Kebijakan Desentralisasi Fiskal Di Indonesia

Gbr. 4.17: Perkembangan Pengeluaran Pemerintah untuk Publik Pasca Krisis Ekonomi 1998 Triliun Rupiah Sumber: Diolah oleh penulis dari Nota Keuangan APBN 2000-2011

3.2. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Di Indonesia

Tujuan umum program desentralisasi fiskal Indonesia adalah untuk membantu: 1 meningkatkan alokasi nasional dan efisiensi operasional pemerintah daerah; 2 memenuhi aspirasi daerah, memperbaiki struktur fiskal secara keseluruhan, dan memobilisasi pendapatan daerah dan kemudian nasional; 3 meningkatkan akuntabilitas, meningkatkan transparansi, dan mengembangkan partisipasi konstituen dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah; 4 mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah daerah, memastikan pelaksanaan pelayanan dasar masyarakat di seluruh Indonesia, dan mempromosikan sasaran- sasaran efisiensi pemerintah, dan 5 memperbaiki kesejahteraan sosial rakyat Indonesia Siddik dikutip dalam BKF, 2009. Kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah secara tegas dan efektif diimplementasikan sejak 1 Januari 2001. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia diwujudkan dalam bentuk pemberian transfer kepada daerah berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus dan penyesuaian, serta dalam bentuk instrumen peningkatan potensi pendapatan asli daerah PAD. Selain kedua instrumen tersebut, pemerintah pusat juga mengalokasikan anggaran kementerianlembaga dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan Mardiasmo dikutip dalam BKF, 2009. Transfer ke daerah merupakan salah satu komponen bagi pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan desentralisasi fiskal, baik melalui Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Penyesuaian. Kebijakan Transfer ke Daerah yang diharapkan dapat menjaga netralitas fiskal secara nasional, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam konsolidasi fiskal antara APBN dan APBD. Transfer ke daerah bertujuan untuk menjaga kestabilan ekonomi makro, mengurangi ketimpangan antar daerah, serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Nota Keuangan APBN 2010. Dana perimbangan merupakan komponen terbesar dalam alokasi transfer ke daerah, sehingga mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pengalokasian dana perimbangan berupa dana bagi hasil DBH, dana alokasi umum DAU, dan dana alokasi khusus DAK bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, serta mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Dengan demikian, dana perimbangan merupakan salah satu pilar pokok desentralisasi fiskal dalam konteks transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah. Selain dana perimbangan, kepada daerah-daerah tertentu juga dialokasikan dana otonomi khusus, yaitu kepada: i Provinsi Papua dalam rangka memenuhi amanat UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dan ii Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam NAD dalam rangka memenuhi amanat UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sejak dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, perkembangan belanja untuk daerah cenderung meningkat, baik dilihat dari besarnya dana yang dialokasikan ke daerah, maupun cakupan dan jenis dana yang ditransfer ke daerah. Apabila dalam tahun 2001 dana yang dialokasikan ke daerah hanya berupa dana perimbangan, yang terdiri dari dana bagi hasil DBH, dana alokasi umum DAU, dan dana alokasi khusus DAK, maka sejak tahun 2002, selain dana perimbangan, Pemerintah juga mengalokasikan dana otonomi khusus untuk Papua, dan dana penyeimbangpenyesuaian. Selain itu, sejak tahun 2003 Pemerintah juga memperluas cakupan dana alokasi khusus, menjadi DAK dana reboisasi DAK DR, dan DAK non dana reboisasi DAK Non-DR. Dilihat dari besarnya dana yang dialokasikan ke daerah, apabila dalam tahun 2002 realisasi belanja untuk daerah mencapai Rp. 98,2 triliun 6,1 terhadap PDB, maka dalam tahun 2003 realisasi belanja untuk daerah mencapai Rp. 120,3 triliun 6,7 terhadap PDB, atau mengalami peningkatan sebesar 22,5 . Tahun 2004 alokasi belanja untuk daerah terealisasi sebesar Rp. 130,0 triliun 6,5 terhadap PDB atau meningkat sebesar 8,1 dari realisasi belanja untuk daerah dalam tahun 2003. Dalam tahun 2006, realisasi belanja ke daerah mencapai Rp. 226,2 triliun 7,1 terhadap PDB. Demikian pula apabila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2005 sebesar Rp. 150,5 triliun 5,5 terhadap PDB, maka realisasi belanja ke daerah tersebut lebih tinggi Rp. 75,7 triliun atau 46,8 Nota Keuangan APBN 2006. Transfer ke daerah tahun 2007 adalah sebesar Rp. 253,3 triliun atau 7,3 terhadap PDB, berarti mengalami peningkatan sebesar Rp. 27,1 triliun atau 17,2 dari transfer ke daerah tahun 2006. Transfer belanja ke daerah tersebut dimaksudkan untuk menjaga konsistensi dan keberlanjutan pelaksanaan desentralisasi fiskal guna menunjang pelaksanaan otonomi daerah. Kebijakan belanja ke daerah tahun 2007 diprioritaskan untuk: 1 mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah vertical fiscal imbalance, dan antar daerah horizontal fiscal imbalance; 2 mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah public service provision gap; 3 mendukung kesinambungan fiskal fiscal sustainability dalam kebijakan ekonomi makro; 4 meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi pendapatan asli daerah; 5 meningkatkan efisiensi sumber daya nasional; dan 6 meningkatkan transparansi dan akuntabilitas alokasi belanja ke daerah Nota Keuangan APBN 2007. Tekanan yang cukup berat terhadap APBN akibat krisis global 2008, juga berimbas kepada transfer ke daerah. Di satu sisi, lonjakan harga minyak mentah dunia membawa berkah bagi daerah penghasil migas karena kenaikan dana bagi hasil migas. Namun di sisi lain, mengingat keterbatasan kemampuan keuangan negara, dana infrastruktur sarana dan prasarana pada pos dana penyesuaian akan dihemat. Tahun 2008, transfer ke daerah mencapai Rp. 292,4 triliun atau 6,5 terhadap PDB. Bila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2007 sebesar Rp. 253,3 triliun, berarti mengalami peningkatan sebesar Rp. 39,1 triliun atau 15,5 . Transfer ke daerah tersebut terdiri atas dana perimbangan 95,2 , serta dana otonomi khusus dan penyesuaian 4,8 Nota Keuangan APBNP 2008. Realisasi transfer ke daerah tahun 2009 mencapai Rp. 308,6 triliun atau 5,7 terhadap PDB. Bila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2008 berarti mengalami peningkatan sebesar Rp. 16,2 triliun atau 5,8 . Realisasi anggaran transfer ke daerah tersebut terdiri atas dana perimbangan 92,2 , serta dana otonomi khusus dan penyesuaian 7,8 Nota Keuangan APBNP 2009. Desentralisasi fiskal telah dilaksanakan selama satu dasawarsa. Selama kurun waktu tersebut perkembangan alokasi transfer ke daerah dari tahun ke tahun secara nominal terus meningkat. Pada tahun ke lima pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu pada tahun 2005, transfer ke daerah masih sekitar Rp. 150,5 triliun, namun pada tahun 2010 jumlah transfer ke daerah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat sehingga menjadi Rp. 344,6 triliun. Peningkatan tersebut terjadi merata pada semua jenis transfer ke daerah. DAU yang merupakan komponen terbesar dari transfer ke daerah meningkat dari Rp. 88,7 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 203,6 triliun pada tahun 2010, suatu peningkatan yang sangat signifikan karena meningkat hampir tiga kali lipat. Peningkatan terbesar terjadi pada DAK. Pada tahun 2005 nilai DAK masih berada di bawah Rp. 4 triliun, tetapi pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp. 24,7 triliun, meskipun kemudian pada tahun 2010 turun menjadi Rp. 21,1 triliun Nota Keuangan APBN 2011. Gbr. 4.18: Perkembangan Pengeluaran Pemerintah untuk Transfer Ke Daerah Triliun Rupiah Sumber: Diolah oleh penulis dari Nota Keuangan APBN 2001-2011

3.3. Defisit Anggaran Dalam Rangka Menstimulasi Perekonomian Indonesia