Hubungan Corak Usahatani dengan Marketed Surplus

Gambar 4. Skema alokasi produksi padi petani Dalam Gambar 4 dapat dilihat bahwa besaran marketed surplus adalah sebagian dari hasil panen petani. Besaran marketed surplus akan sama dengan marketable surplus jika petani menjual seluruh hasil panennya dengan kata lain tidak melakukan penyimpanan atau stok. Menurut BPS 2003, stok adalah sejumlah bahan makanan yang disimpan atau dikuasai oleh pemerintah atau swasta yang dimaksud sebagai cadangan dan akan digunakan apabila sewaktu-waktu diperlukan. Secara umum, pemegang stok gabah ada dua, yaitu pemerintah dan masyarakat. Stok gabah pemerintah dipegang oleh Bulog sedangkan stok di masyarakat salah satunya dipegang oleh petani. Petani umumnya menyimpan sebagian gabah hasil panennya untuk kebutuhan konsumsi, benih, dan pakan ternak Mears, 1981. Selain itu, petani juga bisa bersplekulasi menyimpan gabah mereka untuk dijual saat harga naik setelah panen.

3.1.2 Hubungan Corak Usahatani dengan Marketed Surplus

Berdasarkan ciri ekonomi, dikenal dua corak usahatani yakni usahatani subsisten dan pertanian komersial. Usahatani subsisten ditandai oleh ketiadaan akses terhadap pasar. Dengan kata lain produk pertanian yang dihasilkan hanya untuk memenuhi konsumsi keluarga dan tidak dijual. Usahatani komersial berada pada sisi berlainan dengan usahatani subsisten. Umumnya usahatani komersial menjadi karakter perusahaan pertanian farm di mana pengelola usahatani telah produksi Net Harvest Marketable surplus Sisa stok sebelum panen Hasil dari lahan yang diusahakan petani lain Dijual marketed surplus penggunaan konsumsi dan benih Pembayaran natura berorientasi pasar. Dengan demikian seluruh output pertanian yang dihasilkan seluruhnya dijual dan tidak dikonsumsi sendiri. Usahatani dalam makna subsisten adalah usahatani yang dikelola oleh petani dan keluarganya. Karena dikelola oleh petani dan keluarganya, umumnya petani mengelola lahan milik sendiri atau lahan sewa yang tidak terlalu luas karena tenaga kerja yang tersedia terbatas. Usahatani tersebut dapat diusahakan di tanah sawah, ladang dan pekarangan. Hasil yang mereka panen biasanya digunakan untuk konsumsi keluarga, jika hasil panen mereka lebih banyak dari jumlah yang mereka konsumsi mereka akan menjualnya ke pasar Soekartawi, 1986. Jadi, pertanian dalam arti sempit dapat dicirikan oleh sifat subsistensi atau semi komersial. Ciri lain usahatani subsisten adalah tidak adanya spesifikasi dan spesialisasi. Mereka biasa menanam berbagai macam komoditi. Dalam satu tahun musim tanam petani dapat memutuskan untuk menanam tanaman bahan pangan atau tanaman perdagangan. Adapun bila usahatani telah dilakukan secara efisien dalam skala besar dengan menerapkan konsep spesialisasi komoditi maka karakteristik pertanian bergeser ke arah komersialisasi. Selain itu, pada usahatani subsisten, kontak antara petani dan pasar sangat minim, bahkan tidak ada. Perilaku ekonomi mempunyai tiga hal yang patut diperhatikan yaitu risiko, ketidakpastian, serta keuntungan Scott,1981 dalam Metro 2005. Istilah risiko dan ketidakpastian dimaksudkan kepada terjadinya kemungkinan kekurangan bahan makanan pokok di masa yang akan datang. Usahatani subsisten juga tidak berorientasi seberapa besar keuntungan yang bisa didapat dengan penjuala hasil produk usahatani, karena hasilnya diprioritaskan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga. Scott 1981 dalam Metro 2005, menjelaskan adanya perilaku enggan menerima risiko dalam pengambilan keputusan petani disebabkan oleh adanya dilema ekonomi petani yang dihadapi oleh kebanyakan rumah tangga petani. Hal itu disebabkan kehidupan petani yang umumnya berada di pedesaan begitu dekat dengan batas subsistensi dan karena itu kondisi tersebut menyebabkan rumah tangga petani tidak banyak mempunyai peluang untuk menerapkan keuntungan maksimal dalam berusahatani. Sifat khas yang senantiasa ada pada diri petani ialah berusaha menghindari kegagalan yang akan menghancurkan kehidupannya dan bukan berusaha memperoleh keuntungan besar dengan mengambil resiko. Dengan kata lain petani berusaha meminimumkan keuntungan subjektif dari kerugian maksimum. Perilaku demikian yang disebut juga perilaku safety first atau mendahulukan keamanan merupakan ciri umum petani. Wharton 1964 dalam Kusnadi et al 2008 mengemukakan bahwa ciri subsistensi petani bisa diketahui dengan dua pendekatan kriteria, yaitu kriteria ekonomi dan kriteria sosial budaya. Kriteria ekonomi meliputi 1. Rasio atau proporsi produk yang dijual 2. Rasio tenaga kerja upah atau input yang dibeli 3. Tingkat penggunaan teknologi 4. Pendapatan dan 5. Kebebasan pengambilan keputusan. Kriteria sosial budaya mencakup 1. Faktor non-ekonomi dalam pengambilan keputusan 2. Derajat kontak dengan dunia luar pasar 3. Bentuk hubungan personal 4. perbedaan psikologis. Jika dikaitkan dengan marketed surplus, maka kriteria rasio produk yang dijual adalah kriteria paling sesuai untuk mengukur subsistensi petani. Semakin besar rasio atau semakin besar bagian produk yang dijual, maka petani tersebut semakin komersiil. Hal itu disebabkan pada usahatani komersiil, semakin besar marketed surplus, maka keuntungan yang bisa diperoleh juga bisa semakin besar.

3.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus