Pengertian Tasawuf Konsep Pendidikan Akhlak Tasawuf

dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk. 44 b. Ibn Miskawaih secara singkat mendefinisikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. 45 c. Menurut Ahmad Amin, dia menyimpulkan dari berbagai pendapat ahli, menyatakan bahwa: akhlak adalah kebiasaan berkehendak. Berarti bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Dengan perkataan lain, akhlak adalah menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia secara berturut-turut. 46 Al-Ghazali memberikan kriteria, bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian terlebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian. 47 Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang dikemukakan Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib al-akhlak. Tokoh filsafat etika yang hidup lebih dahulu ini menyatakan bahwa akhlak adalah “keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu.” la tidak bersifat rasional, atau dorongan nafsu. 48 Bila ditinjau pembagian yang merusak dan menyelamatkan, keduanya meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini 44 M. Abdul Mujib dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Ghozali, Jakarta: Mizan, 2009, h.38 45 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, Yogyakarta: Belukar, 2004, h. 31 46 Ahmad Amin. Etika Ilmu akhlak. Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet. Ke-7, h. 62 47 Al- Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Kairo: Dar al-Kutub al_Arabiyyah, T.Th., jld 3, h.52 48 Suwito. loc. cit dalam tasawuf disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti dermawan pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah seperti keikhlasan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Al-Mawardi yang menyebutkan bahwa akhlak diri disposisi mental adalah unsur dasar atau landasan bagi tindakan artinya, seseorang tidak dapat dianggap berakhlak baik, sebelum ia memiliki akhlak diri yang baik. Dua jenis sikap akhlak yaitu: legalitas dan moralitas. Legalitas sekedar kesesuaian lahiriyah tindakan dengan suatu aturan moral tanpa disertai sikap hati disposisi mental. Sedangkan moralitas akhlak adalah sikap hati yang terungkap dalam tindakan lahiriyah yang sesuai aturan moral tanpa pamrih. 49 Menurut Abuddin Nata ada lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu: 50 Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Dalam kaitan ini Ahmad Amin 51 mengumpamakan, bahwa seseorang yang dermawan ialah orang yang menguasai keinginan untuk memberi, dan keinginan itu selalu ada padanya meskipun terdapat keadaan yang menghalanginya, kecuali keadaan yang menghalanginya itu luar biasa dan terpaksa. Sebaliknya orang kikir ialah orang yang dikuasai oleh rasa cinta harta, dan mengutamakannya lebih dari membelanjakannya. Dengan keterangan ini nyata bahwa orang yang baik ialah orang yang menguasai keinginan baik secara berturut-turut. Sebaliknya orang jahat atau durhaka ialah orang yang selalu dikuasai oleh keinginannya untuk berbuat jahat atau durhaka. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, atau tidur. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang 49 Pengertian moralitas dan legalitas menurut Immanuel Kant. Lihat Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius, 1987, h. 58 50 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, h. 5-7 51 Ahmad Amin, op. cit., h. 65 dalam keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek seperti berkedip, tertawa, bersin, dan sebagainya bukanlah perbuatan akhlak melainkan perbuatan alami, seperti halnya binatang juga melakukannya. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya. Namun karena perbuatan tersebut sudah mendarah daging, sebagaimana disebutkan pada sifat yang pertama, maka pada saat akan menjalankannya sudah tidak lagi memerlukan pertimbangan atau pemikiran. Hal yang demikian tak ubahnya dengan orang yang mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu, maka begitu mendengar panggilan shalat ia tidak merasa berat mengerjakannya, dan tanpa pikir panjang ia sudah dengan mudah dan ringan dapat mengerjakannya. Ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri si pelakunya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan karena paksaan, tekanan atau intimidasi dari luar dirinya, maka perbuatan tersebut bukan termasuk ke dalam akhlak dari si pelakunya. Keempat, perbuatan akhlak ialah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, perbuatan akhlak yang baik adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang lain. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak yang baik. 52 Kelima perbuatan tersebut kemudian disebut sebagai perbuatan akhlaki etis yang acapkali dipertentangkan dengan perbuatan alami. Perbuatan alami adalah perbuatan yang terjadi di luar kehendak si pelakunya, seperti bernafas, berkedip, bersin, dan lain sebagainya. Terhadap perbuatan alami, pelakunya tidak bisa dikenakan hukum “baik atau buruk”. Sebaliknya, terhadap perbuatan etis, yaitu perbuatan yang timbul karena kehendak si pelakunya, bisa dikenakan hukum “baik atau buruk”. Dalam kaitan ini Murtadha Muthahhari menyatakan: “Perbuatan etis” itu layak untuk dipuji dan disanjung. Dengan kata lain, manusia 52 Abudin Nata, loc. cit.