Integrasi Pendidikan Akhlak Tasawuf

Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa ajaran Islam intinya adalah mengenai akhlak. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. harus diteladani agar manusia dapat hidup sesuai dengan tuntunan syariat, yang bertujuan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan umat manusia itu sendiri. Sesungguhnya Rasulullah saw. adalah contoh serta teladan sempurna bagi umat manusia yang mengajarkan serta menanamkan nilai-nilai akhlak terpuji kepada umatnya. Kemudian yang melandasi pentingnya pendidikan akhlak tasawuf dalam konteks Pendidikan Nasional adalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3. Dinyatakan bahwa: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga n egara yang demokratis serta bertanggung jawab”. 61 Undang-undang tersebut secara tersirat menjadikan penting adanya pendidikan akhalak tasawuf sebagai mata pelajaran yang memberi nilai kepada peserta didik guna menciptakan masyarakat atau warga negara yang mempunyai tanggung jawab sebagai hamba Tuhan dan antar manusia satu sama lain. Sehingga dengan demikian, pendidikan akhlak tasawuf memberikan pengajaran kepada kita untuk mati dalam diri kita dan hidup abadi dalam kehidupan untuk-Nya, membentuk akhlak yang mulia dengan memahami sepenuhnya atas kedudukan seorang hamba di hadapan Tuhan agar hidup bahagia di dunia dan di akhirat atau menuju kebahagiaan yang abadi. Selain itu pendidikan akhlak tasawuf bermanfaat untuk memperoleh suatu hubungan khusus dengan Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran bahwa manusia sedang berada di kehadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara Tuhan dengan makhluk-Nya, sehingga pada gilirannya akan tercipta kehidupan masyarakat yang harmonis. 61 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI, No. 22 tahun 2003, Bandung: Citra Umbara, 2003, hlm. 7

6. Materi Pendidikan Akhlak Tasawuf

Proses pendidikan adalah untuk menumbuhkan potensi-potensi yang ada pada peserta didik. Secara garis besar potensi manusia dapat mengarah kepada kebaikan dan ada kalanya kepada keburukan. Oleh sebab itu dapat dikatakan ada manusia yang berkelakuan baik dan ada manusia yang berkelakuan buruk. Walaupun demikian menurut Quraish Syihab al- Qur’an mengisyaratkan bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung pada kebaikan. 62 Karena itu menjadi penting adanya pendidikan akhlak tasawuf untuk membimbing potensi kebaikan yang ada pada diri setiap manusia. Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi materi dari pendidikan akhlak tasawuf adalah menyangkut potensi apa saja yang terdapat pada diri manusia yang bisa menjadikannya berbuat baik secara jasmani dan ruhani. Sehingga pada gilirannya setelah manusia mengetahuinya ia akan mempunyai akhlak yang baik kapanpun dan dimanapun ia berada. Adapun mengenai potensi-potensi tersebut para ulama seperti Imam al- Ghozali dan Ibnu Miskawaih 63 membaginya menjadi empat bagian yang kesemuanya merupakan induk dari segala bentuk akhlak terpuji maupun tercela. Pertama, adalah kekuatan akal, kekuatan akal jika terdidik dengan baik maka ia akan melahirkan kebijaksanaan hikmah, yaitu keadaan jiwa yang bisa menentukan hal-hal yang benar di antara yang salah dalam urusan ikhtiariyah perbuatan yang dilaksanakan dengan pilihan dan kemauan sendiri. Namun jika tidak terdidik dengan baik justru akan melahirkan kebalikannya yang mempunyai dua kemungkinan yakni bisa menjadi pintar tapi busuk dan keji atau bisa menjadi bodoh. Artinya keadaan jiwa yang terlalu pintar atau tidak bisa menentukan yang benar di antara yang salah karena bodohnya di dalam urusan ikhtariyah. Kedua, kekuatan marah. Jika ia terdidik dengan baik maka ia akan berwujud berani syaja’ah, yaitu keadaan kekuatan amarah yang tunduk kepada akal pada waktu dilahirkan atau dikekang. Sebaliknya, jika tidak terdidik dengan 62 Shihab, op. cit., h. 254 63 Suwito, op. cit., h. 94