Sumber data Instrumen Penelitian

40

BAB IV HASIL PEMBAHASAN DAN ANALISIS PENELITIAN

A. Deskripsi Novel

1. Sinopsis Novel Jack and Sufi

Kota merupakan tempat tarung yang dahsyat, pergumulan batin yang dahsyat. Tempat keramaian orang dengan berbagai aneka perilaku, kepentingan dan pekerjaan akan menyebabkan seseorang tarik ulur antara satu dengan yang lain dalam diri pribadinya. Bukan hal yang mudah untuk menjadi manusia yang berpendirian teguh saat hidup di kota. Inilah ruang-ruang yang menyediakan sajian, makanan yang tidak disediakan label halal-haram dan menuntut kita sendiri yang arif memilah dan memilih. Apakah yang akan kita lakukan jika berhadapan perilaku yang bercampur baur, bersatu padu membentuk senya wa yang bernama “kehidupan kota”? Mengutukkah, mengasingkan diri di dalam rumah dan asyik bercengkerama dengan keluarga dan kebiasaan masing- masing? Melakukan aksi “pembersihan dengan kekuatan dan berbagai embel-embel lainkah? Atau akan malah terhanyut dengan segala gemerlapnya kota dan tanpa sadar kita semakin kehilangan diri, kesejatian diri? Ataukah malah sebaliknya kita hanyut tetapi tidak meladeni dengan keterhanyutan itu dan berusaha menolong teman, keluarga atau semua orang agar dapat kembali dari basah kuyupnya dunia remang-ramang? 1 Opsi yang terakhirlah yang diambil oleh Jack, tokoh sentral dalam buku ini. Jack tidak memposisikan diri sebagai orang yang anti riuh rendahnya kota dan 1 Kaha Anwar, Resensi Buku Jack Sufi; Sufisme di Remang-Remang Jakarta, 2013, www.wisata-buku.com lantas mengutuknya. Jack juga tidak berdiam diri di kamarnya dan asyik dengan laku spritualnya. Jack juga tidak suka jika dakwahnya dilakukan dengan cara gembar-gembor, meneriakkan asma Tuhan di jalanan dengan menenteng pedang. Sebaliknya, Jack menghanyutkan diri dalam arus kehidupan kota, yaitu kota Jakarta. Hanya yang membedakan Jack dengan orang kebanyakan adalah Jack tidak terseret arus kehidupan kota, itu saja. Jack memang lain. Ketika bertahun-tahun belajar agama di pesantren, lalu meneruskan studi ke Timur Tengah, ke Eropa, dan bahkan melangkah ke Afrika untuk belajar tasawuf, Jack kembali ke Indonesia bukannya mendirikan pesantren atau mengajar di perguruan tinggi. Tapi malah menyeruak di balik semak-semak belukar Jakarta, menghampiri mereka yang dipinggirkan oleh peradaban, yang disingkirkan oleh mereka yang merasa suci, dan diabaikan oleh para ulama dan kyai, ustadz dan agamawan. Remang-remang Jakarta, remang-remang rel kereta, remang-remang mereka yang berurusan dengan peradilan, dan remang-remang yang memainkan uang rakyat untuk dikorupsi. Jack mendekati mereka untuk kembali ke jalan Ilahi, dengan caranya sendiri. 2 Jack tidak sekedar menguji diri, ilmu, d an ajaran agamanya di “majelis z ikir” remang-remang kota, melainkan benar-benar hidup dengan segala yang dimiliki di dalamnya. Lelaku yang tidak mudah untuk dijalankan oleh kebanyakan orang. Orang akan lebih suka mengasingkan diri, menyepi di kaki-kaki bukit atau di puncak gunung. Katanya di sana lebih tenang, lebih khusyu’ melakukan kegiatan spiritual dan akan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga Tuhan berbalik kasih kepadanya. Ini hanya prasangka manusia semata. Jika pola pikir seperti ini terus diperanak-pinakkan maka kehidupan kota akan semakin suram, tak ada lagi yang mencoba mengarahkan kemudi kehidupannya. Prostitusi, klub malam, diskotek dan tempat remang-remang bukanlah tempat yang sepi akan hadirnya Tuhan atau malah Tuhan tidak hadir sama sekali di sana. Tuhan meliputi segalanya, setiap inci kehidupan hambaNya. Tidak dibatasi oleh ruang waktu. 3 2 M. Luqman Hakim, Jack and Sufi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004, cet. IV, h. 4. 3 Kaha Anwar, loc. cit.