PEMBAhASAN Bidang Sport Science & Penerapan Iptek Olahraga KONI Pusat

Jurnal Iptek Olahraga, Volume I | No. 1 Dimensi Sosiologis dalam Manajemen Olahraga di Indonesia | 85 maupun pengalamannya. Sementara generasinya sulit menembus lapisan para pendekar ini, sekalipun ada, masih terus dipantau dan diintimidasi, sehingga terjadi stagnasi perkembangan olahraga tersebut. Saat ini beberapa organisasi olahraga di Indonesia, maupun komite olahraganya sedang mengalami hal ini. Jika terus dibiarakan, maka akan terjadi dying development matinya perkembangan. Seharusnya keadaan ini tidak dibiarkan terus menerus, seperti yang di uraikan dalam lanjutan teori Figurational, yaitu: Strategi utama mereka adalah agar terlibat dalam program penelitian yang berujung kepada inspirasi sosial serta tanggungjawab terhadap efektivitas upaya untuk membawa perubahan dan transformasi sosial. Dengan demikian adanya perubahan tidak selalu berdampak negative bagi sudut pandang para senior dalam olahraga. Dari sisi lain, pelaku dan proses sosial yang terbentuk, semakin memantapkan keyakinan bahwa olahraga merupakan kegiatan yang kecil dan dilakukan dalam peri kehidupan masyarakat, artinya fenomena- fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat telah tercermin dalam aktivitas olahraga dengan terdapatnya nilai, norma, pranata, kelompok, lembaga, peranan, status, dan komunitas. Sosiologi berupaya mempelajari masyarakat dipandang dari aspek hubungan antar individu atau kelompok secara dinamis, sehingga terjadi perubahan-perubahan sebagai wujud terbentuknya dan terwarisinya tata nilai dan budaya bagi kesejahteraan pelakunya untuk peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan secara utuh menyeluruh. Manusia sebagai mahluk yang homolidens mahluk yang bermain memiliki hasrat bermain dan bergerak sebagai wujud nyata aktualisasi dirinya untuk mengembangkan dan membina potensi yang dimilikinya yang berguna bagi keperluan hidup sehari-hari. Olahraga yang kita lihat pada era sekarang pada hakekatnya merupakan aktivitas gerak fisik yang sudah mengalami pelembagaan formal. Disana terdapat nilai dan norma baku yang bersifat mengikat para pelaku, penyelenggara, dan penikmatnya agar olahraga bisa berlangsung dengan adil, tertib, dan aman. Secara umum, sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat dan proses-proses social yang terjadi di dalamnya antar hubungan manusia JUARA | Januari – April 2013 86 | Neneng Nurosi Nurasjati dengan manusia, secara individu maupun kelompok, baik dalam suasana formal maupun material, baik statis maupun dinamis. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, sosiologi diartikan sebagai ilmu masyarakat yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial,termasuk perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah sosial norma, lembaga sosial, kelompok serta lapisan sosial. Proses social adalah pengaruh timbale balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh timbale balik antara kemampuan ekonomi yang tinggi dengan stabilitas politik dan hukum, stabilitas politik dengan budaya, dan sebagainya. Telaah yang lebih dalam tentang sifat hakiki sosiologi akan menampak- kan beberapa karakteristiknya yaitu: 1 Sosiologi adalah ilmu sosial berbeda jika dibandingkan dengan ilmu alamkerohanian. 2 Sosiologi merupakan disiplin ilmu kategori bukan normatif, artinya bersifat non etis yakni kajian dibatasi pada apa yang terjadi, sehingga tidak ada penilaian dalam proses pemerolehan dan penyusunan teori. 3 Sosiologi merupakan disiplin ilmu pengetahuan murni, bukan ilmu pengetahuan terapan, artinya kajian sosiologi ditujukan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak. 4 .Sosiologi meupakan ilmu pengetahuan empiris dan rasional artinya didasarkan pada observasi obyektif terhadap kenyataan dengan menggunakan penalaran. 5 Sosiologi bersifat teoritis yaitu berusaha menyusun secara abstrak dari hasil observasi. Abstrak merupakan kerangka unsur yang tersusun secara logis, bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat berbagai fenomena. 6 Sosiologi bersifat komulatif, artinya teori yang tersusun didasarkan pada teori yang mendahuluinya. Obyek suatu disiplin ilmu dibedakan menjadi obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah sesuatu yang menjadi bidangkawasan kajian ilmu, sedang obyek formal adalah sudut pandangparadigma yang digunakan dalam mengkaji obyek material. Sebagai ilmu sosial,obyek material sosiologi adalah masyarakat, sedang Jurnal Iptek Olahraga, Volume I | No. 1 Dimensi Sosiologis dalam Manajemen Olahraga di Indonesia | 87 obyek formalnya adalah hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. Konsepsi masyarakat society dibatasi oleh unsur-unsur: • Manusia yang hidup bersama. • Hidup bersama dalam waktu yang relatif lama. • Mereka sadar sebagai satu kesatuan. • Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama yang mampu melahirkan kebudayaan. Secara khusus, sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat dipandang dari aspek hubungan antara individu atau kelompok. Hubungan yang terjadi karena adanya proses sosial dilakukan oleh pelaku dengan berbagai karakter, dilakukan melalui lembaga sosial dengan berbagai fungsi dan struktur sosial. Keadaan seperti ini ternyata juga terdapat dalam dunia olahraga sehingga sosiologi dilibatkan untuk mengkaji masalah olahraga. Sosiologi olahraga merupakan ilmu terapan, yaitu kajian sosiologis pada masalah keolahragaan. Proses sosial dalam olahraga menghasilkan karakteristik perilaku dalam bersaing dan kerjasama membangun suatu permainan yang dinaungi oleh nilai, norma, dan pranata yang sudah melembaga. Kelompok sosial dalam olahraga mempelajari adanya tipe- tipe perilaku anggotannya dalam mencapai tujuan bersama, kelompok sosial biasanya terwadahi dalam lembaga sosial, yaitu organisasi sosial dan pranata. Beragam pranata yang ada ternyata terkait dengan fenomena olahraga.

2. Peran Manajemen Olahraga

Kunci sukses sebuah usaha di zaman modern tidak bisa terlepas dari manajemen. Manajemen olahraga di Indonesia masih belum sepenuhnya berjalan dan merupakan titik lemah dalam pembangunan keolahragaan secara nasional. Manajemen bukanlah sekadar soal pengelolaan, tetapi lebih jauh lagi ke pangkalnya yaitu melihat ke filosofi olahraga itu sendiri, yaitu pandangan bangsa Indonesia terhadap olahraga. Prestasi olahraga di pentas internasional akan membuka mata para wakil rakyat di DPR dan MPR sehingga mereka semakin tergugah dan semakin menyadari pentingnya olahraga dalam kehidupan bermasyarakat JUARA | Januari – April 2013 88 | Neneng Nurosi Nurasjati dan diplomasi internasional. Karenanya, GBHN yang merupakan salah satu produk terpenting MPR, mencantumkan olahraga sebagai salah satu sektor yang dianggap sangat strategis dalam Kebijaksanaan Pembangunan Nasional. Olahraga berperan dalam meningkatkan kualitas manusia dan kehidupan bermasyarakat. Dalam teori funtionalist, masyarakat dianggap sebuah jaringan terorganisir yang masing-masing mempunyai fungsi. Institusi sosial dalam masyarakat mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang saling mendukung. Masyarakat dianggap sebagai sebuah sistem yang stabil yang cenderung mengarah pada keseimbangan dan menjaga keharmonisan sistem. Oleh karenanya sangatlah tepat menempatkan olahraga sebagai salah satu sektor strategis dalam Kebijakan Pembangunan Nasional. Dalam Pelita VI di era Orde Baru, pembinaan olahraga sebagai salah satu upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, diarahkan pada peningkatan kondisi kesehatan fisik, mental dan rohani manusia Indonesia, dalam upaya pembentukan watak dan kepribadian, disiplin dan sportivitas, serta pencapaian prestasi yang setinggi-tingginya agar dapat meningkatkan citra bangsa dan kebanggaan nasional. Hal ini sekaligus merupakan pengakuan, bahwa olahraga dapat dijadikan alat untuk menciptakan manusia-manusia yang unggul. 6 Teori functionalist, juga mengemukakan bahwa dalam teori ini menginspirasi diskusi dan penelitian tentang bagaimana olahraga sebagai lembaga sosial cocok ke dalam kehidupan sosial dan kemudian memberikan kontribusi untuk stabilitas dan kemajuan sosial di organisasi, kelompok dan masyarakat 7 . Dengan demikian olahragapun dapat memberikan kontribusi sosial dalam kehidupan masyarakat, baik melalui organisasinya maupun kegiatan kelompok serta dampak langsung dari olahraga itu sendiri. Selanjutnya teori fungsionalis juga diterapkan dalam kehidupan sehari- hari, yang berfokus pada bagaimana masing-masing bidang kehidupan sosial yang lebih besar secara efisien, yang akan tercapai apabila 1 belajar dan menerima nilai-nilai budaya yang penting 6 Fritz E. Simandjuntak,”Olahraga dalam GBHN 1993-1998”, Kompas, Sabtu, 12 Juni 1993, p.4 7 Jay Coacley, Sport in Society. Issues Controversies. Eight Edition. International Edition 2003. Singapore =.,p. 37 Jurnal Iptek Olahraga, Volume I | No. 1 Dimensi Sosiologis dalam Manajemen Olahraga di Indonesia | 89 2 mempromosikan hubungan sosial antar manusia 3 memotivasi orang untuk mencapai tujuan budaya budaya terbuka 4 melindungi sistem dari pengaruh luar 8 Belajar dan menerima nilai-nilai budaya yang penting dalam olahraga adalah suatu rambu-rambu yang sederhana, namun sulit untuk dilaksanakan. Nilai budaya seperti mudah menerima kekalahan dan mudah menerima keunggulan orang lain dengan lapang dada, baik dalam kegiatan aktivitas olahraganya itu sendiri, maupun dalam bisnis olahraganya. Mempromosikan hubungan sosial antar manusia, banyak sekali kegiatan yang dapat memunculkan persahabatan akibat dari olahraga. Karena warisan terbesar dari olahraga itu sendiri adalah persahabatan, memandang lawan menjadi kawan yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun tidak jarang akibat dari olahraga itu sendiri menjadi konflik yang berkepanjangan. Hal ini lebih dari sekedar olahraga, biasanya sudah ditumpangi nilai-nilai politik pada level yang sudah tinggi. Memotivasi orang untuk mencapai tujuan budaya budaya terbuka, adalah nilai sosial dari teori fungsionalis yang lebih kepada memperluas jaringan persahabatan dan kekeluargaan sebagai impact dari olahraga itu sendiri Namun kelemahan yang muncul dari teory funcionalist adalah: 1 tidak mengakui bahwa olahraga adalah konstruksi sosial 2 pernyataan dampak posistif dan negative dari olahraga 3 menyamaratakan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Seperti telah dikatakan diatas jika olahraga sudah ditumpangi nalai lain dan tujuan lain dari olahraga, maka yang uncul adalah keadaan yang berlawanan dengan konstruksi sosial dari olahraga itu sendiri. Sebagaimana diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, olahraga adalah gerakan yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang sehat jasmani, mental, dan rohani, serta ditujukan untuk pembentukan watak dan kepribadian, disiplin dan sportivitas 8 Ibid., p.40. JUARA | Januari – April 2013 90 | Neneng Nurosi Nurasjati yang tinggi, serta peningkatan prestasi yang dapat membangkitkan rasa kebanggaan nasional. Dari rumusan itu, selain untuk prestasi, olahraga pada dasarnya justru dimaksudkan pemerintah untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Kegiatan olahraga tidak hanya bertumpu pada pembinaan di pemusatan latihan nasionaldaerah pelatnaspelatda tetapi di segala lapisan masyarakat, mulai dari tingkat sekolah sebagai bagian dari upaya pembibitan maupun untuk kesehatan, sampai dengan kegiatan sekadar hobi belaka sports for all. Dalam sport for all, disana akan ditemukan sekelompok orang dengan hobi yang sama yaitu olahraga, juga sekelompok orang yang saling ketergantungan, sekelompok orang dengan kegiatan sosial, sehingga mereka memiliki tujuan yang berbeda-beda dari olahraga itu sendiri. Teori Figurational didasarkan pada gagasan bahwa khidupan sosial terdiri dari jaringan orang saling tergantung. Orang itu ada karena melalui hubungan mereka dengan orang lain, dan jika kita ingin memahami kehidupan sosial, kita harus mempelajari figuratisi sosial yang muncul dan berubah sebagai hubungan sosial antara masyarakat yang ada dan yang berubah 9 Begitu besarnya dampaknya dari olahraga. Ada tiga pihak yang menjadi induk dari kegiatan olahraga nasional di Indonesia, yaitu Departemen Pendidikan Nasional Depdiknas untuk kegiatan olahraga di sekolah, KONI Pusat untuk kegiatan olahraga prestasi pelaksanaannya dilakukan induk organisasi olahraga dan KONI Daerah serta Pengda, serta Menteri Negara Pemuda dan Olahraga untuk kegiatan olahraga masyarakat. Ketiga induk ini kalau menjalankan peranannya masing-masing sebaik-baiknya serta berkoordinasi jika ada kebutuhan lintas sektoral, sebetulnya bisa menciptakan kondisi kehidupan olahraga yang kondusif untuk pembinaan. Kalau dijabarkan lebih rinci, olahraga dapat dipilah menjadi dua yaitu olahraga prestasi dan olahraga non prestasi. Setelah itu maka tugas pembinaan diserahkan kepada induk seperti disebut di atas. Namun dalam 9 Ibid., p. 53 Jurnal Iptek Olahraga, Volume I | No. 1 Dimensi Sosiologis dalam Manajemen Olahraga di Indonesia | 91 pelaksanaan di lapangan, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Salah satu hal yang kini menjadi masalah adalah kurangnya kerjasama antara pihak-pihak itu dalam pembinaan yang berkelanjutan. Prestasi di tingkat pelajar yang baik, tidak segera ’dijemput bola’ karena instansi pembinanya berbeda. Ini terasa sekali dalam sepakbola. Prestasi bagus tim pelajar Indonesia bukan hanya untuk kawasan Asia Tenggara, tetapi juga untuk Asia, tetapi kemudian berhenti di sana. Banyak sekolah sepak bola yang dibangun di daerah, tetapi ketika mereka hendak masuk ke klub yang serius mengalami kesulitan. Ketidaklancaran juga terjadi ketika atlet junior melakukan pematangan untuk menjadi atlet senior, karena ’lembaga’ untuk itu yakni kompetisi rutin dan berjenjang, tidak ada. Pembinaan olahraga kita yang bersifat terkotak-kotak, tidak ber- jenjang, tidak berlanjut, tidak konsisten, diyakini merupakan kunci dari keadaan yang semrawut sekarang ini. Keadaan yang bagai ’lingkaran setan’ sehingga tidak diketahui bagaimana mencari jalan keluarnya. Dalam teori Interaksionis , berfokus pada makna dan interaksi yang terkait dengan olahraga dan pertisipasi olahraga. Hal ini menekankan pada kompleksitas tindakan manusia dan kebutuhan untuk memahami tindakan dalam hal bagaimana orang-orang yang berhubungan dengan olahraga mendefinisikan situasi melalui hubungan mereka dengan orang lain. Salah satu usulan yang disampaikan adalah membentuk sebuah badan yang mendudukkan semua unsur yang secara langsung terlibat dalam pembinaan olahraga, seperti yang terlihat dilakukan negara lain dan berhasil. Misalnya saja Singapore Sports Council di Singapura, Majelis Sukan Malaysia, dan Australia Sports Commission di Australia. Di ketiga negara itu, lembaga tadi berhasil baik dalam menjembatani berbagai instansi yang ada. Keanggotaan badan itu tidak hanya wakil dari ketiga instansi di atas, tetapi juga instansi lain yang terkait, seperti perguruan tinggi, Departemen Dalam Negeri, Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat, sekadar menyebut contoh. Namanya bisa saja Dewan Olahraga Nasional atau Badan Keolahragaan Nasional, tetapi yang jelas fungsinya tidak bersifat eksekutif, hanya menjadi tempat para pelaku memikirkan berbagai hal untuk pengembangan olahraga. Termasuk di sana menyelaraskan program masing-masing instansi, sehingga terbentuk kerja sama yang saling JUARA | Januari – April 2013 92 | Neneng Nurosi Nurasjati mendukung. Badan seperti itu diyakini dapat menjadi jembatan yang menghubungkan semua pihak, sekaligus menjadi lem perekat berbagai perbedaan persepsi yang masih terlihat. Untuk menuju ke arah sana memang tidak mudah, karena membutuhkan kebesaran jiwa masing-masing pihak. Dan melihat fungsinya yang seperti ”di atas” lembaga-lembaga yang kini telah ada maka pembentukan ini tampaknya harus punya pijakan yang kuat yakni Undang-Undang No. 3 tahun 2005 mengenai Sistem Keolahragaan Nasional. Dari catatan sejarah, pada tahun 1965, Menteri Olahraga dan Mendikbud membuat Surat Keputusan Bersama SKB tentang olahraga pelajar meliputi olahraga wajib dan olahraga karya. Posisi Menteri Olahraga ketika itu terasa kuat sampai ke daerah terpencil, sehingga mampu menyelenggarakan pertandingan secara teratur di daerah dan memantau bibit-bibit unggul serta mencetak pelatihguru olahraga daerah di seluruh Indonesia. Hal ini bisa dilakukan karena Departemen Olahraga memiliki anggaran sendiri dan memiliki aparat di tingkat provinsi hingga kecamatan. 10 Peningkatan prestasi olahraga tidak bisa lepas dari dukungan pemerintah. Henry dan Uchiumi 2001 mengatakan bahwa kebijakan olahraga sebuah negara ikut ditentukan oleh warna politik penguasa. 11 Apalagi saat ini prestasi Indonesia menurun di Asian Games Busan 2010 maupun SEAG Laos 2009. Harus ada kebijakan olahraga sports policy yang jelas dari pemerintah agar pembangunan olahraga di sebuah negara berhasil. Pengalaman dan sejarah di Indonesia menunjukkan bahwa ketika almarhum Sultan Hamengkubuwono IX menjadi Wakil Presiden tahun 1978-1983, Indonesia menjadi juara umum SEA Games 1979, 1981, dan 1983, serta berprestasi di Asian Games 1978 dan 1982. Ketika itu lembaga Kantor Menegpora belum ada, tetapi Ketua Umum KONI Pusat, Sri Sultan 10 Munas Tundang,”Pemerintah Perlu Berperan Membangun Olahraga”, Kompas Sabtu, 13 Januari 1996, p.18 11 Ian Henry dan Kazuo Uchiumi,”Political Ideology, Modernity, and Sports Policy: A Comparative Analysis of Sports Policy in Britain and Japan”, Hitotsubashi Journal of Social Studies 33 2001, pp. 161-185 Jurnal Iptek Olahraga, Volume I | No. 1 Dimensi Sosiologis dalam Manajemen Olahraga di Indonesia | 93 Hamengkubuwono IX selaku Wakil Presiden bisa memanggil Mendikbud, Mendagri, Mensesneg, Meneg PPNKetua Bappenas, Menkeu, Menteri PU, dan menteri lainnya untuk membicarakan pembangunan olahraga nasional. 12

3. Kondisi Pendanaan Olahraga di Indonesia

Olahraga Indonesia memang tengah berada di titik nadir. Kegagalan masuk dalam tiga besar SEA Games 2005 di Filipina –pesta olahraga bangsa-bangsa Asia Tenggara– sejak keikutsertaan di tahun 1977 menunjukkan secara nyata betapa tidak seriusnya bangsa ini membangun diri lewat olahraga. Prestasi olahraga suatu bangsa sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari kinerja bangsa itu sendiri yang dihubungkan dengan kondisi sosial politik, termasuk kebijakan makro ekonomi-politik yang dipilih pemerintahnya. Ketiadaan dana selalu menjadi kesimpulan utama saat membedah menurunnya prestasi olahraga Indonesia. Pengurus olahraga sering mengaku pusing tujuh keliling karena ketiadaan dana untuk pembinaan atlet, menggelar kejuaraan, atau memberikan jam terbang bertanding bagi para atlet. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia ternyata juga berdampak pada pengucuran dana pemerintah bagi olahraga. Maka secara partisan, masing-masing pengurus induk organisasi berusaha mencari dana sendiri-sendiri. Kedekatan dengan pengusaha atau perusahaan tertentu menjadi model pencarian dana yang paling populer dan paling sering dilakukan. Jadilah olahraga Indonesia sepertinya berjalan sendiri-sendiri tergantung dari karakter pengurus induk organisasi. Model mencari dana lewat donatur dan kucuran pemerintah tak bisa lagi diandalkan. Apakah sumber-sumber dana yang bisa dimanfaatkan dunia olahraga benar-benar kering? Tidak juga. Simaklah data Nielsen Media Research – Advertising Information Services 2004. Jumlah belanja iklan pada 2004 mencapai Rp 23,892 triliun. Produk perlengkapan komunikasi dan servis mengeluarkan dana terbesar Rp 1,2 triliun diikuti rokok Rp 1,167 triliun, dan produk perawatan rambut Rp 12 Munas Tundang, loc.cit. JUARA | Januari – April 2013 94 | Neneng Nurosi Nurasjati 1,164 triliun. 13 Lalu, mengapa dana yang begitu banyak tidak masuk ke olahraga? Sebagai pembanding, anggaran KONI Pusat untuk olahraga 2006 sebesar Rp 156 miliar yang kabarnya sempat hendak dipotong oleh DPR dan Pemerintah sebesar Rp 56 miliar. 14 Uang iklan memang jumlahnya besar namun oleh si pemilik harus dibelanjakan dengan efisien. Jangan berharap ada pengiklan yang mau membelanjakan anggaran iklan untuk donasi atau atas dasar belas kasihan. Semua pengiklan telah memiliki ukuran-ukuran baku untuk melakukan sponsorship, termasuk pada olahraga. Misalnya apakah brand cocok dengan cabang atau ajang olahraga tertentu asosiasi brand. Juga apakah penonton yang datang besar dan sudah sesuai dengan positioning produk. Dari dua tolok ukur itu, kenyataannya banyak cabang olahraga yang tidak mampu menarik minat sponsor. Cabang atletik dan renang misalnya. Dua cabang yang sangat laris di event Olimpiade itu justru kosong melompong saat digelar di Indonesia. Arena yang kosong jelas tak mengundang minat sponsor untuk memasarkan produk mereka. Televisi pun enggan datang sebab akan kesulitan menjual slot iklan yang disiapkan dalam paket yang akan mereka jual kepada sponsor. Problem ini adalah salah satu kendala pemasaran olahraga di Indonesia. Bagaimana bisa meyakinkan para sponsor jika mengumpulkan penonton saja tidak bisa? Tidak berhasilnya olahraga menyedot dana adalah minimnya kemampuan pemasaran para pengurus olahraga yang bersangkutan. Olahraga menjadi tidak menarik karena kualitas prestasi buruk, penyelenggara tidak mampu membuat kiat-kiat pemasaran, dan memasukkan unsur hiburan yang akan mengundang daya tarik masyarakat untuk menontonnya. Buruknya kualitas prasarana olahraga juga menjadi kendala. Misalnya, kondisi lapangan rumput stadion sepakbola, permukaan lapangan basket 13 Media Scene 200405 Advertising Expenditure by product category print and television 14 Harian Kompas, “KONI Sesalkan DPR, Dana Dipangkas Rp 56 Miliar”, Selasa 1 November 2005 Jurnal Iptek Olahraga, Volume I | No. 1 Dimensi Sosiologis dalam Manajemen Olahraga di Indonesia | 95 bukan kayu, penerangan, kenyamanan penonton, WC dan kamar ganti, lampu, dll. Pencahayaan lampu adalah bagian dari kemasan untuk menjual olahraga. Bagaimana bisa mendapatkan kesan cemerlang terhadap olahraga bisa cahaya lampu redup sehingga televisi maupun fotografer sangat kesulitan mengambil gambar untuk dipublikasikan di media masing- masing? Profesionalisme pengelolaan organisasi olahraga juga menjadi tolok ukur penilaian para sponsor. Perencanaan sasaran pun harus jelas dan meyakinkan. Sebab dengan perencanaan yang jelas dan meyakinkan, para pelaku yang menjadi subjek dalam olahraga akan dengan total melaksanakan fungsinya. Janganlah seperti sekarang dimana profesi sebagai seorang atlet bukanlah sebagai pekerjaan yang favorit.

4. Sport Development Index

Orientasi baru dalam melihat keberhasilan pembangunan olahraga daerahkota telah dirintis dan diujicobakan di beberapa provinsi, yakni melalui sebuah pengkajian indeks pembangunan olahraga yang dikenal dengan Sport Development Index SDI. Pengkajian SDI memandang kemajuan pembangunan olahraga di suatu daerah berdasarkan kemajuan dalam empat aspek: Pertama , partisipasi masyarakat, yang menunjukkan indikator keterlibatan aktif masyarakat suatu daerah terhadap aktivitas olahraga. Seperti yang dituliskan dalam teori Interaksionis, bagaimana orang melakukan pengalaman dalam olahraga. Berfokus pada isu-isu yang berkaitan dengan makna, identitas, hubungan sosial dan hubungan budaya dalam olahraga dan mempelajari manusia sebagai pembuat pilihan dan pencipta makna, identitas dan hubungan 15 Dengan kata lain teori ini menunjukan bahwa partisipasi masyarakat dalam berolahraga adalah meningkatnya sistem hubungan interaksi sosial yang lebih tinggi. Kedua ruang terbuka atau ruang publik yang dimiliki suatu daerah yang dapat diakses untuk kegiatan olahraga masyarakat. Ketiga tingkat kebugaran fisik masyarakat. Dalam teori kritis, bahwa olahraga adalah tempat sosial situs dimana masyarakat dan budaya diproduksi 15 Ibid.,p. 43 JUARA | Januari – April 2013 96 | Neneng Nurosi Nurasjati dan direproduksi serta hal ini membuat jauh lebih penting dari pada hanya sekedar refleksi masyarakat saja. Dengan demikian nilai sosial dari olahraga akan muncul, dan masyarakat menjadi lebih bugar 16 . Keempat sumber daya manusia keolahragaan yang dimiliki dan dapat didayagunakan oleh suatu daerah untuk memajukan olahraga. 17 Sport Development Index sebenarnya merupakan konsep baru yang menganalog konsep Human Development Index HDI. Dalam konsep HDI, kemajuan pembangunan manusia di suatu negara dapat ditentukan dengan menggunakan indikator tertentu. HDI sendiri sebenarnya bukanlah ukuran yang komprehensif, karena hanya merupakan ringkasan atau rangkuman mengenai keberhasilan pembangunan manusia yang didasarkan pada tiga dimensi yang meliputi: longevity, knowledge, dan decent standard of living. Jika HDI dapat menentukan tingkat kualitas manusia pada suatu negara, maka Sport Development Index atau SDI diharapkan dapat menentukan tingkat kemajuan pembangunan olahraga di suatu daerah, termasuk dapat digunakan untuk melakukan komparasi kemajuan pembangunan olahraga antar daerah di Indonesia. Dengan demikian penciptaan iklim “persaingan” keberhasilan pembangunan olahraga akan mengarah pada pembangunan hakikat olahraga yang mendasar, bukan persaingan pada sesuatu yang instan dalam wujud prestasi semu dan berdimensi waktu jangka pendek. Upaya pengkajian untuk mengukur kemajuan pembangunan olahraga perlu dilakukan tiap-tiap daerahkota untuk mengetahui secara lebih akurat besarnya nilai indeks pembangunan olahraga. Indeks tersebut merupakan indeks gabungan dari empat dimensi yang meliputi dimensi partisipasi masyarakat dalam aktivitas olahraga, ruang terbuka atau ruang publik yang dapat diakses masyarakat untuk kegiatan olahraga, kebugaran fisik masyarakat, dan Sumber Daya Manusia SDM keolahragaan. Dengan demikian, suatu daerahkota dikatakan maju dalam pem- bangunan olahraganya, apabila: 1 partisipasi masyarakat dalam berolahraga tinggi 16 Ibid.,p.49 17 Drs. Agus Kristiyanto, M.Pd, ”Menakar Kemajuan Pembangunan Olahraga Nasional” ringkasan Makalah yang telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Hasil Pengkajian Sport Development Index SDI Se Indonesia di Jakarta 23-24 Pebruari 2006. Jurnal Iptek Olahraga, Volume I | No. 1 Dimensi Sosiologis dalam Manajemen Olahraga di Indonesia | 97 2 ruang terbuka atau ruang publik yang dimiliki daerah memadai dari sisi jumlah, luas dan variasinya 3 masyarakatnya memiliki kebugaran jasmani yang bagus 4 daerah tersebut memiliki sumber daya manusia yang secara kualitas dan kuantitas amat memadai untuk memajukan olahraga. Menakar kemajuan pembangunan olahraga melalui pengkajian Sport Development Index SDI akan dapat memberikan orientasi yang lebih “lurus” tentang arah pembangunan umum jangka panjang, terutama dalam sektor keolahragaan yang lebih mengakar dan terkait dengan pembangunan sektor lain. Mendeskripsikan angka-angka aktual dimensi SDI dapat menjadi cermin evaluasi diri self evaluation bagi tiap-tiap daerah untuk selalu berbenah menyongsong kemajuan pembangunan yang lebih cerah di masa mendatang.

5. Pentingnya Manajemen Proses

Indonesia lebih beruntung dibandingkan negara-negara berkembang lainnya di bidang olahraga. Sebab ikon olahraga dunia kita miliki. Ada Tan Joe Hok, Susy Susanti, Rudy Hartono, dan Taufik Hidayat. Mereka menjadi ikon kebanggaan di pentas olahraga dunia, khususnya bulutangkis. Sumbangan prestasi dari cabang-cabang olah raga lain pun cukup banyak seperti atletik, karate, silat, dan beberapa cabang lain. Sebutlah nama Umar Syarief karate, Rossi Nurasjati karate, Kresna Bayu judo, Purnomo atletik, Juana Wangsa Taekwondo, Oka Sulaksana layar, atau Lisa Rumbewas angkat besi. Prestasi adalah hasil sebuah proses panjang. Mulai dari kegemaran berolahraga di sekolah maupun keluarga, latihan di klubperkumpulan, hingga mengikuti pertandingan pada skala regional sampai internasional. Semuanya mengadopsi konsep manajemen mulai dari planning, organising, actuating, maupun controlling sehingga berorientasi ke prestasi. Prestasi perlu mendapatkan penghargaan. Para pembina olahraga seharusnya membuat sistem manajemen olahraga sebagai bentuk penghargaan terhadap prestasi. Dalam sistem manajemen olahraga yang baik, ada tatacara dan pelaksanaan pemberian penghargaan, misalnya, pemberian bonus kepada atlet disesuaikan dengan tingkat prestasi yang JUARA | Januari – April 2013 98 | Neneng Nurosi Nurasjati dicapainya dan berlaku umum, sehingga tidak akan terjadi kecemburuan. Seperti yang disarankan oleh teori critical, bahwa olahraga berkaitan erat dengan hubungan sosial yang kompleks, dimana perubahan yang muncul selalu terkait dengan aspek politik, sosial dan ekonomi 18 Munculnya sebuah prestasi sudah tentu akan mengakibatkan adanya perubahan baik terhadap segi ekonomi, sosial maupun politik. Adanya penghargaan dan bonus boleh jadi adanya perubahan politik atau sebaliknya. Demikian juga dengan perubahan sosial, akan terjadi baik secara dramatis maupun perlahan. Misalnya perubahan status sosial di masyarakat menjadi lebih terhormat, terpandang dan lain-lain. Pada sistem manajemen olahraga yang baik tidak akan melupakan proses pembinaan prestasi olahraga yang berkesinambungan. Pada setiap jenjang, misalnya, atlet memiliki catatan prestasi dalam sistem basis data atlet yang berguna untuk pengembangan prestasi mereka. Gambar diagram alir perencanaan strategi sampai ke pelaksanaan. 18 Jay Coackley, loc.cit., p.100 Jurnal Iptek Olahraga, Volume I | No. 1 Dimensi Sosiologis dalam Manajemen Olahraga di Indonesia | 99 Gambar manajemen proses yang bisa juga diterapkan di olahraga Indonesia. Untuk bisa mencapai kemajuan yang lebih baik, olahraga Indonesia perlu menerapkan manajemen di segenap aspek. Untuk melakukan perubahan shift diperlukan kemampuan menyusun strategi, kepemimpinan, keterikatan engagement, pertumbuhan, serta penerapan manajemen keuangan yang konsisten dan tegas. JUARA | Januari – April 2013 100 | Neneng Nurosi Nurasjati DAFTAR PuSTAKA Bernard J. Mullin, Stephen Hardy, dan William A. Sutton, Sports Marketing Second Edition Illinois: Human Kinetics: 2000, hlm. 117. Drs. Agus Kristiyanto, M.Pd, ”Menakar Kemajuan Pembangunan Olahraga Nasional” ringkasan Makalah yang telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Hasil Pengkajian Sport Development Index SDI Se Indonesia di Jakarta 23-24 Pebruari 2006. Duane Bemis, M.Ed., The road to success comes through hard work, determination, and personal sacrifice,The Sport Journal Volume4, Number3,Summer 2001 Fortune says Jordan rules,” SBD 31 Juli 1998 dikutip sebagian dalam Bernard J. Mullin, Stephen Hardy, dan William A. Sutton, Sports Marketing Second Edition Illinois: Human Kinetics: 2000, hlm. 122 Fritz E. Simandjuntak,” Olahraga dalam GBHN 1993-1998”, Kompas, Sabtu, 12 Juni 1993, p.4 Munas Tundang,”Pemerintah Perlu Berperan Membangun Olahraga”, Kompas Sabtu, 13 Januari 1996, p.18 Media Scene 200405 Advertising Expenditure by product category print and television. Jay Coacley, Sport in Society. Issues Controversies. Eight Edition. International Edition 2003. Singapore Ian Henry dan Kazuo Uchiumi,”Political Ideology, Modernity, and Sports Policy: A Comparative Analysis of Sports Policy in Britain and Japan”, Hitotsubashi Journal of Social Studies 33 2001, pp. 161-185 Harian Kompas, “KONI Sesalkan DPR, Dana Dipangkas Rp 56 Miliar”, Selasa 1 November 2005 — 101 — humas dan Pemasaran Olahraga di Indonesia Oleh: Ria Lumintuarso

A. PENDAhuluAN

I ndonesia pernah mengalami krisis multidimensi pada tahun 1997, kondisi politik, ekonomi dan sosial menghadapi masalah yang sulit dipecahkan. Masalah ini merambah ke berbagai bidang kehidupan masyarakat termasuk prestasi olahraga yang perlahan tapi pasti mengalami penurunan. Indonesia tidak lagi menjadi “Raja” olahraga di Asia tenggara. Isu utama olahraga selain menurunnya prestasi adalah rendahnya profesionalisme, hal itu menyebabkan perjuangan panjang sebelum Indonesia mampu menjadi juara umum kembali pada SEA games 2012 sebagai tuan rumah. Salah satu masalah besar olahraga di indonesia adalah pada saat Indonesia menjadi penyelenggara SEA Games pada tahun 1997, dimana penggalangan dana dilakukan melalui penjualan stiker yang digabungkan dengan pembayaran iuran listrik, telepon dan air bersih. Masyarakat pada saat itu dengan keras mempertanyakan penarikan dana tersebut. KONI sebagai pihak yang bertanggung jawab saat itu tidak dapat memberikan penjelasan yang mampu meredam protes masyarakat. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi bila sistem komunikasi antara pusat organisasi olahraga tersebut dengan masyarakat direncanakan dan diolah dengan strategi komunikasi yang tepat. Kompleksnya permasalahan di atas tidak hanya menunjukkan kurangnya komunikasi yang baik. Lebih jauh menunjukkan bahwa citra olahraga di Indonesia masih belum menggembirakan, baik ditinjau dari sisi internal maupun eksternal. Dalam hal ini organisasi olahraga di Indonesia JUARA | Januari – April 2013 102 | Ria Lumintoarso merupakan salah satu pihak yang paling bertanggung jawab, karena di tangan organisasi inilah mekanisme kegiatan olahraga dirancang dan dijalankan. Salah satu faktor penting untuk menyelesaikan permasalahan di atas adalah memperbaiki citra olahraga di mata masyarakat melalui organisasi keolahragaan di Indonesia. Perbaikan citra olahraga ini hanya dapat di tingkatkan bila organisasi olahraga memiliki situasi hubungan dan komunikasi yang harmonis baik ke dalam internal maupun ke luar eksternal. Sehubungan dengan hal tersebut, Goldhaber 1990:16 menyatakan perlunya komunikasi organisasi yang dipaparkan dengan batasan sebagai berikut: “......the process of creating and exchanging messages within a network of interdependent relationships to cope with environtmental uncertainty”. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa komunikasi dan hubungan dengan lingkungan internal dan eksternal merupakan suatu faktor penting bagi setiap organisasi. Hubungan ini akan meningkatkan naluri untuk mengatasi krisis ketidakpastian pada sebuah organisasi. Sementara itu, situasi olahraga internasional telah mengalami revolusi yang sangat cepat sejak olympiade Los Angeles pada tahun 1984 dimana prinsip-prinsip amatirisme telah mulai ditinggalkan dan muncul fenomena baru “Bisnis olahraga”. Pieter Uberroth berhasil menciptakan keuntungan besar dari dunia olahraga, baik keuntungan material maupun keuntungan terhadap aspek komunikasi dalam dunia olahraga. Sejak saat itu setiap event olahraga menjadi suatu komoditi yang mendatangkan keuntungan bagi penyelenggara. Melihat situasi tersebut, dunia olahraga Indonesia harus mengakui telah ketinggalan beberapa tahun ke belakang. Amatirisme dalam arti manajemen yang tidak profesional masih menjadi jiwa yang membebani perkembangan olahraga di Indonesia, sementara untuk beranjak ke profesionalisme, kenyataan menunjukkan bahwa dari berbagai sisi olahraga Indonesia belum siap. Sudah menjadi hal yang wajar bila ada beberapa event olahraga nasional, tidak ditonton atau bahkan tidak diketahui masyarakat. Karena tidak ada informasi apapun dari panitia penyelenggara ke masyarakat, tidak ada kerja sama dengan pihak-pihak sponsor, tidak ada liputan media