1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir
dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya pemahaman tentang sejauhmana peranan Polri dalam penanggulangan dan
pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti selanjutannya
serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak
pidana terorisme di Indonesia; 2.
Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum khususnya aparat Kepolisian Republik Indonesia Polri, agar dapat lebih
mengetahui dan memahami tentang peranan lembaga Kepolisian sebagai institusi yang diharapkan berada pada garda terdepan dalam penanggulangan
dan pemberantasan tindak pidana terorisme. Peranan Polri tersebut meliputi pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya dalam praktik di lapangan.
E. Keaslian Penulisan
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan penelusuran di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU. Hasil penelusuran ditemukan judul tesis: “Kedudukan
Pembuktian Kode Wibe Site Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Oleh: Symon Morrys, NIM: 077005122, dengan topik pembahasannya adalah: Pertama,
Universitas Sumatera Utara
kedudukan alat bukti berupa informasi elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia, Kedua, kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana teorisme, Ketiga, kendala-kendala dalam pembuktian kode wibe site dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana
terorisme. Judul penelitian di atas jika dibandingkan dengan judul dalam penelitian ini,
jauh berbeda baik dari judul maupun dari permasalahan yang dibahas, dimana fokus pembahasan dalam penelitian ini dititikberatkan pada: “Peranan Polri Dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme”. Oleh karena itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dapat dikatakan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis
pihak lain.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Pemberantasan tindak pidana terorisme melalui optimalisasi peranan Polri merupakan suatu kebijakan.
31
31
Ali Masyhar., Baya Indonesia Menghadang Terorisme, Op. cit., hal. 26.
Oleh sebab itu, teori-teori mengenai kebijakan hukum pidana sangatlah relevan untuk dijadikan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini.
Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana terorisme di Indonesia termasuk tindak pidana khusus, dimana bahwa pengaturannya berbeda dengan tindak pidana pada
umumnya, terdapat hal-hal yang dikecualikan misalnya pidana mati bagi pelaku,
Universitas Sumatera Utara
pembuktian alat-alat bukti, bahkan Polri membentuk tim khusus pemberantasan tindak pidana terorisme yaitu Detasemen Khusus Densus 88 Antiteror.
Pemerintah Indonesia bertekad melakukan perang melawan terorisme dan mengambil kebijakan dalam pemberantasan dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1
Tahun 2002, Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002. Landasan hukum tersebut di atas diikuti dengan penetapan Skep Menko Polkam Nomor Kep-
26MenkoPolkam112002 tentang Pembentukan Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Kemudian Perpu Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002
dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002 telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme UUPTPT. Pembentukan Densus 88 dan tekad pemerintah mengundangkan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut merupakan langkah-langkah atau kebijakan penanggulangan kejahatan terorisme. Menurut Amara Raksasataya, kebijakan
policy adalah sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Taktik atau strategi menurut Andi Hamzah diartikan sebagai suatu metode,
rencana untuk mencapai tujuan tertentu.
32
32
Andi Hamzah., Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hal. 550.
Penanggulangan kejahatan terorisme, diperlukan taktik atau strategi dan kebijakan tertentu untuk dapat memberantas
Universitas Sumatera Utara
terorisme, setidaknya dapat mengurangi dan menghambat perkembangannya. Suatu kebijakan policy memuat tiga elemen penting yaitu:
33
1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
2. Taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan; dan 3.
Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
Kejahatan merupakan perilaku menyimpang yang akan senantiasa ada dan melekat pada setiap individu dalam masyarakat .
34
kejahatan senantiasa membayangi kehidupan manusia karena kejahatan tersebut merupakan masalah sosial dan akan
tetap menjadi urusan manusia sepanjang masa. Sebagai masalah sosial, kejahatan merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang dinamis yang selalu tumbuh dan
terkait dengan fenomena dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks. Oleh sebab itu, kejahatan harus ditanggulangi dan diberantas karena apabila tidak
ditanggulangi dan diberantas, kejahatan tersebut dapat membawa akibat-akibat sebagai berikut:
35
1. Mengganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional; dan
2. Mencegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional.
Upaya strategis yang dilakukan dalam penanggulangan dan pemberantasan kejahatan adalah upaya membuat kebijakan hukum. Meskipun senantiasa digunakan
sebagai sarana untuk mengatur kehidupan sosial, namun satu hal yang menarik adalah
33
Amara Raksasataya., dalam M. Islam Irfany., Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bina Aksara, 2002, hal 17-18.
34
Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984, hal. 148.
35
Barda Nawawi Arief., Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
bahwa hukum itu selalu tertinggal di belakang obyek yang diaturnya.
36
Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial, termasuk dalam bidang kebijakan penegakan
hukum. Hukum
dimaksud dalam arti hukum positif. Hukum selalu tertinggal jauh dibelakang obyek yang diaturnya, maka sangat diperlukan kebijakan membuat pengaturan-pengaturan
baruulang dalam menanggulangi kejahatan.
37
Sebagai masalah kebijakan secara politis, maka penggunaan hukum pidana untuk mengatasi masalah sosial tidak dapat dilakukan secara absolut. Tidak ada
absolutisme dalam membuat kebijakan, karena pada hakikatnya, orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif.
38
Karena memang politik hukum dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu politik hukum dan
politik kriminal. Politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.
39
Politik hukum itu sendiri merupakan kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan dalam masyarakat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.
40
Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang lebih efektif dalam usaha penanggulangan dan
36
Satjipto Rahardjo., Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980, hal. 99.
37
Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Op. cit., hal. 149.
38
Ibid.
39
Soedarto., Hukum dan Hukum Pidana., Bandung: Alumni, 1981, hal. 159.
40
Soedarto., Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru, 1983, hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
pemberantasan kejahatan,
41
tidak hanya disesuaikan dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu, namun juga untuk masa-masa yang akan datang.
42
Soedarto, mendefinisikan kebijakan kriminal dalam tiga pengertian yaitu:
43
1. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dari rekasi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; 2.
Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara-cara dari pengadilan dan Polisi; dan
3. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui
perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk mengeakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Menurut Soedarto, kebijakan kriminal politik kriminal adalah usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan.
44
Kebijakan kriminal dapat diaplikasikan melalui dua jalur yaitu jalur penal dan nonpenal.
45
A. Mulder, menyebutkan bahwa politik hukum pidana atau strafrechtspoliiek adalah garis kebijakan untuk menentukan:
46
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui; 2.
Apa yang perlu diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan 3.
Dengan cara bagaimana penyidikan, penyelidikan, penuntutatan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilakukan.
41
Soedarto., Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981, hal. 114.
42
Soedarto., Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Loc. cit., hal. 93
43
Soedarto., Kapita Selekta Hukum Pidana, Op. cit., hal. 113-114.
44
Ibid.
45
G. Peter Hoefnagels., The Other Side Of Criminology, Holland: Klower-Deventer, 1969, hal. 57.
46
A. Mulder., dalam Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 25-26.
Universitas Sumatera Utara
Definisi Mulder di atas bertolak dari Marc Ancel mengenai sistem hukum pidana yang menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem
hukum pidana yang terdiri dari:
47
1. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya;
2. Suatu prosedur hukum pidana; dan
3. Suatu mekanisme pelaksanaan hukum pidana.
Barda, menyebutkan bahwa operasionalisasi dan fungsionalisasi dari kebijakan hukum pidana penal policiy dilaksanakan melalui tiga tahap pertama
tahap kebijakan formulatif, yaitu penetapan atau perumusan hukum oleh badan pembuat undang-undang, atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto;
kedua tahap kebijakan aplikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat pengak hukum mulai dari Kepolisian sampai kepada Pengadilan; ketiga tahap
kebijakan eksekutif, yaitu pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksanaieksekusi pidana.
48
Keseluruhan proses tahap penegakan hukum pidana, maka tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling penting strategis dari keseluruhan kebijakan
untuk mengoperasionalisasikan sanksi pidana.
49
47
Ibid., hal. 26
Hal ini karena pada tahap legislasi inilah dirumuskan konsep atau asas yang menjadi garis besar dan dasar recana di
48
Barda Nawawi Arief., Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 75.
49
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dalam penegakan hukum,
50
sekaligus menurut Barda, menjadi landasan legalitas bagi dua tahap berikutnya.
51
Kebijakan legislatif formulatif dalam penanggulangan kejahatan meliputi:
52
1. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang
akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan; 2.
Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu baik berupa pidana atau tindakan dan sistem
penerapannya; dan 3.
Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana.
Barda, menyebutkan bahwa kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal hukum pidana, berpusat pada dua masalah sentral yaitu masalah penentuan:
53
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau digunakan kepada si pelanggar.
Membicarakan teori-teori mengenai kebijakan kriminal khususnya melalui upaya penal, dengan sendirinya akan bersentuhan dengan kriminalisasi, yang
mengatur baik ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum actus reus, pertanggungjawaban pidana mens rea, maupun sanksi yang dapat dijatuhkan baik
berupa pidana punishment maupun tindakan treatment.
54
50
Nyoman Serikat Putra Jaya., Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2001, hal. 49.
Soedarto, menyebutkan
51
Barda Nawawi Arief., Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Op. cit., hal. 3.
52
Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hal. 158.
53
Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 29.
54
Muladi., “Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional: Strategi Penanggulangan Kejahatan Dalam Bidang Telematika Diselenggarakan oleh
Universias Semarang Bekerjsa Sama Dengan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan RI, Semarang Tanggal 23 Juli 2002, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
bahwa ada 4 empat hal yang harus diperhatikan sebelum memberi ancaman pidana kriminalisasi tersebut yaitu:
55
1. Tujuan hukum pidana;
2. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki;
3. Perbandingan antara sarana dan hasil; dan
4. Kemampuan badan-badan penegak hukum.
Penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana merupakan suatu kebijakan, maka upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan
kebijakan tersebut mengandung arti adanya keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial melalui upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan
nonpenal. Soedarto, menekankan bahwa apabila hukum pidana digunakan, perlu dilihat berdasarkan politik kriminalnya sebagai bagian terintegral dari rencana
pembangunan nasional.
56
Menurut Barda, hukum pidana memiliki keterbatasan dalam menanggulangi kejahatan, misalnya sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individualpersonal
tidak bersifat strukturalfungsional, keterbatasan jenis sanksi pidana, sarana pendukung yang bervariasi menuntut biaya tinggi, dan lain-lain.
57
55
Soedarto., Hukum dan Hukum Pidana., Op. cit., hal. 44-48.
Karena keterbatasan hukum pidana tersebut, maka dalam rangka penanggulangannya secara
terpadu, pendekatan penal bukanlah satu-satunya pendekatan yang dapat dipakai
56
Ibid., hal. 104.
57
Barda Nawawi Arief., Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 46-47.
Universitas Sumatera Utara
untuk menanggulangi kejahatan. G.P. Hoefnagels, mengatakan
upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
58
1. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
melalui media massa; 2.
Penerapan hukum pidana; dan 3.
Pencegahan tanpa pidana. Pendekatan kebijakan secara non penal sebagai upaya untuk menanggulangi
kejahatan dengan menggunakan saran lain selain hukum pidana. Dikategorikan dalam pendekatan non penal ini adalah pendidikan, pengajian atau kerohaniaan, dan lain-
lain yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan melalui penal lebih menitikberatkan pada sifat pemberantasan repressive
sedangkan non penal lebih menitikberatkan pencegahan atau penangkalan preventive.
59
Upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan dengan cara non penal merupakan penanggulangan yang bersifat mendasar. Karena pencegahan atau
penanggulangan terhadap kejahatan tidak menjadi optimal dan tidak menyelesaikan akar masalah, apabila tanpa diiringi dengan menghapus hal-hal yang menjadi
penyebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan, namun hal ini bukan berarti upaya penal tidak penting dapat dikesampingkan begitu saja.
58
G.P. Hoefnagels., dalam Ali Masyhar., Op. cit., hal. 28.
59
Ibid., hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
Upaya penal merupakan sarana sangat vital dalam proses penegakan hukum law inforcement dalam menanggulangi kejahatan. Muladi dan Barda menyebutkan
bahwa, ”Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan
memperbaiki atau memulihkan kembali rehabilitatie si pembuat pidana tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan pembuat dan masyarakat”.
60
Penggunaan jalur penal seharusnya hanya sebagai alternatif terakhir setelah alternatif-alternatif lain telah ditempuh. Hal ini berarti bahwa setelah upaya
preventifpencegahan nonpenal tidak berhasil maka tumpuan terakhir atau social defence adalah hukum pidana. Menurut Muladi, jenis-jenis tindakan pencegahan
tindak pidana tersebut dapat berupa:
61
1. Pencegahan primer, yaitu diarahkan kepada masyarakat sebagai korban
potensial maupun kepada para pelaku kejahatan yang masih belum tertangkap atau pelaku masih potensial. Kegiatan dalam hal ini dapat berupa penyehatan
mental masyarakat yang bersifat abstrak dan dapat pula bersifat fisik serta teknologis;
2. Pencegahan sekunder, yaitu tindakan diarahkan kepada kelompok pelaku atau
pelaku potensial atau sekelompok korban potensial tertentu. Sebagai contoh dalam kaitannya dengan korban kejahatan perampokan nasabah bank,
kejahatan perbankan, kejahatan pencurian kenderaan bermotor, dan lain-lain. Dalam hal ini bentuk-bentuk prevensi baik abstrak seperti penamaan etika
profesi bagi tenaga-tenaga profesional maupun fisik dan teknologis juga dapat dilakukan; dan
3. Pencegahan tertier, pencegahan diarahkan kepada jenis pelaku tindak pidana
tertentu dan juga korban tindak pidana tertentu, misalnya pelaku residivis, pelaku kejahatan yang bersifat luar biasa extra ordinary crime yang
memakan banayk korban jiwa, dan lain-lain.
60
Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Op. cit., hal. 92.
61
Muladi., Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Undip, 2002, hal. 100.
Universitas Sumatera Utara
Jenis pencegahan dalam bentuk lain, dapat pula dirumuskan sebagai berikut: Pencegahan individual, yaitu bentuknya antara lain dapat membuat alarm keenderaan,
alarm rumah, pengawal pribadi, dan lain-lain; dan Pencegahan masyarakat, dapat berupa siskamling, siskamtibmas swakarsa sebagaimana dikembangkan oleh Polri,
dan lain-lain. Pendekatan kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, maka
pendekatan kebijakan non penal merupakan pendekatan kebijakan yang mendasar, karena diorientasikan pada upaya penanggulangan faktor-faktor kondusif penyebab
kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan
atau menumbuhsuburkan kejahatan itu sendiri.
62
Faktor-faktor kondusif yang menimbulkan kejahatan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kongres PBB ke-8 dalam dokumen ACONF.144L.3
mengidentifikasikannya sebagai berikut:
63
1. Kemiskinan, pengangguran, buta huruf kebodohan, ketiadaaankekurangan
perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocokserasi;
2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek harapan
karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimbangan- ketimbangan sosial;
3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga;
4. Keadaan-keadaankondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang
beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; 5.
Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugiankelemahan di bidang
sosial, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan;
62
Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 42.
63
Ibid., hal. 45-46.
Universitas Sumatera Utara
6. Menurun atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong
peningkatan kejahatan dan berkurangnya tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkunganbertetangga;
7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk
berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan kelaurgafamilinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan
sekolahnya;
8. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga
diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas; 9.
Meluasnya kativitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius, dan penadahan barang-barang curian;
10. Dorongan-dorongan khususnya medua massa mengenai ide-ide dan sikap-
sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap- sikap yang tidak toleran.
Faktor-faktor kondusif tersebut tidak dapat semata-mata diatasi dengan kebijakan penal kebijakan kriminal dengan jalur penal, oleh karena itu harus
ditunjang dengan kebijakan nonpenal. Upaya non penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan
hidup yang sehat secara material dan immaterial dari faktor-faktor kriminogen faktor-faktor yang mendorong timbulnya tindak pidana. Hal ini berarti, masyarakat
dengan sejumlah potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor ”anti kriminogen” yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik
kriminal.
64
Kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana terorisme, nampaknya jalur penal menjadi pilihan utama dari pengambil kebijakan. Jalur penal merupakan
langkah maju bila dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya, tetapi jalur penal memiliki keterbatasan, lebih-lebih dalam menghadapi tindak pidana terorisme yang
64
Ibid., hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
notabene merupakan transnational organized crime. Oleh sebab itu, harus ditunjang dengan kebijakan non penal misalnya pendidikan, economic prevention, pendekatan
moral, social walfare, dan sebagainya. Berdasarkan sisi sosial makro, maka terorisme muncul justru bersamaan
dengan gencarnya isu-isu pembangunan. Jauh sebelum Kongres PBB mengenai The prevention of crime and the treatment of offenders dalam laporannya Sixth UN
Congress 1981.
65
2. Landasan Konsepsional