f. Hambatan lain yaitu belum adanya konsistensi dan keseriusan dalam
mencegah terjadinya aksi terorisme oleh semua pihak. Sinergitas instansi lainnya seperti bea cukai, imigrasi, perhubungan dan keuanganperbankan
sangat diperlukan guna pencegahan terorisme di Indonesia. g.
Masih kurangnya personil Densus 88 Anti Teror baik pusat maupun daerah. h.
Kemampuan yang dimiliki Densus 88 Anti Teror di tingkat pusat berbeda dengan di tingkat daerah.
2. Hambatan Eksternal
Hambatan-hambatan yang dihadapi Polri dari sisi eksternal dari luar intitusi Polri dapat berupa sebagai berikut:
a. Munculnya mispersepsi dan tudingan bahwa perang melawan terorisme
adalah perang melawan Islam;
194
b. Adanya kesan bahwa negara maju AS menerapkan standar ganda dalam
menghadapi terorisme;
195
c. Adanya kesan cukup kuat dari masyarakat bahwa langkah-langkah
operasional penindakan terhadap aksi teror merupakan skenario yang dipaksakan oleh negara-negara maju kepada negara lemah dalam bidang
politik, ekonomi, militer, dan teknologi;
196
194
http:www.voa-islam.comcounterliberalism2011040113979memerangi-syariat-islam- berkedok-perang-melawan-terorisme, diakses tanggal 12 Mei 2011.
195
http:m.inilah.comreaddetail132268teror-bom-ji-dan-dunia-barat, diakses tanggal 12 Mei 2011.
196
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
d. Adanya asumsi publik yang beredar bahwa suasana teror yang terjadi di
Indonesia ada kaitannya dengan Polri demi untuk memperbaiki citra Polri;
197
e. Adanya trauma di masa lalu berdasarkan pengalaman bahwa aparat keamanan
dan sistim hukum yang berlaku untuk menangani terorisme hanya merupakan alat kekuasaan otoriter militeristik untuk kepentingan mempertahankan
kekuasaan yang anti demokrasi dan melanggar hak asasi manusia, membungkam hak-hak politik masyarakat dan memasung kreativitas serta
menimbulkan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik;
198
f. Penempatan Densus 88 Anti Teror Polri sebagai garda terdepan menimbulkan
kecemburuan bagi pasukan-pasukan khusus anti teror lainnya misalnya dari pihak TNI
199
dan BIN
200
197
http:abisyakir.wordpress.com20110422terorisme-dan-kemunafikan-orangindonesia, diakses tanggal 12 Mei 2011.
. Kondisi ini bahkan bisa mengarah kepada konflik terbuka antara kesatuan anti teror di lapangan khususnya terkait dengan
penanganan separatism di Aceh, Papua, konflik komunal di Poso dan Maluku, dimana Densus 88 Anti Teror Polri dan CRT Polda, karena berada di bawah
Ditserse Polda, maka disertakan juga pada operasional kasus-kasus tersebut
198
Ibid.
199
TNI memiliki pasukan khusus anti teror yaitu: f.
Detasemen Penanggulangan Teror Dengultor TNI AD atau Grup 5 Anti Teror; g.
Detasemen 81 Kopasus TNI AD Kopasus sendiri sebagai pasukan khusus juga memiliki kemampuan anti teror;
h. Detasemen Jalamangkara Denjaka Korps Marinir TNI AL; dan
i. Detasemen Bravo Denbravo TNI AU.
200
Badan Intelijen Negara BIN juga memiliki desk gabungan yang merupakan representasi dari kesatuan anti teror.
Universitas Sumatera Utara
padahal apabila mengacu kepada UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI separatism menjadi titik temu TNI
dan Polri dimana TNI sebagai unsur utama dan Polri sebagai unsur pendukung, akan tetapi pada praktiknya di lapangan dilakukan oleh Densus 88
Anti Teror bekerja sama dengan unit Wanteror dari Gegana Brimob Polri.
201
g. Munculnya Persepsi publik bahwa matinya teroris merupakan suatu
pelanggaran HAM, maka Polri harus dituntut berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
202
h. Adanya anggapan masyarakat bahwa dalam pemberantasan terorisme adalah
tugas dari Densus 88 Anti Teror Polri. Sehingga masyarakat kurang peduli atau tertutup untuk bekerja sama dengan pihak aparat.
203
3. Hambatan Yuridis