condong kepada keturunan yang bergelar Azmatkhan sedangkan penulis lebih condong kepada peran beliau Kyai Cholil di lingkungan masyarakat Madura.
Selain itu pula penulis mendapatkan karya ilmiah yang membahas tentang Syaikhona Cholil, yang berjudul “Sejarah Pondok Pesantren Syaikhona Muhammad Cholil dan
Kehidupan Sehari- hari pada Santri” karya Muhammad Romli, di Universitas terkemuka di
daerah Sidogiri. Di dalam karya tulis itu hanya menjelaskan bagaimana asal usul dari pendirian pondok pesantren yang didirikan oleh Kyai Cholil tersebut. Serta kehidupan
keluarganya dimulai dari keturunan hingga beliau menjadi tokoh terkemuka seperti yang banyak diceritakan oleh buku lain yang membahas tentang Syaikhona Cholil.
Begitupun bagaimana cara pengajaran beliau kepada para santrinya maupun pada keluarganya sendiri,yang lebih mirip dengan pengajaran nenek moyangnya yang dahulu yaitu
beberapa dari Sunan Walisongo, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Yang di antara pengajarannya itu lebih banyak kepada praktek.
Sebenarnya tidak banyak yang membahas tentang Kyai Cholil, walaupun ada yang membahas Kyai Cholil, kemungkinan hanya sedikit data yang didapatkan oleh para penulis,
karena di keluarganya sendiri terkadang merasa takut untuk menceritakan tentang kehidupan Kyai Cholil. Mereka takut ada yang salah dalam mengisahkan kehidupan Kyai Cholil,karena
itu bisa menjadi bala’ bila dalam mengisahkan beliau sampai salah, karena beliau Waliyullah. Sedangkan keluarga dari Kyai Cholil kemungkinan mendapatkan data beliau dari
keluarganya sendiri itu hanya mereka ketahui atau cerita dari para leluhurnya tapi kemungkinan hanya sedikit, begitupun yang penulis lakukan, yaitu dengan mencari
beberapa buku yang membahas tentang Kyai Cholil dan dengan wawancara kepada beberapa sanak keluarga beliau dan juga pada pengurus yang bisa melengkapi karya ilmiah yang
penulis lakukan ini. Kebanyakan yang penulis dapatkan dari hasil-hasil penelitian orang lain,
yang menjelaskan Syaikhona Cholil, belum ada yang membahas tentang peran Kyai Cholil dalam mengembangkan Islam di Bangkalan. Maka penulis berinisiatif untuk melakukan
karya il miah yang berjudul tentang “Peran KH. Muhammad Cholil dalam Mengembangkan
Islam di Bangkalan- Madura”. Dan alhamdulillah penulis mendapatkan izin dari keluarga
Kyai Cholil.
E. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengumpulkan beberapa data yang berhubungan dengan pembahasan mengenai KH. Muhammad Kholil Bangkalan dan
perannya, baik data yang bersifat primer sebagai bahan utama, maupun data yang bersifat sekunder sebagai bahan pelengkap.
Dalam menyusun skripsi ini, ada beberapa hal yang perlu penulis jelaskan terlebih dahulu yaitu mengenai istilah-istilah dari judul skripsi ini. Pertama, peran
merupakan kata kunci dalam penulisan skripsi ini. Dengan demikian peran menunjukkan hubungan dengan sejumlah norma yang berhubungan dengan
statuskedudukan seseorang dalam struktur sosial. R.K Merton mengatakan bahwa peran adalah kumpulan pola tindakan tertentu yang diwujudkan seseorang dalam
suatu struktur sosial tertentu, atau bagaimana seseorang harus berbuat bertindak terhadap orang lain dan orang lain terhadapnya.
10
Dalam skripsi ini makna peran diartikan dengan keikutsertaan Syaikhona Cholil dalam menumbuh kembangkan
wawasan Islam. Kedua, pengembangan mempunyai arti menyebarluaskan, dalam hal
10
H. Ahmad Sutarmadi, Al-Imam al-Tirmidzi; Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, Jakarta: Logos, 1998, Cet ke-1,h.27
ini Syaikhona Cholil berusaha untuk menyebarluaskan pemikiran-pemikiran keislamannya.
Adapun buku “ Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan
Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”, terbitan CeQDA 2007, menjadi buku acuan yang penulis gunakan untuk membantu dalam hal teknik penulisan skripsi ini.
1. Pendekatan Studi dan Jenis Penelitian
Setelah dilakukan klasifikasi data, tahap selanjutnya yang penulis lakukan adalah melakukan analisa yang bersifat kualitatif, dalam artian penulis akan
menguraikan data-data historis tersebut dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan konteks dimana sejarah tersebut terjadi. Pendekatan sejarah
digunakan untuk mendeskripsikan sejarah hidup KH. Muhammad Cholil di Bangkalan dengan ajaran pengembangan Islam. Sejarah intelektual dalam bahasa
Sartono Kartodirdjo adalah mencoba mengungkapkan latar belakang sosio-kultural para pemikir, agar dapat mengekstrapolasikan faktor-faktor sosio-kultural yang
mempengaruhinya. Dengan demikian, kita tidak mudah jatuh ke suatu absolutisme atau determinisme. Memang pandangan historis sebaiknya akan lebih mendorong ke
suatu relativisme dalam menghadapi berbagai ideologi beserta doktrin-doktrinnya. Pengkajian bidang sejarah intelektual dari yang barang tentu memiliki peninggalan
tertulis, cukup dipermudah dengan adanya dokumentasi berbagai mentifact. Aspek yang sangat menarik dari sejarah intelektual ialah dialektik yang terjadi antara
ideologi dan penghayatan oleh penganutnya. Adapun tema-tema yang dikembangkan dalam Sejarah Intelektual adalah pemikiran yang dilakukan oleh perseorangan
Soekrano, Natsir, John Locke, Isme atau Paham nasionalisme, sosialisme, pragmatisme, gerakan intelektual aliran Frankfurt, Strukturalisme, Pasca
Modernisme, periode The Age of Belief, Renaissance, Pencerahan, dan pemikiran kolektif MUI, Muhammadiyah, NU.
11
Dalam perspektif kesejarahan baik pesantren dan madrasah, pada umumnya dipandang sebagai Lembaga Pendidikan Indigenous
Jawa, tradisi keilmuan pesantren dalam banyak hal memiliki afinitas dengan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Tradisional di Kawasan Dunia Islam lainnya.
Afinitas atau kesamaan itu dalam batas tertentu bukan hanya pada tingkat kelembagaan dan keterkaitannya dengan lingkungan sosialnya, tetapi juga pada watak
dan karakter keilmuannya. Sebagai lembaga pendidikan indigenous, pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu
menduduki posisi yang relative sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya, dan sekaligus bertuhan di tengah berbagai gelombang perubahan. Kalau kita menerima
spekulasi bahwa “pesantren” telah ada sebelum masa Islam, maka sangat boleh jadi ia merupakan satu-satunya lembaga pendidikan dan keilmuan di luar istana. Dan jika ini
benar, berarti pesantren merupakan semacam lembaga “Counter Culture” budaya tandingan terhadap budaya keilmuan yang dimonopoli kalangan istana dan elite
Brahmana. Eksistensi pesantren bertambah kuat ketika corak Islam yang berkembang di Jawa memberikan dasar ideologis dan kelembagaan yang kondusif bagi pesantren.
Corak Islam tersebut biasanya di tipologisasikan watak banyak ahli sebagai “Islam
11
www.google.com