Jalinan Kerja a. Dinas Pertanian

5.1.3 Jalinan Kerja a. Dinas Pertanian

Pengetahuan mak Intan tentang TOGA juga banyak dipengaruhi oleh dinas pertanian. Suami mak Intan memiliki jabatan sebagai kepala lingkungan di tempat tinggal mereka. Jabatan kepling ini sudah disandangnya sejak tahun 1988. Sebagai istri kepala lingkungan maka otomatis mak Intan menjadi ketua PKK di lingkungannya. Jabatan sebagai ketua PKK menyebabkannya menjadi sering bersinggungan dengan program-program pemerintah, baik di bidang kesehatan maupun pertanian. Awalnya mak Intan banyak berkecimpung di Posyandu, tetapi karena pekerjaannya sebagai penjual jamu keliling sejak tahun 1981, maka di setiap kesempatan pertemuan-pertemuan dengan petugas pemerintah diundang sebagai peserta rapat atau pelatihan, maka mak Intan selalu membawa serta jamu-jamu jualannya. Inilah membuat dinas pertanian mulai menaruh perhatian pada pekerjaan mak Intan. Mak Intan mulai dibina oleh dinas pertanian, bahkan diangkat sebagai ketua kelompok pemanfaatan tanaman pekarangan saat ini mak Intan memiliki 25 anggota kelompok. Pembinaan yang dilakukan oleh dinas pertanian meliputi cara merawat TOGA dan pengembangannya. Pengembangan yang dilakukan oleh dinas pertanian dengan cara mengajak mak Stepia mengikuti pameran-pameran yang dilakukan oleh dinas pertanian, atau menginformasikan pameran-pameran yang ada dan mendorongnya untuk ambil bagian. Selain itu, dinas pertanian juga mendorong mak Ulina Karo-Karo : Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga Toga Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, 2009 USU Repository © 2008 Intan untuk meningkatkan pembuatan jamu dari cara tradisional menjadi jamu instant, sehingga produk-produk ini bisa lebih praktis bagi konsumen. Salah seorang petugas dinas pertanian PPL Pertanian yang saya wawancarai mengatakan bahwa : “Mak Intan termasuk orang yang gigih. Sudah sejak lama dia sangat ‘care’ pada tanaman-tanaman yang dapat digunakan sebagai obat. Setiap kami mengadakan acara, baik itu rapat atau pelatihan yang berkaitan dengan masyarakat, mak Intan tidak pernah mau ketinggalan. Dia selalu mengupayakan untuk hadir. Dia termasuk salah satu ketua pertanian yang merupakan pemekaran dari Layar Sari. Mak Intan mau belajar dan mau dibina, dan dia gak mau setengah-setengah dalam bidang TOGA ini. Makanya dia termasuk orang yang sampai sekarang bertahan dan maju dalam bidang TOGA dibandingkan orang lain. Yang lain selalu mengeluh, bilang gak ada waktu, gak ngerti ngurusnya, gak ada modal, macam-macamlah. Tapi kalo mak Intan gak gitu, makanya kamipun kalo ada pameran- pameran selalu ngajak dia sebagai peserta. Pokoknya salutlah dengan mak Intan, jarang-jarang ada orang seperti dia”, kata petugas tersebut. Apa yang dikatakan oleh si petugas PPL tersebut benar adanya, sewaktu saya berkunjung ke seorang tetangga mak Intan _sebut saja bu Ayu_ yang juga pernah dibina dalam bidang pemanfaatan pekarangan dengan TOGA, tampak pekarangannya jauh berbeda dengan pekarangan rumah mak Intan yang memiliki tanaman beranekaragam jenis dan tumbuh dengan subur. Tanaman di pekarangan rumah ibu Ayu tidak banyak dan kurang terawat. Narasi di bawah ini dapat menggambarkan mengapa ibu Ayu tidak memiliki tanaman yang seperti dimiliki mak Intan : Ulina Karo-Karo : Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga Toga Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, 2009 USU Repository © 2008 ”Aku memang sudah pernah mencoba menanam TOGA ini bu, tapi namanya pekerjaan kan ada yang cocok ada yang tidak cocok. Orang bilang serasi-serasian. Sekali itu pengen juga mencoba menanam TOGA ini, biar macam mak Stepia itu gitu, tetapi tanaman TOGA saya banyak layu, padahal itu sudah saya rawat, udah gitu saya memang tidak hobbi di situ, jadinya saya tidak sabar lagi menunggunya dan saya biarkan saja. Saya cari pekerjaan tukang cuci saja sudah. Tidak ada resikonya menurut saya dan punya uang tiap awal bulan, jadi saya tidak mengalami kerugian. Kalo menunggu hasil dari menanam TOGA kan gak jelas bu, hasilnya gak tentu, gak bisalah mencukupi keperluan rumah tangga”, kata bu Ayu. Saya mencoba mengorek dari mak Intan tentang kegagalan beberapa temannya dalam mengelola TOGA. Menurut mak Intan, khususnya kecamatan Medan Marelan, hanya istri kepling lingkungan 7 dia sendiri yang mau melakukan seperti apa yang dilakukannya dan ternyata berhasil. Mak Intan mengatakan bahwa beberapa temannya itu tidak sabar menunggu hasilnya dan lebih berpikir bekerja yang memberikan uang dengan mudah. Teman-temannya itu hanya menunggu tetapi tidak mau berbuat. Ungkapan ini mungkin akan lebih mudah untuk memberikan pemahaman mengenai hal di atas : “Orang-orang itu hanya memikirkan bagaimana mengejar uang yang mudah didapat. Kalau ngurus TOGA ini kan sifatnya menunggu, tetapi sambil menunggu kita mencari dan berbuat. Namanya manusia, tapi kan semua serupa. Keinginan itu semua sama, keinginan untuk mempunyai; tetapi mereka tidak memiliki keinginan untuk menjalankan atau membuahkan hasil. Kalo aku gak, aku punya keinginan dan mau berbuat. Aku gak hanya nanam TOGA saja dan nunggu orang membelinya, tetapi aku membuat TOGA ini menjadi obat, pokoknya kukembangkanlah sampai seperti ini”, kata mak Intan. Ulina Karo-Karo : Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga Toga Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, 2009 USU Repository © 2008 b. Teman Seprofesi Mak Salon Mak Salon adalah tetangga mak Intan, walaupun rumahnya berbeda lingkungan. Mak Salon juga mempunyai andil yang cukup besar dalam meningkatkan pengetahuan mak Intan mengenai TOGA dan sangat mendorongnya untuk terus berkembang dalam pemanfaatan TOGA. Mak Salon sejak 1982 telah menanam dan memanfaatkan TOGA. Beliau, salah seorang yang dipanggil ke istana presiden Susilo Bambanga Yudhoyono, untuk mendapat penghargaan pada tahun 2006. Menurut mak Salon, beberapa tahun yang lalu daerah disekitar tempat tinggalnya termasuk daerah yang memiliki keluarga-keluarga yang menanam TOGA. Mak Salon menjadi tempat penampungan tanaman obat yang mereka tanam untuk dibeli oleh konsumen. Tetapi dua tahun belakangan ini, situasi tersebut menjadi menurun seiring rendahnya peminat yang datang untuk membeli tanaman obat di rumah mak Salon. Dan, sekarang lahan untuk menanam TOGA pun menjadi sempit, karena lahan-lahan tersebut sudah dibagi dengan anggota keluarga yang lain atau dijual untuk keperluan hidup mereka. Halaman rumah mak Salon yang cukup luas pun saat ini menjadi sempit karena adanya pembangunan studio foto untuk keperluaan usaha anaknya. Tanaman-tanaman obat miliknya yang cukup banyak seakan ‘tersingkir’ dengan adanya pembangunan gedung tersebut. Mak Salon masih dapat mengingat dengan jelas betapa dulu kelurahan Tanah 600 menjadi daerah ‘primadona’ untuk pemanfaatan TOGA. Mak Salon menyediakan polibag bagi keluarga-keluarga yang termasuk dalam kelompok tani pemanfaatan Ulina Karo-Karo : Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga Toga Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, 2009 USU Repository © 2008 TOGA, kemudian tanaman-tanaman obat ini dijual kembali ke mak Salon. Dalam sehari mak Salon bisa menjual 10-20 pot tanaman obat dengan kisaran harga antara Rp.5.000-10.000. Sampai saat ini _menurut mak Salon_ hanya mak Intan yang masih tetap tekun dengan TOGA, mak Salon sendiri, mulai mundur dari TOGA, selain karena usia juga dikarenakan kesibukannya sebagai ‘bidan pengantin’. Menurut mak Salon, mak Intan punya potensi untuk mengembangkan TOGA, karena sejak dulu mak Intan sudah memulainya dengan menjadi penjual jamu gendong. Narasi ini menggambarkan jalinan kerja antara mereka berdua : “Kami memang sudah sejak lama saling dukung dalam pemanfaatan TOGA, sejak tahun 80-an. Sampai sekarang pun, hanya tinggal kami berdua yang masih tetap memanfaatkan TOGA ini”, kata mak Salon. “Hanya saja kami memiliki perbedaan, aku memang mengetahui kegunaan tanaman-tanaman ini untuk mengobati beberapa penyakit _Mak Salon sering diundang oleh dinas pertanian sebagai narasumber TOGA _, tetapi karena kesibukan ku sebagai bidan pengantin, makanya aku gak sempat meracik tanaman-tanaman ini. Lain dengan mak Intan, dia memang sejak dulu sudah menjual jamu, dan memang dia betul- betul tekun sama TOGA, mau belajar dan mau berkembang, makanya dia sampai bisa membuat jamu instant”, lanjut mak Salon. “Aku selalu bilang sama mak Intan untuk maju terus, apa- apa yang perlu dibantu kasi tau aku biar aku bantu, aku juga sering mengajak dia ke dinas pertanian, sehingga dia juga bisa belajar untuk bisa menjadi narasumber. Aku pengen daerah kami ini sebagai daerah unggulan dalam memanfaatkan TOGA. Sekarang ada undangan untuk mengikuti PENAS di Kalimantan, aku sudah tua, gak sanggup lagi, nanti mak Intan yang ku usulkan jadi gantinya”, tutur mak Salon. Sampai sekarang jalinan kerja mereka tetap berlanjut. Setiap mak Intan membuat jamu, beberapa tanaman yang sebagai bahan pembuatan jamu diperolehnya Ulina Karo-Karo : Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga Toga Untuk Pengobatan Sendiri Dan Pengembangan Usaha Di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, 2009 USU Repository © 2008 dari halaman rumah mak Salon. Setiap mak Intan mengikuti pameran, maka beliau juga mendukungnya dengan menyediakan tanaman-tanaman obat untuk dipajang di pameran. Bahkan beliau selalu menganjurkan mak Intan untuk menambah ilmunya dengan membeli buku-buku pemanfaatan TOGA. Jadi mak Salon ini termasuk orang yang mengkader mak Intan untuk tetap eksis dalam memanfaatkan TOGA. Mak Salon berharap agar totalitas mak Intan dalam menekuni TOGA tetap bertahan dan semakin maju, karena mak Intan sudah bisa membuktikan bahwa dengan memanfaatkan TOGA dan mau mengembangkannya, ternyata dapat menjadi sumber perekonomian utama keluarga.

c. Instansi Lainnya