Latar Belakang Masalah Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si 3. Nurman Achmad, S. Sos, M. Soc,Sc

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Munculnya kawasan kumuh dengan tingkat kepadatan populasi tinggi ditemui di berbagai kota besar di dunia. Kawasan kumuh umumnya dihubung-hubungkan dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi. Kawasan kumuh dapat pula menjadi sumber masalah sosial seperti kejahatan, obat-obatan terlarang dan minuman keras. Di berbagai negara miskin, kawasan kumuh juga menjadi pusat masalah kesehatan karena kondisinya yang tidak higienis. Peningkatan kawasan kumuh juga berkembang seiring dengan meningkatnya populasi penduduk, khususnya di dunia ketiga. Pemerintah-pemerintah di dunia sekarang ini mencoba menangani masalah kawasan kumuh ini dengan memindahkan kawasan perumahan tersebut dengan perumahan modern yang memiliki sanitasi yang baik umumnya berupa rumah bertingkat. Beberapa indikator yang dapat dipakai untuk mengetahui apakah sebuah kawasan tergolong kumuh atau tidak adalah diantaranya dengan melihat : tingkat kepadatan kawasan, kepemilikan lahan dan bangunan serta kualitas sarana dan prasarana yang ada dalam kawasan tersebut. Namun demikian kondisi kumuh tidak dapat digeneralisasi antara satu kawasan dengan kawasan lain karena kumuh bersifat spesifik dan sangat bergantung pada penyebab terjadinya kekumuhan. Universitas Sumatera Utara Pemukiman kumuh merupakan pemukiman yang tidak layak huni karena tidak memenuhi persyaratan untuk hunian baik secara teknis maupun non teknis. Suatu pemukiman kumuh dapat dikatakan sebagai pengejawatahan dari kemiskinan, karena pada umumnya di pemukiman kumuhlah masyarakat miskin tinggal dan banyak di jumpai di kawasan perkotaan. Kemiskinan merupakan salah satu penyebab timbulnya pemukiman kumuh di kawasan perkotaan. Namun tidak selamanya miskin itu adalah kumuh. Pada dasarnya kemiskinan dapat ditanggulangi dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan, peningkatan lapangan pekerjaan dan pendapatan kelompok miskin serta peningkatan pelayanan dasar bagi kelompok miskin dan pengembangan institusi penanggulangan kemiskinan. Peningkatan pelayanan dasar ini dapat diwujudkan dengan peningkatan air bersih, sanitasi, penyediaan serta usaha perbaikan perumahan dan lingkungan pemukiman pada umumnya. Terjadinya krisis-krisis lingkungan tersebut telah mencetuskan pemikiran atau paradigma baru yang disebut pembangunan berkelanjutan Sustainable Development. Paradigma pembangunan berkelanjutan menekankan pentingnya pemahaman terhadap makna hubungan timbal balik antara tiga dimensi utama kehidupan yang saling berinteraksi secara terus menerus, yaitu dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses yang bertujuan mencapai masyarakat sejahtera masyarakat berkelanjutan dalam lingkungan hidup yang berkelanjutan. Dengan demikian jelas bahwa kemiskinan serta kerusakan lingkungan hidup merupakan ancaman utama bagi proses pembangunan Universitas Sumatera Utara berkelanjutan. Proses pembangunan berkelanjutan itu dapat dicapai melalui berbagai cara yang berbeda-beda, tidak universal, melainkan tergantung kepada kondisi sosial- budaya dan ekonomi masyarakat serta lingkungan hidup masyarakat itu sendiri. Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan perlu perencanaan dan perancangan yang bersifat ekologis dengan melakukan evaluasi terhadap kondisi kawasan-kawasan di kota tersebut, proses-proses yang terjadi didalam masyarakat dan lingkungannya. Hal tersebut dapat dilakukan berdasarkan pemikiran-pemikiran diatas dan dengan pemahaman bahwa kemiskinan dan kerusakan lingkungan adalah ancaman utama pembangunan berkelanjutan. Tiga kriteria pembangunan berkelanjutan di perkotaan: Pertama, pro keadilan sosial, artinya keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumber daya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan kesetaraan gender. Kedua, pro ekonomi kesejahteraan, artinya pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan. Ketiga, pro lingkungan berkelanjutan, artinya etika lingkungan non-antroposentris menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan mengutamakan peningkatan kualitas hidup non-material Gondokusuma dalam Budhy 2005 : 407. Peningkatan jumlah penduduk dunia diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk kota dan peningkatan jumlah penduduk miskin di perkotaan telah membuat beban lingkungan perkotaan bertambah berat permasalah pokok perkotaan di negara Universitas Sumatera Utara sedang berkembang terdapat subsistem besar yang komponen-komponennya saling berinteraksi secara terus menerus yaitu : Pertama, subsistem ekonomi : rendahnya tingkat pendapatan dan lemahnya tingkat pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kedua, subsistem sosial : masyarakat yang menderita kemiskinan seperti pengangguran, kriminalitas, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang tidak memadai. Ketiga, subsistem lingkungan yang menderita kerusakan seperti pencemaran air, udara dan tanah, kelangkaan air bersih dan pemukiman yang kumuh. Gondokusumo dalam Budhy 2005 : 408. Sejarah perkembangan Kota Lhokseumawe dimulai sejak dasawarsa kedua abad XX. Saat itu Lhokseumawe diisi oleh bangunan-bangunan pemerintah umum, militer dan perhubungan kereta api milik Pemerintah Belanda. Pada tahun 1956 dibentuklah Kebupaten Daerah Tingkat DATI II Aceh Utara yang beribukota Lhokseumawe. Selanjutnya pada tahun 2001 Lhokseumawe resmi menjadi kotamadya yang memiliki wilayah administrasi pemerintahan sendiri Bappeda Lhokseumawe, Sejarah Kota Lhokseumawe. Seiring ditemukannya sumber gas alam cair di Arun Kabupaten Aceh Utara pada tahun 1973, maka kawasan pemukiman di Lhokseumawe tumbuh dan berkembang sangat pesat pada tahun 1973-1979. Pembangunan pabrik pengolahan gas alam cair PT. ARUN Liquefied Natural Gas LNG di Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe juga menyebabkan terjadinya lonjakan pertumbuhan penduduk rata-rata nasional pada saat itu Bappeda Kabupaten Aceh Utara dalam Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Aceh Utara, 1997. Universitas Sumatera Utara Hal tersebut tentu saja menyebabkan kebutuhan lahan dan perumahan di Lhokseumawe menjadi meningkat pula, tanpa mampu diimbangi oleh penataan kawasan secara baik dan ideal dari pemerintahan Aceh Utara pada saat itu, sehingga penduduk baru di Kota Lhokseumawe yang disebabkan oleh migrasi, mengisi ruang- ruang yang ada secara tidak teratur. Sebagian daripadanya membentuk komunitas pemukiman padat terutama oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah seperti halnya yang terjadi di Gampong Pusong Baru dan Pusong Lama yang dominan mata pencahariannya tergantung pada hasil nelayan. Pemukiman di Kecamatan Banda Sakti yang memiliki 9 Gampong dengan 4.673 rumah tangga sehingga menyebabkan pemukiman yang padat. Muncul berbagai permasalahan seperti keterbatasan air bersih, pengelolaan sampah, ketersediaan jamban keluarga serta rendahnya pendapatan masyarakat yang merupakan faktor penyebab ketidakmampuan dalam meningkatkan dan memelihara lingkungan pemukiman tempat tinggal yang baik dan sehat. Melihat kenyataan tersebut, berdasarkan Keputusan Walikota Lhokseumawe Nomor : 225 Tahun 2010 tentang penetapan kawasan kumuh dalam wilayah kota Lhokseumawe menetapkan bahwa Gampong Pusong Lama dan Gampong Pusong Baru dikategorikan sebagai kawasan kumuh dan tujuh Gampong lainnya Keude Aceh, Teumpok Teungoh, Mon Geudong, Jawa Lama, Hagu Selatan, Ujong Blang, Ulee Jalan ditetapkan sebahagian kumuh di Kecamatan Banda Sakti Hasil observasi awal, data dari Bappeda Kota Lhokseumawe, 22 Maret 2011. Universitas Sumatera Utara Fenomenal yang terjadi selama ini di Gampong Pusong Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe kondisi masyarakatnya masih tinggal di pemukiman kumuh dan dengan kemiskinan. Padahal dengan melihat letak geografis Pusong Baru itu sendiri merupakan bagian strategis dari wilayah pusat Kota Lhokseumawe. Informasi dari Geuchik Gampong Pusong Baru Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe bahwa program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kota pada saat ini lebih memprioritaskan infrastruktur, namun untuk diketahui, sedikit pun belum menyentuh bagian dari luas 20 Ha Gampong Pusong Baru. Jumlah warga 6.000 jiwa, “40 persen warga kumuh dan penduduk miskin mencapai 60 persen. Serta seluas 6 Ha dari 20 Ha desa acap terendam air laut dikala pasang purnama. Kendati bagian strategis dari pusat Kota Lhokseumawe dan meski berganti-ganti walikota, namun Gampong ini tak pernah tersentuh pembangunan, bahkan terabaikan. Berdasarkan data terkini yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik BPS Kota Lhokseumawe, 39 persen warga masuk dalam kategori rumah tangga miskin secara nasional. Kategori-kategori yang dinyatakan miskin secara nasional. Ada 14 item yang dinilai, yakni kondisi rumah yang dihuni, pendidikan anak-anak, penghasilan per bulan di bawah Rp 600 ribu, frekuensi makan per hari, tidak punya sepeda motor, frekuensi beli baju per tahunnya, susu bagi anak, dan sejumlah kategori lainnya. “Dari 14 item itu, jika ada yang mengalami sembilan saja, maka sudah bisa dikatakan keluarga miskin. Data yang dibawa petugas lapangan selanjutnya dikirim ke BPS Pusat. Hasil pendataan dari 33.995 rumah tangga di Kota Lhokseumawe, 13.269 39 persen Universitas Sumatera Utara dinyatakan dalam kategori miskin. Dirincikan, Kecamatan Blang Mangat 2.491 rumah tangga, Muara Dua 3.336, Muara Satu 2.769, dan Banda Sakti 4.673 rumah tangga. Dengan kondisi ini tentunya perlu terobosan-terobosan yang cepat dari pemerintah Kota Lhokseumawe untuk terus mengurangi jumlah rumah tangga miskin. Sudah fenomena alamiah, warga kumuh dan miskin selalu kurang beruntung. Demikian yang dialami masyarakat Pusong Baru dan Pusong Lama. Kondisi mereka dari tahun ke tahun hidup di rumah tidak layak huni yang kelihatan sangat kontras, dibanding warga menengah ke atas penghuni kota Lhokseumawe. “50 Warga Gampong Pusong Baru, berprofesi tukang jemur ikan teri dengan produksi per bulan tidak kurang dari 50 ton. 80 persen dari 1000 KK penduduk berprofesi nelayan tradisionil, penopang kebutuhan ikan seluruh warga kota Lhokseumawe strata menengah ke atas,” T. Zulkifli Ilyas, Geuchik Gampong Pusong Baru dalam Waspada: Kamis, 28 Januari 2010. Wajarkah warga miskin ini dikonotasikan dengan borok kota. Wajarkah mereka ini dimarginalkan. Masyarakat Pusong yang berada di lingkungan tidak sehat sampai dengan sekarang ini, dengan tumpukan sampah di sekitar rumah warga, ketika bau menyebar, warga mengaku sulit bernafas. Selain itu banyak warga mengalami gatal-gatal. Warga mengharapkan supaya dinas terkait memperhatikan nasib keadaan lingkungan Pusong. Berdasarkan permasalahan tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dengan judul Pengembangan Konsep Pemukiman Berkelanjutan Studi Kasus di Pemukiman Kumuh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Universitas Sumatera Utara

1.2 Perumusan Masalah