langkah-langkah kebijakan yang diambil telah membuahkan hasil. Pencapaian tersebut tentunya didukung pula oleh perbaikan pelayanan investasi di daerah dan
semakin baiknya kondisi perusahaan penanaman modal dalam negeri. Dengan terus melakukan perbaikan iklim investasi untuk mengurangi hambatan-hambatan
dalam pelaksanaannya, tentunya akan meningkatkan kontribusi investasi dalam perekonomian nasional BKPM, 2011.
Realisasi PMAL 2010 berdasarkan sektor, terbesar adalah gudang dan telekomunikasi senilai 5,05 miliar dolar AS 31,1 , pertambangan 2,23 miliar
dolar AS 13,8 , listrik dan air 1,43 miliar dolar 8,8 , perumahan, kawasan industri dan perkantoran 1,05 miliar dolar 6,5 , industri makanan 1,03 miliar
dolar 6,3 . Realisasi PMAL terbesar terjadi di DKI Jakarta senilai 6,43 miliar dolar AS, Jawa Timur 1,77 miliar dolar, Jawa Barat 1,69 miliar dolar dan Banten
1,54 miliar dolar AS. Realisasi penyerapan tenaga kerja tahun 2010 oleh PMAL mencapai sebanyak 329.959 orang.
Pencapaian tersebut tentunya didukung pula oleh perbaikan pelayanan investasi di daerah dengan semakin banyaknya Pelayanan Terpadu Satu Pintu
PTSP di bidang Penanaman Modal yang telah diimplementasikan oleh berbagai Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota serta koordinasi pusat
daerah yang semakin baik. Hal ini akan semakin baik lagi jika kita terus bahu- membahu dalam meningkatkan iklim investasi Indonesia BKPM, 2011.
2.3. Beberapa Masalah Berinvestasi Di Indonesia
Hasil survei tahunan terhadap perusahaan-perusahaan di 139 negara dari World Economic Forum 2010 yang berpusat di Geneva Swiss dengan tajuk
The Global Competitiveness Report 2010-2011 memperlihatkan permasalahan-
permasalahan utama yang dihadapi pengusaha-pengusaha di Indonesia. Seperti yang dapat dilihat di gambar 4.8, birokrasi pemerintah yang tidak efisien berada
pada peringkat pertama, korupsi berada pada peringkat kedua, dan infrastruktur yang buruk dalam arti kuantitas terbatas dan kualitas buruk berada pada
peringkat ketiga.
Gbr. 4.8: Masalah-masalah utama dalam berinvestasi di Indonesia
Birokrasi yang tidak efisien inefficient government bureaucracy tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi bukan hanya Indonesia tetapi
juga banyak negara lain di Asia, termasuk di negara-negara yang terkena krisis ekonomi 199798, meskipun reformasi dalam skala lumayan telah berlangsung di
negara-negara tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak biaya dan waktu dihabiskan untuk mengurusi hal-hal sederhana di kantor pemerintahan
Indonesia. Apalagi di dalam mengurusi hal besar dan penting, pasti butuh koneksi dan biaya yang jauh lebih besar. Masyarakat sering mengeluhkan jasa pelayanan
Sumber: Diolah oleh penulis dari WEF 2010
pemerintah yang ternyata belum banyak berubah pasca-12 tahun reformasi. Di sisi lain, untuk mendorong sektor swasta berputar lebih cepat dibutuhkan partisipasi
aktif pemerintah. Masih ada budaya di kalangan pemerintah, “kalau bisa diperlambat, mengapa mesti dipercepat” Rustandy, dikutip dalam RCRS, 2010.
Persoalan kedua yang dihadapi di Indonesia adalah korupsi corruption. Sebagai suatu ilustrasi, dari sejumlah negara yang diteliti oleh lembaga think-tank
Political and Economic Risk Consultancy PERC yang masih banyak pejabat tinggi pemerintah yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri
sendiri dan orang-orang dekat mereka. Dalam kasus Indonesia, masalahnya adalah pada mahalnya persetujuan atau lisensi. Banyak pejabat senior pemerintah terjun
ke bisnis atau menggunakan posisi mereka untuk melindungi dan mengangkat kepentingan bisnis pribadinya. Indonesia termasuk terburuk dan tak mengalami
perbaikan yang berarti sejak 1999, meskipun masih lebih baik dibanding Cina, Vietnam dan India. Pada tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak
bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Tahun 1998, PERC juga menempatkan Indonesia
sebagai negara nomor satu paling korup di Asia. Sementara Transparency International TI tahun 1998 mendudukkan Indonesia di posisi keenam negara
paling korup sedunia, setelah tahun 1995 peringkat pertama Tambunan, 2007. Berdasarkan laporan United Nations Development Programme UNDP
tahun 2010, indeks persepsi korupsi corruption perception indexCPI Indonesia menduduki peringkat ke-111 dari 180 negara Kompas, 22 Februari 2011.
Menurut Priyono dikutip dalam Kompas, 22 Februari 2011 korupsi menjadi kerikil pengganjal menghancurkan investasi ekonomi. Korupsi tidak
hanya menciptakan biaya tambahan bagi dunia bisnis, tetapi juga merusak kapasitas regulatif dan pendapatan pemerintah.
Buruknya infrastruktur inadequate supply of infrastructure di dalam negeri selama ini sejalan dengan kenyataan bahwa Indonesia selalu berada di
peringkat yang rendah, bahkan termasuk dalam kelompok terendah terendah di ASEAN. Secara global Indonesia berada di posisi 90 dari 139 negara Swiss
berada di peringkat pertama. Jika dalam survei WEF selama beberapa tahun berturut-turut belakangan
ini menempatkan Indonesia pada posisi sangat buruk untuk infrastruktur, ini berarti memang kondisi infrastruktur di dalam negeri sangat memperihatinkan.
Padahal, salah satu penentu utama keberhasilan suatu negara untuk dapat bersaing di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini dan di masa depan adalah
jumlah dan kualitas infrastruktur yang mencukupi. Buruknya infrastruktur dengan sendirinya meningkatkan biaya produksi yang pada akhirnya menurunkan daya
saing harga dengan konsekuensi ekspor menurun. Konsekuensi lainnya adalah menurunnya niat investor asing atau PMAL untuk membuka usaha di dalam
negeri, dan ini pasti akan berdampak negatif terhadap produksi dan ekspor di dalam negeri.
Wanandi dikutip dalam RCRS, 2010 berpendapat bahwa untuk memenangkan persaingan global, penyediaan infrastruktur adalah hal yang paling
utama, karena infrastruktur yang buruk menyebabkan high cost economy tingginya biaya ekonomi. Wanandi memberi suatu contoh dan fakta
bahwa selama lima tahun periode pemerintahan Presiden SBY Indonesia hanya
membangun jalan tol sepanjang 120 km, sedang Cina telah membangun jalan tol
sepanjang ribuan kilometer, kira-kira 5.000-15.000 km setahun. Ini membuktikan Indonesia tidak melakukan pekerjaan rumah yang seharusnya, sebagaimana telah
dilakukan Cina. Ketersediaan sektor infrastruktur memang merupakan dilema klasik bagi
Indonesia. Tidak terlalu berharap menjadi seperti negara-negara Barat, tapi paling tidak Indonesia mampu mendekati Malaysia atau Thailand dalam hal ketersediaan
infrastruktur jalan dan listrik. Dalam penyediaan pasokan listrik, PLN sering kedap-kedip, padahal listrik adalah “darah” sektor manufaktur. Hal ini sangat
merugikan dunia usaha. Matinya listrik tiba-tiba membuat mesin produksi terganggu. Akibatnya, kualitas dan kuantitas produksi menurun, efisiensi yang
diharapkan tidak tercapai. Kondisi infrastruktur lain, seperti jalan yang kebanyakan sudah rusak dan tak terawat juga menjadi faktor yang mengancam
kelangsungan hidup industri. Diharapkan pemerintah memperhatikan kondisi infrastruktur dengan serius agar investasi lancar. Sekarang ini keadaan industri
morat-marit karena tidak efisien, tingkat risiko dan biaya pun menjadi sangat tinggi. Semakin tinggi risiko dan biaya, makin tinggi pula tingkat suku bunga
pada kredit yang menjadi produk perbankan. Sehingga terjadi domino effect yang besar. Dengan demikian, sektor industri sulit mengembangkan usahanya, mampu
bertahan saja sudah bersyukur Rustandy, dikutip dalam RCRS, 2010. Tidak memadainya infrastuktur disebabkan oleh tiga faktor: 1 kurangnya
alokasi anggaran; 2 penggunaan yang tidak optimal atas anggaran yang ada; 3 koordinasi yang buruk antara yurisdiksi. Partisipasi dari sektor swasta juga masih
kurang Kadin, 2009.
Gbr. 4.9: Skor Kualitas Infrastruktur Indonesia
2.4. Efektivitas Undang-undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 Dalam Kepastian Berinvestasi