NU Organisasi Sosial Keagamaan dan Pemerintahan

1. Lembaga Dakwah NU LDNU 2. Lembaga Pendidikan Ma’arif NU LP Ma’arif NU 3. Lembaga Sosial Mabarut NU LSMNU 4. Lembaga Perekonomian NU LPNU 5. Lembaga Pembangunan dan Pengembangan Pertanian LP2NU 6. Rabithah Ma’ahid Islamiah RMI; Pengembangan Bidang Pondok Pesantren 7. Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU LKKNU 8. Ha’iyah Ta’miril Masjid Indonesia HTMI 9. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia LAKPESDAM 10. Lembaga Seni Budaya NU LSBNU 11. Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja NU LPTKNU 12. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum NU LPBHNU 13. Lembaga Pencak Silat LPS 14. Jam’iyyah Qurawal Huffadz JQH: Bidang Pengembangan Tilawah, Metode Pengajaran dan Penghafalan Al Qur’an. Bisa dikatakan jika organisasi ini mengawal proses kelahiran kemerdekaan Indonesia, mengawal proses masa revolusi, lahirnya orde baru, dan lahirnya orde reformasi. Organisasi ini tetap eksis sampai kini. Tentunya kita tak bisa menghapus begitu saja peran Kyai Cholil Bangkalan atas lahirnya organisasi ini di masa silam. Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang sebelum dibentuk, para perintisnya mengadakan pembicaraan-pembicaraan untuk mencari kesamaan-kesamaan dalam cita-cita, program, dan sebagainya. Kemudian mensosialisasikan kepada orang-orang yang diharapkan menjadi anggota, Nahdlatul Ulama tidak melakukannya karena: a. Kesamaan-kesamaan termaksud sudah dimiliki oleh kaum Muslimin Indonesia, yaitu Faham Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dengan berhaluan madzhab, yang menjadi “trayek” Nahdlatul Ulama. b. Para calon anggota umumnya adalah mereka yang berada di bawah bimbingan para ulama pesantren yang mendirikan Nahdlatul Ulama, sehingga dengan mudah dan cepat ikut Nahdlatul Ulama. Cepatnya perkembangan Nahdlatul Ulama, terutama dalam jumlah anggota yang bergabung, dari satu sisi sangat menggembirakan, tetapi di satu sisi lain agak memprihatinkan karena sekian banyak orang yang mendadak bergabung dengan NU, ternyata tidak mampu diurus secara organisatoris-administratif. Tenaga yang bisa mengurus tidak sebanding dengan besarnya jumlah mereka yang harus diurus. 8 Sejak semula, sesuai dengan ajaran Islam, Nahdlatul Ulama menempatkan semua manusia pada kedudukan yang sama dihadapan Allah SWT, sebagaimana firmannya: “ Hai manusia Sungguh Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sungguh, orang yang paling mulia di antara kalian disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha mengenal”. Saling mengenal Lita’aarafuu artinya saling mengerti, saling menghormati dan saling membantu. Manusia, dihadapan Allah adalah Makhluk yang terhormat, sebagaimana firmannya: “ Sungguh, Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka Kami beri kemampuan dalam angkut mengangkut di daratan dan di lautan. Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. QS. Al-Isra’ ayat 70 8 Saifullah Ma’sum, Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung: Mizan, 1998, h 25-26 Menurut yang telah didapatkan oleh penulis dari Kabupaten Bangkalan itu, sikap kesosialannya di dalam organisasi berangkat dari dua sikap: Lita’aarafuusaling mengerti dan Karamna saling menghormati itu, Islam mengatur hubungan antar sesama manusia yang berkembang dan saling tolong menolong, saling membantu, saling mengasihi dan seterusnya. Manusia yang hidup bersama dan saling berhubungan itu bermacam sifat hubungannya. Ada yang dihubungkan dengan family atau kekerabatan, ada yang dihubungkan dengan tempat tinggal atau ketetanggaan, dengan pekerjaan, tempat pendidikan, ada yang dihubungkan dengan kesukuan, kebangsaan dan ada yang dihubungkan dengan kemanusiaan. 9

2. Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah organisasi yang didirikan oleh Muhammad Darwis, yang dikemudian dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, 8 Dzulhijjah 1330 H 18 Nopember 1912. Selain berprofesi sebagai Khatib di Kraton Yogyakarta, Dahlan juga seorang pedagang dan Penasehat Central Sarikat Islam CSI.Perjalanannya ke daerah luar Yogyakarta tampaknya sangat terkait dengan ketiga profesi itu, sehingga usahanya menyebarkan pembaharuan agama Islam tersamar dalam aktivitasnya sebagai pedagang dan penasehat CSI. 10 Pertama kali KH Ahmad Dahlan ke Jatim terjadi sekitar 1916, atau 1 tahun setelah H Mas Mansur sepulang dari Mekkah dan Mesir menemuinya di Yogyakarta 1915. Saksi kedatangan KH Dahlan ke Surabaya ini dua di antaranya adalah tokoh pergerakan nasional Soekarno dan Roeslan Abdulgani. Keduanya tidak hanya menyaksikan, tetapi juga mengikuti pengajiannya di langgar Peneleh, Plampitan, serta di langgar dekat rumah KH Mas Mansur 9 Wawancara pribadi dengan Bapak H. M. Thoyyib Fawwaz Muslim, S.Pdi 10 www.google.com kawasan Ampel. KH.Ahmad Dahlan datang ke Surabaya dan memberikan tabligh di tiga tempat, yaitu di kampong Peneleh, Plampitan, dan Ampel. Pada tahun yang sama, KH Mas Mansur untuk kedua kalinya datang ke rumah KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Pertemuan kali ini berlangsung lebih lama daripada tahun sebelumnya, dan diisi dengan pembicaraan yang bersifat dialogis. Dari dialog inilah KH Mas Mansur tampaknya amat terkesan dengan kepiawaiannya KH Ahmad Dahlan dalam menafsirkan al- Qur’an. Kekaguman inilah yang mengantarkan KH Mas Mansur menerima ajakan KH Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah di Surabaya 4 tahun kemudian, atau 1920, yang secara resmi dideklarasikan pada 1 Nopember 1921. Muhammadiyah Surabaya ditetapkan oleh Surat Ketetapan HB Muhammadiyah No 41921. Muhammadiyah Surabaya langsung berstatus Cabang yang diketuai oleh KH Mas Mansur, dibantu oleh H Ali, H Azhari Rawi, H Ali Ismail dan Kyai Usman. Perjalanan KH Ahmad Dahlan di Jatim tidak berhenti di Surabaya saja, karena dia ternyata juga mengunjungi berbagai kota lainnya. Tempat-tempat yang dikunjungi dan membuahkan hasil adalah Kepanjen 21 Desember 1921, Blitar 1921, Sumberpucung 1922, dan Ponorogo 1922. Tahap selanjutnya, Muhammadiyah juga berdiri di Jombang 1923, Madiun 1924, Ngawi 1925, Jember 1925, Situbondo 1925, Malang 1926, Gresik 1926, Lumajang 1927, Trenggalek 1927, Bondowoso 1927, Bangkalan 1927, Sumenep 1927, Sampang 1927, dan Probolinggo 1928. Pada tahap selanjutnya, Muhammadiyah juga didirikan di Pamekasan 1928, Kediri rentang waktu 1927-1933, Tulungagung 1932, Banyuwangi 1933, Magetan rentang waktu 1932-1933, Nganjuk 1933, Pacitan 1933, Tuban 1933, Mojokerto 1933, Sidoarjo 1935-1936, Bojonegoro 1947, dan Lamongan 1951. Kemunculan Muhammadiyah di Bangkalan dimulai dengan adanya perkumpulan al- Ishlah yang dipimpin oleh KH Abdul Manan Hamid, Ulama asal Socah, pada tahun 1930-an.