Sifat khas yang senantiasa ada pada diri petani ialah berusaha menghindari kegagalan yang akan menghancurkan kehidupannya dan bukan berusaha
memperoleh keuntungan besar dengan mengambil resiko. Dengan kata lain petani berusaha meminimumkan keuntungan subjektif dari kerugian maksimum.
Perilaku demikian yang disebut juga perilaku safety first atau mendahulukan keamanan merupakan ciri umum petani.
Wharton 1964 dalam Kusnadi et al 2008 mengemukakan bahwa ciri subsistensi petani bisa diketahui dengan dua pendekatan kriteria, yaitu kriteria
ekonomi dan kriteria sosial budaya. Kriteria ekonomi meliputi 1. Rasio atau proporsi produk yang dijual 2. Rasio tenaga kerja upah atau input yang dibeli 3.
Tingkat penggunaan teknologi 4. Pendapatan dan 5. Kebebasan pengambilan keputusan. Kriteria sosial budaya mencakup 1. Faktor non-ekonomi dalam
pengambilan keputusan 2. Derajat kontak dengan dunia luar pasar 3. Bentuk hubungan personal 4. perbedaan psikologis.
Jika dikaitkan dengan marketed surplus, maka kriteria rasio produk yang dijual adalah kriteria paling sesuai untuk mengukur subsistensi petani. Semakin
besar rasio atau semakin besar bagian produk yang dijual, maka petani tersebut semakin komersiil. Hal itu disebabkan pada usahatani komersiil, semakin besar
marketed surplus, maka keuntungan yang bisa diperoleh juga bisa semakin besar.
3.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus
Dalam penelitian ini, ada beberapa hipotesis faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus petani. Faktor –faktor yang mempengaruhi
marketed surplus terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor yang berasal dari internal rumah tangga petani itu
sendiri sedangkan faktor eksternal meliputi faktor yang berasal dari luar rumah tangga petani. Faktor internal meliputi ukuran keluarga, usia petani, pendidikan
petani, dan pengalaman usahatani, sedangkan faktor eksternal meliputi produksi total, harga, musim tanam, akses sarana pasca panen, dan sumber modal :
1. Jumlah Produksi
Semakin tinggi hasil panen yang diperoleh petani, maka semakin banyak pula hasil panen tersebut dipasarkan karena jumlah kelebihan hasil panen akan
semakin banyak. Hal itu disebabkan karena jumlah konsumsi keluarga cenderung
tetap, sehingga bila produksi tinggi, maka selisih antara konsumsi dan produksi yang bisa dijual makin besar atau banyak.
2. Ukuran keluarga
Petani yang subsisten akan menyisihkan sebagian hasil panennya untuk dikonsumsi sehari-hari. Semakin besar jumlah anggota atau tanggungan rumah
tangga petani, maka jumlah yang disisihkan dari hasil panen akan semakin besar yang akan mengurangi jumlah panen yang dipasarkan.
3. Pendapatan luar usahatani
Sumber pendapatan rumah tangga petani tidak hanya dari kegiatan usahatani, tetapi dapat juga berasal dari luar usahatani. Semakin besar pendapatan
rumah tangga petani, maka tingkat kesejahteraannya pun akan semakin tinggi sehingga petani bisa menjual seluruh hasil panennya dan berperan sebagai
konsumen untuk memenuhi kebutuhan berasnya. 4.
Harga Petani yang komersial akan berusaha memaksimalkan keuntungan atau
dalam hal ini penerimaan dari penjualan hasil panen padi. Jika harga gabah atau beras di pasar sedang tinggi, maka petani akan cenderung meningkatkan marketed
surplus agar penerimaan yang didapat semakin besar pula. 5.
Musim Tanam Pola tanam di setiap daerah belum tentu sama. Sehingga, musim tanam
akan mempengaruhi jumlah marketed surplus petani karena jeda dari musim ke musim belum tentu sama. Hal itu menyebabkan petani yang subsisten akan
memperhitungkan berapa kebutuhan konsumsi yang akan dia simpan selama jeda musim tersebut disesuaikan dengan lamanya jeda musim. Semakin lama jeda
musim, maka jumlah produk yang disisihkan akan semakin besar. 6.
Usia Petani Usia dan pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir seseorang. Petani
yang berusia tua diduga akan bersikap lebih subsisten dibandingkan petani yang berusia muda. Petani yang komersiil akan menjual lebih banyak gabah hasil
panennya dibandingkan petani yang subsisten.
7. Pendidikan petani
Pendidikan erat kaitannya dengan pola pikir petani. Petani yang berpendidikan cencerung akan berusaha mendapat hasil atau keuntungan yang
maksimal dari lahan yang diusahakannya. Sehingga, petani yang berpendidikan akan mejual lebih banyak daripada petani yang kurang berpendidikan.
8. Akses sarana pasca panen gabah
Sarana pasca panen terdiri dari gudang penyimpanan gabah dan lantai jemur. Jika petani mempunya akses keduanya, maka petani tersebut akan
cenderung menyimpan gabahnya untuk dijual di kemudian hari saat harga gabah lebih baik. Pendekatan pengukuran variabel ini adalah dengan luasan lantai jemur
atau akses jemur, dan tempat petani menyimpan persediaan gabahnya storage. 9.
Status Penguasaan Lahan Status penguasaan lahan secara teoritis akan berpengaruh negatif terhadap
marketed surplus. Hal tersebut dikarenakan petani yang mengusahakan lahan bukan miliknya sendiri akan dikenakan biaya tambahan atau biaya sewa, yang
sebagian besar sewanya menggunakan sistem bagi hasil panen antara petani pangarap dan pemilik lahan.
10. Sumber Modal Petani yang modal usahataninya berasal dari pinjaman akan cenderung
meningkatkan marketed surplus. Hal itu disebabkan selain untuk mendapat keuntungan, petani juga menjual lebih banyak produknya untuk membayar modal
pinjaman yang dipinjamnya tersebut.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional