Pengertian Pendidikan Konsep Pendidikan Akhlak Tasawuf

tasawuf dapat menumbuhkan makna dan nilai, serta menjadikan tindakan dan hidup manusia lebih luas dan kaya. 39 Bahkan kaum sufi berusaha berpegang teguh kepada kebenaran meskipun ketika dikelilingi oleh kesalahan dan kebohongan, berpijak kuat pada kepastian bahwa kebenaran, yang senantiasa indah dalam arti metafisik, akhirnya akan menang. 40

3. Pengertian Akhlak

Kata akhlak berasal dari bahasa Arab “khuluq” yang jamaknya akhlaq. Artinya tingkah laku, perangai, tabiat, watak, moral, etika dan budi pekerti. Kata akhlaq mengandung persesuaian dengan perkataan khaliq yang berarti pencipta, serta erat kaitannya dengan kata makhluq bermakna yang diciptakan. Apabila kita hubungkan arti akhlaq dengan kata khalq, khalq dan makhluq, maka sesungguhnya rumusan pengertian akhlaq timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluq, dan antara makhluq dengan makhluq itu sendiri. 41 Sementara itu menurut M. Quraish Syihab, secara linguistik, kata akhlaq merupakan isim jamid atau isim gair mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut memang begitu adanya. Kata akhlaq adalah jamak dari kata khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti kata akhlaq sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya di dalam al-Quran maupun hadis sebagaimana tertulis di bawah ini:      “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” Q.S. al-Qalam68: 4 39 Ibid,. 40 Sayyed Hossein Nasr, The Garden of Truth:Mereguk Sari Taswuf, Terj. dari The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. Oleh Yuliani Liputo, Bandung: Mizan, 2010, h.78 41 M. Ma’rifat Imam dan Nandi Rahman, Ibadah Akhlak, Tinjauan Eksetoris dan Esoteris, Jakarta: Uhamka Press, 2002, h23       “Agama kami ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang terdahulu.” Q.S. asy-Syu‟arâ26: 137 اق خ سحأ انا ي ني لا ل كأ “Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang sempurna budi pekertinya.” H.R. Tirmiżî قاخأا ر اك تأ تثعب ا نا د حأ ا ر “Bahwasanya aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti.” H.R. Ahmad 42 Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam, dan firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu argumen dari keanekaragaman tersebut. 43     “Sungguh, usahamu memang beraneka macam.” Q.S. al-Lail92: 4 Ayat pertama di atas menggunakan khuluq dalam arti budi pekerti, ayat kedua menggunakan kata akhlaq untuk arti adat kebiasaan. Selanjutnya hadis yang petama menggunakan kata khuluq untuk arti budi pekerti, dan hadis kedua menggunakan kata akhlaq, juga untuk arti budi pekerti. Dengan demikian, kata akhlaq dan khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru’ah, atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabiat atau tradisi. Adapun pengertian akhlak menurut istilah dapat dilihat dari beberapa pendapat pakar berikut: a. Al-Ghazali mengungkapkan tentang akhlak yaitu “sikap yang mengakar dalam jiwa manusia yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran 42 Kanzul „Ummal, 11: 24031969 43 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1997, Cet. IV, h. 253 254. dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk. 44 b. Ibn Miskawaih secara singkat mendefinisikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. 45 c. Menurut Ahmad Amin, dia menyimpulkan dari berbagai pendapat ahli, menyatakan bahwa: akhlak adalah kebiasaan berkehendak. Berarti bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Dengan perkataan lain, akhlak adalah menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia secara berturut-turut. 46 Al-Ghazali memberikan kriteria, bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian terlebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian. 47 Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang dikemukakan Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib al-akhlak. Tokoh filsafat etika yang hidup lebih dahulu ini menyatakan bahwa akhlak adalah “keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu.” la tidak bersifat rasional, atau dorongan nafsu. 48 Bila ditinjau pembagian yang merusak dan menyelamatkan, keduanya meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini 44 M. Abdul Mujib dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Ghozali, Jakarta: Mizan, 2009, h.38 45 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, Yogyakarta: Belukar, 2004, h. 31 46 Ahmad Amin. Etika Ilmu akhlak. Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet. Ke-7, h. 62 47 Al- Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Kairo: Dar al-Kutub al_Arabiyyah, T.Th., jld 3, h.52 48 Suwito. loc. cit