BAB 1 PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini akan dijelaskan mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta
sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindangan anak
pada pasal 1 nomor 2 yaitu: perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tapi, pada kenyataannya banyak anak Indonesia
yang tidak mendapatkan perlakuan yang adil serta tidak mendapatkan hak yang dimilikinya yaitu perlakuan kekerasan yang dialami anak.
Dalam pemberitaan Suara Pembaruan pada Rabu, 17 September 2014, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI yaitu Maria Ulfah Anshor
menyatakan, kasus kekerasan terhadap anak cenderung meningkat setiap tahunnya. Dalam sehari, katanya, terdapat 13-15 kasus kekerasan terhadap anak
yang dilaporkan ke KPAI dan dalam tahun 2014 meningkat menjadi 3.700 kasus. Kasus kekerasan yang dilaporkan juga beragam, mulai dari kekerasan fisik,
seksual, anak jalanan, hingga ke kasus pembunuhan, perdagangan manusia human tra fficking, dan narkoba.
Tim ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI yaitu Rachmat Sentika, menjelaskan: berdasarkan data yang dihimpun dari Kejaksaan Agung
pada 2006 dan telah diteruskan ke Komite Anak Dunia, dalam laporan III dan IV, terungkap berbagai data yang merisaukan perihal kekerasan terhadap anak yang
telah resmi diproses sesuai hukum. Pada laporan tersebut tercantum, terdapat 600 kasus yang telah resmi diputus oleh Kejaksaan Agung. Dari total tersebut, 82 di
antaranya terkait dengan tindak pencabulan, perkosaan dan pelecehan seksual. Kemudian 3 merupakan kasus perdagangan anak, 3 kasus pembunuhan, 7
tindak penganiayaan, sedangkan lainnya 5 tidak diketahui. WHO dalam Neela, 2007 mendefinisikan pelecehan anak atau
penganiayaan sebagai segala bentuk penganiayaan fisik dan emosional, pelecehan seksual, penelantaran, perlakuan lalai, eksploitasi komersial atau lainnya,
sehingga kerugian aktual atau potensial untuk anak yaitu kesehatan, kelangsungan hidup dan perkembangannya.
Dampak kekerasan bagi anak menurut Talbot dalam Natalie, 2011 yaitu akan menimbulkan rasa sakit baik itu secara fisik maupun psikologis. Secara fisik
anak akan mengalami luka bahkan cacat, sedangkan secara psikologis mental anak akan terganggu. Karena mental anak akan terganggu maka subjective well
being pada anak rendah, seperti penelitian Goswami 2012 anak yang mengalami perlakuan tidak adil yaitu perlakuan kekerasan akan memiliki subjective well
being yang rendah. Kemudian Menurut Neela 2007 dalam penelitian “child abuse : confronting reality” dampak kekerasan anak yaitu setiap episode
kekerasan anak jenis apapun dan bentuk apapun memiliki implikasi serius pada
anak baik kesehatan, pertumbuhan, perkembangan, dan juga kesejahteraan well- being. Kemudian anak-anak tanpa keluarga atau dukungan keluarga adalah
beberapa dari yang terburuk yang terkena dampak seperti anak-anak dalam perawatan institusional, anak-anak yang hidup dengan stres, pekerjaan anak yang
terikat, dan anak yang diperdagangkan lainnya. Menurut Ana Butvic 2012 kebahagiaan pada anak lebih tinggi dari pada
kebahagiaan orang dewasa. Disini peneliti tertarik untuk meneliti subjective well being pada anak yang seharusnya mendapatkan kebahagiaan tetapi karena
perlakuan tidak adil mendapatkan subjective well being yang rendah. Goswami 2012 mengatakan bahwa anak-anak yang menjadi korban dan
perlakuan yang tidak adil akan memiliki subujective well being yang rendah. Artinya, korban kekerasan cenderung sering mengalami perasaan yang tidak
puas terhadap kehidupannya, dan jarang mengalami perasaan yang menyenangkan. Perasaan-perasaan negatif tersebut dapat memicu korban
menjadi pelaku kekerasan. Menurut Neel 2007 salah satu konsekuensi serius dari pelecehan anak adalah bahwa kekerasan sering menyebabkan korban menjadi
pelaku di kemudian hari. Untuk melihat subjective well being pada anak yang mengalami kekerasan
peneliti mengumpulkan data pada lembaga dan rumah singgah yang ada di Jakarta Timur. Menurut penelitian Howard 2009 anak korban kekerasan yang tinggal
dilembaga dan rumah singgah akan mendapat dukungan sosial dari orang yang singgah ke rumahlembaga tersebut sehingga anak mendapat well being dari
pengunjung dan pekerja sosial.
Peniliti mengumpulkan data mengenai kekerasan yang dialami anak, dari keseluruhan anak yang dikumpulkan peneliti mendapat 122 anak yang
mengalami kekerasan dari lingkungan sekitarnya. Peneliti mengambil data pada lembaga dinas sosial dan rumah singgah yang ada di Jakarta Timur, dari jenis
kekerasan yang dialami anak , paling banyak kekerasan fisik dan emosional yaitu 34,42 .
Berdasarkan data tersebut peneliti melihat adanya kekerasan pada anak yang tinggal di lembaga dan rumah singgah. Peneliti ingin melihat subjective well being
pada anak yang mengalami kekerasan di lembaga dan rumah singgah tersebut. Peneliti mengambil sampel pada rumah singgah yaitu karena rata-rata anak yang
ada pada rumah singgah hidup dilingkungan pasar dan mereka ada yang mengamen, sehingga mereka rentan mendapatkan kekerasan. Kemudian pada
lembaga anak berhadapan dengan hukum, yang mana anak-anak tersebut pernah melakukan kekerasan sehinggga masuk pada lembaga tersebut, anak yang
melakukan kekerasan kemungkinan besar pernah menjadi korban Neel, 2007. Dari perspektif kesejahteraan well being pada anak, integrasi layanan
harus mendorong keamanan dan kesejahteraan well being anak, yaitu pendekatan ini harus memaksimalkan dengan kesempatan memberikan
pengasuhan kepada anak untuk pemulihan bagi anak yang mengalami kekerasan menurut Barth dalam Traube, 2012. Anak yang mengalami kekerasan
membutuhkan dukungan dari lingkungan sosialnya yaitu dari luar dirinya dan kekuatan keyakinannya untuk memecahkan masalahnya sebagai korban kekerasan
yang timbul dari dalam dirinya yaitu self efficacy karena hal yang mempengaruhi
subjective well being adalah ketersediaan dukungan sosial, self efficacy dan kesehatan menurut Laventhal dalam Maja Weist, 2011. Berdasarkan dari data-
data tersebut, peneliti tertarik untuk mengambil social support dan self-efficacy untuk independent variable pada subjective well being pada anak yang
mengalami kekerasan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Moore dalam Goswami, 2012,
menunjukkan bahwa kehadiran orang dewasa komunitas bagi anak memberikan integritas subjective well being bagi anak. Ada beberapa cara untuk menjelaskan
hubungan antara interaksi sosial dengan tetangga dan meningkatkan kualitas hidup. Bantuan praktis diberikan kepada satu sama lain adalah salah satu
keuntungan yang jelas dari sosial menurut Goswami 2012. Penjelasan lain dari hubungan ini bahwa perasaan terlibat dengan orang dewasa di lingkungan
menyediakan anak-anak peran sosial yang bermakna, yang kemudian menganugerahkan rasa nilai, tujuan, identitas dan keterikatan pada satu komunitas
menurut Berkman dalam Goswami, 2012. Dalam artikel “the role of home-visiting programs in preventing child
abuse and neglect” oleh Howard 2009 bahwa peran khusus pengunjung rumah singgah juga bervariasi, dalam beberapa kasus, pengunjung dimaksudkan untuk
menjadi sumber dukungan sosial; dalam kasus lain, staf yang mengunjungi rumah singgah bertindak sebagai penyedia sumber daya, menjadi keluarga untuk
dukungan sosial dan menyediakan mereka dengan arahan ke sumber daya lain dalam masyarakat, seperti untuk perkembangan kesehatan mental atau jasa
pelayanan dalam rumah tangga. Rumah pengunjung juga sering bertindak sebagai
guru mengenal huruf, pelatih parenting, model peran, dan ahli pada topik terkait orangtua dan kesehatan anak dan well-being bagi anak yang mengalami
kekerasan. Di sini peneliti melihat rumah singgah dalam artikel ” the role of home-visiting programs in preventing child abuse and neglect” bahwa anak yang
mengalami kekerasan membutuhkan dukungan sosial dari pengunjung untuk mendapatkan kesejahteraan well-being.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Siregar dalam Manaf, 2013 anak- anak yang mengalami pelecehan seksual menunjukkan berbagai kepribadian dan
masalah perilaku serta dikucilkan oleh masyarakat luas. Namun, dalam penderitaan dan sakit yang mereka rasakan, ada banyak korban yang mampu
beradaptasi dan berfungsi secara efektif dalam kehidupan mereka, salah satu faktor yang berkontribusi terhadap situasi ini adalah adanya dukungan sosial yang
mereka terima Hyman, Gold Cott, 2003. Kontribusi dukungan sosial yang signifikan dari dukungan yang diterima
oleh anak-anak yang mengalami pelecehan seksual menurut Siregar dalam Manaf, 2013 berpendapat bahwa bahwa anak-anak lebih tergantung pada
dukungan resmi yang diterima terutama dari para staf dan pekerja sosial. Anak- anak ini mengakui bahwa mereka ketika ada masalah, mereka nyaman untuk
menceritakannya pada pekerja institusional yang mereka anggap keluarga mereka sendiri dan teman-teman di institusi tersebut. Mereka percaya bahwa dukungan
yang diberikan oleh para pekerja ini memberikan mereka kekuatan untuk mengatasi trauma mereka. Subjective well being pada anak-anak yang mengalami
kekerasan diasumsikan dapat dicapai dan dijamin jika mereka menerima
dukungan sosial formal maupun informal dari lembaga dan masyarakat pada umumnya Manaf, 2013.
Jenis kelamin menurut penelitian yang dilakukan oleh Ronald 2002, yaitu dengan 146.000 responden yang dikumpulkan dari 65 lembaga bahwa subjective
well being pada anak laki-laki 24 dan pada anak perempuan 28 yang berarti anak perempuan lebih bahagia dari pada anak laki-laki. Peneliti memasukkan
jenis kelamin sebagai variabel dalam penelitian ini untuk melihat subjective well being berdasarkan jenis kelamin pada anak korban kekerasan.
Faktor lain yang mempengaruhi subjective well being adalah self efficacy yaitu menurut Leventhal dalam Maja Wiest, 2011 hal-hal yang mempengaruhi
dari subjective well being yaitu ketersediaan dukungan sosial, sumber daya individu seperti self-efficacy, dan kesehatan. Self-efficacy merupakan komponen
utama dari teori belajar sosial Bandura. Self efficacy digambarkan sebagai keyakinan seseorang tentang kapasitas mereka untuk melakukan kontrol atas
fungsi mereka sendiri dan atas peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka menurut Bandura dalam Natalie Sachs, 2011. Self-efficacy, juga disebut
sebagai penguasaan diri oleh Pearlin dan Schooler dalam Natalie Sachs, 2011. Penelitian telah menunjukkan bahwa tinggi tingkat self-efficacy berhubungan
dengan hasil kesehatan positif oleh Clark dan Dodge dalam Natalie Sachs, 2011. Self-efficacy telah terbukti yang berperan dalam membentuk prilaku yang baik.
Temuan yang sama dari beberapa bidang penelitian telah menunjukkan bahwa perilaku yang baik sebagian dimediasi oleh persepsi self-efficacy oleh OLeary
dalam Natalie Sachs, 2011.
Ada bukti dari hubungan antara self-efficacy dan kekerasan masa kanak- kanak yang telah terbukti mempengaruhi kognisi anak menilai tentang diri
mereka menjadi negatif karena perlakuan kekerasan yang didapatkan anak menurut Sachs-Ericsson dalam Natalie Sachs, 2011. Kemudian penelitian yang
dilakukan oleh Yuehua 2004 bahwa seseorang yang memiliki self efficacy yang kuat maka akan memilliki subjective well being yang tinggi. Di sini peneliti
melihat ada indikasi bahwa self efficacy memiliki pengaruh terhadap subjective well being.
Dari penjelasan di atas peneliti tertarik untuk meniliti bagaimana “
pengaruh dukungan sosial dan self efficacy terhadap subjective well being
pada anak korban kekerasan child abuse”.
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah