Terhadap Kesehatan masyarakat Dampak Penjualan Daging sapi glonggongan 1. Terhadap Konsumen

masyarakat kurang mengerti akan ciri-ciri daging sapi glonggongan itu sendiri lebih memilih cara aman yaitu dengan cara tidak membeli daging sapi. Untuk itu, pelaku usaha diminta untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan kualitas produk yang dihasilkannya. Mereka juga harus mempertanggung jawabkan atas apa yang terjadi pada setiap peroduknya. Jika pelaku usaha mampu menjaga kulaitas dan mutu barangjasa yang ditawarkan, konsumen akan terus memandang positif tanpa ragu selalu mengonsumsinya.

3. Terhadap Kesehatan masyarakat

Istilah sehat dalam kehidupan sehari-hari sering dipakai untuk menyatakan bahwa sesuatu dapat bekerja secara normal. Bahkan benda mati pun seperti kendaraan bermotor atau mesin, jika dapat berfungsi secara normal, maka seringkali oleh pemiliknya dikatakan bahwa kendaraannya dalamkondisi sehat kebanyakan orang mengatakan sehat jika badannya merasa segar dan nyaman. bahkan seorang dokterpun akan menyatakan pasiennya sehat manakala menurut hasil pemeriksaan yang dilakukannya mendapatkan seluruh tubuh pasien berfungsi secara normal. Namun demikian, pengertian sehat yang sebenarnya tidak demikian. Pengertian sehat menurut Undang-undang Pokok Kesehatan No. 9 tahun 1960, bab I Pasal 2 adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan jasmani, rohani mental, dan sosial, serta bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Batasan kesehatan tersebut di atas telah diperbaharui bila batasan kesehatan yang terdahulu itu hanya mencakup tiga dimensi atau aspek, yakni: Universitas Sumatera Utara fisik, mental, dan sosial, maka dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009, kesehatan mencakup 4 aspek, yakni: fisik badan, mental jiwa, sosial, dan spiritual. Batasan kesehatan tersebut diilhami oleh batasan kesehatan menurut WHO yang paling baru. Pengertian kesehatan saat ini memang lebih luas dan dinamis, dibandingkan dengan batsan sebelumnya. 81 1. Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan. Hal ini berarti bahwa kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari spiritualnya juga dalam arti mempunyai akhlak secara keagamaan. Keempat dimensi kesehatan tersebut saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan seseorang, kelompok atau masyarakat. Itulah seBabnya maka kesehatan bersifat menyeluruh mengandung keempat aspek. Perwujudan dari masing-masing aspek tersebut dalam kesehatan seseorang antara lain sebagai berikut: 2. Kesehatan mental jiwa mencakup 2 komponen, yakni pikirandan emosional. Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran. Emosional sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya misalnya takut, gembira, khawatir, sedih dan sebagainya. 3. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, 81 http:www.afand.cybermq.compostdetail2456,Pengertian Sehat, hal 1 Universitas Sumatera Utara agama atau kepercayaan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan menghargai. 82 4. Kesehatan spiritual tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa Allah SWT dalam agama Islam. Misalnya sehat spiritual dapat dilihat dari praktik keagamaan seseorang. Dengan perkataan lain, sehat spiritual adalah keadaan dimana seseorang menjalankan ibadah dan semua aturan-aturan agama yang dianutnya. Akan tetapi perwujudan dari tujuan dibentuknya Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 ini masih saja sulit untuk ditegakkan. Hal ini dikarenakan sifat dari masyarakat Indonesia sendiri yang belum menyadari akan pentingnya kesehatan. Hal ini terbukti dari adanya penjualan daging sapi glonggongan di pasar-pasar tradisional yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya dikarenakan prosedur standar pemotongan sapi yang dilakukan sangat bertentangan dengan standard prosedur operasi SOP yang telah ditetapkan pemerintah. Selain itu, air yang digunakan diragukan kehigienisannya dan tentunya dari air itulah dapat menimbulkan bakteri-bakteri baru yang menyatu ke dalam daging sapi tersebut yang kapan saja dapat merusak kesehatan bagi masyarakat yang mengkonsumsinya. Selain itu, pengetahuan masyarakat tentang kualitas daging sapi yang sehat dan potensi bahaya yang dapat ditimbulkan dan tindakan pencegahannya perlu disosialisasikan secara luas dan terus menerus. Pemerintah Indonesia dalam hal ini 82 http:www.afand.cybermq.compostdetail2456 , Op.cit, hal 2 Universitas Sumatera Utara Departemen Pertanian telah menetapkan suatu arahan dalam rangka mengupayakan daging yang higienis. Upaya itu diwujudkan dalam Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1983 tentang kesehatan masyarakat vateriner yang menetapkan bahwa daging yang layak dikonsumsi harus memenuhi persyaratan ASUH Aman, Sehat, Utuh, dan Halal. Pengertian aman adalah daging tidak mengandung bahaya biologis, kimia, dan fisik yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia. Sehat dimaksudkan bahwa daging mengandung zat yang berguna dan seimbang bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh. Pengertian utuh adalah daging tidak dicampur dengan bagian lain dari hewan tersebut atau dipalsukan dengan bagian hewan lainnya. Dan halal yaitu selama proses dan pengolahan daging diperlakukan sesuai syariat agama Islam. 83 Selain itu, rumah pemotongan hewan merupakan salah satu tahapan penting dalam rantai penyediaan daging di Indonesia. Rumah pemotongan hewan adalah kompleks bangunan dengan disain tertentu dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan hewan potong selain unggas bagi konsumen masyarakat. Persyaratan rumah potong hewan RPH telah diatur dalam SK Menteri Pertanian No. 555KptsTN.24091986, dalam persyaratan tersebut ditetapkan kelas rumah pemotonga RPH yaitu A, B, C, dan D berdasarkan luas peredaran daging, dan pengelompokkan didasarkan pada fasilitas yang harus dimiliki rumah pemotonga hewan rumah potong hewan RPH bukan pada persyaratan minimum yang 83 wawancara dengan Bapak Ahmad Nuh, Jum’at 5 Februari 2010, 11.10 wib, di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. Universitas Sumatera Utara menyangkut aspek teknik higiene,sanitasi, dan kesehatan masyarakat vateriner. Ketentuan sanitasi dan higiene diatur dalam SNI 01-6159-1999 tentang rumah pemotongan hewan, namun sifat penerapannya masih sukarela sehingga semua rumah potong hewan RPH tidak dapat dipaksa menerapkannya. 84 Oleh karena itu, hal ini perlu dikoreksi dengan menerapkan kewajiban menerapkan program higiene dan sanitasi di rumah potong hewan RPH agar peredaran penjualan daging sapi glonggongan di pasar tradisional tidak lagi ditemui. 84 http:www.rudyct.comPPS720-IPP091459145_10.Pdf, Jaminan Keamanan Daging Sapi Di Indonesia, hal 7-8 Universitas Sumatera Utara

BAB IV UPAYA PENANGGULANGAN PENJUALAN DAGING SAPI

GLONGGONGAN Menurut G.P.Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut; 1. Penerapan hukum pidana Criminal Law Application 2. Pencegahan tanpa pidana Prevention Without 3. Memenuhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media masaInfluencing Views Of Society On Crime And PunishmentMass Media 85 Pendapat senada juga disampaikan oleh Prof.dr.Muliadi,SH menyampaikan bahwa dalam usaha penanggulangan kejahatan, politik criminal membagi dalam beberapa bentuk. Bentuk pertama adalah bersifat represif yang menggunakan sarana penal, yang sering disebut sebagai system peradilan pidana Criminal Justice System. Dimana secara luas mencakup pula proses kriminalisasi yang ke dua berupa usaha-usaha prevention without punishment tanpa menggunakan sarana penal dan yang ke tiga adalah mendayagunakan usaha-usaha pembentukan opini masyarakat tentang kejahtan dan sosialisai hukum melalui media masa secara luas. 86 Pembagian G.P.Hoefnagels diatas, upaya-upaya yang disebut dalam butir b dan c dapat dimasukan ke dalam kelompok upaya non penal. Secara kasar dapat dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal, lebih 85 Barda Nawawi, Bunga Rampai kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: PT.Citra Aditya Baktii,1996, hal 48 86 Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Badan Penyelesaian Senketa Konsumen Bandung: Alumni,1992, hal 8 Universitas Sumatera Utara