keyakinan agama sahabat dekatnya. Ia juga meraih rasa ringan dalam hatinya, dan mendapatkan
keselamatan dunia dan agamanya …….”
22
10. “….Apakah anda juga masih menuntut sesuatu dari
Allah? Ini sungguh tidak sopan, tidak etis, dan tidak punya adab di hadapan Allah, karena Anda pasti
tidak yakin kepada Allah, karena anda pasti sangat mencurigai Allah. Apa modal kita, bekal kita,
prestasi amal kita, sehingga kita punya hak menuntut Allah? Padahal kita tidak pernah memiliki modal, tak
pernah berbuat, tak pernah membuat bekal. Sebab yang menggerakkan kepatuhan, amal, taat, ibadah
kita itu, Allah juga
...”
23
Tawadhu’
C. Pembahasan Hasil Analisis
Nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim banyak ditunjukkan dalam bentuk deskripsi cerita,
dialog antar tokoh, maupun respon para tokoh dalam menyikapi sesuatu. Dalam novel ini terdapat dialog seperti percakapan langsung pada umumnya. Namun
percakapan ini berbentuk tulisan sehingga lebih mudah untuk dilihat dan dibaca berulang-ulang. Paragraf dan kalimat dalam sebuah novel merupakan kumpulan
ide yang ingin dituangkan oleh pengarang. Dalam penelitian ini dapat terjadi perbedaan interpretasi, mengingat
kemampuan seseorang berbeda dalam memahami suatu teks. Sehingga terkadang pesan yang disampaikan oleh pengarang dipahami berbeda oleh pembaca. Oleh
sebab itu, paragraf dan kalimat yang jelas akan lebih mudah dipahami oleh pembaca pada umumnya. Pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang pun
dapat dipahami oleh pembaca dengan mudah. Untuk melihat pesan di balik deskripsi cerita maka dalam skripsi ini penulis akan menyampaikannya dalam
bentuk potongan paragraf atau kalimat. Adapun penjabaran nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack
an Sufi karya Muhammad Luqman Hakim akan penulis paparkan berikut ini:
22
Ibid., h. 76
23
Ibid., h. 192
1. Kearifan al-hikmah
Kearifan merupakan keutamaan dari jiwa berpikir dan mengetahui. Terletak pada mengetahui segala yang ada ini. Mengetahui segala yang ilahiah
dan manusiawi. Pengetahuan ini membuahkan pemahaman mana di antara hal- hal yang mungkin harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
24
Kearifan merupakan keutamaan jiwa rasional yang memelihara jiwa al-syahwiyyah dan
jiwa al-ghadabiyyat yang memungkinkan seseorang membedakan yang benar dari yang salah dalam semua perbuatan yang disengaja.
25
Dalam pengertian tasawuf kearifan diartikan sebagai pengetahuan. Kearifan yang mempunyai arti pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan
biasa. Ia merupakan pengetahuan yang abadi, sebab isinya tentang yang Abadi. Maka dari itu, ketika seseorang sudah mempunyai kearifan atau dalam bahasa
tasawufnya ma’rifat, ia akan menjadi orang yang mengenal hakikat segala
sesuatu, memandang, dan bersikap terhadap dunia melalui penglihatan hatinya yang telah tercerahkan. Ia tidak lagi terpaku pada segala sesuatu yang bersifat
embel-embel, sebab yang menjadi perhatiannya ialah yang hakiki. Ia tidak sibuk memikirkan dirinya dan hasratnya yang rendah. Namun ia senantiasa asyik
memandang wajah Sahabat atau Kekasihnya, yang Maha Pengasih dan Penyayang itu. Dan pada tingkatan tertentu seorang sufi akan meninggalkan
sikap acuh tak acuh, masa bodoh dan ketidakpedulian terhadap masalah keagamaan, kemanusiaan dan sosial.
26
Ada bagian-bagian yang masuk pada kategori kearifan. Di antaranya adalah ketajaman intelegensi, kejernihan berfikir, dan jernih ingatan.
27
Adapun nilai akhlak tasawuf yang ditampilkan adalah ketajaman intelegensi seperti dalam
dialaog: “Inilah etika kita berguru atau bersahabat dengan seseorang, mestinya
harus selektif agar berpengaruh positif dalam keseharian kita. Banyak
24
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. dari Tahdzibu al-Akhlak oleh Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1998, h.45
25
Suwito, Filasafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, Yogyakarta: Belukar, 2004, h. 97
26
Said Aqil Munawwar, Al- Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta:
Ciputat Press, 2002, h. 351
27
Ibn Miskawaih, op.cit., h. 46
orang pandai, alim, intelektual, tetapi sepanjang kepentingan-kepentingan dirinya lebih menonjol, sama sekali tidak patut kita ikuti. Tidak peduli
apakah dia ustadz, kyai, cendekiawan muslim, ataukah syaikh, manakala ia masih menuruti kepentingan nafsunya, sangat tidak layak untuk diikuti
jejaknya.
Kepentingan nafsu itu sering kali justru dijadikan umpan setan untuk berselingkuh dengan ilmu pengetahuan, kebenaran, agama, dan hal-hal
yang suci. Artinya, mereka yang berselimut kesucian, keulamaan, kecendikiawaan, jika masih menuruti hawa nafsunya, seperti popularitas,
riya’, takjub diri, ingin dipuji, takbbur, egois, berarti ia tetap saja seorang yang bodoh.
Sebailknya sama sekali tidak bisa disebut orang bodoh, jika seseorang mampu mengekang hawa nafsunya, kepentingan dirinya, egoismenya, iri
dengkinya, walaupun ia tampak seperti orang bodoh, hakikatnya ia adalah orang yang pandai. Karena betapa pun hebat ilmu seseorang, sepanjang
ia masih senang dengan hawa nafsunya, ia tidak akan pernah menyelamatkan kita di dunia hingga akhirat.
28
Dialog di atas ingin memberi pemahaman bahwa memilih panutan yang benar-benar baik adalah sangat penting. Oleh karena itu ketajaman intelgensi
sebagai bagian dari akhlak muslim sangatlah berperan penting dalam kaitannya mencari panutan agar tidak salah dalam memilih panutan. Adapun pengertian
ketajaman intelegensi itu sendiri adalah kemampuan jiwa untuk merenungkan pengalaman yang ada pada lingkungan sekitar kita untuk memilah mana yang
baik dan mana yang buruk.
29
Selain ketajaman intelegensi, ada lagi nilai lain yang ditampilkan yaitu nilai tentang kejernihan dalam berfikir. Nilai ini terdapat pada dialog:
“Suatu hari Jack diundang seminar di sebuah lembaga kajian dunia sufi. Jack diundang karena ada sejumlah orang yang mengenal Jack sebagai
sosok yang hampir mirip kelelawar. Hidupnya di malam hari, dan di remang-remang kegelapan. Jack hanya diminta untuk mengisahkan
balada kehidupan malam, dan makna Ketuhahan yang terselip di balik celah-celah anyirnya remang-remang itu.
“Rasanya menjelaskan dan menghayati Allah di tengah kehadiran malam yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran itu, sudah setengah
mustahil. Banyak faktor yang merasa menjadi hijab antara kita dengan Allah. Pertama, wajah di hadapan kita yang tentu sangat antagonis
dengan nuansa Ilahi. Kedua, apakah kita tidak risih khusyu’ dan khudur di
28
Luqman Hakim, op. cit., h.75
29
Ibn Miskawaih, loc. cit.
tengah-tengah mereka. Ketiga, apakah kita tidak jadi sembrono dengan hadir di tempat seperti itu?” kata seorang penanya.
Jack terjengah mendengar pertanyaan peserta yang begitu kritis. “Allah tidak bisa dibatasi oleh apa pun, termasuk oleh kegelapan pun,
bahkan oleh kebaikan apa pun, Karena Allah itu Mahabesar. Jika Allah bisa ditabiri, dihijab, ditirai, maka hijab dan tirai itu pasti lebih besar
dibanding Allah. Padahal A
llah Mahabesar dari segalanya.” “Saya jadi semakin bingung memahaminya…”
“Ya, saya paham atas kebingungan anda. Sederhananya begini, kalau anda bisa hadir di depan Allah dalam suasana religus di masjid, ditempat
majekis zikir, atau di tempat-tempat kebajikan, itu semata karena Allah
hadir dengan asma’ dan sifatNya yang Maha Indah, Maha Lembut, Maha Terpuji. Tapi kalau anda datang ke tempat pelacuran, perjudian, di tempat
orang KKN, di tempat para preman, maka anda harus melihat Allah atas kehadiranNya yang
berasma’ dan bersifat Yang Maha Menghina, yang Maha Menyiksa, Yang Maha Menghisab perbuatan hambaNya. Takwalah
kepada Allah di manapun anda berada, baik di tempat kebajikan atau kezaliman, dua-duanya jangan sampai menjadi penghalang interaksi anda
dengan A llah”
Semua peserta seminar diam begitu lama. Tiba-tiba suara tepuk tangan membahana di gedung itu. Bukan tepuk tangan atas jawaban Jack, tetapi
tepuk tangan yang disertai tetesan air mata keharuan atas problema yang menyesakkan dada mereka. Sang penanya tadi seperti mewakili benak
para peserta.
30
Dialog di atas menunjukkan pentingnya berpikir jernih. Kejernihan berpikir adalah kesiapan jiwa untuk menyimpulkan apa saja yang dikehendaki.
Jack dalam memandang kehidupan pasti diciptakan mempunyai pasangan, ada indah ada jelek, ada baik ada buruk semua itu adalah sunnatullah.
Kaum sufi berusaha berpegang teguh kepada yang baik dan yang indah bahkan di tengah-tengah apa-apa yang tampak dalam kehidupan sebagai jahat dan
jelek. Mereka berpegang teguh kepada kebenaran meskipun ketika dikelilingi oleh kesalahan dan kebohongan, berpijak kuat pada kepastian bahwa kebenaran
akhirnya akan menang.
31
Maka orang yang bertakwa adalah mereka yang selalu berfikir jernih dalam kondisi apa pun, entah dalam kondisi yang tampak sebagai
kebajikan maupun tampak seperi kezaliman. Dan ini dibuktikan oleh Jack sebagai tokoh di dalam cerita tersebut bagaimana dia menempatkan hati dan pikirannya
30
Luqman Hakim, op. cit., h. 234
31
Seyyed Hossein Nasr, op. cit., h. 78
selalu untuk ingat kepada Allah. Oleh karena itu dapat kita pahami bahwa, kebajikan yang dimaksud akhlak kearifan dalam tasawuf merupakan kebajikan
spiritual yang telah dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan dan disiplin kerohanian tertentu berdasarkan ajaran Islam.
32
2. Menjaga kesucian al-iffah
Adalah keutamaan dari bagian hawa nafsu menurut penilaian baiknya. Dia mengikuti pengetahuan yang akurat, hingga dia tidak terseret oleh hawa nafsunya,
dan dia tidak menjadi budak hawa nafsunya. Dia muncul pada diri manusia apa bila hawa nafsunya dikendalikan oleh pikirannya.
33
Dan penilaian ini didasarkan pada pikiran yang mengandung unsur syari’at. Jadi nafsu syahwat yang digunakan
secara pertengahanlah yang akan menimbulkan sikap iffah, yaitu orang yang dapat menahan syahwat dan farjinya dari berbuat lacur. Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang- orang yang khusyu dalam sembahyangnya. Dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna QS. Al-
Mu’minun. Ayat 1-3
34
Akhlak yang lahir dari sifat iffah ini banyak sekali, di antaranya ada sifat dermawan, wira’i, kesabaran, keteguhan hati.
35
Iffah dalam pembahasan ini sering diartikan dengan kedermawanan di samping mempunyai arti menjaga kesucian.
Hal ini mungkin terjadi, karena mengingat kebajikan satu dengan yang lain itu mempunyai saling keterkaitan secara spiritual. Sebagai contoh sifat tawakkal tidak
akan terlaksana dengan baik jika tidak disertai dengan sifat sabar, karena untuk bisa bertawakal kepada Allah maka kita butuh kesabaran dalam menerima cobaan
dari Allah.
32
Ibid., h. 164
33
Suwito, op. cit., h. 103
34
Depag, Al- Qur’an dan Terjemahannya, Solo: Qomari Prima Publisher, 2007, h. 475
35
Suwito, op. cit., h. 104