4. Kekerasan karena diabaikan penelantaran Menurut Akta Perlindungan Anak sebagai kegagalan ibu bapak untuk
memenuhi keperluan utama anak seperti pemberian makan, pakaian, kediaman, perawatan, bimbingan, atau penjagaan anak dari gangguan
penjahat atau bahaya moral dan tidak melindungi mereka dari bahaya sehingga anak terpaksa menjaga diri sendiri.
2.5 Kerangka Berfikir
Kekerasan terhadap anak akhir-akhir ini sering terlihat dipemberitaan baik itu televisi maupun media sosial. Kekerasan pada anak bisa dilakukan oleh orang tua,
guru atau pun orang terdekat. Anak yang tidak berdaya sering kali menjadi luapan emosi orang dewasa, sehingga anak menjadi korban kekerasan baik itu kekerasan
fisik, emosi, seksual, dan penelantaran atau diabaikan.
Berdasarkan informasi dari Tim ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI Rachmat Sentika, menurutnya: berdasarkan data yang dihimpun dari
Kejaksaan Agung pada 2006 dan telah diteruskan ke Komite Anak Dunia, dalam laporan III dan IV, terungkap berbagai data yang merisaukan perihal kekerasan
terhadap anak yang telah resmi diproses sesuai hukum. Pada laporan tersebut tercantum, terdapat 600 kasus yang telah resmi diputus oleh Kejaksaan Agung.
Dari total tersebut, 82 di antaranya terkait dengan tindak pencabulan, perkosaan dan pelecehan seksual. Sisanya, 3 merupakan kasus perdagangan anak, 3
kasus pembunuhan, 7 tindak penganiayaan, sedangkan lainnya 5 tidak diketahui.
Anak yang mengalami kekerasan cenderung untuk mengalami stres karena banyak tekanan yang didapatkan. Dampak kekerasan bagi anak Talbot, dalam
Natalie, 2011 yaitu akan menimbulkan rasa sakit baik itu secara fisik maupun psikologis. Secara fisik anak akan mengalami luka bahkan cacat, sedangkan
secara psikologis mental anak akan terganggu.Karena mental anak akan terganggu maka subjective well being pada anak rendah, seperti penelitian Goswami 2012
anak yang mengalami perlakuan tidak adil akan memiliki subjective well being yang rendah. Artinya, korban kekerasan cenderung sering mengalami perasaan
yang tidak puas terhadap kehidupannya, dan jarang mengalami perasaan yang menyenangkan. Perasaan-perasaan negatif tersebut dapat memicu
korban menjadi pelaku kekerasan. Menurut Neel 2007 salah satu konsekuensi serius dari pelecehan anak adalah bahwa kekerasan sering menyebabkan korban
menjadi pelaku di kemudian hari. Anak yang mengalami kekerasan cenderung untuk menutup diri dan
merasa tidak bahagia karena prilaku kekerasan yang didapatkannya dari lingkungannya, maka dari itu peneliti ingin meneliti subjective well being pada
anak yang mengalami kekerasan sebagai DV penelitian. Jenis kelamin menurut penelitian yang dilakukan oleh Ronald 2002, yaitu
dengan 146.000 responden yang dikumpulkan dari 65 lembaga bahwa subjective well being pada anak laki-laki 24 dan pada anak perempuan 28 yang berarti
anak perempuan lebih bahagia dari pada anak laki-laki. Peneliti memasukkan jenis kelamin sebagai variabel dalam penelitian ini untuk melihat subjective well
being berdasarkan jenis kelamin pada anak korban kekerasan.
Faktor-faktor yang mempegaruhi SWB adalah faktor genetik, kepribadian, faktor demografis, dukungan sosial, dan self efficacy. Di antara faktor-faktor
tersebut, adanya dukungan sosial merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti sebagai ciri-ciri SWB yang rendah pada anak-anak korban kekerasan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Moore 2003, menunjukkan bahwa kehadiran orang dewasakomunitas bagi anak memberikan integritas subjective
well being bagi anak. Ada beberapa cara untuk menjelaskan hubungan antara interaksi sosial dengan tetangga dan meningkatkan kualitas hidup. Bantuan praktis
diberikan kepada satu sama lain adalah salah satu keuntungan yang jelas dari sosial menurut Goswami 2012. Ada bukti bahwa dukungan sosial merupaka hal
yang efektif untuk kehidupan yang penuh stres pada penyakit mental seperti depresi Kawachi Berkman 2001. Dukungan sosial bagi anak yang mengalami
korban kekerasan sangat berperan untuk kebahagiaan anak. Dukungan sosial sendiri terdiri dari komponen guidance yaitu adanya seseorang yang
memberikan nasehat atau informasi, biasanya pemenuhan aspek ini didapatkan dari guru, mentor, atau figur orang tua, reliable alliance yang merupakan
keyakinan bahwa ada orang lain yang dapat diandalkan untuk membantu penyesuaian masalah yang bersifat terlihat atau tangible, biasanya pemenuhan
aspek ini bersumber dari anggota keluarga, reassurance of worth meyakini keberhargaan diri, yaitu adanya pengakuan dari orang lain terhadap kompetensi,
keterampilan, dan nilai yang dimiliki seseorang, opportunity for nurturance kesempatan memberikan perhatian pada orang lain yaitu adanya perasaan
bahwa orang lain bergantung pada dirinya untuk mendapatkan kesejahteraan diri.
Pemenuhan aspek ini biasanya didapatkan dari anak dan juga pasangan, attachment yaitu adanya perasaan kedekatan secara emosional kepada orang lain
yang memberikan rasa aman, biasanya didapatkan dari pasangan, teman dekat, atau hubungan keluarga, social integration integrasi sosial merujuk pada adanya
perasaan memiliki minat, kepedulian, dan aktivitas rekreasional yang sama. Fungsi ini biasanya didapatkan dari teman dan dapat memberikan kenyamanan,
rasa aman, kepuasan, dan identitas. Kemudian faktor lain yang mempengaruhi subjektive well being pada anak
yang mengalami korban kekerasan adalah self-efficacy. Ada bukti dari hubungan antara self-efficacy dan kekerasan masa kanak-kanak bahwa pelecehan telah
terbukti mempengaruhi kognisi anak menilai tentang diri mereka menjadi negatif Sachs-Ericsson et al., 2006. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Yuehua
2004 bahwa seseorang yang memiliki self efficacy yang kuat maka akan memilliki subjective well being yang tinggi. Di sini peneliti melihat ada indikasi
bahwa self efficacy memiliki pengaruh terhadap subjective well being. Aspek dari self efficacy yaitu magnitude, dimensi ini berkaitan dengan
derajat kesuliatan tugas dimana individu merasa mampu atau tidak untuk melakukannya sebab kemampuan diri individu berbeda-beda. Selanjutnya
strength, dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah mudah
digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung. Generality, dimensi ini berkaitn dengan keyakinan individu akan kemampuannya
memecahkan masalahnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin mengukur pengaruh social support dan self-efficacy terhadap subjective well being pada anak korban
kekerasan child abuse. Melihat deskripsi diatas, dapat ditarik kerangka berpikir sepertibagan dibawah ini:
Social Support
Jenis Kelamin
Self Efficacy
Opportunity for nurturance
Social integration Attachment
Reassurance of worth Reliable alliance
Guidance
Subjective Well
Being
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir Pengaruh Social Support dan Self- Efficacy terhadap Subjective Well Being pada Anak Korban Kekerasan Child
Abuse
2.6 Hipotesis Penelitian