6
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Konsep Gender
Konsep gender hingga saat ini telah dirumuskan dan dijabarkan oleh banyak pihak. Salah satu konsep yang berbicara mengenai definisi gender diungkapkan
oleh Fakih 2004, adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa
perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat-sifat tersebut dapat
dipertukarkan satu sama lain dan berubah dari waktu ke waktu. Artinya laki-laki bisa saja memiliki sifat yang dianggap sifat perempuan, sebaliknya perempuan
bisa juga memiliki sifat yang dianggap sifat laki-laki Fakih, 2004. Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep gender di sini dapat mengakibatkan munculnya bias
gender yang akan berujung pada berkembangnya masalah ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan.
Definisi lainnya menurut Dirjen Peranan Perempuan 1998 dalam Rohmah 2006, adalah konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara
laki-laki dan perempuan. Konsep gender berbeda dengan seks. Seks sama dengan jenis kelamin yaitu persifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang
ditentukan secara biologis. Misalnya laki-laki memiliki penis, memiliki jakala dan memproduksi sperma, sebaliknya perempuan memiliki alat reproduksi seperti
rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat yang dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin
tersebut melekat pada laki-laki dan perempuan secara permanen, sehingga tidak berubah dan tidak bisa dipertukarkan karena sudah merupakan ketentuan Tuhan
yang dikatakan sebagai kodrat Tuhan. Konsep gender yang disebabkan oleh struktur dan sifat manusia laki-laki dan
perempuan yang dibentuk sejak masa kanak-kanak dan menjadi kekuatan aktif tenaga materiil manusia juga menyebabkan pengklasifikasian secara universal
7
antara laki-laki dan perempuan. Salah satu yang paling menyokong perbedaan gender adalah pembagian dunia ke dalam wilayah publik dan privat domestik.
Wilayah publik, yang terdiri atas pranata publik, negara, pemerintahan, pendidikan, media, dunia bisnis, kegiatan perusahaan, perbankan, agama, dan
kultur, hampir semua didominasi oleh laki-laki meskipun ada perempuan yang memasuki wilayah publik, namun akses dan kontrol lebih rendah daripada laki-
laki Widanti, 2005. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak
ditentukan karena antar keduanya terdapat perbedaan biologi atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranannya masing-
masing dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk memperjelas konsep seks dan gender dapat diperhatikan melalui Tabel 1 adanya kenyataan bahwa laki-laki
secara biologis berbeda dengan perempuan tidak ada perbedaan pendapat, akan tetapi efek perbedaan biologis terhadap perilaku manusia khususnya dalam
perbedaan relasi gender, menimbulkan banyak perbedaan.
Tabel 1. Perbedaan Seks dan Gender
No. Karakteristik Seks
Gender 1 Sumber
pembeda Tuhan Manusia
masyarakat 2 Visi,
misi Kesetaraan
Kebiasaan 3 Unsur
pembeda Biologis alat reproduksi
Kebudayaan tingkah laku 4
Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapat
dipertukarkan Harkat, martabat dapat
dipertukarkan 5 Dampak
Terciptanya nilai-nilai:
kesempurnaan, kenikmatan, kedamaian, dll, sehingga
menguntungkan kedua belah pihak
Terciptanya norma-norma ketentuan tentang ”pantas” atau
”tidak pantas”. Laki-laki pantas jadi pemimpin, perempuan
pantas dipimpin, dll, sering merugikan salah stau pihak,
kebetulan adalah perempuan
6 Keberlakuan Sepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal
pembedaan kelas Dapat berubah, musiman dan
berbeda antara kelas
Sumber : Sugiarti Handayani. 2002.
8
Berdasarkan konsep gender yang telah diuraikan pada Tabel 1, dapat disimpulkan bahwa masing-masing konsep memiliki tujuan yang secara umum
dapat dikatakan sama, yaitu untuk menunjukkan adanya perbedaan antara konsep gender dengan konsep seks. Terdapat perbedaan dalam menjelaskan konsep,
karena masing-masing konsep memiliki konteks yang berbeda. Pada konsep yang dijelaskan Fakih 2004, bahwa kedudukan laki-laki berada pada tingkat yang
lebih kuat daripada perempuan, sehingga peran laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Hal tersebut sependapat dengan Widanti 2005 yang menjelaskan
bahwa salah satu yang paling menyokong perbedaan gender adalah pembagian dunia ke dalam wilayah publik yang hampir semua didominasi oleh laki-laki,
meskipun ada perempuan yang memasuki wilayah publik, namun akses dan kontrol lebih rendah daripada laki-laki.
2.1.2 Karakteristik Tenaga Kerja Perempuan
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, telah dijelaskan tentang konsep gender dan isu-isu ketimpangan gender yang menimpa tenaga kerja perempuan.
Untuk lebih mendalami penelitian selanjutnya, kita juga harus tahu pengertian dari tenaga kerja perempuan itu sendiri, khususnya yang bekerja sebagai pekerja.
Pekerja adalah seseorang yang bekerja dan mendapatkan sejumlah upah dari pengusaha Semaoen, 2000. Pekerja terbagi ke dalam dua kategori, yaitu pekerja
tetap dan pekerja lepas. Pekerja perempuan banyak yang menempati posisi sebagai operator yang berstatus pekerja lepas. Posisi tersebut merupakan posisi
paling bawah. Pekerjaan perempuan dalam perusahaan bertugas menjalankan mesin-mesin produksi yang memiliki tingkat risiko kecelakaan paling tinggi,
namun memiliki upah rendah. Pekerja perempuan yang bekerja di pabrik memiliki karakteristik tertentu
yang dapat dilihat dari segi ekonomi dan sosial Hutagalung, et al., 1992. Dilihat dari latar belakang sosial, pekerja perempuan biasanya berasal dari keluarga
golongan menengah ke bawah. Pekerja perempuan tersebut memiliki keterbatasan dalam segi keahlian. Pekerja yang bekerja di pabrik garmen biasanya hanya bisa
menjahit.
9
Dari segi ekonomi mereka memiliki pendapatan ekonomi yang lemah dan berpendidikan rendah. Perempuan yang bekerja di pabrik, biasanya masih berusia
muda dan belum menikah. Pekerja yang sudah tua biasanya di PHK dengan alasan pabrik sedang mengalami krisis dan tidak mampu membayar pekerja
Tjandraningssih, 1999. Pekerja perempuan memiliki upah yang sama dengan laki-laki, yang berbeda adalah kesempatan dalam memperoleh upah yang lebih
tinggi Hutagalung, et al., 1992. Masih dalam topik yang sama, ada juga pernyataan lain seperti menurut Widanti 2005, upah yang diterima oleh
perempuan lebih rendah daripada upah yang diterima laki-laki atas pekerjaan yang sama. Strategi pengupahan yang ditetapkan oleh pabrik dapat berbeda satu sama
lain, namun seperti yang telah dijelaskan oleh pendapat yang pertama, bahwa upah bisa saja sama atas pekerjaan yang sama, namun kesempatan dalam
memperoleh upah dapat saja berbeda. Dalam hal ini pekerja perempuan sering mempunyai kesempatan yang lebih rendah daripada laki-laki. Bahkan tidak jarang
perempuan ditempatkan pada posisi yang kasar dan dengan risiko yang tinggi. Dari segi karakteristik individu, pekerja perempuan sering distereotipkan sebagai
makhluk yang patuh, teliti, nrimo Widanti, 2005. Selain itu pekerja perempuan lebih disukai perusahaan karena tidak banyak menuntut dan mudah dikendalikan
Hutagalung, et al., 1992. Pekerja perempuan yang bekerja di pabrik besar, biasanya masih berusia
muda yaitu 18 sampai 28 tahun dan berstatus belum menikah. Walaupun status tersebut kadang-kadang tidak benar. Banyaknya pekerja yang berusia muda di
pabrik disebabkan oleh adanya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja yang dianggap sudah tua. Kemudian perusahaan merekrut pekerja baru yang berusia
muda belia Tjandraningsih, 1999. Pekerja perempuan biasanya masuk kerja dengan mengajukan lamaran
terhadap perusahaan atau melalui calo Hutagalung, et al., 1992. Selain itu, perempuan biasanya masuk dengan bantuan saudara atau teman yang bekerja di
pabrik, biasanya mereka berstatus sebagai pekerja pula. Perempuan dapat dengan mudah bekerja di pabrik garmen dengan memiliki bekal keahlian menjahit dengan
menggunakan mesin, namun kebanyakan dari mereka adalah berstatus sebagai pekerja lepas.
10
2.1.3 Pembagian Kerja dan Kondisi Kerja
Setelah membahas konsep gender, konsep pembagian kerja juga menjadi penting dalam mengkaji pemahaman lebih lanjut mengenai ketimpangan gender
yang menimpa tenaga kerja perempuan dalam sektor industri khususnya. Konsep pembagian kerja yang pertama adalah menurut Rahima 2004, bahwa dalam
komunitas terdapat dua kategori pembagian kerja, yaitu kerja produktif dan kerja reproduktif. Baik kerja produksi maupun kerja reproduksi, keduanya berperan
penting dalam proses kehidupan manusia. Kerja produktif berfungsi memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, papan.
Kerja reproduktif adalah kerja ”memproduksi manusia”, bukan hanya sebatas masalah reproduksi biologis perempuan, hamil, melahirkan, menyusui,
namun mencakup pula pengasuhan, perawatan sehari-hari manusia baik fisik dan mental. Hal tersebut berperan penting dalam melahirkan dan memampukan
seseorang untuk ”berfungsi” sebagaimana mestinya dalam struktur sosial komunitas. Kerja reproduktif juga kerja yang pada prosesnya menjaga
kelangsungan proses produksi, misalnya pekerjaan rumahtangga. Tanpa ada yang melakukan pekerjaan rumahtangga seperti memasak, atau mencuci maka tidak
mungkin akan didapatkan makanan, kenyamanan bagi anggota rumahtangga yang lain, sehingga dengan makanan dan kenyamanan tersebut proses yang lain tidak
terganggu. Pekerjaan reproduksi seperti ini tidak dianggap sebagai pekerjaan oleh komunitas dan juga pemerintah padahal secara fisik ini jelas sebagai sebuah kerja.
Selanjutnya Rahima 2004 menyatakan bahwa sistem kapitalisme memiliki kecenderungan kuat untuk memisahkan kerja produksi dan reproduksi, dimana
kedua pekerjaan tersebut dilakukan dan siapa yang melakukan pekerjaan tersebut. Kerja produksi dianggap tanggung jawab laki-laki, biasanya dikerjakan di luar
rumah. Kerja reproduksi dianggap tanggung jawab perempuan dan biasanya dikerjakan di dalam rumah. Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat kesimpulan
bahwa peran dan tanggung jawab laki-laki dalam hal pengambilan keputusan dan produksi, lebih besar dibandingkan perempuan.
Norma yang berlaku dewasa ini kerja reproduksi adalah tanggung jawab perempuan. Secara tradisi dan kodrat, perempuan dipandang sewajarnya
bertanggungjawab dalam arena domestik. Institusi pendidikan, agama, media
11
massa, mendukung pula pandangan ini dan sedikit sekali yang memperhitungkan nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga. Sayangnya, keterlibatan perempuan dalam
kerja produksi tidak mengurangi beban dan tanggung jawabnya di sektor reproduksi. Dengan kata lain, tidak mengundang laki-laki untuk berkontribusi
lebih besar tidak pernah diperhitungkan dalam data perekonomian dan statistik. Jika kerja tersebut diperhitungkan, akan mematahkan mitos ”laki-laki adalah
pencari nafkah utama”. Di sektor publik sering kali sistem yang ada ”tidak mendukung” perempuan
bekerja untuk dapat pula melakukan kerja reproduksi secara optimal sekaligus. Jam kerja panjang, ketiadaan sarana penitipan anak di tempat kerja, dan kesulitan
perempuan bekerja untuk menyusui anaknya, adalah beberapa contoh nyata. Meskipun cuti melahirkan telah diberlakukan secara luas, masih ada yang merasa
rugi memberi cuti melahirkan kepada karyawan perempuan. Diskriminasi terselubung dilakukan guna menghindari pemberian cuti tersebut antara lain
dengan preferensi tidak tertulis mengutamakan merekrut karyawan laki-laki atau karyawan perempuan lajang. Situasi di sektor publik sering kali tidak ramah
keluarga, baik terhadap karyawan perempuan maupun laki-laki. Memberikan cuti melahirkan bagi karyawan perempuan dianggap pemborosan dan inefisiensi.
Berkomitmen tinggi terhadap anak dan keluarga dipandang tidak kompatibel dengan dunia kerja.
Seperti yang sudah disinggung di atas, berkaitan dengan masalah perempuan bekerja produksi yaitu dengan bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah,
kenyataannya sudah lazim ditemui di berbagai kelompok masyarakat. Sejarah menunjukan bahwa perempuan dan kerja publik sebenarnya bukan hal baru bagi
perempuan Indonesia terutama mereka yang berada pada strata menengah ke bawah. Di pedesaan, perempuan pada strata ini mendominasi sektor pertanian,
sementara di perkotaan sektor industri tertentu, seperti garmen, didominasi oleh perempuan. Di luar konteks desa-kota, sektor perdagangan juga banyak
melibatkan perempuan. Data sensus penduduk tahun 1990 menunjukkan bahwa sektor pertanian adalah sektor yang terbesar dalam menyerap tenaga kerja
perempuan yaitu 49,2, diikuti oleh sektor perdagangan 20,6, dan sektor industri manufaktur 14,2. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa
12
tenaga kerja perempuan banyak dimanfaatkan di bagian tenaga produksi yang kasar namun dengan upah yang rendah, dan perempuan dihadapkan pada suatu
posisi yang lemah, dan tidak mampu berbuat banyak untuk membela hak-haknya.
2.1.4 Isu-isu Ketimpangan Gender dalam Sistem Kerja
Pelanggaran hak-hak perempuan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan di Indonesia merupakan fenomena yang sudah sering kita jumpai
dalam kehidupan bekerja. Pada dasarnya hal tersebut tidak membedakan hak-hak dari adanya gender, tetapi selama ini dominasi sistim patriarkhi tetap menjadi
persepsi masyarakat secara struktural. Sering kita jumpai pelanggaran diberbagai bentuk ketidak adilan yang bukan saja disebabkan karena inherennya struktur
hubungan gender tetapi juga struktur ini bersifat asimetris. Hubungan asimetris ini, pada gilirannya mempunyai pembagian kerja yang sangat dikotomis.
Akibatnya kehidupan posisi perempuan tersubordinat dan sekaligus terlemahkan. Misalnya, laki-laki menempati posisi yang dominan terhadap reproduksi biologis,
kontrol terhadap kerja, maupun pola hubungan produksi sosial-ekonomi dari gender. Dengan demikian, perspektif perempuan kalau dikaji dalam kehidupannya
memang ternyata secara implisit belum bisa memiliki hak asasi manusia dan kebebasan dasar pada diri perempuan.
Gender tidak menjadi masalah jika tidak menyebabkan ketimpangan gender terhadap salah satu jenis kelamin, namun gender yang berlaku di komunitas
seringkali diadopsi oleh berbagai pihak yang berkepentingan sehingga melakukan ketimpangan gender dalam skala yang lebih luas Widanti, 2005. Dalam hal ini,
perempuan sering menjadi korban ketimpangan gender terutama dalam lingkungan keluarga, komunitas dan tempat kerja.
Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan gender dan perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan. Faktor yang menyebabkan
ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender adalah akibat gender yang dikonstruksi secara sosial dan budaya. Beberapa anggapan yang memojokkan
kaum perempuan dalam konteks sosial ini memunculkan sejumlah persoalan. Mitos-mitos yang muncul di masyarakat akan menguntungkan kaum laki-laki dan
mendeskriditkan perempuan. Hal tersebut dikarenakan negara Indonesia
13
menganut hukum hegemoni patriarkhi, yaitu yang berkuasa dalam keluarga adalah bapak. Patriarkhi menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak di
dalam keluarga dan ini berlanjut pada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya.
Jadi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perbedaan gender gender differences tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender gender inequality, namun persoalannnya adalah tidaklah sesederhana yang dipikirkan, ternyata perbedaan gender tersebut
telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan.
Menurut Fakih 2004, ketimpanganketidakadilan gender termanifestasikan ke dalam beberapa bentuk, salah satunya adalah marginalisasi. Marginalisasi
perempuan berarti peminggiran perempuan, yang meliputi empat dimensi Scott, 1986:
1. Pertama, marginalisation as exclusion from productive employment sebagai
proses pengucilan. Bahwa perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau dari jenis kerja upahan tertentu.
2. Kedua, marginalisation as concentration on the margins of the labour
market sebagai proses penggeseran perempuan ke pinggiran dari pasar
tenaga kerja. Dimana posisi perempuan dalam sektor publik terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja buruk, dan
tidak memiliki kestabilan kerja. 3.
Ketiga, marginalisation as feminisation or segregation sebagai proses feminisasi atau segregasi. Feminisasi adalah penggunaan tenaga kerja
perempuan untuk sektor produktif tertentu. Segregasi adalah pemisahan kegiatan-kegiatan tertentu berdasarkan jenis kelamin.
4. Keempat, marginalisation as economic inequality sebagai proses
ketimpangan ekonomi yang makin meningkat yaitu pelebaran ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan yang diindikasikan oleh perbedaan
upah serta ketidaksamaan akses keuntungan dan fasilitas kerja, termasuk akses terhadap program-program pelatihan untuk pengembangan karir.
14
Salah satu bentuk terjadinya marginalisasi terhadap pekerja perempuan adalah dengan pemberian upah yang rendah. Bahkan di sektor publik telah
terjadi diskriminasi upah pekerja laki-laki dan upah pekerja perempuan. Upah pekerja di Jakarta ditemukan bahwa pekerja perempuan hanya
menerima rata-rata Rp71.395 per bulan, sedangkan pekerja laki-laki rata-rata Rp95.087 per bulan Yusuf dan Kurniawan, 1992. Pada Tabel 2 disajikan data
tentang diferensiasi upah pekerja menurut jenis kelamin.
Tabel 2. Diferensiasi Upah Pekerja menurut Jenis Kelamin, Jakarta, 1992 Upah Rpbulan
Laki-laki Perempuan
Total 70.000
21 27,6 123 53,94
144 47,4 70.000-85.000
10 13,2 40 17,54
50 16,5 85.000-100.000
21 27,6 41 17,98
62 20,3 100.000
24 31,6 24 10,5
48 15,8 Mean Rupiah
95.108 71.395
83.252 Sumber: Yusuf dan Kurniawan 1992
Berdasarkan Tabel 2, pekerja perempuan memiliki proporsi lebih besar dalam menerima upah yang kecil dibandingkan pekerja laki-laki. Sebaliknya,
pekerja perempuan memiliki proporsi yang lebih kecil dalam menerima upah yang besar dan pekerja laki-laki menerima upah yang lebih besar dibandingkan pekerja
perempuan. Dengan demikian, perempuan yang bekerja sebagai pekerja menerima upah yang rendah dalam dunia publik dan hal ini diakibatkan adanya anggapan
bahwa perempuan bukan pencari nafkah utama dalam keluarga. Dari berbagai teori mengenai isu-isu ketimpangan gender seperti yang telah
dibahas di atas, terdapat banyak sekali ketidakadilan yang memojokkan perempuan sebagai korbannya. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang
lemah, tidak punya kekuatan dan kekuasaan untuk memperjuangkan hak-haknya. Perempuan dianggap sebagai bawahan laki-laki, sehingga selalu berada dalam
posisi yang lemah, terutama dalam wilayah publik.
15
2.1.5 Penyebab Ketimpangan
Gender
Berbagai isu ketimpangan gender telah dibahas sebelumnya. Isu-isu yang semakin berkembang di kalangan masyarakat menimbulkan kondisi yang tidak
baik dalam penyetaraan hak dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan. Ketimpangan gender adalah suatu kondisi yang tidak
memberikan hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk berpartisipasi dalam suatu praktek. Yang dimaksud praktek adalah istilah teknis yang berarti
setiap bentuk kegiatan yang ditunjuk oleh suatu sistem peraturan dan yang menentukan struktur kegiatan tersebut Rawls, 1976 dalam Rohmah 2006.
Salah satu penyebab ketimpangan gender adalah adanya ideologi gender. Ideologi gender berbicara tentang gagasan, pengetahuan kolektif, pemahaman-
pemahaman, pendapat, nilai-nilai, prakonsepsi-prakonsepsi, pengalaman- pengalaman, dan atau ingatan tentang informasi sebuah kebudayaan dan juga
rakyat individual. Ideologi gender yang berlaku di komunitas yang diperkuat oleh hukum negara. Kemudian ideologi gender yang telah terbentuk dalam komunitas
diadopsidipungut oleh industri yang cenderung mengucilkan perempuan untuk menekan biaya produksi dengan menekan biaya pengeluaran upah untuk pekerja.
Kaitan itu dapat dijelaskan dengan posisi pekerja perempuan yang termarjinalisasikan yaitu perempuan sebagai pekerja murah dan terkonsentrasi
dalam industri padat kerja. Hal tersebut terjadi merupakan akibat dari adanya ideologi gender dalam komunitas yang dikuatkan oleh negara Widanti, 2005.
Bentuk-bentuk ideologi gender yang sering terjadi adalah adanya stereotip gender yang memposisikan perempuan sebagai makhluk inferior yang lemah dan
tidak berdaya. Stereotip gender tersebut pada akhirnya menimbulkan bias gender yang memicu dan membuat isu-isu ketimpanganketidakadilan gender yang
menimpa perempuan semakin berkembang dan sulit diatasi. Ada beberapa contoh ketimpangan gender yang terjadi dan menimpa perempuan, misalnya saja ketika
bekerja di industri, perempuan telah mengalami eksploitasi, baik secara disadari maupun tidak. Dikatakan tidak disadari karena dalam hal ini ada ideologi gender
yang menyebabkan sebagian dari mereka menganggap bahwa kebijakan pabrik tersebut adalah adil.
16
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sargent dalam Fakih 2001, yang mengatakan bahwa adanya ideologi akan menyebabkan sesuatu yang kompleks
dianggapnya sebagai sesuatu yang sederhana. Begitu pula dengan pekerja yang sebenarnya telah mengalami ketimpangan menganggap bukan suatu
permasalahan. Berbeda lagi jika pekerja perempuan mengalami ideologi lain yang bertentangan dengan ideologi gender yang berlaku, maka akan menganggap
ketimpangan yang dialami adalah sebagai bentuk permasalahan. Menurut Widanti 2005 dalam kajian feminis jurisprudence
1
pekerja perempuan dapat dikaji dari dua aspek yaitu aspek kondisional dan aspek struktural.
Aspek kondisional pekerja perempuan menyangkut pekerja secara umum yang secara fisik bersifat jangka pendek seperti upah, diskriminasi upah,
diskriminasi tunjangan, kondisi kerja yang menyangkut kesehatan, maupun kesehatan yang berhubungan dengan reproduksi, hak berorganisasi, mengeluarkan
pendapat dan hak-hak dasar lainnya. Aspek struktural lebih menekankan posisi pekerja perempuan dalam keseluruhan struktur formasi sosial yang ada. Kedua
aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Selanjutnya Fakih 2004 menambahkan bahwa pekerja perempuan harus diletakkan dalam perspektif
struktural dalam kerangka kerja jangka panjang. Diskriminasi upah yang terjadi secara eksplisit maupun implisit
memanipulasi ideologi gender sebagai pembenaran seringkali terjadi di pabrik. Kenyataan bahwa tugas utama perempuan adalah di sektor domestik,
menyebabkan saat perempuan masuk ke sektor publik ”sah-sah” saja untuk memberikan upah lebih rendah karena pekerjaan di sektor publik hanya sebagai
”sampingan” untuk ”membantu” suami. Sebenarnya pihak yang diuntungkan dalam kasus diskriminasi upah adalah pemilik modal yang dapat menekan biaya
produksi melalui pengurangan komponen biaya tenaga kerja. Selain persoalan upah, dalam perspektif perbandingan dengan laki-laki, perempuan di sektor publik
menghadapi kendala lebih besar untuk melakukan mobilitas vertikal kenaikan pangkat, posisi, jabatan karena ideologi patriarkis yang dominan Rahima, 2004.
1
Feminis jurisprdence adalah kajian hukum feminis yang merupakan landasan kajian
hukum bagi kelompok buruh perempuan.
17
Jika dilihat secara teliti lagi, sebenarnya telah ditemukan pokok utama permasalahan penyebab ketimpangan gender yang menimpa tenaga kerja
perempuan, khususnya dalam sektor industri. Ideologi gender menimbulkan bias gender yang nantinya berwujud ketidakadilan gender, dan perempuan menjadi
korban yang tidak dapat berbuat apa-apa. Jika saja pekerja tahu akan hak dan kewajibannya sebagai pekerja, dan mereka mau bersatu untuk
memperjuangkannya, masalah ini dapat diatasi, tentunya dengan kerjasama berbagai pihak seperti pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja.
2.1.6 Kesejahteraan Keluarga
Tingkat kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun
waktu tertentu. Menurut Yosep seperti yang dikutip Nurohmah 2003, kesejahteraan itu bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala sosial besar dan
kecil misalnya keluarga dan individu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing
individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum tentu dapat dikatakan sejahtera bagi orang lain.
Menurut Sawidak 1985 dalam Nurohmah 2003, kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi
pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan
yang diperoleh dari hasil menkonsumsi pendapatan tertentu. Konsumsi sendiri bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal
konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya. Menetapkan kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya merupakan
hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ini disebabkan permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut permasalahan per bidang saja, tetapi
menyangkut berbagai bidang kehidupan yang kompleks. Untuk itu diperlukan pengetahuan di berbagai bidang disiplin ilmu di samping melakukan penelitian
atau melakukan pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku secara umum dan spesifik. BPS, 1995
18
Tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga dapat diukur dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumahtangga tersebut. Mengingat data
yang akurat sulit diperoleh, maka pendapatan yang sering digunakan adalah melalui pendekatan pengeluaran rumahtangga. Pengeluaran rata-rata per kapita
per tahun adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumahtangga selama setahun untuk konsumsi semua anggota rumahtangga dibagi dengan banyaknya anggota
rumahtangga. Determinan utama dari kesejahteraan penduduk adalah daya beli. Apabila daya beli menurun, maka kemampuan untuk memenuhi berbagai
kebutuhan hidup menurun, sehingga tingkat kesejahteraan juga akan menurun BPS, 1995.
Menurut Mardinus 1995 dalam Nurohmah 2003, untuk menentukan suatu keluarga sudah digolongkan sejahtera secara materiil atau belum tentunya
diperlukan ukuran pendapatan yang biasa disebut garis kemiskinan. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan
dasar hidupnya. Garis kemiskinan adalah besarnya nilai pengeluaran dalam rupiah untuk memenuhi kebutuhan dasar minuman makanan batas kecukupan
pangan dan non makanan batas kecukupan non pangan. Garis kemiskinan diartikan sebagai tingkat pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar
minimum. Suatu keluarga yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan, tidak dapat memenuhi semua kebutuhan secara materiil.
Menurut data BPS tahun 2007 Garis Kemiskinan Indonesia naik sebesar Rp.166.697 per kapita per bulan Siregar, et al., 2007 dalam Nurohmah, 2003.
Selain itu, BPS juga menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran komoditas pangan dan non pangan Rusman, 2006
dalam Nurohmah, 2003. Menurut data Susenas tahun 1996 dan 1996 pengeluaran
untuk pangan bagi rumahtangga miskin berkisar antara 60-80 dari pendapatan dan bagi rumahtangga mampu antara 20-59, sedangkan pengeluaran untuk
pangan di Indonesia menurut BPS tahun 1990 masih merupakan bagian terbesar dari total pengeluaran rumahtangga, yaitu lebih dari 59 Soekirman, 2000 dalam
Nurohmah 2003. Indikator tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga dapat diukur dari
berbagai aspek, antara lain kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan,
19
ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, sosial dan budaya BPS, 2008. BPS kemudian memberikan gambaran tentang cara yang
lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumahtangga mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan
menghitung pola konsumsi rumahtangga. Pola konsumsi rumahtangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumahtanggakeluarga. Selama ini berkembang
pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumahtangga dapat memberikan gambaran
kesejahteraan rumahtangga tersebut. Rumahtangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumahtangga yang
berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumahtangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran
rumahtangga, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumahtanggakeluarga akan semakin sejahtera bila
persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan.
20
2.2 Kerangka Pemikiran