Gbr. 4.9: Skor Kualitas Infrastruktur Indonesia
2.4. Efektivitas Undang-undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 Dalam Kepastian Berinvestasi
Sumber: Diolah oleh penulis dari WEF 2010-2011
UU Penanaman Modal UU PM No.25 tahun 2007 dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek penting termasuk soal pelayanan, koordinasi, fasilitas,
hak dan kewajiban investor, ketenagakerjaan, dan sektor-sektor yang bisa dimasukin oleh investor yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi
dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi dari sisi pengusahainvestor. Dua diantara aspek-aspek tersebut yang selama ini merupakan dua masalah serius yang
dihadapi pengusaha, dan oleh karena itu akan sangat berpengaruh positif terhadap kegiatan penanaman modal di Indonesia jika dilaksanakan dengan baik sesuai
ketentuannya di UU PM tersebut adalah sebagai berikut Tambunan 2007 : Pertama, Bab I Pasal 1 No. 10 mengenai ketentuan umum: pelayanan
terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari
lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan
tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Sistem pelayanan satu atap ini diharapkan dapat mengakomodasi keinginan investorpengusaha
untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah, dan cepat. Memang membangun sistem pelayanan satu atap tidak mudah, karena sangat memerlukan
visi yang sama dan koordinasi yang baik antara lembaga-lembaga pemerintah yang berkepentingan dalam penanaman modal.
Dapat dipastikan apabila ketentuan ini benar-benar dilakukan, dengan asumsi faktor-faktor lain seperti kepastian hukum, stabilitas, pasar buruh yang
fleksibel, kebijakan ekonomi makro, termasuk rejim perdagangan yang kondusif dan ketersediaan infrastruktur mendukung, pertumbuhan investasi di dalam
negeri akan mengalami akselerasi. Bagi seorang pengusaha mancanegara yang ingin berinvestasi di sebuah wilayah di Indonesia, adanya pelayanan satu atap
melegakan karena ia tidak perlu lagi menunggu dengan waktu lama untuk memperoleh izin usahanya di Indonesia. Bahkan ia tidak lagi perlu mengeluarkan
biaya pajak maupun pungutan lainnya yang dapat membengkak dari tarif resmi akibat panjangnya jalur birokrasi yang harus ditempuh untuk memperoleh izin
usaha tersebut sebelum adanya pelayanan satu atap. Sebenarnya, hal ini sudah diupayakan sebelumnya lewat Keppres No 29 tahun 2004 mengenai
penyelenggaraan penanaman modal, baik asing PMAL maupun dalam negeri PMDN melalui sistem pelayanan satu atap semasa era Presiden Megawati
Soekarno Putri. Dalam kepres tersebut dinyatakan bahwa penyelenggaraan penanaman modal khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan,
perizinan dan fasilitas penanaman modal dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM. Pelayanan satu atap ini meliputi penanaman modal
yang dilakukan baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun kotamadya berdasakan kewenangan yang dilimpahkan oleh GubernurBupatiWalikota
kepada BKPM. Jadi, BKPM bertugas melakukan koordinasi antara seluruh departemen atau instansi pemerintah lainnya, termasuk dengan pemerintah
kabupaten, kota, serta propinsi yang membina bidang usaha penanaman modal. Kedua, Bab III Pasal 4 No.2b mengenai kebijakan dasar penanaman
modal: menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan
berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum yang tidak ada di Indonesia sejak
berlalunya era Orde Baru sering dikatakan sebagai salah satu penghambat investasi, khusunya PMAL, di dalam negeri. Hasil studi yang dilakukan oleh
LPEM-FEUI dikutip dalam Tambunan, 2007 menunjukkan bahwa masalah- masalah yang dihadapi pengusaha dalam melakukan investasi di Indonesia selain
persoalan birokrasi, ketidakpastian biaya investasi yang harus dikeluarkan serta perubahan peraturan pemerintah daerah yang tidak jelas atau muncul secara tiba-
tiba, juga kondisi keamanan, sosial dan politik di Indonesia. Bahkan hasil survei WEF 2010 menempatkan Indonesia pada peringkat
ke-80 dengan skor 4, berada di bawah nilai standar yaitu 4,3 Finlandia berada pada peringkat pertama untuk pertanyaan apakah pengusaha responden bisa
mengandalkan pelayanan dari polisi untuk melindungi usahanya dari kriminalitas reliability of police services gambar 4.10. Gangguan kriminalitas dan hukum
yang tidak pasti melindungi hak-hak dari pelaku bisnis dalam berbagai transaksi
termasuk jual beli tanah dan sengketa bisnis tentu sangat mengganggu atau menakutkan seorang calon investor untuk menanam modalnya di negara tersebut.
Gbr. 4.10: Skor Indonesia dalam hal perlindungan bisnis oleh polisi
Dalam membahas atau mengidentifikasi kendala perijinan penanaman modal di Indonesia, ada tiga hal yang perlu dipahami Tambunan, 2007.
Pertama, ijin investasi tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu paket dengan ijin-ijin lain yang secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi kegiatan usaha atau menentukan untung ruginya suatu usaha.
Sumber: Diolah oleh penulis dari WEF 2010
Masalah serius adalah koordinasi yang tidak baik antar lembaga pemerintah yang sebenarnya sudah merupakan salah satu persoalan klasik di
negeri ini. Sering kali egoisme sektoral atau departemen membuat suatu kebijakan ekonomi yang sebenarnya sangat baik dilihat dari isinya namun akhirnya menjadi
tidak efektif karena adanya benturan dengan kebijakan-kebijakan lainnya. Kondisi seperti ini sering kali membuat para calon investor kebingungan yang pada
akhirnya membatalkan niat mereka menanam modal di Indonesia.
Masalah koordinasi ini terasa semakin parah sejak pelaksanaan otonomi daerah. Banyak peraturan pemerintah atau keputusan presiden tidak bisa berjalan
efektif karena adanya tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang semuanya merasa paling berkepentingan atas penanaman
modal di daerah. Dalam kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi, kabupaten dan kota diberikan kewenangan dalam bidang
penanaman modal. Namun, sejak pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah pusat terpaksa mengeluarkan Keppres khusus mengenai penanaman modal karena
banyaknya kendala yang dihadapi oleh para investor yang ingin membuka usaha di daerah, khususnya yang berkaitan dengan proses pengurusan izin usaha.
Kadin 2009 berpendapat bahwa investor seringkali dibebani oleh urusan birokrasi yang berbelit-belit sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan
disertai dengan biaya tambahan yang cukup besar. Persoalan ini muncul atau tidak adanya koordinasi yang baik antara pusat dan daerah tersebut jelas disebabkan
tidak adanya penjelasan lebih lanjut secara teknis, Karena tanpa suatu panduan yang jelas, pemerintah daerah menafsirkan berbeda dengan pemerintah pusat
mengenai wewenang dalam pengurusan penanaman modal di daerah. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha dilakukan
oleh BKPM pemerintah pusat dan BKPMD pemerintah daearah. Namun setelah berlakunya otonomi daearah, terjadi ketidakjelasan mengenai pengurusan
izin usahainvestasi dan bukan hanya itu saja, juga terdapat tarik menarik antara kegiatan BKPMD dengan BKPM serta instansi-instansi pemerintah daerah
lainnya yang menangani kegiatan investasi. Sejak penerapan otonomi daerah hingga sekarang ini banyak pemberitaan di media masa yang menunjukkan bahwa
di sejumlah daerah kewenangan penanaman modal digabung dalam dinas perindustrian dan perdagangan, atau bagian perekonomian. Ada beberapa daerah
yang membentuk suatu dinas khusus untuk mengurus penanaman modal. Bahkan banyak kabupatenkota yang sangat serius dalam menciptakan iklim berinvestasi
yang kondusif dengan membentuk kantor pelayanan satu atap. Hasil survei dari LPEM-FEUI 2001 menunjukkan bahwa menurut responden Pemda, lama waktu
pengurusan izin usaha baru apabila semua persyaratan dipenuhi dapat dikeluarkan paling lama dalam 3 bulan. Sementara itu, dari sisi pelaku usaha, waktu yang
diperlukan untuk mengurus ijin usaha baru adalah antara 1-3 bulan 44 dan antara 3-6 bulan 21.5.
Kedua, selain harus sejalan dengan atau didukung oleh UU lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kelancaran penanaman
modal di dalam negeri, UU PM ini juga harus memberikan solusi paling efektif terhadap permasalahan-permasalahan lainnya yang juga sangat berpengaruh
terhadap kegiatan investasi, diantaranya adalah persoalan pembebasan tanah. Banyak kasus dalam beberapa 15 tahun belakangan ini menunjukkan kegiatan
investasi terhambat atau bahkan dibatalkan karena belum tuntasnya pembebasan tanah. Ini berarti, masalah pembebasan tanah harus masuk di dalam paket
perijinan investasi seperti yang dimaksud di atas. UU PM No.25 tahun 2007 tidak akan efektif meningkatkan investasi di Indonesia apabila persoalan pembebasan
tanah semakin ruwet, semakin mahal dan semakin besar resiko keselamatan jiwa dan usaha bagi calon investor. Yang dimaksud keselamatan jiwa dan usaha adalah
karena sering kali terjadi penipuan dalam transakti pembelian tanah, yang beberapa tahun setelah tanah dibeli dan pabrik dibangun di atas tanah tersebut,
tiba-tiba muncul sekelompok masyarakat menduduki pabrik tersebut dengan cara paksa dengan alasan mereka sebenarnya alih waris dari tanah itu dan tidak
mendapatkan sesenpun uang dari pembelian tersebut. Ketiga, adalah birokrasi yang tercerminkan oleh antara lain prosedur
administrasi dalam mengurus investasi seperti perizinan, peraturan atau persyaratan, dan lainnya yang berbelit-belit dan langkah-langkah prosedurnya
yang tidak jelas. Ini juga merupakan masalah klasik yang membuat investor enggan melakukan investasi di Indonesia. Dalam gambar 4.11, hasil survei WEF
menunjukkan birokrasi yang tidak efisien merupakan masalah utama pertama yang dihadapi pengusaha di Indonesia. Masalah ini bukan hanya membuat banyak
waktu yang terbuang tetapi juga besarnya biaya yang harus ditanggung oleh pengusaha atau calon investor burden of government regulation. Diantara
negara-negara ASEAN, hasil survei WEF tersebut menunjukkan Indonesia berada pada posisi ke 4 setelah Singapura dengan birokrasinya yang paling efisien atau
biaya birokrasi paling murah tidak hanya di ASEAN tetapi juga dunia menurut versi WEF dan dibawah Malaysia dan Brunei Darussalam. Untuk mengukur ini,
digunakan skor antara 1 biaya paling besar dan 7 tidak ada biaya sama sekali.
Gbr. 4.11: Skor Indonesia di dalam kelompok ASEAN dalam Biaya dari peraturan pemerintah
Sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, UU PM No.25 tahun 2007 ini bisa berfungsi sebagai motor akselerasi terhadap pertumbuhan investasi
di Indonesia sesuai harapan hanya jika UU atau peraturan lainnya yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kegiatan investasi atau
usaha disederhanakan atau mendukung UU PM tersebut. Dengan kata lain, tidak akan ada gunanya jika birokrasi dalam pengurusan izin investasi disederhanakan
namun prosedur adminstrasi untuk mendapatkan izin-izin lainnya untuk membuka suatu usaha baru tidak turut disederhanakan Tambunan, 2007.
Sumber: Diolah oleh penulis dari WEF 2010
Hasil survei lainnya dari WEF menunjukkan bahwa Kanada dan Selandia Baru berada di peringkat teratas alias terbaik dari 139 negara dalam jumlah
prosedur yang harus dialami oleh seseorang dalam membuka suatu usaha baru number of procedures required to start a business dengan hanya 1 prosedur saja.
Sedangkan Indonesia berada di posisi ke-88 bersama-sama dengan Kamboja, Cape Verde, Chili, Kolombia, Jerman, Malaysia, Mauritania, Peru, Rusia dan
Trinidad Tobago dengan harus menempuh sebanyak 9 prosedur sebagaimana yang terlihat pada gambar 4.12.
Gbr. 4.12: Jumlah prosedur dalam membuka suatu usaha baru
Sumber: Diolah oleh penulis dari WEF 2010
Sedangkan dalam hal waktu yang diperlukan untuk mengurus suatu usaha baru time required to start a business, Kanada tetap berada pada posisi terbaik.
Singapura berada pada peringkat ke-3 sehingga Singapura adalah satu-satunya bukan hanya dari ASEAN tetapi juga dari Asia dan kelompok negara-negara
berkembang yang masuk di dalam 10 besar negara-negara terbaik dalam masalah ini. Sementara itu, posisi Indonesia berada pada posisi ke 121 dengan memerlukan
waktu 60 hari lamanya sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar 4.13, dan merupakan salah satu paling rendah di dalam kelompok ASEAN di atas Brunei
Darussalam.
Gbr. 4.13: Waktu hari yang diperlukan untuk mengurus suatu usaha baru
Prosedur bea cukai yang berlaku burden of customs procedures di Indonesia juga sangat mempengaruhi niatnya untuk memilih negara ini sebagai
tempat usahanya. Hasil survei dari WEF kembali menunjukkan buruknya posisi Indonesia untuk masalah ini dan menempatkan Indonesia pada peringkat ke-89
dengan skor 3,9, berada di bawah nilai standar yaitu 4,2 yang terlihat dalam gambar 4.14.
Sumber: Diolah oleh penulis dari WEF 2010
Keberadaan UU PM No.25 2007 akan kurang berarti atau bahkan sama sekali tidak menimbulkan efek akselerasi terhadap pertumbuhan investasi,
khususnya PMAL, di Indonesia, jika hal-hal lain seperti prosedur bea cukai tidak disederhanakan. Karena, penanaman modal hanyalah proses awal dari berdirinya
suatu usaha yang tujuannya adalah untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dengan biaya dan resiko, serta keruwetan prosedur bea cukai yang
sedikit mungkin Kadin, 2009.
Gbr. 4.14: Skor Indonesia mengenai Prosedur Bea Cukai
Iklim investasi di Indonesia yang cenderung tidak kondusif untuk bisa menarik investor baik dalam maupun luar negeri masuk berinvestasi di Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan World Bank, ketidakstabilan ekonomi makro, ketidakpastian kebijakan, korupsi oleh pemerintahan daerah maupun
pusat, perizinan usaha, dan regulasi pasar tenaga kerja menjadi alasan utama investor masih khawatir untuk melakukan bisnis di Indonesia. Berdasarkan survei
Bank Dunia, iklim berinvestasi di Indonesia menempati peringkat ke-121 dari 183 negara. Peringkat tersebut menurun dibandingkan dengan peringkat tahun 2010,
yakni peringkat ke-115 Kompas, 17 Februari 2011. Sumber: Diolah oleh penulis dari WEF 2010
Pelayanan publik yang dikeluhkan terutama terkait dengan ketidakpastian biaya dan lamanya waktu berurusan dengan perizinan dan birokrasi. Hal ini
semakin diperparah dengan masih berlanjutnya berbagai pungutan, baik resmi maupun liar, yang harus dibayarkan kepada para petugas, pejabat, dan preman.
Studi yang dilakukan Kuncoro 2010 menunjukkan masih adanya grease money dalam bentuk pungutan liar pungli, upeti, dan biaya ekstra yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan dari sejak mencari bahan baku, memproses input menjadi output, maupun ekspor. Lebih dari separuh responden berpendapat bahwa
pungli, perizinan oleh pemerintah pusat dan daerah, kenaikan tarif BBM, listrik, dan sebagainya merupakan kendala utama yang dihadapi para pengusaha yang
berorientasi ekspor. Rata-rata persentase pungli terhadap biaya ekspor setahun adalah 7,5 , yang diperkirakan sebesar Rp. 3 triliun atau sekitar 153 juta dollar
AS. Lokasi yang dituding rawan terhadap pungli terutama jalan raya, jembatan timbang dan pelabuhan. Dan oknum yang paling banyak menerima pungli tersebut
adalah polisi serta petugas Bea dan Cukai BC Masih menjamurnya grease money dalam praktik birokrasi di Indonesia menjadi gambaran buruknya
kelembagaan yang pada akhirnya akan menyebabkan tingginya biaya transaksi.
2.5. PMAL Indonesia Ke Depan