Asas Hukum Sahnya sebuah Perjanjian Asuransi

mencerminkan asas pacta sunt servanda dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata dalam praktik perasuransian. 16 d. Asas itikad Baik Dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata dimuat ketentuan bahwa, Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Mariam Darus Badrulzaman 17 melihat ayat 3 KUH Perdata tersebut sebagai penyeimbang dari ketentuan ayat 1 untuk memberikan perlindungan pada pihak yang lebih lemah sehingga kedudukan para pihak menjadi seimbang. Hal ini merupakan realisasi dari asas keseimbangan. Polis asuransi disiapkan oleh penanggung untuk tertanggung yang pada umumnya memiliki pengetahuan asuransi yang terbatas dapat membuat tertanggung merupakan pihak yang lemah. Keterbatasan yang pada umumnya melekat pada salah satu pihak dalam megikatkan diri dalam suatu perjanjian asuransi mendapat perlindungan dari asas itikad baik yang merupakan asas penyeimbang untuk memberikan perlindungan bagi pihak yang lemah. Dalam hukum asuransi, asas yang berlaku bahkan lebih tinggi dari sekedar asas itikad baik baik tetapi asas itikad sangat baik utmost good faith yang 16 Dr.A.Junaedy Ganie, S.H.,M.H., Hukum Asuransi Indoensia, cet.I, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, h.61. 17 Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan Jakarta: Aditya Bakti, 2001, h.83. mengharuskan adanya prinsip keterbukaan yang lebih tinggi yang jika dilanggar sepatutnya mengandung sanksi yang keras. 18 e. Asas Kepribadian Pasal 1315 KUH Perdata menyatakan, pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri. Pasal ini secara tegas mengatur bahwa perjanjian oleh para pihak yang mengikatkan diri hanya berlaku bagi mereka saja. Selanjutnya, dalam Pasal 1340 KUH Perdata dinyatakan, suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Ketentuan-ketentuan ini berarti bahwa para pihak yang mengikatkan diri hanya mengikat kedua pihak dan tidak dapat mengikatkan pihak lain dalam perjanjian diantara mereka tanpa sepengetahuan dan seizin pihak lainnya. 19 Dengan demikian, dalam perjanjian asuransi, penanggung dan tertanggung tidak dapat menarik pihak lain dalam perjanjian diantara mereka sebagai pihak yang saling mengikatkan diri tanpa seizin pihak lain yang dimaksud. Pihak ketiga tidak dapat menuntut hak yang yang timbul dalam perjanjian asuransi tanpa seizin para pihak.

4. Dasar Hukum Perjanjian Asuransi Jiwa

18 Dr.A.Junaedy Ganie, S.H.,M.H., Hukum Asuransi Indoensia, cet.I, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, h.96. 19 Ibid., h.96. Peran hukum dimulai sejak ada kata sepakat dari para pihak apabila ingin bertransaksi. 20 Antara satu orang dengan pihak lain atau orang lain dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum pasti akan menciptakan rangkaian hubungan hukum yang sehat atau tidak. Dari hubungan hukum yang sehat akan segera diketahui mana hak dan kewajiban masing-masing. 21 Di Indonesia awal mula lembaga asuransi ada melalui Pemerintah Hindia Belanda. Lembaga tersebut dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Wetboek Van Koophandel melalui Stb.1847 Nomor 23 tanggal 30 April 1947 Bab 9 Pasal 246-286. Peraturan perundangan yang mengatur secara spesifik mengenai lembaga asuransi adalah : a. KUHD, Buku I titel 9 dan Titel 10 serta Buku II Titel 9 dan Titel 10, yang diberlakukan di Indonesia waktu itu Hindia Belanda tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan asas konkordansi. b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian yang diundangkan pada tanggal 11 Februari tahun 1992 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 13 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan; c. PP Nomor 73 Tahun 1992 tanggal 30 Oktober 1992 yang diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 120 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Di Indonesia sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 63 Tahun 1999 Tanggal 2 Juli 1999 ,Lembaran Negara Nomor 118 tahun 1999 Tentang Perubahan atas PP Nomor 73 tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. 22

5. Prinsip Perjanjian Asuransi Jiwa

20 Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono,S.H., Hukum Ekonomi Indonesia , Buku 2, Malang: Bayumedia, 2007, h.120. 21 Ibid., h.122. 22 Bronto Hartono, SH. “Prinsip Utmost Good Faith dalam Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Jiwa PT.Asuransi Jiwasraya Persero di regional office Semarang ,” Tesis S2 Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Semarang, 2005, h.19. Beberapa prinsip yang mendasari asuransi jiwa: a. Insurable Interest Keterikatan Asuransi, yaitu; hubungan kepentingan yang secara hukum dan finansial mengakibatkan kerugian keuangan bagi si pengaju asuransi. Contoh: Orang tua dan anak, bila orang tua meninggal maka anak akan mengalami kerugian ekonomi karena anak memiliki ketergantungan finansial kepada orang tuanya. b. Utmost Good Faith Niat Baik, yaitu; prinsip yang mengharapkan para pihak untuk mengungkapkan semua fakta material yang disadari atau paling tidak diketahui. Prinsip utmost good faith itikad terbaik merupakan prinsip bahwa setiap tertanggung berkewajiban memberitahukan secara jelas dan teliti mengenai segala fakta penting yang berkaitan dengan obyek yang diasuransikan serta tidak mengambil untung dari asuransi. 23 c. Risk Sharing Pembagian Risiko, yaitu; mekanisme pembagian risiko di mana tertanggung memberikan kontribusi dalam bentuk premi asuransi, dan dari banyaknya kontribusi dibayarkan klaim dari sebagian kecil tertanggung yang mengalami risiko. 23 Bronto Hartono, SH. “Prinsip Utmost Good Faith dalam Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Jiwa PT.Asuransi Jiwasraya Persero di regional office Semarang,” Tesis S2 Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Semarang, 2005, h.26. d. Law of Large Number Hukum Bilangan Besar, yaitu; peluang terjadinya risiko dan ketidakpastian akan berkurang jika jumlah orang yang diasuransikan bertambah. 24

6. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Dalam kedudukan tertentu, setiap orang pasti menjadi konsumen atas barang atau jasa tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhannnya. Interaksi antara konsumen dengan penyedia barang dan jasa pada umuumnya dapat terjadi setiap saat oleh para pihak, baik secara incidental maupun secara periodik. Interaksi dan transaksi tersebut menimbulkan hak dan kewajiban para pihak. 25 Berangkat dari pemikiran tersebut dapat dicermati hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen pada kegiatan perasuransian sebagai berikut. a. Hak pelaku usaha 1 Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barangjasa yang diperdagangkan. 2 Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik. 3 Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. 24 PRUsales academy. 25 Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono,S.H., Hukum Ekonomi Indonesia, Buku 2, Malang: Bayumedia, 2007, h.133.