Tinjauan Yuridis Terhadap Penjualan Daging Sapi Glonggongan Di Pasar Tradisional Dalam Aspek Hukum Pidana
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENJUALAN DAGING
SAPI GLONGGONGAN DI PASAR TRADISIONAL
DALAM ASPEK HUKUM PIDANA
SKRIPSI
Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
Widya Kasih Batubara
060200317
Departemen Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENJUALAN DAGING
SAPI GLONGGONGAN DI PASAR TRADISIONAL
DALAM ASPEK HUKUM PIDANA
SKRIPSI
Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
Widya Kasih Batubara
060200317
Departemen Hukum Pidana
Disetujui Oleh : Ketua Departemen
Nip. 1961070219890310 H. Abul Khair, SH.M.Hum
Pembimbing I Pembimbing II
M. Nuh, SH.M.Hum
NIP. 194808011980031003 NIP. 197503072002122002 Dr. Marlina, SH.M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim,Alhamdulillahi Robbil ‘alamin, puji dan syukur sudah sepantasnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang atas berkat dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelsaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini penulis susun sebagais alah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Shalawat dan salam juga tidak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhmmad SAW yang telah membawa umatnya dari alam kegelapan kea lam yang terang benderang. Skripsi ini berjudul “ TINJAUAN YURIDIS
TERHADAP PENJUALAN DAGING SAPI GLONGGONGAN DI PASAR TRADISIONAL DALAM ASPEK HUKUM PIDANA”.
Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan ilmu pengetahuan, terutama bagi penulis sendiri, walaupun penulis sadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan serta masukan dari bapak dan ibu dosen, oleh karena itu sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih yakni kepada :
1. Bapak Prof.Dr.Runtung, SH,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof.Dr.Suhaidi, SH,MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus Dosen Wali penulis selama masa perkuliahan.
(4)
3. Bapak Syafruddin Sulung, SH.MH.DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Bapak M. Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
5. Bapak M.Nuh, SH, M.Hum, selaku Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah memberi petunjuk dan bimbingan sehingga skripsi ini selesai.
6. Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberi petunjuk dan bimbingan sehingga skripsi ini selesai.
7. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, Sekretaris Departemen hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Ahmad.Nuh, S.E selaku Kepala Seksi Higiene Dinas Peternakan Kesehatan Hewan yang telah memberikan informasi seputar tugas dan fungsi dinas peternakan dan kesehatan hewan.
9. Dosen-dosen Pengajar dan Pegwai pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10.Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
11.Kepada orang tua Penulis yang tercinta yaitu my hero ayahanda H. Edi Efni Batubara dan My Angel Ibunda Hj. Kasmawati yang telah memberikan segalanya bagi penulis baik materil maupun moril sehingga penulis dapat melangkah sampai sejauh ini. Dimana Do’a dan dukungan
(5)
dari Mama & Papa selalu Aci butuhkan agar kelak dapat membahagiakan & membanggakan bagi Mama & Papa.
12.Buat kakak – kakak penulis Dr. Hilda Efni Batubara dan Indri Yuni Batubara SE yang sudah menjadi motifasi bagi Aci agar menjadi sorang sarjana yang dibanggakan Mama & Papa, serta buat Adik penulis Rahmat Hajian Syah Batubara.
13.Kepada My Boy Friend yaitu Andi Rahmadsyah yang selalu support & semangati dengan Motto “Misi Dulu Baru Gebrakan” serta kasih saying dan perhatiannya akan segala hal.
14.Buat sahabat-sahabat penulis yaitu Rendina Herdiyanti, Nova Sella Meilla, Estert Natalia Perangin-angin, Ivana Margaretha Rahel Tarigan, Margaretha Sitompul, Sri Isnaida, Putri Yowa Kusara, Aulya Rahman dan Reyvand. Semua kekurangan dan kelebihan kalian semualah yang suda mengajari penulis banyak hal terutama tentang arti penting menghargai perbedaan.
15.Buat teman-teman seperjuangan Grup B PRM & K Family yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.
16.Buat sahabat-sahabat tersholid yang sedari dulu yaitu Astri & Fitri yang kapanpun dimanapun selalu ada menjadi teman unuk berbagi kesedihan, keceriaan..
17.Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
(6)
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang memebangun demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan saya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Akhir kata penulis ucapkan terimaksih.
Medan, Februari 2010
Penulis,
(7)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAK ... viii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Keaslian Penulisan ... 7
E. Tinjauan Kepustakaan ... 7
1. Pengertian Daging Glonggongan ... 7
2. Ciri-Ciri Daging Glonggongan ... 9
3. Cara Pembuatan Daging Glonggongan ... 10
4. Sistem Beredarnya Daging Glonggongan ... 12
F. Metode Penelitian ... 14
G. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II : PERANAN DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN SEBAGAI PEJABAT PEGAWAI NEGRI SIPIL DALAM MENYELESAIKAN KASUS PENJUALAN DAGING SAPI GLONGGONGAN ... 20
A. Fungsi & Tugas dibentuknya Dinas Peternakan dan Kesehatan hewan di Indonesia ... 20
(8)
B. Tata Cara Peneyelesaian Kasus Penjualan Dagung Glonggongan Oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan sebagai Pejabat Pegawai Negri Sipil ... 24
C. Hubungan antara penyidik Pegawai Negeri Sipil dan penyidik Polri ... 32
BAB III : FAKTOR DAN DAMPAK DARI PENJUALAN DAGING GLONGGONGAN TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 36
A. Perlindungan Konsumen Terhadap Penjualan Daging Glonggongan ... 36
B. Faktor-Faktor Yang Mendorong Timbulnya Daging Sapi Glonggo ngan Di Pasar Tradisional ... 42
1. Rendahnya Pengetahuan Masyarakat Tentang Daging Sehat ... 42
2. Tindakan Curang/Kriminal Bermotif Ekonomi ... 43
3. Perubahan Tata Pemerintahan Dan Lemahnya Perangkat Hukum Dan Penegaknya ... 47
C. Dampak Penualan Daging Glonggongan Dimasyarakat ... 52
1. Terhadap Konsumen ... 52
2. Terhadap Pelaku Usaha / Produsen ... 67
(9)
BAB IV : UPAYA PENANGGULANGAN PENJUALAN DAGING
SAPI GLONGGONGAN ... 74
A. Upaya Penal ... 75
B. Upaya Non Penal ... 87
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 95
A. Kesimpulan ... 95
B. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA
(10)
ABSTRAK
WIDYA KASIH BATUBARA1 MUHAMMAD NUH, SH, M.HUM2
Dr. MARLINA, SH, M.HUM3
1
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
2
Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
3
Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada hakekatnya, penjualan daging sapi glonggongan merupakan perbuatan melawan hukum. Dalam perbuatan ini dikategorikan sebagai penipuan yang dapat merugikan konsumen baik dalam segi ekonomi maupun dalam segi kesehatan. Tentunya pelaku usaha dapat dikenai sanksi yang tegas dengan berdasarkan UU No.18 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan atau Pasal 204, 205 & 383 KUH Pidana tentang kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum manusia atau barang.
Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis-normatif) yaitu yang realisasinya didahului oleh penelitian lapangan yang dilakukan dan ditujukan kepada efektifitas hukum terhadap penjualan daging sapi glonggongan dalam aspek hukum pidana.
Adapun permasalahan yang dikemukakan adalah : bagaimana peranan dinas peternakan dan kesehatan hewan sebagai pejabat Pegawai Negeri Sipil dalam menyelesaikan kasus penjualan daging sapi glonggongan, faktor dampak dari penjualan daging glonggongan terkait dengan perlindungan konsumen serta upaya-upaya penanggulangan penjualan daging sapi glonggongan.
Dimana peranan Dinas peternakan dan Kesehatan Hewan sangat di perlukan dalam menaggulangi peredarana daging sapi glonggongan di masyarakat. Dikarenakan daging sapi glonggongan dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan merupakan daging yang tidak halal untuk dikonsumsi.
Terkait dengan masalah penjualan daging sapi glonggongan maka konsumen sebagai pihak yang sangat dirugikan dapat harus mendapatkan perlindungan konsumen sebab hal ini dapat menimbulkan dampak negative yang diakaibatkan oleh faktor-faktor pendukung seperti rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai daging sehat, tindakan kriminal bermotif ekonomi dan perubahan tata pemerintah serta lemahnya penegak hukum.
Agar konsumen tidak terus menerus menjadi korban atas penjualan daging sapi glonggongan di pasar tradisional maka ada dua upaya hukum yang dapat ditempuh yaitu melalui upaya penal seperti konsumen yang haknya telah dirugikan oleh pelaku usaha dapat mengajukan gugatan ke pengadilan umum. Serta dapat melalui upaya non penal berupa penyuluhan informasi yang akurat oleh instansi yang terkait, mengadakan razia yang rutin oleh instansi ternak, adanya ketegasan bertindak oleh penegak hukum, dan mengadakan pengawasan yang ketat pada rumah potong hewan.
(11)
ABSTRAK
WIDYA KASIH BATUBARA1 MUHAMMAD NUH, SH, M.HUM2
Dr. MARLINA, SH, M.HUM3
1
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
2
Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
3
Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada hakekatnya, penjualan daging sapi glonggongan merupakan perbuatan melawan hukum. Dalam perbuatan ini dikategorikan sebagai penipuan yang dapat merugikan konsumen baik dalam segi ekonomi maupun dalam segi kesehatan. Tentunya pelaku usaha dapat dikenai sanksi yang tegas dengan berdasarkan UU No.18 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan atau Pasal 204, 205 & 383 KUH Pidana tentang kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum manusia atau barang.
Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis-normatif) yaitu yang realisasinya didahului oleh penelitian lapangan yang dilakukan dan ditujukan kepada efektifitas hukum terhadap penjualan daging sapi glonggongan dalam aspek hukum pidana.
Adapun permasalahan yang dikemukakan adalah : bagaimana peranan dinas peternakan dan kesehatan hewan sebagai pejabat Pegawai Negeri Sipil dalam menyelesaikan kasus penjualan daging sapi glonggongan, faktor dampak dari penjualan daging glonggongan terkait dengan perlindungan konsumen serta upaya-upaya penanggulangan penjualan daging sapi glonggongan.
Dimana peranan Dinas peternakan dan Kesehatan Hewan sangat di perlukan dalam menaggulangi peredarana daging sapi glonggongan di masyarakat. Dikarenakan daging sapi glonggongan dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan merupakan daging yang tidak halal untuk dikonsumsi.
Terkait dengan masalah penjualan daging sapi glonggongan maka konsumen sebagai pihak yang sangat dirugikan dapat harus mendapatkan perlindungan konsumen sebab hal ini dapat menimbulkan dampak negative yang diakaibatkan oleh faktor-faktor pendukung seperti rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai daging sehat, tindakan kriminal bermotif ekonomi dan perubahan tata pemerintah serta lemahnya penegak hukum.
Agar konsumen tidak terus menerus menjadi korban atas penjualan daging sapi glonggongan di pasar tradisional maka ada dua upaya hukum yang dapat ditempuh yaitu melalui upaya penal seperti konsumen yang haknya telah dirugikan oleh pelaku usaha dapat mengajukan gugatan ke pengadilan umum. Serta dapat melalui upaya non penal berupa penyuluhan informasi yang akurat oleh instansi yang terkait, mengadakan razia yang rutin oleh instansi ternak, adanya ketegasan bertindak oleh penegak hukum, dan mengadakan pengawasan yang ketat pada rumah potong hewan.
(12)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan permintaan yang meningkat, maka wajar jika harga-harga kebutuhan pokok melonjak jauh, sebagai contoh di bulan Ramadhan terlihat sekali betapa konsumtifnya masyarakat kita. Terutama untuk membelanjakan bahan kebutuhan pokok (pangan). Kenyataan di lapangan walaupun harga kebutuhan pokok naik ternyata tidak mengurangi minat masyarakat untuk membeli. Meningktanya permintaan akan kebutuhan pokok terutama pangan terkadang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggungjawab untuk memperoleh keuntunngan dalam jumlah besar secara instan. Salah satunya adalah menjual bahan pangan asal hewan yang tidak sehat dan tidak aman. Hampir setiap Ramadhan datang kita dihadapkan pada temuan seperti penjualan daging sapi “glongongan”.
Maraknya peredaran daging glongongan di bulan Ramadhan, terlebih saat lebaran, bukanlah hal baru, selalu terjadi setiap tahun. Hal ini karena setiap Ramadhan, pedagang memanfaatkan kesempatan dikala harga daging melonjak naik. Di beberapa tempat, harga daging naik menjadi Rp. 60.000,-/kg bahkan ada yang mencapai Rp. 65.000,-/kg. kenaikan harga daging terjadi sebagai akibat dari meningkatnya permintaan daging sedangkan pasokan tidak bertambah. Menurut Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian, persediaan daging sapi defisit akibat permintaan daging yang melebihi kemampuan penyediaan yang hanya sebesar 54.585 ton. Di tengah tingginya harga daging, beberapa kalangan
(13)
menganggap keberadaan daging sapi glonggongan yang dijual murah, sebagai solusi.4
Tindakan tegas, itulah yang menjadi kata kunci dalam menghentikan peredaran daging sapi glonggongan. Semestinya, begitu ditemukan penjualan daging sapi glonggongan maka semua mata rantai penjualan barang haram itu harus dikenai sanksi. Tidak harus menunggu mereka melakukannya berulang kali, yang akan semakin merugikan konsumen. Karena posisis konsumen yang lemah Dari segi kesehatan, dapat dipastikan bila daging sapi glonggongan itu akan mengganggu kesehatan.Dikarenakan daging sapi glonggongan mudah membusuk karena telah terkontaminasi bakteri, yang bisa menyeBabkan aneka penyakit. Yang lebih mengkhawatirkan dari segi agama, karena Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengharamkan daging sapi glonggongan diperjual belikan dikarenakan keberadaan perdagangan ragam daging sapi glonggongan secara nyata membuka peluang bagi konsumen untuk mengkonsumsi makanan haram. Fatwa haram ini di dasari oleh adanya perlakuan salah terhadap sapi yang akan dijual. Untuk mendapatkan daging sapi glonggongan, maka sapi hidup yang akan di potong diberi minum sebanyak satu drum air atau sekitar 100 liter, yang disalurkan melalui selang kemulutnya. Tindakan ini dilakukan sampai sapi sudah tidak berdaya kemudian mati. Penyiksaan ini umumnya berlangsung selama enam jam. Setelah sapi mati baru dipotong. Penyiksaan ini bertujuan agar berat badan sapi bertambah, sehingga akan menambah keuntungan. Selain itu juga didasari oleh adanya unsur penipuan dalam penjualan.
4
hal 1
(14)
maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (Pengayoman) kepad masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.5
Apalagi saat ini sudah banyak Pemerintah Daerah yang mempunyai peraturan daerah (Perda) terkait perdagangan daging bermasalah. Kota Semarang misalnya mempunyai Perda No. 6/2007 tentang Kesehatan Hewan dan Kesehatan
Selain itu diperlukan kesediaan semua pihak untuk mencegah agar tidak membanjirnya daging sapi glonggongan didalam masyarakat. Ironinya, justru hal inilah yang belum dilakukan oleh aparat Pemerintah. Selama ini Pemerintah belum bertindak tegas terhadap para pedagang yang menjual daging sapi glonggongan. paling-paling hanya diberi teguran, penyuluhan dan pembinaan. Padahal, sudah ada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Pada Pasal 4(c) diungkapkan bila menjadi hak konsumen untuk mengetahui informasi kualitas produk secara jujur. Di Pasal 8 dan 9 diulas perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Bahkan di Pasal 62, dijelaskan bila pelaku usaha yang melanggar bisa dikenai pidana denda hingga 2 milyar rupiah serta sanksi pidana kurungan paling lama 5 tahun. Pemerintah juga bisa mengacu pada Undang-undang No.6 Tahun 1967 tentang pokok kesehatan. Yang pasti, pada pelaku perdagangan daging bermasalah bisa dikenakan Pasal-Pasal pidana yang diatur dalam Kitab Hukum Undang-undang Pidana (KUHP), khususnya dengan Pasal pidana penipuan.
5
AZ. Nasution, Tujuan dan Hukum: Tinjauan social, Ekonomi dan Hukum pada
(15)
Veteriner. Di Peraturan daerah tersebut pedagang daging bermasalah diancam hukuman denda maksimal Rp. 5.000.000,- dan penjara selama lima tahun. Di Kab. Bantul ada Perda No.9 tahun 2000. Langkah tegas Pemerintah harus di ikuti dengan kemauan untuk melakukan koordinasi antar kota/kabupaten, karena bisa jadi daging bermasalah tersebut berasal dari luar daerahnya. Koordinasi juga harus dilakukan antara aparat Kepolisian, Dinas Perdagangan, Dinas Peternakan, Dinas Kesehatan, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemerintah harus sering mengadakan pengawasan secara rutin, tidak hanya menjelang dan saat bulan Ramadhan. Juga tidak harus menunggu adanya pengaduan dari masyarakat.
Ditambah lagi pengawasan harus dimulai dari Rumah Pemotongan Hewan (RUMAH POTONG HEWAN (RPH)) baik yang dikelola pemeritah maupun swasta hingga ke pedagang di pasar. Selain itu, pemerintah harus gencar menyosialisasikan kepada konsumen akan ciri-ciri dari daging bermasalah, baik di media massa maupun dengan menempelkan selebaran di pasar-pasar. Konsumen juga harus hati-hati dan jeli saat membeli daging. Dikarenakan daging glongongan yang beredar di masyarakat pada saat ini sangat banyak dan sangat sulit untuk dibedakan dengan daging aslinya baik dari segi aroma, warna, maupun bentuk seratnya selain itu partisipasi masyarakat juga sangat diperlukan apabila mengetahui ada pedagang yang menjual daging dibawah harga normal, patut diduga telah menjual daging sapi glonggongan, sehingga harus segera dilaporkan kepihak berwenang.6
6
(16)
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah peranan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai Pejabat pegawai negri sipil dalam menyelesaikan kasus penjualan daging sapi glonggongan ?
2. Apakah yang menjadi Faktor dan dampak dari penjualan daging sapi glonggongan terkait dengan perlindungan konsumem?
3. Bagaimanakah upaya penanggulangan penjulan daging sapi glonggongan di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian dari skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejauh mana peranan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai Pejabat pegawai negri sipil dalam menyelesaikan kasus penjualan daging sapi glonggongan
2. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi Faktor dan dampak dari penjualan daging sapi glonggongan terkait dengan perlindungan konsumem
3. Untuk mengetahui bagaimanakah upaya penanggulangan penjulan daging sapi glonggongan di Indonesia
(17)
2.Manfaat Penelitian
Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana dikemukakan di atas, maka penelitian skripsi ini juga bermanfaat untuk :
1. Manfaat Secara Teoritis
Dapat memberikan informasi, baik kepada kalangan akademis maupun kalangan masyarakat terutama di wilayah hukum kotamadya Medan tentang hal-hal yang berhubungan dengan daging sapi glonggongan, mulai dari peranan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai pejabat pegawai negri sipil dalam menyelesaikan kasus penjualan daging sapi glonggongan, faktor dan dampak dari penjualan daging sapi glonggongan terkait dengan perlindungan konsumen serta upaya penanggulangan penjualan daging sapi glonggongan.
2. Manfaat Secara Praktis
Sebagai pedoman dalam membantu para penegak hukum untuk melakukan pemberantasan penjualan daging sapi glonggongan, agar masyarakat termasuk di kotamadya Medan menjadi lebih sadar untuk melaporkan apabila menemukan penjualan daging sapi glonggongan serta agar dapat meningkatkan kerja sama antara pihak Kepolisian dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam rangka mengupayakan penegakan hukum terhadap penjualan daging sapi glonggongan di pasar tradisional.
(18)
D.Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Penjualan Daging Sapi Glonggongan di Pasar Tradisional Dalam Aspek Huku m Pidana“ adalah berdasarkan hasil buah pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini belum ada yang membuatnya, jikalau memang ada, penulis yakin sudut pembahasannya pasti berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
E.Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Daging Sapi Glonggongan
Di Indonesia, bulan Ramadhan dikaitkan dengan kesempatan pemenuhan kebutuhan pangan yang lebih istimewa. Setiap sahur dan berbuka biasanya tersedia makanan dan minuman yang khusus, bukan yang biasa dinikmati sehari-hari. Konsumsi daging sapi demikian juga, apalagi masakan dari sapi seperti rendang dapat disimpan dan tahan lama, namun sayangnya daging sapi tidaklah murah. Sejak tahun 1999, disaat bulan puasa dan hari raya tatkala permintaan daging sapi sangat meningkat, biasanya akan muncul akal-akalan dari para pedagang daging untuk meraih keuntungan yang lebih besar. Kasus ini kembali muncul belakangan ini terutama di pasar tradisional. Para pembeli biasanya tidak jeli dan teliti mengamati mutu daging sapi yang dibelilnya, contohnya di Bekasi, Yogyakarta, Bogor dan beberapa pasar tradisional di berbagai daerah terungkap penipuan daging sapi glonggongan mulanya berasal dari Boyolali, Jawa Tengah.
(19)
Adapun pengertian dari daging sapi glonggongan itu sendiri yaitu merupakan upaya paksa pemberian minum kepada sapi sebelum di potong dengan memberikan minum sebanyak-banyaknya sehingga berat badan sapi menjadi membengkak dan otomatis bobot sapi bertambah secara drastis. Jika bobot daging meningkat, maka perolehan keuntungan produsen dapat menjadi tinggi. Mengamati hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsumenlah yang dirugikan. Bobot daging yang perlahan tetapi pasti akan menyusut bobotnya selang beberapa jam kemudian karena airnya keluar. Konsumen juga ditipu, karena mereka mendapatkan daging yang bobotnya tidak sesuai dengan harga sebagaimana mestinya.
Konsumen juga sering dihadapkan pada posisi yang lemah yang diseBabkan kuatnya posisi produsen (pelaku usaha).Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa lemahnya posisi konsumen diseBabkan kuatnya posisi produsen (pelaku usaha). Konsumen hanya menerima dan menikmati produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Pada umumnya, konsumen adalah masyarakat berekonomi lemah dan tidak memiliki banyak pilihan kecuali hanya menikmati barang/jasa yang diproduksi pelaku usaha. Sementara itu, pelaku usaha lebih tahu persis keadaan, kondisi dan kualitas barang yang dihasilkan. Dan, pelaku usaha memiliki keleluasaan untuk menentukan segala macam kepentingannya. Konsumen terbatas jangkauan pengetahuannya atas informasi tentang sifat dan mutu barang-barang kebutuhan yang diperlukan.7
7
(20)
Padahal, konsumen sangat bergantung pada informasi yang diberikan pelaku usaha. Dengan tidak adanya informasi yang memadai, konsumen pada akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menerima dan sebagai objek yang pasif.
2. Ciri-Ciri Daging sapi glonggongan
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditenggarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar pelaku usaha.8
a. Warnanya pucat (daging yang masih baik berwarna merah terang dan lemaknya berwarnga kekuningan)
Namun dalam prakteknya sering kali konsumen sebagai pemakai barang dan jasa dirugikan oleh perilaku pelaku usaha yang nakal. Karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran konsumen akan hak-haknya yang mengakibatkan konsumen menjadi korban pelaku yang culas terutama bagi ibu rumah tangga yang belum paham benar ciri-ciri daging sapi glonggongan ketika berbelanja di pasar tradisional.
Adapun ciri-ciri daging sapi glonggongan tersebut yaitu :
b. Kandungan air sangat tinggi /lebih berair/lembek
8
(21)
c. Kondisinya agak rapuh sehingga tidak bisa dijadikan sebagai produk olahan seperti bakso
d. Biasanya harganya lebih murah9
Oleh karena itu diperlukan bantuan dari pemerintah, media cetak serta media elektronik untuk mensosialisasikan tentang ciri-ciri, dampak negatif, bahayanya maupun memberikan tips – tips tertentu agar pembeli tidak terkecoh dalam membeli daging sapi yang sehat.
Adapun Tips untuk membedakan daging sapi glonggongan dengan daging sapi yang bukan daging sapi glonggongan :
1. Pilih daging yang berwarna merah (merah maroon) jangan yang berwarna pucat, jika berwarna pucat ada kemungkinan daging sapi glonggongan atau daging yang sudah lama
2. Pilih daging yang tidak basah /kering
3. Jangan pilih daging yang selalu mengeluarkan air, dengan pengujiannya digantung seandainya terus meneteskan air berarti daging tersebut daging sapi glonggongan
4. Sebaiknya jangan memilih daging yang diletakkan di bawah atau tidak digantung ada kemungkinan pedagang melakukan hal begitu karena kita tidak mengetahui daging tersebut meneteskan air.
5. Untuk jeroan seperti paru, hati, coba kita cubit atau robek seandainya mudah koyak berarti jeroan tersebut di tambah air atau jeroan yang sudah kadaluarsa.10
3. Cara Pembuatan Daging sapi glonggongan
Proses pembuatan daging sapi glonggongan diawali dengan menggelontorkan air (bahasa Jawa: nggelonggong) sebanyak-banyaknya ke mulut sapi yang hendak disembelih, yang mana moncong sapi diberi corong dari bambu atau selang dan diikat kuat kemudian kaki sapi diangkat lebih tinggi dari belakang
9
glonggongan, hal 1
10
hal 2
(22)
setelah dicekokin air sapi didiamkan selama 6 jam. Pedagang biasanya menggunakan mesin bertekanan besar sejenis jet-pump. Tujuannya agar lambung dan seluruh sistem pencernaan sapi benar-benar penuh dengan air. Perlakuan itu membuat tubuh sapi kelihatan lebih gemuk karena daging sapi telah menyerap air cukup banyak. Setelah sapi lemas, barulah disembelih. Hasilnya, daging sapi lebih berat ketimbang daging sapi dipotong normal karena daging telah menyerap air. Perbandingannnya, satu kilogram daging sapi glonggongan setara dengan tujuh ons daging normal. Dengan cara di-glonggong seperti ini, terjadi serapan air secara tidak wajar ke dalam sel daging sehingga dapat merusak kadar protein dan zat lain dalam daging. Akibatnya, kualitas daging jadi buruk dan mudah terjadi pembusukan 11
Dimana daging yang sehat merupakan daging yang diperoleh dari lemak yang disembelih dengan prosedur yang benar. Oleh karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim maka tukang jagalnya juga harus muslim, sehingga daging yang beredar di masyarakat merupakan daging yang halal. Pada saat pemotongan pisau yang digunakan harus tajam dan pemotongan dilakukan pada jalan nafas dan makanan tanpa mengangakat pisau. Sapi yang dipotong harus sehat, tidak stress dan tenang. Pada saat akan dipotong, kaki sapi diikatkan Seperti yang kita ketahui bahwasanya penduduk Indonesia adalah mayoritas muslim, oleh karena itu peredaran daging sapi glonggongan di Indonesia diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dikarenakan daging tidak memenuhi syarat kesehatan
(23)
kemudian dirobohkan sedangkan sapi-sapi yang diglonggongan dapat mengalami stress dan mengeluarkan hormon adrenalin. Daging yang sehat akan menyelamatkan generasi bangsa. Telitilah sebelum memebeli daging, karena dengan kewaspadaan pembeli, maka akan mengurangi peredaran daging sapi glonggongan.
4. Sistem Beredarnya Daging Sapi Glonggongan
Adapun Yang dimaksud dengan pemotongan sapi adalah alur proses untuk memproduksi daging sapi yang aman, sehat, umum dan halal. Dalam prosedur standar oprasional pemotongan sapi Kondisi aman dan sehat dapat dilakukan dengan cara selalu memeriksa kesehatan sapi pada awal proses pemotongan (ante mortem) dan pada akhir pemotongan (post mortem). Pemeriksaaan sapi hidup sebelum dipotong difokuskan pada penyakit-penyakit menular. Sedangkan pemeriksaan kesehatan daging sapi diarahkan pada infestatsi parasit dan kelainan patologis yang membahayakan kesehatan atau yang menyeBabkan daging sapi tidak layak lagi dikonsumsi
Sedangkan halal, merupakan persyaratan penting yang dilakukan dengan cara memotong sapi dengan disertai doa dan prosedur yang sesuai dengan ketentuan agama Islam serta disembelih oleh seorang muslim. Untuk menunjang maksud tersebut, proses pemotongan hewan besar seperti sapi dan kerbau harus dilakukan melalui prosedur dan tahap-tahap proses baku (standar). Standar dan prosedur operasi (S.O.P) pemotongan sapi yang telah ditetapkan pemerintah adalah sebagai berikut :
(24)
a. Mewajibkan hewan besar seperti sapi dan kerabau dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH))
b. Pemeriksaan sebelum proses penyembelihan (ante mortem) oleh petugas yang berkepentingan
c. Sapi dimasukkan ke ruang pemotongan yang telah memenuhi persyaratan higienis dan sanitasi
d. Sesuai standar halal, sapi direbahkan mengarah kiblat
e. Sapi dibersihkan dari segala kotoran yang melekat di badannya f. Dilakukan proses pemotongan
g. Didiamkan beberapa saat hingga darah betul-betul tiris/habis, kemudian daging dimatangkan (aging) dengan cara menyimpannya pada suhu kamar selama 5-7 hari. Hal ini dilakukan karena setelah proses pemotongan karkas (dagingnya) akan mengalami rigor mortis, yaitu pengerasan dan pengkakukan daging akibat terjadinya kekejangan (kontraksi) urat daging. Daging demikian jika dimasak akan menghasilkan hidangan daging yang keras dimakan. Penyimpanan karkas, disamping untuk pematangan daging juga bertujuan untuk persediaan bahan mentah (stock) dan untuk menunggu angkutan atau pemasaran.
h. Proses pemisahan kepala dari badan i. Proses pengulitan
j. Pemeriksaan kesehatan daging
k. Pemisahan daging, organ dalam, jeroan di ruang yang sudah ditentukan l. Pemeriksaan post mortem oleh petugas keur master, jika produk daging
dinyatakan sehat dengan stempel khusus, boleh dipasarkan dan didistribusikan 12
Akan tetapi bila dilihat dari prosedur standar operasional pemotongan sapi di atas tentunya sapi glonggongan jauh dari kualitas daging sapi yang aman, sehat, umum dan halal. Hal ini dikarenakan, daging sapi glonggongan itu sendiri merujuk pada daging dari sapi yang diberi gelontoran (dalam bahasa Jawa, glonggongan berarti gelontoran) air sampai over dosis. Jadi sapi sebelum disembelih, diberi air secara paksa. Caranya, moncong sapi diberi corong bambu atau selang dan diikat kuat. Biar air masuk penuh, kaki sapi di angkat lebih tinggi dari kaki belakang. Proses ini menghasilkan sapi bertambah tambun. Setelah
12
(25)
dicekokin air, sapi didiamkan selama 6 jam lalu dipotong. Tiap kilogram daging akan meningkat beratnya sampai 3 ons dari berat normalnya.
Kemudian daging dilempar ke pasar dengan harga dibawah harga normal. Padahal kalau dihitung secara cermat, konsumen yang beli daging sapi glonggongan amat dirugikan. Karena daging yang telah dibeli setelah dimasak akan menyusut sebanyak 50 persen. Artinya separuhnya lagi, konsumen seperti beli air. Soal gizinya juga dipastikan berkurang banyak. Daging sapi glonggongan bergizi rendah karena protein, lemak, vitamin dan mineral turun hingga 23,3 persen. Selain itu kualitas daging turun kelas, pucat, cepat busuk dan lembek. Karena itu para pedagang nakal, tak akan berani menggantung daging sapi glonggongan jualannya. Pasti akan ditaruh di wadah seperti baskom. Biasanya mereka berkilah, daging ini berasal dari jenis sapi anu yang kualitas harganya lebih murah misalnya dari sapi unggulan itu. Pokoknya banyak ragam kilah tipu-tipu mereka, biar pembeli terpikat.13
1. Spesifikasi Penelitian
F..Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini :
Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi penelitian hukum normatif dan penelitian hukum soiologis. Adapun penelitian hukum yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis-normatif) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang
13
http:acenlemon.wordpress.com/2009/09/09/daging-sapi-glonggongan-marak-pada-saat-lebaran, daging sapi glonggongan marak pada saat http:acenlemon.wordpress.com/2009/09/09/daging-sapi-glonggongan-marak-pada-saat-lebaran, hal 3
(26)
merupakan data sekunder dan disebut juga penelitian hukum kepustakaan.14
a. Penelitian inventarisasi hukum positif
Penelitian hukum normatif dapat dibedakan dalam :
b. Penelitian terhadap asas-asas hukum
c. Penelitian yng menemukan hukum inconcreto d. Penelitian sistemik hukum
e. Penelitian taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal15
Jika dilihat dari 5 macam penelitian hukum normatif di atas maka penelitian hukum yang digunakan termasuk kedalam penelitian untuk menemukan hukum inconcreto yaitu merupakan usaha untuk menemukan apakah hukumnya yang sesuai untuk diterapkan (inconcreto) guna menyelesaikan suatu perkara tertentu dan dimanakah bunyi peraturan hukum itu dapat diketemukan.16
2. Jenis Data Dan Sumber Data
Oleh karena itu realisasinya didului oleh penelitian lapangan yang dilakukan dan ditunjukkan kepada efektivitas hukum terhadap penjualan daging sapi glonggongan.
Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang didukung data primer. Data sekunder diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya.
14
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Dan Juri Metri, Jakarta; Ghalia, hal 9
15
Ibid, hal12
16
(27)
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana perpajakan, majalah-majalah, karya ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain.
Data primer diperoleh dari wawancara dengan Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, konsumen serta penjual daging sapi glonggongan di pasar tradisional.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Metode Library (Penelitian Kepustakaan ) yakni penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Data sekunder yang digunakan bersumber dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yaitu seperti buku, artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, serta peraturan perundang-undangan serta ensiklopedia.
b. Metode Field Research (Penelitian Lapangan) yaitu suatu pengumplan data dengan cara terjun kelapangan guna memperoleh data-data yang diperlukan dan data-data yang diperoleh itu disebut dengan data primer. Penelitian lapangaan dilakukan dengan wawancara terhadap berbagai nara sumber yaitu dengan beberapa konsumen dan produsen di pasar tradisional
(28)
serta dengan Kepala Higien Sanitasi di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.
4. Analisis Data
Sesuai dengan sifat penelitian maka analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan cara mempelajari dan memahami semua data yang ada. Selanjutnya dianalisis dnegan menafsirkan metode induktif dan deduktif, sehingga dapat ditarik kesimpulan dalam rangka menjawab permasalahan skripsi ini.17
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan Bab, dimana masing-masing Bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan satu dengan lainnya secara sistematis,menetapkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 5 (lima) Bab yang terperinci sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan Bab yang memberikan penjelasan tentang latar belakang, memuat tentang permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan serta sitematika penulisan.
17
Soerjono Soekanto, Penghantar Penelitian Analisa Kualitatif Hukum, Jakarta : Universitas Indoneisa, 1986, hal 249.
(29)
BAB II PERANAN DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN SEBAGAI PEJABAT PEGAWAI NEGRI SIPIL DALAM MENYELESAIKAN KASUS PENJUALAN DAGING SAPI GLONGGONGAN DIPASAR TRADISIONAL
Bab ini menjelaskan tentang pembahasan permasalahan penegakan hukum pidana yang mencakup fungsi dibentuknya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan di Indonesia dalam menyelesaikan kasus penjualan daging sapi glonggongan di pasar tradisional sampai dengan kedudukan, tugas pokok Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan yaitu melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang peternakan dan kesehatan hewan
BAB III FAKTOR DAN DAMPAK DARI PENJUALAN DAGING SAPI GLONGGONAN TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Bab ini menjelaskan tentang faktor dan dampak dari penjualan daging sapi glonggongan serta bagaimana perlindungan konsumen terhadap penjualan daging sapi glonggongan di pasar tradisional dimana dalam hal ini Undang-undang perlindungan konsumen saja tidak cukup akan tetapi bantuan dari hukum pidana sangat di perlukan dalam usaha perlindungan konsumen terhadap penjualan daging sapi glonggongan agar pelaku usaha yang berbuat curang dapat jerah.
BAB IV UPAYA PENANGGULANGAN PENJUALAN DAGING SAPI GLONGGONGAN
Bab ini menjelaskan tentang upaya-upaya yang akan dilakukan dalam menanggulangi penjualan daging sapi glonggongan yang
(30)
semakin menjamur terutama di pasar tradisional, dimana dalam hal ini tentunya diperlukan kerjasama dan koordinasi yang baik antara aparat Kepolisian, dinas perdagangan., Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, departemen Agama dan MUI. Pemerintah juga harus melakukan pengawasan secara rutin tidak hanya menjelang Bulan Ramadhan atau hari –hari besar keagamaan terlebih pemerintah harusnya tidak bertindak pasif dengan menunggu pengaduan masyarakat.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan perumusan kesimpulan dari pembahasan yang dijabarkan pada Bab sebelumnya sekaligus sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diajukan pada penulisan ini. Termasuk saran dari penulis untuk masalah yang ada dimasyarakat yang diharapkan dapat berguna dalam kehidupan nyata.
(31)
BAB II
PERANAN DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN SEBAGAI PEJABAT PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM
MENYELESAIKAN KASUS PENJUALAN DAGING SAPI GLONGONGAN
A. Fungsi Dan Tugas Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya hewan dan tumbuhan, sebagai anugerah sekaligus amanah Tuhan Yang Maha Esa. Kekayaan tersebut perlu dimanfaatkan dan dilestarikan dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangka penyelenggaraan dan pelestarian keanekaragaman hayati tersebut dapat diselenggarakan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan secara sendiri maupun terintegrasi dengan budi daya tanaman pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan. dengan pendekatan agrobisnis peternakan dan system kesehatan hewan. serta penerapan asas kemanfaatan dan keberlanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan keadilan, keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan, dan keprofesionalan.
Kedua hal tersebut harus diselenggarakan secara sinergis untuk melindungi dan meningkatkan kualitas sember daya hewan yaitu dengan cara menyediakan pangan yang aman, sehat, utuh dan halal dengan cara meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, hewan, dan lingkungan. Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peternakan perlu dikembangkan wawasan dan paradigma baru dibidang peternakan agar investasi, inovasi, dan pemberdayaan di bidang
(32)
peternakan terus berlanjut dan meningkat sehingga meningkatkan daya saing bangsa dan kesetaraan dengan bangsa lain yang lebih maju.
Serta untuk mencapai tujuan penyelenggaraan kesehatan hewan dikembangkan wawasan dan paradigma baru di bidang kesehatan dengan maksud untuk mempertahankan status kesehatan hewan nasional, melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman penyakit dan/atau gangguan kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan ekosistemnya. serta memberikan jaminan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kebijakan penyelenggaraan peternakan dititikberatkan pada aspek sosial ekonomi, sedangkan penyelenggaraan kesehatan hewan pengutamakan aspek keamanan terhadap ancaman penyakit serta upaya menghindari risiko yang dapat mengganggu kesehatan, baik pada manusia, hewan, tumbuhan, maupun lingkungan.18
1. Kepala Dinas Peternakan :
Terkait dengan hal tersebut, tentunya diperlukan suatu instansi yang ahli dibidangnya, khususnya dibidang peternakan dan kesehatan hewan seperti diperlukannya keikutsertaan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam mengelolah sumber daya hewan secara bermartabat dan bertanggungjawab dan berkelanjutan agar terciptanya kesejahteraan rakyat.
Adapun tugas pokok dan fungsi dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah :
Membantu Gubernur dalam melaksanakan Tugas Otonomi, Tugas Pembantuan serta Tugas Dekonsentrasi di bidang Peternakan.
18
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Penjelasan Umum
(33)
2. Wakil Kepala Dinas Peternakan :
Membantu Kepala Dinas dalam melaksanakan Desentralisasi, Tugas Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dibidang Peternakan 3. Kepala Bagian Tata Usaha :
Membantu Kepala Dinas di bidang umum, keuangan, kepegawaian organisasi dan hukum.
Untuk melaksanakan Tugas dan Fungsi dibantu oleh. a. Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian b. Kepala Sub Bagian Keuangan
c. Kepala Sub Bagian Organisasi dan Hukum 4. Kepala Sub Dinas Bina Program :
Membantu Kepala Dinas dalam Penyusunan Program dan Pelaporan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dibantu oleh : a. Kepala Seksi Statistik dan Penyusunan Program.
b. Kepala seksi Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan 5. Kepala Sub Dinas Bina Budi Daya :
Membantu Kepala Dinas dalam melaksanakan sebagian tugas Dinas dibidang Pembibitan, Pakan Ternak dan pengembangan Peternakan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dibantu oleh. a. Kepala Seksi Pembibitan
b. Kepala Seksi Pakan Ternak
c. Kepala Seksi Pengembangan Peternakan 6. Kepala Sub Dinas Bina Kesehatan Hewan :
Membantu Kepala Dinas melaksanakan sebagian tugas Dinas dibidang kesehatan veteruner pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan serta pengawasan obat hewan. Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dibantu oleh :
a. Kepala Seksi Kesehatan Veteruner
b. Kepala Seksi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan c. Kepala Seksi Pengawasan Obat Hewan
7. Kepala Sub Dinas Agrobisnis dan Agroindustri :
Membantu Kepala Dinas melaksanakan sebagai tugas Dinas dibidang pelayanan usaha, penyuluhan dan latihan serta pemasaran dan paska panen.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dibantu oleh : a. Kepala Seksi Pelayanan Usaha
b. Kepala Seksi Penyuluhan dan Latihan c. Kepala Seksi Pemasaran dan Pasca Panen
(34)
8. Unit Pelaksana Teknis Dinas Peternakan :
Adalah unsur Pelaksana Dinas, dipimpin oleh kepala balai yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas melalui Wakil Kepala Dinas.
Unit Pelaksana Teknis Peternakan terdiri dari :
A. Balai Inseminasi Buatan dipimpin oleh Kepala Unit Pelaksana Teknik Inseminasi Buatan, mempunyai tugas membantu Kepala dinas dalam melakukan penelitian dan pengujian, pengembangan dan produksi Inseminasi Buatan.
Untuk Melaksanakan tugas dan Fungsinya dibantu oleh : 1. Kepala Sub Bagian Tata Usaha
2. Kepala Seksi Penelitian dan Pengujian 3. Kepala Seksi Pengembangan dan Produksi 4. Kepala Seksi Sarana Produksi
B. Balai Kesehatan Hewan dan Masyarakat Voluntier dipimpin oleh Kepala Balai, mempunyai tugas membantu Kepala dinas dalam Melakukan pemeliharaan Kesehatan hewan, penolakan penyakit hewan dan pemberdayaan masyarakat Voluntier.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dibantu oleh : 1. Kepala Sub Bagian Tata Usaha
2. Kepala Seksi Produksi Pangan Hewani 3. Kepala seksi Masyarakat Voluntier
4. Kepala Seksi Higiene, Sanitasi dan Perlindungan19
Jika ditarik kesimpulan dari tugas pokok dan fungsi dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan diatas maka dapat disimpulkan bahwa dinas peternakan dan kesehatan hewan mempunyai tugas pokok dalam melaksanakan urusan pemerintahan di daerah dibidang peternakan dan kesehatan hewan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembentukan . Sedangkan fungsi dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sendiri yaitu :
a. Perumusan kebijakan teknis di bidang peternakan dan kesehatan hewan sesuai dengan rencana strategis yang ditetapkan pemerintah daerah. b. Perencanaan, pembinaan dan pengendalian kebijakan teknis dibidang
peternakan dan kesehatan hewan.
19
http;www.dinas.sumutprov.go.id/tupoksi.php, Dinas Peternakan Provinsi Sumatera
(35)
c. Perumusan, perencanaan, pembinaan, dan pengendalian kebijakan teknis perbibitan dan budidaya peternakan.
d. Perumusan, perencanaan, pembinaan, dan pengendalian kebijakan teknis pengembangan kawasan dan usaha peternakan.
e. Perumusan, perencanaan, pembinaan, dan pengendalian kebijakan teknis keehatan hewan.
f. Perumusan, perencanaan, pembinaan, dan pengendalian kebijakan teknis pasca panen dan kesehatan masyarakat veteriner.
g. Penyelenggaraan urusan kesekretariatan h. Pelaksanan unit pelaksana teknis dinas. i. Pembinanaan kelompok jabatan fungsional.
j. Pelaksanan tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan bidang tugasnya.20
B. Tata Cara Penyelesaian Kasus Penjualan Daging Sapi Glonggongan Oleh Dinas Peternakan & Kesehatan Hewan Sebagai Pejabat Pegawai Negeri Sipil
Jika dikaitkan dalam hukum pidana maka para pelaku usaha daging sapi glonggongan dapat dikenakan oleh beberapa pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen walaupun didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak disebutkan kata konsumen kendati demikian, secar implisit dapat ditarik beberapa pasal yaitu;
1. Pasal 204 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwasannya “barang siapa menjual, menawarkan, menerimakan atau membagi-bagikan barang, sedang diketahuinya bahwa barang itu berbahaya bagi jiwa atau kesehatan orang dan sifat yang berbahaya itu didiamkannya dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Terkait dengan rumusan Pasal 204 maka Pasal 204 terdapat unsur subjektif dan unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur yang pada
20
http//www.disnakeswan/lampung.go.id/index.php?option=com_content&task=section& id=198&itemed=134, fungsi Dinas peternakan, hal 1
(36)
umumnya dapat terdiri atas suatu perbuatan atau suatu akibat sedangkan unsur subjektif adalah unsur yang terdiri atas suatu kehendak atau tujuan yang terdapat di dalam jiwa pelaku, unsur dirumuskan dengan istilah sengaja, niat dan maksud.21
a. Unsur Objektif
Adapun unsur objektif dan subjektif yang terdapat dalam pasal 204 yaitu :
1. barang siapa
2. menjual, menawarkan, menerimakan atau membagi-bagikan 3. barang berbahaya bagi jiwa atau kesehatan orang
b. Unsur Subjektif 1. dengan sengaja
2. dengan melawan hukum
Jika dilihat dari unsur objektif maka yang dimaksud dengan kalimat “barang siapa” yaitu seseorang yang menjualkan, menawarkan, atau membagi-bagikan suatu barang kepada orang lain atau seseorang yang biasanya dikenal dengan sebutan pedagang (produsen).
Sedangkan ia mengetahui bahwa barang-barang itu berbahaya bagi jiwa atau kesehatan akan tetapi ia tidak mengatakan (menjelaskan) tentang sifat berbahaya dari barang-barang tersebut. Akan tetapi apabila ia mengatakan dengan terusterang pada pembeli tentang sifat berbahaya itu maka ia tidak dikenai sanksi yang terdapat dalam pasal ini dalam arti jika si pelaku usaha
21
Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Bandung : PT. Citra Aditiya Bakti, hal 2
(37)
memberikaninformasi terlebih dahulu akan dampak negative terhadap jiwa atau kesehatan jika menggunakan atau mengkonsumsi barang tersebut. 22
Sedangkan untuk unsur subjektifnya terdapat unsur- unsur kesengajaan (dolus) yaitu menurut teori kehendak (wilstheorie) bahwa akibat teori perbuatan dikehendaki dan ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu. Sedangkan menurut teori membayangkan kesengajaan merupakan bantahan terhadap teori kehendak. Manusia tidak mungkin menghendaki suatu akibat. Ia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. 23
2. Pasal 205 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu “Barang Siapa karena salahnya menyeBabkan barang yang berbahaya bagi jiwa atau kesehatan orang, terjual, diterimakan atau dibagi-bagikan, sedang si pembeli atau yang memperoleh tidak mengetahui akan sifatnya yang berbahaya itu, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-
Akan tetapi, jika dilihat dari ketiga jenis kesengaja maka kesengajan yang terdapat dalam pasal 204 KUHP ini termasuk kedalam sengaja sebagai maksud seBab ia mengetahui bahwasanya barang yang ditawarkannya atau dibagi-bagikannya merupakan barang yang dapat membahayakan bagi jiwa atau kesehatan orang lain akan tetapi sifat berbahaya itu tidak diberitahukannya kepada si pembeli.
22
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penjelasan pasal 204
23
(38)
Terkait dengan rumusan pasal 205 maka terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a. Unsur Objektif 1. barang siapa
2. menyeBabkan barang yang berbahaya bagi jiwa atau kesehatan orang terjual, atau diterimakan
3. sedangkan si pembeli tidak mengetahui akan sifatnya yang berbahaya itu.
b. Unsur Subjektif
1. karena kesalahannya
Jika dilihat dari unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 205 maka isi penjelasan unsur tersebut yaitu seseorang (produsen) menyeBabkan barang yang berbahaya bagi jiwa atau kesehatan orang terjual sedangkan si pembeli tidak mengetahui bahwasanya barang yang dibelinya tersebut membahayakan jiwa atau kesehatannya. Oleh karena itu perbuatan ini termasuk kesalahan karena kelalaian (culpa). 24
3. Pasal 383 ayat (1) dan (2) KUHP yaitu : dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan dihukum penjual yang menipu pembeli. 1e. Dengan sengaja menyerahkan barang lain dari pada yang telah ditunjuk
oleh pembeli.
24
(39)
2e. Tentang keadaan, sifat atau banyaknya barang yang diserahkan itu dengan memakai akal dan tipu muslihat.
Terkait dengan rumusan pasal 383 KUHP, terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
1. Penjual 2. Menipu 3. Pembeli 4. Dengan cara
Kesatu : a. penjual menyerahkan barang lain pada barang yang ditunjuk oleh pembeli
b. dengan cara
Kedua : a. penjual mempergunakan tipu muslihat terhadap b. sifat
c. keadaan d. jumlah e. barang
Perbuatan kesatu pada umumnya terjadi pada barang-barang dalam jumlah besar dan berlebih dalam mutu daripada barang. Sedangkan perbuatan kedua banyak terjadi di warung-warung atau toko-toko penjual banrang makanan untuk keperluan rumah tangga sehari-hari. Tipu muslihat yang dipergunakan merupakan pemanfaatan sifat kelicikan dari penjual terhadap kekurangwaspadaan si pembeli.25
25
Moch Anwar, Op.cit, hal 51
(40)
Adanya kesengajaan disini berupa sebagai maksud (Opzet Als Oogmerk), disamping harus ditujuka pad perbuatannya juga harus ditujukan pada akibatnya. Adapun akibat atas perbuatan tersebut yaitu dapat merugukan sipembeli dikarenakan menyerahkan barang lain dari pada yang telah tunjuk si pembeli ataupun menyerahkan barang tersebut dalm keadaan yang tidak sesuai dengan mutu, bobot, atau banyaknya barang yang diserahkan.
Adapun isi dari 3 Pasal diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam pembuatan dan penjualan daging sapi glonggongan tentunya sangat bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 204 ayat (1), Pasal 205 ayat (1) dan Pasal 383 ayat (1) dan (2). Dikarenakan daging sapi glonggongan merupakan daging sapi yang dapat merusak kesehatan. Dikarenakan pada prinsipnya pangan yang tersedia bagi masyarakat harus legal dan aman dikonsumsi dimana dalam hal ini prinsip ASUH harus menjadi patokan dasarnya artinya A itu adalah Aman yaitu tidak mengadung Bahaya Biologis, Kimiawi dan Fisik atau bahan-bahan yang dapat mengganggu kesehatan manusia, sedangkan S adalah Sehat yaitu mengandung bahan-bahan yang dapat menyehatkan (baik untuk kesehatan), sementara U adalah Utuh yaitu tidak dikurangi atau dicampur bahan lain, terakhir H adalah Halal yaitu disembelih dan ditangani sesuai syariat Islam jadi, dalam pembuatan daging sapi glonggongan merupakan perbuatan yang sangat bertentangan dengan prinsip ASUH dikarenakan tidak aman bagi kesehatan serta tidak halal dalam kaidah agama jika daging tersebut dikonsumsi.26
26
wawancara dengan Bapak Ahmad Nuh, Jum’at 5 Februari 2010, 11.10 wib, di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.
(41)
Oleh karena itu, rantai penjualan daging sapi glonggongan harus ditindak lanjuti dimana dalam hal ini koordinasi yang baik antar Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai pejabat Pegawai Negeri Sipil yang berwenang dengan pejabat penyidik Kepolisian dalam menaggulangi kasus penjualan daging sapi glonggongan. Hal ini dikarenakan apabila hanya pejabat penyidik Kepolisian saja yang bertindak tanpa adanya bantuan dari dinas peternakan dan kesehatan hewan maka dapat dipastikan kasus penjualan daging sapi glonggongan tidak dapat terungkap atau terselesaikan dengan baik karena secara teknis pejabat Kepolisian tidak dapat membuktikan bahwasannya daging yang ditemukan mengandung air yang berlebihan apa tidak oleh karena itu dalam hal penyelesaian kasus penjulaan daging sapi glonggongan peranan dinas peternakan dan kesehatan sangat diperlukan guna penyidikan.
Menurut Pasal 84 Undang-undang No. 18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan selain Pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonseia, pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan dari tanggung jawabnya meliputi peternakan dan kesehatan hewan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan artinya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai pejabat pegawai negeri sipil mempunyai wewenang dalam melakukan penyidikan atas penjualan daging sapi glonggongan adapun kewenangan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada Pasal 84 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 dalam menyelesaikan kasus penjualan daging sapi glonggongan sebagai pejabat penyidik pegawai negeri sipil yaitu untuk :
(42)
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana dibidang peternakan dan kesehatan hewan.
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dibidang peternakan dan kesehatan hewan, dan/atau.
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang peternakan dan kesehatan hewan.27
Akan tetapi Dalam prakteknya sejauh ini Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sendiri tidak pernah berkoordinasi melakukan penyidikan dengan pejabat Kepolisian hal ini disebabkan minimnya dana yang tersedia seBab dalam hal penelitian, pemeriksaan sampai dengan penyidikan pihak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewanlah yang bertanggung jawab dalam pendanaan tersebut akan tetapi jika dikaitkan dalam teori adapun tata cara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam menyelesaikan kasus penjualan daging sapi glonggongan hanya sebatas teknis saja artinya jika didalam rajia gabungan Dinas Perindustrian Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan beserta aparat Kepolisian menemukan daging sapi glonggongan, maka wewenang Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai pejabat Pegawai Negeri Sipil yang berwenang yaitu melakukan penyitaan terhadap daging sapi yang mengandung air tersebut selanjutnya diadakan penelitian terhadap daging sapi tersebut jika hasil penelitian daging sapi tersebut postif megandung air maka hasil penelitian tersebut oleh Dinas Peternakan dan
27
(43)
Kesehatan Hewan diserahkan kepada pejabat Kepolisian untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut.28
Walaupun dalam prakteknya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak pernah menjumpai daging sapi glonggo ngan dipasar tradisional serta tidak pernah melakukan kerjasama dengan aparat Kepolisian dalam penyidikan akan tetapi dinas peternakan dan kesehatan hewan dapat melakukan upaya penyidikan apabila ditemuinya penjualan daging sapi glonggongan dikemudian hari yaitu berupa penyitaan terhadap daging sapi yang diduga mengandung air serta mengadakan penelitian terhadap daging sapi tersebut dimana jika hasil penelitian tersebut positif mengandung air maka hasil penelitian tersebut oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan diserahkan kepada pejabat Kepolisian untuk dilakukannya penyidikan lebih lanjut guna terwujudnya koordinasi penyidikan antara dinas peternakan dan kesehatan hewan dengan aparat Kepolisian serta untuk mencegah dan menyelesaikan kasus penjualan daging sapi glonggongan dikemudian hari.
C. Hubungan Antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Penyidik Polri
Berdasarkan Pasal 1 butir 1 jo Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Huku m Pidana, yang menyebutkan bahwa : penyidik dikualifikasikan menjadi dua yakni :
28
Wawancara dengan Bapak Ahmad Nuh, Jum’at 5 Februari 2010, 11.10 wib, di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
(44)
a. Pejabat Polisi Negara RI (Polri)
b. Pejabat Penyidik Pegwai Negeri Sipil Tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan (PPNS).29
Bahwa adanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan kewenangan Penyidik Polri untuk melaksanakan koordinasi pengawasan pemberian petunjuk dan pemberian bantuan penyidikan menyangkut aspek tugas/fungsi yang bersifat repressif yustisiil yang didalam organisasi Polri, secara fungsional diemban oleh fungsi Reserse di pusat maupun di daerah.
Yang dimaksudkan dengan hubungan kerja antara Penyidik Polri dengan penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah hubungan kerja fungsional, tujuannya untuk mewujudkan koordinasi, integrsi dan sinkronisasi di dalam pelaksanaan tugas/fungsi dan peranan Polri dengan instansi pemerintah lainnya dalam rangka pelaksanaan, penyidikan tindak pidana tertentu. Untuk menjamin kepastian hukum dan demi kelancaran pelaksanaan hubungan di atas, maka oleh Dephankam Mabes Polri telah mengeluarkan Petunjuk Teknis No. Pol : Juknis/05/XI/1983 tentang Hubungan Kerja antara Penyidik Polri dengan Penyidik pegawai Negeri Sipil, kemudian dilanjutkan dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/369/X/1985 tentang Mekanisme Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Kemudian pada tanggal 29 Juli 1991 oleh Dephankam Mabes Polri diubah juklaknya menjadi No. Pol : Juklak/37/VII/1991 tentang Hubungan Kerja antara Penyidik Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Dan untuk mekanisme
29
(45)
koordinasi dan pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil juga mengalami perubahan yakni menjadi Juknis No.Po : Juknis/16/VII/1991.30
1. Koordinasi
Hubungan kerja yang dimaksud meliputi :
Yang dimaksud adalah bentuk hubungan kerja dalam rangka pelaksanaan tindak pidana yang menyangkut bidang tertentu atas dasar sendi-sendi hubungan fungsional.
2. Pengawasan
Adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam rangka pelaksanaan penyidikan untuk menjamin agar seluruh kegiatan penyidikan yang sedang dilakukan dapat dibenarkan dan berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
3. Pemberian petunjuk
Adalah tuntutan atau bimbingan baik teknis maupun taktis yang diberikan oleh Penyidik Polri kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam rangka penyidikan.
4. Bantuan Penyidikan
Adalah bantuan yang diberikan oleh Penyidik Polri kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil berupa :
a. Bantuan taktis : bantuan personil dan peralatan dalam rangka penyidikan
(46)
b. Bantuan teknis : bantuan pemeriksaan ahli dalam rangka pembuktian (identifikasi dan laboratoeium criminal).
c. Bantuan upaya paksa : bantuan untuk kegiatan penindakan bila Undang-undang yang menjadi dasar hukum penyidikan bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil tidak memberikan kewenangan untk melakukan penindakan.
Sebagai pengawas maka yang mebidangi Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Polri adalah Subdit Korwas Penyidik Pegawai Negeri Sipil Ditserse dengan mekanisme pelaksanaan dapat diatur sebagai berikut :
a. Disentralisir oleh Subdit Korwas Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk Penyidik Pegwai Negeri Sipil dari seluruh departemen/instansi di pusat maupun di daerah.
b. Dilaksanakan oleh unsure Korwas Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada setiap Polda dengan koordinasi dan pengawasan dari Subdit Korwas Penyidik Pegawai Negeri Sipil Ditserse atau unsur-unsur Korwas Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada kesatuan wilayah.31
31
(47)
BAB III
FAKTOR DAN DAMPAK DARI PENJUALAN DAGING SAPI GLONGGONGAN TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Perlindungan Konsumen Terhadap Penjualan Daging sapi glonggongan
Dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen Disebutkan bahwa peranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, seBab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat, serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang/atau jasa yang berkualitas.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia, yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945.32
Perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang “cukup baru” dalam dunia peraturan perundang-undangan di Indonesia, meskipun “dengungan” mengenai perlunya peraturan perundang-undangan yang komprehensif bagi konsumen tersebut sudah digaungkan sejak lama. Praktek monopoli dan tidak adanya perlindungan konsumen telah meletakkan “posisi” konsumen dalam tingkat yang terendah dalam menghadapi para pelaku usaha (dalam arti
32
Gunawan & Widjaja Ahmadyani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Gramedia
(48)
luasnya). Tidak adanya alternatif yang dapat diambil oleh konsumen telah menjadi suatu “rahasia umum” dalam dunia atau industri usaha di Indonesia.
Ketidak berdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha ini jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat. Pada umumnya para pelaku usaha berlindung dibalik Standard Contract atau Perjanjian Baku yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak (antara pelaku usaha dan konsumen). Ataupun melalui berbagai informasi “semu” yang diberkan oleh pelaku usaha konsumen.
Sistem peradilan yang dinilai “rumit”, “cenderung bertele-tele” dan “relatif mahal” turut “mengaburkan” hak-hak konsumen dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha, sehingga adakalanya masyarakat sendiri tidak mengetahui dengan jelas apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dari atau terhadap pelaku usaha dengan siapa konsumen tersebut telah “berhubungan hukum”.33
Merebaknya kasus penjualan daging sapi glonggongan belakangan ini membuktikan ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha yang berbuat curang pada hal pada tanggal 20 April 2009 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan dan mengundangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang tentang Perlindungan konsumen ini diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan kewajiban-kewajibannya yang dimiliki terhadap pelaku usaha seperti dapat kita baca dari konsiderans Undang-undang ini dimana dikatakan bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat
33
(49)
konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.34
1. Asas Manfaat
Selain itu dibutuhkan tindak lanjut yang tegas dari oknum-oknum yang berwenang dimana hal ini merupakan peranan yang penting dalam perlindungan konsumen terhadap penjualan daging sapi glonggongan dikarenakan selain memberikan efek jerah terhadap pelaku usaha yang berbuat curang dapat juga memberikan kenyamanan bagi konsumen untuk mengkonsumsi daging-daging yang berasal dari hewan ternak.
Adapun upaya perlindungan konsumen di Tanah Air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen.
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material atau spiritual.
34
(50)
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.35
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 3, menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen sebagai berikut.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang/jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertangungjawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.36
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme.
Ada beberapa pakar menyebutkan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alsannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang/jasa.
35
Happy Susanto, Op.Cit, hal.17
36
(51)
Ada pula yang mengatakan bahwa hukum konsumen digolongkan dalam hukum bisnis atau hukum dagang karena dalam rangkaian pemenuhan kebutuhan barang/jasa selalu berhubungan dengan aspek bisnis atau transaksi perdagangan. Serta, ada pula yang menggolongkan hukum konsumen dalam hukum perdata, karena hubungan antara konsumen dan produsen/pelaku usaha dalam aspek pemenuhan barang/jasa yang merupakan hubungan hukum perdata.37
Sebagaimana telah telah diketahui bahwa peraturan tentang hukum perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyepakati rancanga Undang-undang tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. Rancangan Undang-undang ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 April 1999. 38
Dengan diundangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang ada di Tanah Air.39
Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlinduhngan konsumen. Disamping Undang-undang Perlindungan
37
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggungjwab
Produk, Jakarta : Pantai Rei, 2005, hal 19. 38
Ibid, hal 20
39
(52)
Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut.
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
2. Peraturan Pemrintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001. Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Senketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Senketa Konsumen
6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Senketa Konsumen pada pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta dan kota Medan.
8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdangangan RI Nomor 480/MPP/Kep/6/2002 Tanggal 13 Juni 2002 tantang Perubahan Atas keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
9. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdangangan RI Nomor 418/MPP/Kep/6/2002 Taggal 30 April 2002 tentang Pembentukan Tim penyeleksi Calon Anggota Badan Perlindungan Konsumen.
10.Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor;302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.40
40
(53)
B. Faktor-Faktor Yang Mendorong Timbulnya Daging sapi glonggongan Di Pasar Tradisonal
1. Rendahnya Pengetahuan Masyarakat Tentang Daging sehat
Pengetahuan masyarakat tentang daging yang sehat dan berkualitas dan aman untuk dikonsumsi masih sangat rendah. Umumnya masyarakat tidak tahu dan sebagian lagi tidak mau tahu apakah daging yang dibelinya berasal dari matarantai proses penyediaan daging yang menjamin keamanannya. Banyak dari mereka berfikir hanya mendapatkan daging yang murah tanpa berfikir apakah daging yang dibelinya aman.
Hal ini dapat didukung dari adanya pengakuan konsumen yang kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu rumah tangga yang menggungkapkan bahwasanya mereka lebih memilih daging yang lebih murah tanpa mempedulikan kwalitasnya dimana menurut mereka, mereka sulit untuk membedakan mana daging yang sehat dan mana daging yang tidak sehat ditambah lagi dikarenakan faktor ekonomi yang membuat masyarakat sendiri tidak mau tau akan cirri-ciri ataupun bahaya yang timbul apabila mengonsumsi daging sapi glonggongan seBab daging sapi glonggongan jauh lebih murah ketimbang daging sapi biasanya.41
Walaupun demikian, masih ada beberapa konsumen yang peduli akan bahaya jika mengkonsumsi daging sapi glonggongan. Hal ini terbukti dengan merosotnya omset penjualan daging sebelum beredarnya daging sapi glonggongan
41
Wawancara dengan beberap konsumen, Minggu,7 februari 2010,jam 10.00 Wib, di Pasar Tradisional
(54)
di pasar tradisional. Hal ini diseBabkan merebaknya isu tentang penjualan daging sapi glonggongan yang berasal dari daerah Boyolali yang membuat sebagian masyarakat tidak mau mengambil resiko dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang cirri-ciri daging glonggongan tersebut.42
2. Tindakan curang/Kriminal Bermotif Ekonomi
Terkait dengan hal ini, pendidikan kepada masyarakat merupakan kunci mengubah perilaku seluruh proses produksi daging. Meningkatnya kesadaran dan tuntutan masyarakat akan produk dagiing yang sehat dan aman akan memaksa pelaku usaha penyedia daging untuk berperilaku produksi sesuai tuntutan itu. Pengetahuan masyarakat harus diarahkan pada kondisi yang ideal dalam pemenuhan pangan yang berkualitas. Arahan itu dapat didasarkan pada standar mutu yang telah ditetapkan secara nasional atau bahkan internasional.
Dalam rangka melakukan pendidikan dan pemberdayaan konsumen diperlukan dukungan berbagai pihak seperti pemerintah melalui instansi teknis terkait, lembaga konsumen, organisasi-organisasi masyarakat, lembaga-lembaga non pemerintah, dan lembaga/ instansi lain.
Banyak orang beranggapan bahwa hukum dan ekonomi merupakan dua kutub yang bertolak belakang. Ekonomi dinilai memiliki karakteristik gerak yang cepat dan fleksibel, sementara hukum justru dianggap lambat dan kaku. Pada umumnya ada anggapan bahwa, hukum lebih banyak menjadi faktor penghambat
42
Wawancara dengan beberapa pedagang, Minggu,7 februari 2010,jam 09.10 Wib, di Pasar Tradisional
(55)
perkembangan ekonomi dari pada sebagai faktor yang dapat melandasi ekonomi.43
Dibidang pendidikan/pengajaran di perguruan tinggi pun anggapan itu relatif sama. Mahasiswa fakultas hukum relatif kurang faham mengapa mereka diajarkan ekonomi dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi, ekonomi Pembangunan atau Manajemen. Sebaliknya mahasiswa fakultas ekonomi pun demikian, mereka kurang mengerti mengapa mereka diajarkan mata kuliah hukum ekonomi atau hukum dagang.44
Pandangan diatas tidak tepat karena secara teoritis, ekonomi adalah cara manusia memenuhi kebutuhan. Apabila hukum dipahami sebagai gejala sosial, dapat pula diterima anggapan bahwa hukum sebagai kebutuhan masyarakat. Objek pengaturan hukum adalah masyarakat dan tingkah lakunya untuk memenuhi kebutuhan. Dalam segi kehidupannya, setiap anggota kelompok masyarakat menghendaki supaya segalanya berjalan tertib dan teratur. Setiap orang menghendaki supaya segalanya berjalan tertib dan teratur. Setiap orang menghendaki adanya jaminan agar kepentingannya diperhatikan orang lain, sehingga mereka membuat aturan-aturan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal yang sama berlaku dalam kelompok hidup masyarakat yang lebih luas seperti bernegara.45
Jika dilihat dari Dalam konteks sederhana, setiap orang dan/atau kelompok orang mempunyai cara tersendiri untuk memenuhi kebutuhan. Salah satu cara yang digunakan ialah dengan mengadakan interaksi dengan orang lain didalam
43
Ismail Saleh, Hukum dan Ekonomi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1990, hal.ix
44
Janus Sidabalok, Penghantar Hukum Ekonomi, Medan; Bina Media, 2000, hal 29
45
(56)
kelompoknya. Apabila kebutuhannya tidak dapat dipenuhi oleh kelompoknya sendiri, dilakukan interaksi ke kelompok lain, sehingga terjadi interaksi yang lebih luas. Demikian seterusnya sehingga timbul interaksi antar orang-orang yang melampaui batas-batas teritorial tertentu.
Ketika usaha memenuhi kebutuhan, selalu diinginkan segalanya berjalan dengan baik dan tertib. Namun demikian, harus disadari bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan yang dapat berbenturan dengan anggota masyarakat lain. Untuk menghindarinya, mereka membuat aturan-aturan bersama. Aturan itu menjadi pedoman tingkah laku, yang harus ditaati supaya benturan kepentingan tidak terjadi. Apabila benturan pun terjadi atau tidak dapat dihindarkan, aturan itu menyediakan cara penyelesaiannya. Aturan-aturan tersebut berkembang sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan bersama.46
46
Janus Sidabalok, Loc.cit, hal 30
Memenuhi kebutuhan sebagai tindakan ekonomi tidak terlepas dari sejumlah aturan yang disepakati bersama. Aturan itu adalah alat penjamin berlangsungnya interaksi secara baik dan tertib. Dalam tindakan pemenuhan kebutuhan yang paling sederhana seperti jual-beli, ada aturan-aturan hukum yang harus ditaati. Kepada para pihak, yaitu penjual dan pembeli dibebankan sejumlah hak dan kewajiban, sehingga pelaksanaan jual-beli berjalan dengan baik. Dengan kata lain, peristiwa jual-beli, bukan semata-mata peristiwa ekonomi saja, tetapi merupakan peristiwa hukum. Karena itu, ada norma hukum yang harus dipatuhi didalamnya.
(57)
Salah satu cabang ilmu Ekonomi Pembangunan, yang pada dasarnya mempersoalkan cara pelaksanaan pembangunan, sehingga masyarakat memperoleh hidup lebih baik melalui pemenuhan kebutuhannya. Cara demikian dapat berjalan dengan baik, apabila ada aturan yang disepakati bersama. Ada norma-norma yang harus ditaati supaya tujuan tercapai dengan baik. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan bersama diperlukan hukum sebagai pedoman dan jaminan.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa hukum dan ekonomi mempunyai kaitan yang erat. Hukum atau peraturan menjamin terpenuhinya kebutuhan anggota masyrakat dan berlangsungnya interaksi dengan baik. Karena itu, mempertentangkan hukum dengan ekonomi tidaklah tepat. Interaksi antara pembangunan hukum dengan pembangunan ekonomi sangat penting. idealnya interaksi tersebut saling menunjang.47
Adapun faktor pendorong dari timbulnya tindakan curang/kriminal yang bermotif ekonomi ini semata-mata didorong karena keinginan mendapatkan
Hukum tidak selalu memberi jaminan seperti yang diharapkan, seBab hukum ternyata juga dapat dipakai sebagai alat untuk menciptakan ketidakadilan. Misalnya tindakan curang/kriminal yang bermotif ekonomi yang belakangan ini sering kita jumpai dipasar-pasar tradisional yaitu banyaknya para pedagang yang menjual daging-daging yang tidak layak dikonsumsi, seperti daging glonggonan yang dapat merugikan dan mebahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya.
47
(1)
2. Merebaknya kasus penjualan daging sapi glonggongan belakangan ini membuktikan ketidakberdayaan konsumen dalam mengahdapi pelaku usaha yang berbuat curang demi meraut keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memikirkan dampak negatif atas perbutaannya tersebut. Oleh karena itu, pemerintah RI mengeluarkan dan mengundangkan Undang-undang no.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen untuk menjaga dan menjamin hak-hak konsumen itu sendiri. Adapun faktor-faktor yang mendukung timbulnya daging sapi glonggongan di pasar pasar tradisional yaitu diseBabkan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang daging sehat, tindakan curang/criminal bermotif ekonomi dan perubahan tat pemerintahan serta lemahnya perangkat hukum dan penegaknya sehingga menimbulkan dampak negatif baik itu terhadap konsumen, terhadap produsen serta terhadap keehatan masyarkat sendiri.
3. Dalam kasus penjualan daging sapi glonggongan diperlukan suatu upaya hukum dalam menanggulangi penjualan daging sapi glonggongan yaitu dapat dilakukan dalam upaya penal dimana berlandaskan Undang-undang Perlindungan konsumen dapat mengajukan gugatan ke pengadilan umum apabila hak dari pada konsumen telah dirugikan oleh pelaku usaha atau ditemuinya pelaku usaha yang menyalahi ketentuan Undang-undang. Selain itu, berdasarkan Pasal 204 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana maka konsumen yang merasa haknya telah dirugikan oleh pelaku usaha/produsen dapat melakukan upaya hukum dalam kasus pidana
(2)
mendatangkan bahaya bagi keamanan umum manusia atau barang. Selain upaya penal dapat juga dilakukan dalam upaya non penal yaitu seperti : a. Penyuluhan akan informasi yang akurat oleh instansi yang terkait b. Mengadakan razia yang rutin oleh instansi terkait
c. Adanya ketegasan bertindak oleh penegak hukum
d. Mengadakan pengawasan yang ketat pada rumah potong hewan
Adapun alternatif lain dalam upaya non penal di dalam menyelesaikan kasus penjualan daging sapi glonggongan agar tidak sampai lanjut ke pengadilan negeri dapat dilakukan penyelsaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa alternatif (BPSK) melalui jalur damai seperti konsiliasi, arbitrase dan mediasi.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis kemukakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Harus adanya tindakan tegas dalam menghentikan peredaran daging sapi glonggongan semestinya, begitu ditemukan penjualan daging sapi glonggongan maka rantai penjualan daging sapi glonggongan itu harus dikanai sanksi. Dimana tidak harus menunggu mereka melakukannya berulang kali, yang akan semakin merugikan konsumen.
2. Diperlukan kesediaan semua pihak untuk mencegah agar tidak membanjirnya daging sapi glonggongan dimasyarakat seperti pengadaan raziah yang rutin kepasar-pasar tradisional oleh oknum yang berwenang serta peran masyarakat
(3)
untuk melapor kepada pejabat yang berwenang jika mengetahui adanya pembuatan atau penjualan daging sapi glonggongan .
3. Pemerintah harus gencar mensosialisasikan kepada masyarakat akan bahaya daging sapi glonggongan dan ciri-ciri daging sapi glonggongan baik itu melaluimeida massa maupun dengan menempelkan selesaran di pasar-pasar tradisional agar masyarakat sendiri tidak terkecoh dalam memilih, memilah dan membeli daging sapi di pasar-pasar tradisional.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Anwar, Moch, Hukum Pidana Bagian Khusus (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Buku II), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Barkatulah, Abdul Halim, Hukum Perlindungan Konsumen,Bandung; Nusa Media, 2008
Djamil, Abdoel R., Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 1984
Hardjasoemantri, Koesnadi , Hukum Tata Lingkungan,Cet 11,Yogyakarta: Gajah Mada Universty Perss,1994
Lubis Rafiqo, Makalah,Untuk Bahan Kuliah mengenai “Kesengajaan (Dolus)”,2008
Miru, Ahmad & Sutarman yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Badan Penyelesaian Senketa Konsumen Bandung: Alumni,1992
Nasution,A.Z., Tujuan dan Hukum: Tinjauan social,Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta;Pustaka Sinar Harapan,1995 Nawawi, Barda, Bunga Rampai kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: PT.Citra
Aditya Baktii,1996
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggungjwab Produk, Jakarta : Pantai Rei, 2005
Purba, Hasim, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum. CV.Cahaya Ilmu, Medan, 2006
Saleh, Ismail , Hukum dan Ekonomi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1990 Saleh, Ismail, Pembaharuan Hukum Ekonomi Indonesia, Makalah, Pada Temu
Karya Hukum Perseroan Dan Arbitrase, Kerja Sama Departemen Kehakiman, Kantor Menke Ekkowasbang Dan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta,22-23 Januari, 1991
(5)
---.,1994, Pengetahuan Tentang Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dan Status Media Cetak Serta Pelanggaran Hak-Hak Konsumen Dalam Iklan “Tesis, Program Studi Ilmu Hukum, Jurusan Ilmu Sosial Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sidabalok, Janus, Pengantar Hukum Ekonomi.Bina Media: Medan, 2000
Simanjuntak, Emmy Pangaribuan, Aspek Yuridis Dan Cara Penanggulangan Persaingan Curang, Yogyakarta:Grasindo,1992
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT.Grasindo, 2000 Sjahdeni, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia,1993
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru
Soekanto, Soerjono, Penghantar Penelitian Analisa Kualitatif Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986
Sumantoro, 1986, Hukum Ekonomi, Jakarta : UI-Press, 1986
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta: Kencana, 2008 Susanto, Happy,.Hak-hak konsumen jika dirugikan, Jakarta Selatan : visimedia,
2008
Troelstrup, .A.W., The Consumer In American Society: Personal And Family Finance, ed.New York:Me Grow Hill, 1974
Widjaja Gunawan & Ahmadyani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2001
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-undang Nomor.1 Tahun 1964 Tentang Hukum Pidana
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Penjelasan Umum
(6)
Internet :
Penyidik Polri, hal 1
prosedur
standar operasional pemotongan sapi, hal 1-2
Contoh
Etika Bisnis, hal 1
Daging
sapi glonggongan, hal 1
pisana oleh pers dalam acara bertema investigasi criminal, hal 1
Daging Sapi Di Indonesia, hal 7-8
1
http://www.vetklinik.com/search/newestfirst/page_150,html?searchphrase=any&s earchword=upaya, Upaya, hal 4
http//www.disnakeswan/lampung.go.id/index.php?option=com_content&task=sec tion&id=198&itemed=134, fungsi Dinas peternakan, hal 1
http:acenlemon.wordpress.com/2009/09/09/daging-sapi-glonggongan-marak-pada-saat-lebaran, daging sapi glonggongan marak pada saat lebaran, hal 3
http;www.dinas.sumutprov.go.id/tupoksi.php, Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara, hal 1-3