami pemanfaatan TOGA sejak kecil, tetapi usaha pemanfaatan TOGA menjadi jamu baru benar-benar ditekuni dengan sepenuh hati


(37)

sejak tahun 1981. Dan, mak Intan dalam pemanfaatan TOGA bagai ‘industri dari hilir sampai hulu’; maksudnya: menanam sendiri, mengolah sendiri, sampai memasarkan produk-produk TOGA-nya sendiri. Pada akhirnya pilihan subjek penelitian adalah mak Intan, yang lebih berpengalaman dalam pemanfaatan TOGA, sehingga dapat memberikan nilai-nilai pengetahuan dan inspirasi bagi orang lain.

Informan pokok dalam penelitian ini adalah mak Intan; dilengkapi dengan keterangan dari informan lainnya yaitu suami, anak menantu dan orang lain yang mengenal mak Intan. Mereka adalah tetangga, teman atau relasi-relasi yang dijalin oleh mak Intan untuk mengembangkan industri rumah tangga yang dikelola bersama keluarganya, bahkan juga termasuk pasien yang telah menggunakan jamu-jamu instant mak Intan untuk pengobatan penyakit yang dideritanya.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth

interview) dan pengamatan (observasi). Data yang diperoleh harus mampu

menggambarkan ‘data pengalaman individu’, dimana data-data tersebut memberi keterangan mengenai apa yang dialami individu ini sebagai warga suatu masyarakat yang menjadi obyek penelitian. Selain wawancara mendalam dan pengamatan, maka pengumpulan data juga dilakukan dari dokumen-dokumen yang ada, yang menunjukkan keberhasilan individu ini dalam pemanfaatan TOGA. Adapun alat bantu yang digunakan peneliti dalam proses pengumpulan data yaitu alat tulis, buku catatan, kamera dan tape recorder.


(38)

Dalam pengumpulan data di lapangan, saya mengalami beberapa kesulitan, seperti data-data tentang waktu dan tempat pelaksanaan pameran yang tidak terdokumentasi. Daftar-daftar tanaman obat yang dikoleksi oleh mak Intan, yang diyakininya berjumlah 500 jenis, juga tidak terdokumentasi dengan baik. Serta, tehnik pengolahan jamu-jamu instant yang terkesan ‘agak tersembunyi’, walaupun jenis atau bahan yang digunakan selalu diperlihatkan kepada saya saat pelaksanaan pengolahannya. Termasuk juga untuk jamu sapu jagat, yang konon menurut mak Intan terbuat dari 100 jenis tanaman obat, tetapi daftar jenis tanaman tersebut tidak diperoleh oleh peneliti. Beliau hanya menunjukkan kumpulan bahan-bahan ramuan dan menyebutkan nama-nama tanaman yang tertentu saja.

3.5 Metode Analisis Data

Setiap data-data pengamatan dan wawancara yang dikumpulkan dari lapangan, langsung dituangkan ke dalam bentuk ‘field note’ dan dilakukan analisis data. Sesuai dengan sifat data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, maka analisis data adalah analisa kualitatif. Tujuan analisis data adalah untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.

Penganalisisan data dilakukan dengan tehnik ‘on going analysis’ yaitu analisis yang terjadi di lapangan berdasarkan data-data yang diperoleh. Kemudian data-data ini dikelompokan sesuai dengan tahapan yang dilalui oleh mak Intan, mulai dari cara memperoleh pengetahuan, cara beliau mengembangkan pengetahuannya dan caranya memasarkan produk-produk jamu yang dimilikinya.


(39)

Pengelompokan data ini dilakukan untuk memudahkan dalam menuangkan data-data tersebut ke dalam bentuk penulisan ‘life history’ mak Intan. Sekaligus juga, akan memudahkan saya untuk mengetahui data-data mana yang masih kurang dan informan mana yang harus diwawancarai, sehingga saya segera kembali ke lapangan untuk melakukan pengamatan dan wawancara pada informan yang dimaksud.

Proses trianggulasi data berlangsung dengan sendirinya, ketika data yang diberikan salah satu informan, saya rasakan masih kurang jelas atau kurang menyakinkan, maka informasi yang diperoleh dari informan lain ‘secara tidak sengaja’ akan memberikan penjelasan kepada saya apakah data yang saya peroleh sebelumnya layak atau tidak layak disertakan dalam kajian penulisan ini. Jadi, proses trianggulasi data selalu berlangsung, dan keputusan tetap berada pada saya sebagai penulis.


(40)

BAB 4

GAMBARAN UMUM

4.1 Kecamatan Medan Marelan

Penelitian tentang pemanfaatan TOGA dilakukan di satu kelurahan, yaitu kelurahan Tanah Enam Ratus yang terletak di Kecamatan Medan Marelan, yang memiliki luas wilayah 44,47 km2 dan terletak 5 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Medan Marelan terdiri dari 5 kelurahan, yaitu :

1). Kelurahan Tanah Enam Ratus 2). Kelurahan Rengas Pulau 3). Kelurahan Terjun

4). Kelurahan Paya Pasir 5). Kelurahan Labuhan Deli

Sedangkan jumlah penduduk, luas kelurahan dan kepadatan penduduk di Kecamatan Medan Marelan dapat dilihat pada Tabel 4.1. berikut :


(41)

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Marelan Tahun 2007

No Kelurahan Jumlah Penduduk

Luas Wilayah

Kepadatan Penduduk Per km2

1 Tanah Enam Ratus 22.903 30.42 753

2 Rengas Pulau 57.178 10.5 5.446

3 Terjun 18.890 16.05 1.177

4 Paya Pasir 10.273 10 1.027

5 Labuhan Deli 15.125 4.5 3.361

Medan Marelan 124.369 71.47 1.740

Sumber : BPS Kota Medan, 2008

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Kelurahan Tanah 600 memiliki wilayah paling luas tetapi kepadatan penduduk paling rendah jika dibandingkan dengan empat kelurahan lainnya.

Penduduk di Kecamatan Medan Marelan memiliki jenis mata pencaharian yang beragam, tetapi yang paling besar adalah petani, seperti terlihat pada Tabel 4.2. berikut :


(42)

Tabel 4.2. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Menurut Kelurahan Di Kecamatan Medan Marelan Tahun 2007

No Kelurahan PNS Peg.

Swasta ABR I Petan i Nelaya n Pedaga - ng Pensi -unan Lain -nya

1 Tanah Enam

Ratus

113 859 8 768 14 56 19 0

2 Rengas Pulau 204 2241 62 2024 16 334 9 0

3 Terjun 201 722 8 4173 119 39 16 0

4 Paya Pasir 25 892 18 361 82 47 6 0

5 Labuhan Deli 180 2004 7 76 947 37 12 0

6 Medan Marelan

723 6718 103 7402 1178 513 62 0

Sumber : BPS Kota Medan, 2008

Kelurahan Tanah Enam Ratus mempunyai luas 30.42 km2, dengan batas-batas wilayah daerah ini adalah sebagai berikut:

Sebelah utara : berbatasan dengan kelurahan Terjun dan Kelurahan R. Pulau. Sebelah timur : berbatasan dengan kelurahan Titi Papan.

SSebelah barat : berbatasan dengan PTP IX

Sebelah selatan : berbatasan dengan Desa Manunggal Labuhan Deli.

Di Tanah 600 dapat ditemukan tanaman obat keluarga (TOGA) masing-masing di depan rumah masyarakat. Ada yang menanam hanya untuk kebutuhan dapur, ada juga yang menanam untuk keperluan obat. Memang, sekitar sepuluh tahun yang lalu, keluarga-keluarga di Tanah 600 sangat bersemangat dalam menanam TOGA. Hal ini dinyatakan oleh mak Salon, yang merupakan salah seorang pelopor


(43)

dalam pemanfaatan TOGA. Menurut beliau, dahulu Tanah 600 selalu menjadi daerah yang dikunjungi oleh kelompok-kelompok tani dari daerah atau kota lain, jika melakukan studi banding tentang pemanfaatan TOGA. Dinas pertanian atau dinas kesehatan selalu membawa rombongan tamu-tamu tersebut ke Tanah 600, karena pada saat itu di daerah ini, penanaman dan pemanfaatan TOGA cukup berkembang dan merupakan daerah binaan dari kedua dinas pemerintahan tersebut.

Bahkan, dahulu rumah mak Salon menjadi tempat penampungan tanaman-tanaman obat dari para tetangga, karena banyaknya masyarakat atau mahasiswa yang mencari dan membeli tanaman obat ke lingkungan mereka. Kemungkinan, karena besarnya peminat terhadap TOGA, sehingga masyarakat juga bersemangat untuk menanamnya. Tetapi, sejak dua tahun belakangan ini, permintaan pasar terhadap TOGA sudah menurun, sehingga beberapa keluarga sudah tidak lagi menanam TOGA. Termasuk dalam kelompok ini adalah mak Salon, terlihat pada halaman samping rumahnya yang masih meninggalkan kesan ‘kejayaan TOGA’, beberapa tanaman masih tumbuh menutupi sebuah papan yang berisi daftar nama-nama TOGA miliknya. Tetapi sebagian telah tergusur oleh pembangunan sebuah studio foto, untuk tempat usaha salah seorang putranya.

Pekerjaan penduduk Tanah 600 mayoritas bertani, yaitu sebesar 70%. Jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat adalah padi dan tanaman palawija seperti kacang kedelai, kacang panjang, kacang hijau, kangkung, sawi dan terong. Tetapi jenis tanaman padi masih tetap menjadi primadona jika dibanding dengan tanaman palawija tersebut.


(44)

Dulunya, lingkungan di Tanah 600 sebagian besar merupakan daerah pertanian, tetapi perkembangan zaman dan pertambahan penduduk yang membutuhkan tempat tinggal, menyebabkan banyaknya lahan pertanian yang telah berubah menjadi tapak-tapak perumahan. Sehingga, menjadi pemandangan yang biasa _jika berkeliling ke sekitar lingkungan di Tanah 600_, tampak beberapa rumah-rumah, di sebelah atau di depan rumah tersebut masih ada sawah-sawah produktif, yang bukan milik mereka.

Sedangkan selebihnya masyarakat Tanah 600 memiliki pekerjaan sebagai buruh pabrik, tukang cuci, tukang ojek, dan lain-lain. Selama penelitian juga tidak jarang ditemukan masyarakat berkumpul-kumpul di depan rumah sambil memotong/merapikan tali selop. Selop-selop yang dipotong atau dirapikan oleh warga masyarakat tanah 600 adalah produk dari sebuah pabrik selop ‘Swallow’, dimana keberadaan pabrik ini masih tidak jauh dari lokasi tempat tinggal mereka. Satu warga setiap harinya dapat menyelesaikan 2 lusin (48 buah) selop, setiap selop dihargai Rp.100. Satu keluarga dapat menghasilkan sepuluh ribu rupiah setiap sore. Mereka juga menganggap bahwa apa yang mereka dapatkan sudah bisa mengganti uang jajan anak-anak mereka.

4.2 Mak Intan

Di daerah ini ditemukan satu rumah tempat mengolah TOGA ke dalam bentuk jamu dan minuman sehat. Tempat pengolahan TOGA ini dikelola oleh satu keluarga yang dikenal dengan keluarga Mak Stepia. Dia sangat memahami seluk beluk TOGA.


(45)

Pengetahuan dan keterampilan mengolah TOGA ini diperolehnya semenjak kecil, yang diwariskan oleh kakek, nenek dan ibunya sendiri.

Mak Intan lahir pada tanggal 12 Desember 1951 di daerah Titi Rante, Padang Bulan. Beliau anak paling kecil dari 4 bersaudara (satu laki-laki dan tiga orang perempuan). Kesulitan ekonomi yang menimpa orangtuanya menyebabkan keluarga orangtuanya pindah ke Tanah 600 _saat itu usia mak Intan baru 3 bulan_ untuk tinggal bersama kakek dan neneknya (dari pihak ayahnya). Ketika usia mak Intan menginjak 4 tahun, ibunya meninggal dunia, sehingga dia diasuh oleh kakek dan nenek. Ayahnya menikah lagi dan tinggal di tempat yang berbeda dengan mereka.

Kakek dan neneknya merupakan orang-orang yang sejak masa mudanya sudah memanfaatkan tanaman-tanaman untuk pengobatan. Setiap ada anggota keluarga yang sakit, obat yang diberikan selalu dari bahan tanaman, baik yang diminum atau yang dioleskan pada tubuh si sakit. Dan, semua anggota keluarga diajari cara-cara pengobatan ini, tetapi hanya mak Intan yang menaruh minat cukup besar untuk mempelajarinya.

Sejak usia 4 tahun, mak Intan sudah diajari kakek dan neneknya untuk mengenali dan menanam jenis-jenis rumput yang berguna sebagai bahan obat. Keterlibatan awal mak Intan adalah dengan mengisi plastik-plastik bekas kantong belanja dengan tanah-tanah yang diambil dari pembakaran sampah. Tanah-tanah ini setelah diisi ke dalam plastik-plastik tersebut, dibiarkan sekitar 2 minggu, baru kemudian ditanami oleh tanaman obat, seperti kunyit, jahe, temulawak, seledri, dan sebagainya. Selain dari pembakaran sampah, pengisian tanah ke dalam


(46)

kantong-kantong plastik tersebut, sering juga dari tanah-tanah yang ada di parit/selokan. Perlakuan terhadap tanah parit ini sama dengan tanah bakaran sampah. Kantong yang berisi tanah parit juga dibiarkan untuk beberapa lama, baru bisa ditanami oleh tanaman obat.

Dulunya beliau bingung mengapa mesti tanah bekas membakar sampah atau tanah dari parit, yang dijadikan tanah untuk menanam tanaman tersebut, tetapi kakeknya dengan sabar menjelaskan tentang ‘kesuburan tanah’ dari debu sisa-sisa pembakaran sampah atau proses pembusukan dari sampah-sampah yang berada di selokan atau parit. Pengetahuan itu tetap menjadi pegangan mak Intan sampai saat ini. Tanaman obat miliknya tidak pernah dipupuk dengan menggunakan pupuk kimia. Pupuk yang digunakan olehnya adalah pupuk kompos yang dibuatnya sendiri, yaitu dengan memasukkan ke dalam sebuah lubang beberapa sampah-sampah organik, menutupnya dan membiarkannya berminggu-minggu. Ketika tiba masa memupuk, maka yang digunakan adalah pupuk buatan tersebut. Sehingga beliau _dengan keyakinan penuh_ mengatakan bahwa tanaman obat yang dimilikinya merupakan tanaman obat organik, tanaman yang terbebas dari pupuk-pupuk kimia.

Dalam meracik tanaman obat menjadi jamu, maka mak Intan juga dilibatkan oleh kakek dan neneknya. Setiap ada kegiatan pembuatan jamu, maka beliau selalu diajak serta membuatnya. Neneknya selalu mengulang-ulang nama-nama tanaman yang dicampurkan untuk membuat satu jenis jamu. Terkadang, jika ada tanaman yang kurang dalam campurannya, maka nenek selalu menyuruh mak Intan untuk mencarinya di pinggir-pinggir jalan atau di pekarangan tetangga.


(47)

Tehnik pengajaran ini juga diterapkannya kepada salah seorang anak menantunya, yang juga sangat meminati pemanfaatan TOGA sebagai obat. Keterlibatan anak menantunya untuk mempelajari pembuatan jamu adalah dengan cara dia mengumpulkan tanaman-tanaman yang diperlukan untuk satu jenis jamu. Ketika semua sudah terkumpul maka mak Intan memeriksa kelengkapan semua jenis tanaman tersebut. Tidak hanya itu, saat ini perawatan tanaman obat miliknya, telah sepenuhnya diserahkan ke tangan anak menantunya. Mak Intan hanya sekali-sekali memeriksa kesehatan tanaman tersebut. Tehnik pendidikan yang seperti ini membuat anak menantunya lebih cepat mempelajari jenis-jenis tanaman obat beserta khasiatnya serta cara perawatannya.

Pada tahun 1972, mak Intan menikah dengan pemuda bernama Wahyu. Pernikahan ini menyebabkan beliau pindah ke Titi Rante, Padang Bulan. Saat itu suaminya bekerja sebagai buruh pengangkut barang (porter), di pelabuhan Belawan Medan. Ketidakpuasan mak Intan akan keadaan ekonomi keluarganya telah memunculkan ide yang terpendam, yaitu untuk kembali menggeluti pembuatan jamu-jamu dan menjualnya. Ketika kelahiran anak kelima (tahun 1980), maka mak Intan beserta suami dan anak-anaknya boyongan kembali pindah ke Tanah 600. Alasan kepindahan ke Tanah 600 saat itu sangat sederhana, karena di sana masih ada kakek dan nenek mak Intan tempat untuk berguru kembali dalam pembuatan jamu.

Sinar terang sepertinya memang berada di Tanah 600. Pada tahun 1981 ini juga, mak Intan memulai debutnya sebagai penanam TOGA dan pembuat jamu. Jam 4 pagi, dia dan suaminya mengolah sepuluh jenis tanaman obat - kencur, jahe,


(48)

temulawak, jeruk nipis, kunyit, sambiroto, lengkuas, beras, daun sirih dan asam jawa - untuk membuat jamu. Jam 6 pagi mak Intan sudah berangkat menjajakan jamu-jamunya ke daerah seputar Marelan. Tetapi sejak beliau mendapat hadiah sepeda tua dari mamak mertuanya, daerah penjualan jamu mak Intan semakin luas, sampai ke Hamparan Perak, Klumpang dan daerah-daerah perkebunan sekitar Deli Serdang. Jam 6 sore, mak Intan baru kembali ke rumah.

Pada tahun 1988, suami mak Intan terpilih sebagai kepala lingkungan, walaupun bergaji kecil, tetapi keberadaannya sebagai istri seorang kepala lingkungan telah membuatnya selalu ikut dalam kegiatan-kegiatan Posyandu dan PKK. Kegiatan di Posyandu dan PKK ini telah membuka peluang untuk semakin berkembang dalam pemanfaatan TOGA. Pergaulannya dengan orang-orang di dinas kesehatan dan dinas pertanian, semakin meningkatkan wawasannya dan peluang-peluang yang dapat diraih dalam bidang TOGA.

Sambil menjalankan usaha penjualan jamu, dimana ruang lingkupnya semakin luas, mak Intan terus menambah koleksi tanamannya. Jumlah tanaman obatnya yang semakin banyak, seiring juga dengan digalakkannya program pemanfaatan pekarangan dengan menanam TOGA oleh pemerintah, telah mampu membuat pihak dinas pertanian untuk selalu mengajak serta mak Intan setiap ada kegiatan pameran.

Beliau bersyukur memiliki suami yang cukup pengertian dan mendukung usaha yang dijalankannya. Selama mak Intan berjualan, urusan rumah tangga dijalankan suaminya dan dibantu oleh anak-anak yang sudah cukup besar. Mak Intan memiliki enam orang anak, tiga orang perempuan dan tiga orang laki-laki. Anak


(49)

tertua lahir pada tahun 1974, diikuti adik-adiknya berturut-turut pada tahun 1976, 1978, 1980, 1983 dan 1989.

Selama berjualan jamu ini, mak Intan tetap berusaha untuk menambah pengetahuannya tentang pemanfaatan TOGA. Keputusannya untuk menggeluti TOGA secara sepenuh hati, memberikan bukti. Anak-anaknya semua bisa mengenyam pendidikan menengah, keperluan-keperluan keluarga lainnya juga bisa dipenuhi dari hasil pemanfaatan TOGA.

Rumah mak Intan memiliki luas bangunan 6 x 17 m. Disamping rumahnya juga terdapat sebidang tanah berukuran 8 x 20 m yang dipergunakan untuk menanam TOGA. Rumah tempat tinggal mak Intan dikelilingi oleh tanaman-tanaman, yang jika sepintas dipandang tidak memiliki nilai keindahan yang spesifik. Tanaman yang ada di pekarangan rumah ini tidak tampak berbeda dengan tanaman-tanaman liar yang tumbuh sebagai semak belukar di hutan-hutan, sehingga tidak terlihat keistimewaannya. Tidak seperti tanaman anggrek yang menghasilkan bunga beranekaragam yang indah dan tahan lama, atau juga tanaman aglonema yang menonjolkan pancaran keindahan dari daun-daunnya.

Tanaman yang kebanyakan ditanam di samping rumah ini biasa-biasa saja. Beberapa pot tanaman digantung, beberapa pot lagi dibiarkan tergeletak di tanah, dan sebagian lagi, untuk tanaman-tanaman ukuran besar, seperti kumis kucing, kunyit dan kejibeling, tumbuh begitu saja pada bagian tepi halaman. Tampak membedakan hanya pemasangan paranet, sebagai tanda bahwa tanaman yang dinaunginya tidak bisa bersentuhan langsung dengan sinar matahari.


(50)

Ketika tanaman-tanaman tersebut didekati secara langsung, barulah saya bisa melihat perbedaan-perbedaan dari beberapa tanaman. Dari seluruh tanaman yang ada di pekarangan rumah mak Intan, ‘hanya’ sebagian kecil yang bisa ditebak namanya, selebihnya saya harus bertanya pada mak Intan.

Kekaguman saya dengan mak Intan tidak dapat dipungkiri, beliau bisa sangat hapal dengan nama, jenis dan khasiat tanaman yang ditanamnya. Salah satu tanaman yang membuat saya tertarik adalah tanaman Stevia yang memiliki kegunaan sebagai pengganti gula pada penderita diabetes melitus. Ketika saya bertanya lebih dalam mengenai tanaman ini, mak Intan dengan lugas bisa menjawab semua pertanyaan mengenai khasiat dan cara penggunaan tanaman tersebut, bahkan beliau bisa menguraikan dengan baik pengembangan tanaman ini ke depan _jika diolah secara modern_ bagi penderita diabetes melitus yang dirawat di rumah sakit dan rawat jalan.

4.3 Jamu-Jamu Instant

Dari TOGA yang ditanam di pekarangan rumah Mak Intan, maka keluarga ini juga menghasilkan beberapa jenis jamu yang sudah diberi izin oleh departemen kesehatan, produk jamu yang mereka hasilkan adalah produk jamu instant. Produk jamu ini sudah dibuat dalam kemasan yang diberi label berisi khasiat dan takaran penggunaan serta tanggal kadaluarsa. Penggunaan jamu-jamu ini sangat mudah, si pemakai tinggal menyeduh dengan air hangat dan dapat langsung diminum. Tidak ada serbuk yang tampak kasar dan sulit untuk diminum. Begitu bubuk jamu-jamu ini bersentuhan dengan air hangat, maka bubuk jamu tersebut langsung larut dalam air.


(51)

Rasa yang dimiliki jamu-jamu instant ini pun jauh dari bayangan yang terkonsep dalam pemikiran saya, yaitu rasa pahit dan sepat. Jamu instant daun jati, jamu instant kejibeling dan kumis kucing, serta jamu sapu jagat, terasa ‘enak’ ketika diminum. Sangat berbeda dengan jamu-jamu bubuk lainnya yang diproduksi secara pabrikan.

Pengolahan jamu-jamu ini juga sangat sederhana. Hanya satu peralatan listrik yang digunakan yaitu blender, selebihnya menggunakan peralatan yang cukup sederhana. Bahkan, untuk menutup kemasan pada plastik atau botol dengan tehnik pemanasan, digunakan lampu dinding (lampu teplok).

Bahan-bahan tanaman yang sudah dikumpulkan, dibersihkan, kemudian ditumbuk pada sebuah lumpang, tidak langsung menggunakan blender, karena serat-serat tanaman cukup keras dan dapat merusak blender. Setelah bahan-bahan tersebut setengah halus, baru diblender untuk mendapat tekstur yang sangat halus. Campuran ini kemudian dimasak sampai airnya tinggal sebagian, untuk jamu dalam bentuk cair, tinggal saring dan dinginkan. Kemudian dimasukkan ke dalam botol-botol yang sudah disterilkan dengan tehnik perendaman pada air mendidih. Setelah dingin, baru ditutup dan diberi segel plastik pada tutupnya. Sedangkan untuk jamu yang dijual dalam bentuk serbuk, dimasak sampai setengah kering, kemudian dimasak beserta gula pasir sampai menjadi kering benar. Jamu-jamu ini sudah melalui proses uji coba oleh departemen kesehatan, melalui bagian pengawasan obat tradisional.


(52)

BAB 5

PEMANFAATAN TANAMAN OBAT KELUARGA

5.1 Pengetahuan Tentang TOGA

Tanaman Obat Keluarga (TOGA) seakan sudah mendarah daging dalam kehidupan mak Intan. Kecintaan beliau akan TOGA tampak jelas ketika beliau menceritakan jenis-jenis TOGA yang dimilikinya. Rasa kebanggaan tampak dari raut wajahnya ketika menceritakan jenis TOGA baru yang dimilikinya, dengan berapi-api beliau bercerita bagaimana perjuangan yang dilakukannya untuk memiliki jenis TOGA tersebut.

Rasa kecintaan yang ‘sangat dalam’ ini juga tampak ketika beliau bercerita tentang perjuangan yang dilakukannya untuk mewujudkan TOGA menjadi jamu-jamu instant yang tampak terpajang di sebuah lemari kaca di rumahnya. Rasa kecintaan ini juga dibarengi dengan rasa kebanggaan. Kebanggaan ini tampak diwujudkannya dengan pemajangan beberapa gambarnya dengan pejabat pemerintah dan piagam penghargaan yang diterimanya dari beberapa instansi pemerintah.

Pengetahuan tentang TOGA ini sebenarnya sudah diperoleh mak Intan sejak masih kecil. Ada beberapa unsur yang sangat berperan memberikan pengetahuan dan kecintaan akan TOGA pada mak Intan. Adapun unsur-unsur tersebut adalah :


(53)

5.1.1. Warisan Keluarga

Kecintaan akan TOGA ternyata sudah ditanamkan sejak kecil kepada mak Intan. Sejak kecil mak Intan sudah dikenalkan dengan ‘rumput-rumput’ yang dapat digunakan sebagai obat-obatan. Kakek, nenek dan ibunya6 adalah orang-orang yang selalu memanfaatkan tanaman sebagai bahan pengobatan. Sejak dahulu kakek dan neneknya tidak pernah menggunakan obat-obat buatan pabrik untuk mengobati penyakit yang diderita anggota keluarganya. Intan kecil sudah terbiasa mencari rumput-rumputan yang diperlukan kakeknya untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu. Narasi ini dapat menggambarkannya :

“Dulu kakek dan nenek ku kalau mengobati kami selalu dengan TOGA ini. Baik itu luka, demam, diare atau mencret atau penyakit lainnya selalu pakai tanaman TOGA. TOGA ini juga selalu ada ditanam di sekitaran rumah kami. Jadi pengetahuan tentang TOGA ini dapat juga dikatakan sebagai warisan, karena memang dari dulu kami semuanya selalu pakai obat-obatan dari tanaman”, tutur mak Intan.

Cara yang dilakukan oleh kakek dan neneknya untuk menularkan rasa kecintaan dan pengetahuan terhadap TOGA ini cukup unik. Saya katakan unik karena apa yang dilakukan olek kakek dan nenek mak Intan cukup alamiah dan tidak memiliki unsur paksaan. Setiap ada anggota keluarga kakeknya yang menderita penyakit tertentu seperti demam, mencret atau luka-luka, untuk itu diperlukan tanaman sebagai pengobatan, maka sang kakek selalu menyuruh mak Intan untuk mengambilkan atau mencarikan rumput-rumput yang diperlukan untuk pengobatan

6

Ibunya mak Intan telah meninggal dunia ketika Intan berusia 4 tahun, sehingga otomatis yang mengasuhnya adalah kakek dan nenek dari pihak ayahnya. Ayahnya sendiri menikah lagi dengan wanita lain.


(54)

tersebut. Bahkan sejak usia mak Intan masih sangat dini yaitu usia 4 tahun proses pembelajaran ini sudah berlangsung.

Mak Intan tidak hanya diajari untuk mengenali jenis-jenis tanaman dan cara perawatannya. Tetapi kakek dan neneknya juga melibatkan mak Intan untuk memproses tanaman tersebut hingga menjadi jamu yang siap dikonsumsi. Jadi, pengetahuan mak Intan tentang jenis-jenis tanaman dan bagaimana proses pengolahannya memang sudah sejak lama dipahaminya. Proses pembelajaran ini memang sangat alamiah, tingkat keseringan bergaul dengan TOGA telah membuat mak Intan paham betul dengan berbagai jenis tanaman dan khasiat dari tanaman tersebut. Pengalaman yang cukup lama tersebut membuatnya mempunyai kelebihan dalam membuat jamu, bila ada bahan yang kurang, maka beliau juga biasanya “berburu” ke daerah lain.

5.1.2. Membaca

Kakek dan nenek mak Intan termasuk orang Jawa yang masih memegang pemahaman bahwa bangku pendidikan tidak begitu diperlukan bagi anak perempuan. Hal ini mengingatkan saya pada zaman R.A. Kartini, yang sangat berminat menperoleh pendidikan secara formal tetapi terbelenggu oleh kerangkeng adat istiadat. Mak Intan pun mengalami belenggu ini. Keinginannya untuk sekolah lebih tinggi terhalang oleh paham yang dianut kakek dan neneknya bahwa ‘anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena akan kembali ke dapur’.


(55)

Pemahaman ini menyebabkan mak Intan hanya mengecap pendidikan sekolah dasar, itupun tidak sampai menamatkannya. Namun, sesuatu yang masih disyukuri oleh mak Intan adalah dengan sekolah singkat yang sempat dikecapnya (sampai kelas 5 SD), beliau sudah memiliki kemampuan membaca. Kemampuan membaca ini yang banyak mempengaruhinya untuk selalu menambah pengetahuannya tentang jenis-jenis dan kegunaan TOGA.

Sejak kecil mak Intan telah didorong oleh kakeknya untuk selalu menambah wawasannya tentang pemanfaatan TOGA. Kakeknya selalu menanamkan prinsip pada dirinya bahwa kepandaian tidak selalu diperoleh di bangku sekolah. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan diri. Salah satu yang ditanamkan sang kakek adalah rajin membaca _rajin membaca disini lebih mengarah kepada rajin membaca buku atau koran yang memiliki informasi pemanfaatan TOGA_. Selain membaca buku-buku atau koran yang memuat berita tentang pemanfaatan TOGA, mak juga menambah pengetahuannya dengan mendengar dan menyimak berita-berita di Radio dan Televisi, jika ada siaran tentang TOGA.

Tingginya minat baca mak Intan akan buku-buku yang memuat pemanfaatan TOGA, ditunjukkannya kepada saya dengan membawa beberapa buku-buku koleksinya. Beberapa buku-buku itu ditulis oleh pakar-pakar pengobatan tradisonal seperti Setiawan Dalimartha. Koleksi buku pengobatan tradisional mak Intan cukup banyak.


(56)

Pengetahuan pengobatan tradisional yang diperolehnya dari berbagai media tersebut, ternyata tidak ditelannya bulat-bulat dalam membuat obat-obat tradisional karyanya. Racikan obat tradisionalnya tidak ada yang sama persis dengan apa yang dibacanya. Resep-resep obat tradisional yang dibacanya di buku-buku tersebut hanya berguna untuk menambah wawasannya tentang pemanfaatan TOGA, termasuk khasiat dan jenis-jenis tanaman obat yang belum dimilikinya.

Beberapa buku yang telah dibaca oleh mak Intan, dan menjadi sumber ilmu bagi dirinya dalam meracik jamu-jamu tradisional miliknya, seperti terlihat pada Tabel 5.1. berikut :


(57)

Tabel 5.1. Buku-Buku Kesehatan Koleksi Mak Intan

No Judul Buku Pengarang Tahun

Terbit

Penerbit 1 Khasiat dan Manfaat Jati

Belanda si Pelangsing Tubuh dan Peluruh Kolesterol

Dra. Suharmiati, Msi, Apt Dra. Herti Maryani

2003 Agromedia Pustaka

2 Hancurkan Batu Ginjal dengan

Ramuan Herbal

Hardi Soenanto Sri Kuncoro

2005 Puspa Swara

3 Musnahkan Penyakit dengan Tanaman Obat

Hardi Soenanto 2005 Puspa Swara

4 Tumbuhan Obat dan Khasiatnya.

Seri 1

Drs.H. Arief Hariana 2004 Penebar

Swadaya

5 Tumbuhan Obat dan Khasiatnya.

Seri 3

Drs.H. Arief Hariana 2006 Penebar

Swadaya

6 Ramuan Herbal untuk Diabetes

Melitus

Dr.Ir.M.Ahkam Subroto, M.App.Sc.,APU

2006 Penebar Swadaya 7 Ramuan Tradisional untuk

Kesuburan Suami Istri

Lina Mardiana Fendy R. Paimin

2005 Penebar Swadaya

8 Tanaman Obat Pelancar Air Seni Adi Permadi, S.Si 2006 Penebar

Swadaya

9 Kanker pada Wanita.

Pencegahan dan Pengobatan dengan Tanaman Obat

Lina Mardiana 2004 Penebar

Swadaya 10 Tanaman Obat di Lingkungan

Sekitar

dr. Setiawan Dalimartha 2005 Puspa Swara

11 Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Seri 2

Drs.H. Arief Hariana 2005 Penebar

Swadaya 12 Atlas Tumbuhan Obat Indonesia

Jilid 1

dr. Setiawan Dalimartha 1999 Trubus

Agriwidya 13 Atlas Tumbuhan Obat Indonesia

Jilid 3

dr. Setiawan Dalimartha 2003 Puspa Swara

14 Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 2

dr. Setiawan Dalimartha 2000 Trubus

Agriwidya

15 Toga 1. Tanaman Obat Keluarga Hieronymus Budi Santoso 1998 Kanisius

16 Obat-obatan Ramuan Asli W. Surya Endra - Usaha

Nasional

17 Sehat dan Ayu dengan Ramuan

Tradisional Jawa

Tim Intisari Mediatama 2000 Gramedia

18 99 Resep Ramuan Surga (Menuju RT Bahagia)

MB. Rahimsyah - Amelia

Surabaya 19 Sehat di Usia Lanjut dengan

Ramuan Tradisional

Drs. Bambang Mursito, Apt., M.Si

2001 Penebar Swadaya


(58)

5.1.3 Jalinan Kerja

a. Dinas Pertanian

Pengetahuan mak Intan tentang TOGA juga banyak dipengaruhi oleh dinas pertanian. Suami mak Intan memiliki jabatan sebagai kepala lingkungan di tempat tinggal mereka. Jabatan kepling ini sudah disandangnya sejak tahun 1988. Sebagai istri kepala lingkungan maka otomatis mak Intan menjadi ketua PKK di lingkungannya. Jabatan sebagai ketua PKK menyebabkannya menjadi sering bersinggungan dengan program-program pemerintah, baik di bidang kesehatan maupun pertanian.

Awalnya mak Intan banyak berkecimpung di Posyandu, tetapi karena pekerjaannya sebagai penjual jamu keliling (sejak tahun 1981), maka di setiap kesempatan pertemuan-pertemuan dengan petugas pemerintah (diundang sebagai peserta rapat atau pelatihan), maka mak Intan selalu membawa serta jamu-jamu jualannya. Inilah membuat dinas pertanian mulai menaruh perhatian pada pekerjaan mak Intan.

Mak Intan mulai dibina oleh dinas pertanian, bahkan diangkat sebagai ketua kelompok pemanfaatan tanaman pekarangan (saat ini mak Intan memiliki 25 anggota kelompok). Pembinaan yang dilakukan oleh dinas pertanian meliputi cara merawat TOGA dan pengembangannya. Pengembangan yang dilakukan oleh dinas pertanian dengan cara mengajak mak Stepia mengikuti pameran-pameran yang dilakukan oleh dinas pertanian, atau menginformasikan pameran-pameran yang ada dan mendorongnya untuk ambil bagian. Selain itu, dinas pertanian juga mendorong mak


(59)

Intan untuk meningkatkan pembuatan jamu dari cara tradisional menjadi jamu instant, sehingga produk-produk ini bisa lebih praktis bagi konsumen.

Salah seorang petugas dinas pertanian (PPL Pertanian) yang saya wawancarai mengatakan bahwa :

“Mak Intan termasuk orang yang gigih. Sudah sejak lama dia sangat ‘care’ pada tanaman-tanaman yang dapat digunakan sebagai obat. Setiap kami mengadakan acara, baik itu rapat atau pelatihan yang berkaitan dengan masyarakat, mak Intan tidak pernah mau ketinggalan. Dia selalu mengupayakan untuk hadir. Dia termasuk salah satu ketua pertanian yang merupakan pemekaran dari Layar Sari. Mak Intan mau belajar dan mau dibina, dan dia gak mau setengah-setengah dalam bidang TOGA ini. Makanya dia termasuk orang yang sampai sekarang bertahan dan maju dalam bidang TOGA dibandingkan orang lain. Yang lain selalu mengeluh, bilang gak ada waktu, gak ngerti ngurusnya, gak ada modal, macam-macamlah. Tapi kalo mak Intan gak gitu, makanya kamipun kalo ada pameran-pameran selalu ngajak dia sebagai peserta. Pokoknya salutlah dengan mak Intan, jarang-jarang ada orang seperti dia”, kata petugas tersebut.

Apa yang dikatakan oleh si petugas PPL tersebut benar adanya, sewaktu saya berkunjung ke seorang tetangga mak Intan _sebut saja bu Ayu_ yang juga pernah dibina dalam bidang pemanfaatan pekarangan dengan TOGA, tampak pekarangannya jauh berbeda dengan pekarangan rumah mak Intan yang memiliki tanaman beranekaragam jenis dan tumbuh dengan subur. Tanaman di pekarangan rumah ibu Ayu tidak banyak dan kurang terawat. Narasi di bawah ini dapat menggambarkan mengapa ibu Ayu tidak memiliki tanaman yang seperti dimiliki mak Intan :


(60)

”Aku memang sudah pernah mencoba menanam TOGA ini bu, tapi namanya pekerjaan kan ada yang cocok ada yang tidak cocok. Orang bilang serasi-serasian. Sekali itu pengen juga mencoba menanam TOGA ini, biar macam mak Stepia itu gitu, tetapi tanaman TOGA saya banyak layu, padahal itu sudah saya rawat, udah gitu saya memang tidak hobbi di situ, jadinya saya tidak sabar lagi menunggunya dan saya biarkan saja. Saya cari pekerjaan tukang cuci saja sudah. Tidak ada resikonya menurut saya dan punya uang tiap awal bulan, jadi saya tidak mengalami kerugian. Kalo menunggu hasil dari menanam TOGA kan gak jelas bu, hasilnya gak tentu, gak bisalah mencukupi keperluan rumah tangga”, kata bu Ayu.

Saya mencoba mengorek dari mak Intan tentang kegagalan beberapa temannya dalam mengelola TOGA. Menurut mak Intan, khususnya kecamatan Medan Marelan, hanya istri kepling lingkungan 7 (dia sendiri) yang mau melakukan seperti apa yang dilakukannya dan ternyata berhasil. Mak Intan mengatakan bahwa beberapa temannya itu tidak sabar menunggu hasilnya dan lebih berpikir bekerja yang memberikan uang dengan mudah. Teman-temannya itu hanya menunggu tetapi tidak mau berbuat. Ungkapan ini mungkin akan lebih mudah untuk memberikan pemahaman mengenai hal di atas :

“Orang-orang itu hanya memikirkan bagaimana mengejar uang yang mudah didapat. Kalau ngurus TOGA ini kan sifatnya menunggu, tetapi sambil menunggu kita mencari dan berbuat. Namanya manusia, tapi kan semua serupa. Keinginan itu semua sama, keinginan untuk mempunyai; tetapi mereka tidak memiliki keinginan untuk menjalankan atau membuahkan hasil. Kalo aku gak, aku punya keinginan dan mau berbuat. Aku gak hanya nanam TOGA saja dan nunggu orang membelinya, tetapi aku membuat TOGA ini menjadi obat, pokoknya kukembangkanlah sampai seperti ini”, kata mak Intan.


(61)

b. Teman Seprofesi (Mak Salon)

Mak Salon adalah tetangga mak Intan, walaupun rumahnya berbeda lingkungan. Mak Salon juga mempunyai andil yang cukup besar dalam meningkatkan pengetahuan mak Intan mengenai TOGA dan sangat mendorongnya untuk terus berkembang dalam pemanfaatan TOGA. Mak Salon sejak 1982 telah menanam dan memanfaatkan TOGA. Beliau, salah seorang yang dipanggil ke istana presiden Susilo Bambanga Yudhoyono, untuk mendapat penghargaan pada tahun 2006.

Menurut mak Salon, beberapa tahun yang lalu daerah disekitar tempat tinggalnya termasuk daerah yang memiliki keluarga-keluarga yang menanam TOGA. Mak Salon menjadi tempat penampungan tanaman obat yang mereka tanam untuk dibeli oleh konsumen. Tetapi dua tahun belakangan ini, situasi tersebut menjadi menurun seiring rendahnya peminat yang datang untuk membeli tanaman obat di rumah mak Salon.

Dan, sekarang lahan untuk menanam TOGA pun menjadi sempit, karena lahan-lahan tersebut sudah dibagi dengan anggota keluarga yang lain atau dijual untuk keperluan hidup mereka. Halaman rumah mak Salon yang cukup luas pun saat ini menjadi sempit karena adanya pembangunan studio foto untuk keperluaan usaha anaknya. Tanaman-tanaman obat miliknya yang cukup banyak seakan ‘tersingkir’ dengan adanya pembangunan gedung tersebut.

Mak Salon masih dapat mengingat dengan jelas betapa dulu kelurahan Tanah 600 menjadi daerah ‘primadona’ untuk pemanfaatan TOGA. Mak Salon menyediakan polibag bagi keluarga-keluarga yang termasuk dalam kelompok tani pemanfaatan


(62)

TOGA, kemudian tanaman-tanaman obat ini dijual kembali ke mak Salon. Dalam sehari mak Salon bisa menjual 10-20 pot tanaman obat dengan kisaran harga antara Rp.5.000-10.000.

Sampai saat ini _menurut mak Salon_ hanya mak Intan yang masih tetap tekun dengan TOGA, mak Salon sendiri, mulai mundur dari TOGA, selain karena usia juga dikarenakan kesibukannya sebagai ‘bidan pengantin’. Menurut mak Salon, mak Intan punya potensi untuk mengembangkan TOGA, karena sejak dulu mak Intan sudah memulainya dengan menjadi penjual jamu gendong. Narasi ini menggambarkan jalinan kerja antara mereka berdua :

“Kami memang sudah sejak lama saling dukung dalam pemanfaatan TOGA, sejak tahun 80-an. Sampai sekarang pun, hanya tinggal kami berdua yang masih tetap memanfaatkan TOGA ini”, kata mak Salon. “Hanya saja kami memiliki perbedaan, aku memang mengetahui kegunaan tanaman-tanaman ini untuk mengobati beberapa penyakit _Mak Salon sering diundang oleh dinas pertanian sebagai narasumber TOGA_, tetapi karena kesibukan ku sebagai bidan pengantin, makanya aku gak sempat meracik tanaman-tanaman ini. Lain dengan mak Intan, dia memang sejak dulu sudah menjual jamu, dan memang dia betul-betul tekun sama TOGA, mau belajar dan mau berkembang, makanya dia sampai bisa membuat jamu instant”, lanjut mak Salon. “Aku selalu bilang sama mak Intan untuk maju terus, apa-apa yang perlu dibantu kasi tau aku biar aku bantu, aku juga sering mengajak dia ke dinas pertanian, sehingga dia juga bisa belajar untuk bisa menjadi narasumber. Aku pengen daerah kami ini sebagai daerah unggulan dalam memanfaatkan TOGA. Sekarang ada undangan untuk mengikuti PENAS di Kalimantan, aku sudah tua, gak sanggup lagi, nanti mak Intan yang ku usulkan jadi gantinya”, tutur mak Salon.

Sampai sekarang jalinan kerja mereka tetap berlanjut. Setiap mak Intan membuat jamu, beberapa tanaman yang sebagai bahan pembuatan jamu diperolehnya


(63)

dari halaman rumah mak Salon. Setiap mak Intan mengikuti pameran, maka beliau juga mendukungnya dengan menyediakan tanaman-tanaman obat untuk dipajang di pameran. Bahkan beliau selalu menganjurkan mak Intan untuk menambah ilmunya dengan membeli buku-buku pemanfaatan TOGA. Jadi mak Salon ini termasuk orang yang mengkader mak Intan untuk tetap eksis dalam memanfaatkan TOGA.

Mak Salon berharap agar totalitas mak Intan dalam menekuni TOGA tetap bertahan dan semakin maju, karena mak Intan sudah bisa membuktikan bahwa dengan memanfaatkan TOGA dan mau mengembangkannya, ternyata dapat menjadi sumber perekonomian utama keluarga.

c. Instansi Lainnya

Mak Intan termasuk orang yang supel dan suka bergaul. Untuk mengembangkan usaha pemanfaatan TOGA ini beliau tidak hanya menjalin kerja dengan dinas pertanian dan teman seprofesi. Instansi-instansi lain yang akan memberikan kontribusi dalam peningkatan ataupun perkembangan usaha pemanfaatan TOGA, bahkan yang tidak memiliki kaitan sama sekali pun tetap dijalinnya tali kerjasama.

Salah satu instansi yang memiliki kontribusi dalam usahanya ini adalah dinas kesehatan. Jalinan kerja dengan dinas kesehatan sampai saat ini terus berlangsung. Informasi-informasi adanya pameran di dalam kota Medan ataupun yang di luar kota Medan masih terus diterimanya dari dinas kesehatan. Bahkan untuk menambah pengetahuannya, mak Intan selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang


(64)

dilakukan oleh dinas kesehatan. Salah satu pelatihan yang diikutinya pada bulan Mei 2004 adalah pelatihan tentang penyuluhan keamanan pangan dalam rangka Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) _diselenggarakan atas kerjasama dinas kesehatan kota Medan dengan Balai Pengawas Obat dan Makanan_. Dan, untuk usaha pembuatan jamunya, beliau juga telah memiliki surat rekomendasi/persetujuan dari dinas kesehatan kota Medan untuk pembuatan minuman segar kerkhasiat.

Untuk dapat merawat dan memupuk tanaman TOGA miliknya sehingga terbebas dari hama, tetapi tidak menggunakan bahan-bahan kimia, maka mak Intan mengikuti sekolah lapangan pengendalian hama terpadu yang diselenggarakan oleh Field Training Facilities (FTF) Tanjung Morawa, Sumatera Utara selama 3 (tiga) bulan mulai 12 Nopember 1993 s/d 14 Januari 1994.

Selain hal di atas, mak Intan juga mengikuti “Sosialisasi HAKI” yang diselenggarakan oleh dinas koperasi kota Medan dari tanggal 3 – 5 Desember 2008 di hotel Semarak Internasional Medan. Dengan dasar sosialisasi HAKI inilah mak Intan saat ini sedang mengurus hak paten akan merek dagang dari jamu-jamu yang dibuatnya.

Semua ini menandakan keseriusan dari mak Intan untuk mengembangkan TOGA. Dia tidak hanya puas dengan kemampuan untuk meracik TOGA menjadi jamu saja, tetapi juga mempunyai keinginan untuk lebih mengembangkan TOGA menjadi suatu usaha yang diakui keberadaannya. Oleh karena itu jalinan-jalinan kerja ini dirajutnya untuk semakin memperkuat pondasi pengembangan TOGA miliknya.


(65)

Jika dinas atau instansi di atas memiliki keterkaitan dengan pengembangan usaha TOGA miliknya, maka ada juga pelatihan yang diikuti oleh mak Intan tetapi tidak memiliki hubungan dengan pembuatan jamu-jamu miliknya. Pada tahun 1996, beliau juga mengikuti pelatihan budidaya air tawar proyek pendukung progran Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang diselenggarakan oleh dinas perikanan. Menurut suami mak Intan, mak Intan termasuk memiliki keahlian untuk melakukan perkawinan pada ikan-ikan air tawar. Hanya saja mak Intan tidak bisa membagi perhatiannya dengan usaha pemanfaatan TOGA miliknya dan usaha tambak ikan. Sepertinya, usaha pemanfaatan TOGA ini lebih kuat dalam dirinya sehingga dia lebih menekuni usaha ini dibandingkan dengan usaha-usaha lainnya. Tapi kemampuan yang dimilikinya inilah yang memberikan nilai tambah seorang mak Intan.

5.1.4. Motivasi

Motivasi/dorongan untuk terus meningkatkan pengetahuan mak Intan tentang pemanfaatan TOGA, juga diperolehnya dari pujian yang diterimanya dari kosumen yang menggunakan jamu buatannya, untuk penyakit yang dialami oleh si konsumen. Mak Intan cukup berhasil membantu tetangga, teman-teman atau siapa saja yang datang mencari pengobatan padanya.

Beberapa contoh yang disebutkan mak Intan adalah ketika dia menolong seseorang yang menderita batu ginjal. Mak Intan memberikan beberapa jenis tanaman untuk direbus dan diminum si penderita, ternyata penyakit batu ginjal dapat sembuh, sehingga si penderita tidak jadi melakukan operasi. Salah satu contoh yang lain yaitu


(1)

6.2. Saran

1. Perlu adanya bantuan usaha kepada masyarakat yang mempunyai keinginan untuk memanfaatkan TOGA, baik dana hibah, dana bergulir, ataupun pinjaman oleh pemerintah.

2. Perlu pelatihan kewirausahaan secara lintas sektoral, yaitu meliputi dinas perindustrian, dinas perdagangan, dinas pariwisata, dinas pertanian dan dinas kesehatan bagi pengusaha-pengusaha kecil seperti mak Intan , sehingga mereka dapat mengembangkan usahanya menjadi lebih besar. 3. Perlunya suatu pelatihan manajemen keuangan bagi masyarakat atau

pengusaha kecil seperti mak Intan, agar dalam mengembangkan usahanya memiliki sistem manajemen yang baik.

4. Perlunya suatu jalinan kerjasama dengan farmasi untuk melakukan pengujian terhadap khasiat dari jamu-jamu instant mak Intan atau pengusaha jamu lainnya.

5. Perlunya digerakkan kembali penyuluhan tentang pemanfaatan pekarangan dan tanaman obat kepada masyarakat untuk dapat meningkatkan pengetahuannya, sehingga masyarakat mau memanfaatkan pekarangan rumahnya dengan menanam tanaman obat.


(2)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Adimiharja. K (2005), Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Penerbit Humaniora,Bandung.Edisi 11.

Adisasmito, W., 2008, Sistem Kesehatan, PT. Raja Grafmdo Persada, Jakarta. Hal: 177-178

Anonymous. 2008. Pemanfaatan Toga Sebagai Pilihan Alternatif Pengobatan. Http://www.wahyu's site.com/2008/12/8, diakses tanggal 20 April 2009, Hal: 1-2.

Anonymous. 2009. 9 Ribu Tanaman Obat Masih Perlu Dikembangkan. Kompas, Minggu. 24 Mei 2009. http://m.kompas.com

Anonymous. 11 Maret 2009. Aktualisasi Diri Rogers dan Maslow. File:///Maslow.htm

Anonymous. 12 April 2009. Obat Tradisional dan Tanaman Obat di Indonesia. http://m.kompas.com

Anonymous. 21 Mei 2009. Pengembangan Obat Herbal Terhambat Perizinan. http://m.kompas.com

Azwar, 2007, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Edisi 2, Yogyakarta.Pustaka Pelajar. Hall I

Dahmartha S., 2006, Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Hepatitis, Penebar Swadaya, Jakarta. Hal:5

Graeff, Judith A, John P. Elder, Elizabeth Mills Booth (Penerjemah: Mubasyir Hasanbasri). 1996. Komunikasi Untuk Kesehatan dan Perubahan Perilaku. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Hartyastuti, Paula. 2009. Pengembangan Strategi dan Sistem Pengobatan Tradisional sebagai Pelayanan Kesehatan Mandiri. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Regional Organisasi Rakyat (ORA) di Wonosari Gunung Kidul Yogyakarta pads 6 Januari 2009.

Ulina Karo-Karo : Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga (Toga) Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, 2009


(3)

(4)

Irwan, Zoer'aini Djamal. 24 November 2008. Eksplorasi Pemanfaatan Pekarangan Secara Konseptual. www.kabarindonesia.com

Katno, Pramono, S., 2008. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu, Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta. Http://Abaugm.wordpress.com/2008/08/10/, diakses tanggal 1 Oktober 2008, Hal. 1-4

Kompas on line. 2006. Toga Atasi Masalah Kesehatan, Pemanfaatan Tanaman Obat Untuk Tingkatkan Kemandirian. Httfr//www.kompas.com/kompas-cetak/0609/08/humaniora/293 8595.htm, diakses tanggal 22/11/2008. Hal: I Koentjaraningrat. 1989. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Penerbit PT.

Gramedia. Jakarta

Latifa, Roimil. 1999. Perbandingan Tingkat Pengetahuan Masyarakat terhadap Manfaat Obat Keluarga Ditinjau dari Jenis Tanaman. ITB Central Library. Litbang Depkes RI, 2007, Tanaman Obat Asli Milik Masyarakat Bangsa dan

Negara RIHttp://bmf.litbang.depkes.go.id, diakses tanggal 1 Oktober 2008. Hal:8-13.

Muchlisin. 2008. Pemanfaatan Obat Tradisional. Http://www/AKFAP., diakses tanggal 21/4/2009. Hal: 1-2.

Notoadmodjo, S, 2005, Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta, Jakarta, Hal:255

Palupi, Indah Retno. 2006. Wisata Sehat Ala Dayang Sumbi. Hal: 1-3.

Oemijati, dkk, Pedoman Etik Penelitian Obat Tradisional Dalam Etik Penelitian Obat Tradisional, Jakarta, 1992, Hal: 28.

Salan, R, dkk, 1998, Lokakarya Tentang Penelitian Praktek Pengobatan Tradisional, Balintbang Depkes R1, Hal: 56-59

Santoso, S.0, 1992, Perspektif Pengembangan Obat Tradisional di Indonesia dalam Etik Penelitian Obat Tradisional, Jakarta. Hal:

Ulina Karo-Karo : Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga (Toga) Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, 2009


(5)

Sopyan, Oop. 15 Agustus 2008. Teori Motivasi Hirarki Kebutuhan Maslow. www.wikipedia.com

Sudibyo R.B.2006, Ramuan Tradisional Ala Eyang Broto, Penebar Swadaya, Jakarta. Hal. 5-7

Suharmiati clan Handayani, L., 2006. Cara Benar Meracik Obat Tradisional. Jakarta, PT. AgroMedia Pustaka. Hal:3-9.

Supardi, S, dkk, 2003, Obat Tradisional Pada Pengobatan Sendiri, Http:Hapotekputer.com/ma-apotekputer.com, diakses tanggal 22/11/2008. Hal: 179.

Tjokronegoro, A. Dan Baziad A, 1992, Etik Penelitian Tradisional, Jakarta, Hal: 52-53.

Walgito, B. (2003) Psikologi sosial, Edisi Revisi, Yogyakarta: penerbit Andi. Wibisana dalam Santoso, Hal: 13.

Wakidi, 2003, Pemasyarakatan Tanaman Obat Keluarga "TOGa" untuk mendukung Penggunaan Sendiri "Self Medication". Bagian Fannasi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Http:/antiterasi.multiply.com/journal/item/23, diakses tanggal 22/11/2008, Hal: 3.

World Health Organization (WHO), 2003. Traditional Medicine,

Http://www.mediacentre/facthsheet/fsl34/cn/ diakses tanggal 1 Nopember 2008, Hal: 1-2.


(6)

Ulina Karo-Karo : Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga (Toga) Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, 2009