dalam keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek seperti berkedip, tertawa, bersin, dan sebagainya bukanlah perbuatan akhlak melainkan
perbuatan alami, seperti halnya binatang juga melakukannya. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya. Namun
karena perbuatan tersebut sudah mendarah daging, sebagaimana disebutkan pada sifat yang pertama, maka pada saat akan menjalankannya sudah tidak lagi
memerlukan pertimbangan atau pemikiran. Hal yang demikian tak ubahnya dengan orang yang mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu, maka begitu
mendengar panggilan shalat ia tidak merasa berat mengerjakannya, dan tanpa pikir panjang ia sudah dengan mudah dan ringan dapat mengerjakannya.
Ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri si pelakunya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan karena paksaan, tekanan
atau intimidasi dari luar dirinya, maka perbuatan tersebut bukan termasuk ke dalam akhlak dari si pelakunya.
Keempat, perbuatan akhlak ialah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
Kelima, perbuatan akhlak yang baik adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang lain.
Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak yang baik.
52
Kelima perbuatan tersebut kemudian disebut sebagai perbuatan akhlaki etis yang acapkali dipertentangkan dengan perbuatan alami. Perbuatan alami
adalah perbuatan yang terjadi di luar kehendak si pelakunya, seperti bernafas, berkedip, bersin, dan lain sebagainya. Terhadap perbuatan alami, pelakunya tidak
bisa dikenakan hukum “baik atau buruk”. Sebaliknya, terhadap perbuatan etis, yaitu perbuatan yang timbul karena kehendak si pelakunya, bisa dikenakan hukum
“baik atau buruk”. Dalam kaitan ini Murtadha Muthahhari menyatakan: “Perbuatan etis” itu layak untuk dipuji dan disanjung. Dengan kata lain, manusia
52
Abudin Nata, loc. cit.
mengakui akan nilai agung suatu perbuatan etis. Nilai yang dimaksud di sini bukan dalam arti material, seperti yang biasa diistilahkan dengan “upah” atau gaji.
Namun nilai yang dimaksudkan di sini berada pada kedudukan yang lebih tinggi dalam diri manusia. Nilai-nilai tersebut tidak dapat disejajarkan dengan uang atau
barang.
53
4. Integrasi Pendidikan Akhlak Tasawuf
Dari bahasan di atas, dapat dinyatakan bahwa akhlak sesungguhnya merupakan istilah yang bersifat umum, sehingga perlu diuraikan lagi. Karena itu
terdapat istilah akhlâq al-karîmah dan akhlâq al- sayyi’ah. Akhlâq al-karîmah
adalah perbuatan terpuji, baik, luhur dan mulia. Sedang akhlâq al- sayyi’ah adalah
perilaku yang jelek, nista, sekaligus menyengsarakan. Akhlâq al-karîmah yang telah menjadi bagian tak terpisahkan pada seseorang sehingga ia menjadi
konsisten, kontinyu sekaligus berusaha keras melalui serangkaian riyâdlah untuk senantiasa bertahan hidup dalam karakter tersebut itulah yang sesungguhnya
disebut dengan istilah tasawuf, dan pelakunya disebut dengan sufi, salik atau darwis dalam bahasa Persia.
54
Harun Nasution berpendapat, ketika mempelajari tasawuf akan terbukti bahwa kaum sufilah yang terutama pelaksanaan ibadahnya membawa kepada
pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka seperti nilai-nilai kejujuran, keadilan, tolong menolong, murah hati, pemaaf, sabar, baik sangka, pemurah. Semua nilai-
nilai ini terdapat dalam ajaran al- Qur’an dan Hadis, di mana setiap muslim harus
meneladaninya sejak kecil.
55
Atas dasar itu, dapat dimengerti filosofi berpikir penggabungan atau pengintegrasian akhlak tasawuf menjadi satu kesatuan, yakni diharapkan praktek
tasawuf yang dikembangkan tetap berpijak pada nilai-nilai akhlak terpuji. Tasawuf mementingkan hubungan vertikal dan horisontal sekaligus. Keasyikan
dan kesyahduan dalam berkomunikasi dengan Allah habl min Allâh, dalam
53
Muthahhari, op. cit., h. 12
54
Djamaluddin, Reorientasi Pembelajaran Akhlak Tasawuf di Perguruan Tinggi, Tadris Volume 3. Nomor 1. 2008, pp.5
55
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1995, cet.3, h.57
pandangan tasawuf Islam harus berefleksi dalam cermin praktik hidup keseharian yang saleh pada hubungan horisontal habl min al-nâs.
56
Jadi, sederhananya dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah sasaran ajaran tasawuf. Akhlak adalah yang paling utama dalam menempuh jalan sufi. Tidak
dapat dikatakan orang itu bertasawuf sedangkan dia tidak berakhlak. Dan dengan bertasawuflah akhlak kita akan menjadi baik dan benar. Melalui pendidikan
akhlak yang berbasis tasawuf maka tindakan akhlak kita akan menjadi bermakna dan bernilai dari segi lahir dan bathin.
5. Dasar Pendidikan Akhlak Tasawuf
Agama Islam sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci al- Qur’an
senantiasa menganjurkan manusia untuk membersihkan diri agar jauh dari dosa dan kesalahan, dengan melakukan amalan-amalan yang digariskan Allah untuk
hamba-Nya. Di samping itu banyak ayat-ayat Al- Qur’an yang menganjurkan
kepada manusia untuk bertawakal, sabar serta taubat. Dan beribadat yang lain sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW sebagai seorang Insan
Kamil. Al-
Qur’an yang kebenarannya tidak diragukan lagi, menjadi petunjuk bagi orang yang bertaqwa al-Baqarah2:2. Ia sebagai al-Furqan pembeda antara
yang benar dan yang salah al-Furqan25:1 mempunyai fungsi sebagai kitab suci yang berisi ajaran dan pedoman yang dapat dipakai untuk mengarungi kehidupan
ini. Ia juga sebagi al-Dzikru peringatan al-Hijr15:9 agar manusia hidup bahagia dunia dan akhirat.
Tasawuf lahir karena didorong oleh ajaran Islam sebagaimana yang terkandung dalam sumbernya al-
Qur’an dan Hadis. Yakni mendorong untuk hidup sufistik. Selain itu kedua sumber itu mendorong agar umatnya berperilaku baik,
tolong menolong, beribadah, berpuasa dan sebagainya. Yang semua itu merupakan inti tasawuf.
57
Al- Qur’an mendeskripsikan sifat-sifat orang yang
wara’ dan taqwa dalam surat al-Ahzab ayat 35:
56
Djamaluddin, loc. cit.
57
Nasution,, loc. cit.
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim laki-laki dan perempuan yang mukmin laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar jujur, sabar, khusy u’
mau mengeluarkan
sedekah, mau
berpuasa, mau
memelihara kehormatannya, yang banyak dzikir kepada Allah, maka Allah akan
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar al- Ahzab:35.
58
Dari beberapa ayat di atas, peneliti dapat memberikan penjelasan, bahwa ayat-ayat tersebut menganjurkan kepada hamba Allah SWT agar dalam hidupnya
senantiasa mencerminkan ajaran-ajaran yang merupakan konsekuensi hidup bagi manusia. Manusia dalam hidupnya wajib menyerahkan segala keputusan yang
diberikan oleh Allah SWT, atas apa yang dilakukannya dan bersabar atas segala keputusan Allah. Selain itu mereka harus senantiasa bertaubat kepada Allah atas
kesalahan yang telah diperbuat. Ayat-ayat di atas menjelaskan tentang beberapa ajaran tasawuf seperti
sabar, tawakal, bertaubat dan lainnya atau dengan kata lain, bahwa di dalam ayat tersebut tersirat makna pendidikan tasawuf yang tentunya bertujuan untuk
membentuk manusia yang memiliki budi pekerti yang luhur. Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-
Qur’an tentang ajaran tasawuf, hadis pun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Berikut ini terdapat arti
dari teks hadis yang dapat dipahami dengan pendidikan tasawuf. Pandangan
58
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemah, Semarang: CV. Toha Putra, 1989,
hlm. 673.
mengenai cinta kepada Allah berdasarkan kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara manusia dengan Tuhannya.
Kesadaran dan komunikasi langsung dengan Tuhannya berakar pada ajaran Islam, yakni al-Ihsan,
59
sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim yang menjelaskan dialog Nabi SAW dengan Jibril AS, mengenai sendi-
sendi Islam. Berikut arti dari dialognya: Artinya: “Abu Hurairah berkata bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah
SAW berada di tengah-tengah sahabat, datanglah seorang laki-laki, lalu bertanya:
„wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan iman?’ Nabi menjawab: „Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, berjumpa dengan-Nya, rasul-rasul- Nya, dan engkau beriman kepada hari kebangkitan.’ Lalu dia bertanya lagi:
„Apakah Islam itu?’ Nabi menjawab: „Hendaknya engkau beribadah
kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan shalat yang difardukan, menunaikan zakat yang difardukan, dan berpuasa
di bulan Ramadhan’ kemudian dia bertanya lagi: „apakah ihsan itu?’ Nabi menjawab: „Hendaknya engkau menyembah kepada Allah seakan-
akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak bisa melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu…”
60
Hadis di atas merupakan landasan dasar bagi para pengamal ajaran tasawuf orang sufi, sehingga dapatlah sekiranya menjadi pendorong untuk
meningkatkan dan mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian masalah akhlak, Nabi sendiri mengatakan bahwa beliau diutus
ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak. adapun hadisnya sebagai berikut:
قاخأا ر اك تأ تثعب ا نا د حأ ا ر
“Bahwasanya aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti.” H.R. Ahmad
59
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 12.
60
Lihat hadis di Sakhih Muslim, jilid I Isa Babi al-Halabi, Mesir,tt, hlm. 23.
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa ajaran Islam intinya adalah mengenai akhlak. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
saw. harus diteladani agar manusia dapat hidup sesuai dengan tuntunan syariat, yang bertujuan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan umat manusia itu sendiri.
Sesungguhnya Rasulullah saw. adalah contoh serta teladan sempurna bagi umat manusia yang mengajarkan serta menanamkan nilai-nilai akhlak terpuji kepada
umatnya. Kemudian yang melandasi pentingnya pendidikan akhlak tasawuf dalam
konteks Pendidikan Nasional adalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3. Dinyatakan bahwa:
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga n
egara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
61
Undang-undang tersebut secara tersirat menjadikan penting adanya pendidikan akhalak tasawuf sebagai mata pelajaran yang memberi nilai kepada
peserta didik guna menciptakan masyarakat atau warga negara yang mempunyai tanggung jawab sebagai hamba Tuhan dan antar manusia satu sama lain.
Sehingga dengan demikian, pendidikan akhlak tasawuf memberikan pengajaran kepada kita untuk mati dalam diri kita dan hidup abadi dalam
kehidupan untuk-Nya, membentuk akhlak yang mulia dengan memahami sepenuhnya atas kedudukan seorang hamba di hadapan Tuhan agar hidup bahagia
di dunia dan di akhirat atau menuju kebahagiaan yang abadi. Selain itu pendidikan akhlak tasawuf bermanfaat untuk memperoleh suatu hubungan khusus dengan
Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran bahwa manusia sedang berada di kehadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan
menuju kontak komunikasi dan dialog antara Tuhan dengan makhluk-Nya, sehingga pada gilirannya akan tercipta kehidupan masyarakat yang harmonis.
61
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI, No. 22 tahun 2003, Bandung: Citra Umbara, 2003, hlm. 7