Alokasi Produk Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang

II TINJAUAN PUSTAKA Studi mengenai marketed surplus atau marketable surplus telah dilakukan sejak waktu yang lama, yakni sejak tahun 1960-an. Konsep marketable dan marketed surplus biasanya melekat pada komoditi pangan atau komodiiti yang bersifat subsisten, seperti : padi di Asia, kentang di Amerika Latin, jagung di India, serta gandum dan pisang di Afrika. Namun ada beberapa penelitian yang mengkaji tentang marketed dan marketable surplus komoditi non pangan yaitu sayuran. Namun, dalam penelitian tersebut tidak ditemukan penjabaran secara mendalam mengenai marketed maupun marketable surplus sayuran karena keterbatasan akses informasi.

2.1. Alokasi Produk

Alokasi produk menunjukkan bagaimana petani menggunakan hasil panen yang didapatnya untuk berbagai keperluan. Dengan mengetahui alokasi hasil panen maka bisa diketahui apakah petani masih menjalankan usahataninya secara subsisten atau telah bergerak ke arah komersil. Metode yang digunakan pada studi atau penelitian yang ditemukan umumnya menggunakan metode tabulasi atau crosstab dan deskriptif. Dengan demikian dapat diketahui besaran rata-rata dari setiap alokasi yang dilakukan petani terhadap hasil panennya. Petani masih banyak yang menggunakan sistem panen dengan natura atau membayar tenaga kerja dengan hasil panen Ellis et al 1992, Nusril dan Sukiyono 2007, dan Kusnadi et al 2008. Artinya, petani membayar jasa pemanenan atau pekerjaan dengan menyisihkan atau membagi hasil panen yang didapat dengan proporsi tertentu. Di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat dikenal dengan dua sistem panen natura, yaitu sistem terbuka dan tertutup. Sistem terbuka adalah panen yang dilakukan yang hanya oleh segelintir kelompok buruh tani saja, sedangkan sistem terbuka panen bebas dilakukan oleh siapapun. Sistem tertutup menggunakan pembagian proporsi panen bervariasi antara 1:4 hingga 1:6, Sedangkan untuk sistem terbuka, pembagian panen yang digunakan yaitu proporsi 1:9 atau 1:10 Ellis et al, 1992. Sistem natura yang digunakan petani proporsinya juga dipengaruhi oleh ketersediaan tenaga kerja di lingkungan petani tersebut Kusnadi et al, 2008. Makin sulit tenaga kerja, maka rasio atau proporsi yang digunakan semakin kecil. Atau dengan kata lain, semakin sulit tenaga kerja, maka bagian yang diterima atau dibayarkan petani dari hasil panennya semakin banyak. Nusril dan Sukiyono 2007 dalam studinya hanya menyebutkan bahwa petani harus menyisihkan hasil panenya sebanyak satu per enam bagian. Hal itu disebabkan studi yang dilakukan hanya dalam lingkup desa, sehingga variasi pembagian lebih bersifat homogen. Begitu juga petani kentang dan jagung di India masih membayar tenaga kerja dengan hasil panen, namun proporsinya terbilang kecil, yaitu kurang dari 10 persen dari total produksi Sadhu 2011 serta Chauchan dan Chabbra 2005. Selain untuk natura panen dan tenaga kerja, petani juga mengalokasikan panennya untuk pembayaran sewa lahan. Sewa lahan di Jawa dalam Ellis et al 1992 masih banyak yang menggunakan sistem bagi hasil panen. Pembagian hasil panen yang digunakan umumnya 1:1 antara penggarap dan pemilik, sedangkan pembagian lain yang ditemukan namun hanya dalam jumlah kecil yaitu 1:2. Variasi proporsi 1:2 juga ditemukan dalam Nusril dan Sukiyono 2007. Pembagian 1:1 timbul karena biaya usahatani ditanggung bersama oleh pemilik dan petani penggarap sedangkan pembagian 1:2 disebabkan biaya usahatani ditangung oleh pemilik lahan. Petani juga membayar faktor produksi dengan hasil panen Nusril dan Sukiyono, 2007. Dikarenakan minimnya uang tunai, petani meminjam pupuk kemudian membayarkannya dengan hasil panen setelah panen berlangsung. Pembayaran hasil panennya yaitu 50 kg pupuk dibayar dengan 3,5 kaleng gabah atau 56 kg gabah atau satu kilogram gabah untuk satu kilogram pupuk. Sistem tersebut merugikan petani, karena harga gabah relatif lebih tinggi dari harga pupuk per kilogramnya. Setelah mengeluarkan hasil panennya untuk berbagai kewajiban, maka petani telah mendapatkan hak sepenuhnya dari hasil panen tersebut marketable surplus. Sebenarnya petani bisa menjual seluruhnya dari marketable surplus tersebut. Namun dalam kenyataannya berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan, petani masih menyisihkan atau mengalokasikan panennya tersebut untuk berbagai keperluan, yaitu: konsumsi keluarga, penjualan, benih, dan ongkos giling. Petani masih mengalokasikan sebagian produknya untuk konsumsi rumah tangga Nusril dan Sukiyono 2007, Kusnadi et al 2008 dan Ellis et al 1992. Proporsi dari hasil panen menunjukkan proporsi konsumsi yang bervariasi, namun masih berada di bawah 10 persen dari panen total. Namun proporsi yang lebih besar ditunjukkan pada Siregar 1990. Hal itu dibabkan luasan lahan yang diusahakan petani rata-rata di bawah satu hektar. Untuk tingkat konsumsi rumah tangga, ada kecenderungan penurunan konsumsi rumah tangga petani di Pulau Jawa. Pada Ellis et al 1992, menunjukkan bahwa konsumsi beras di Jawa lebih besar dibandingkan dengan luar Jawa. Kemudian pada Kusnadi et al 2008 ada perubahan bahwa konsumsi di Jawa rendah dari luar Jawa. Selain itu, petani juga masih menyisihkan hasil panennya untuk digunakan sebagai benih pada musim tanam yang akan datang. Sadhu 2011 serta Chaucan dan Chabbra 2005 mengungkapkan bahwa petani masih menyisihkan hasil panennya untuk benih. Namun benih yang disisihkan hanya sebatas untuk keperluan benih lahan sendiri sehingga proporsinya masih relatif kecil, yaitu 2 persen dari total produksi. Penyimpanan atau stok juga dilakukan oeh petani Ellis et al, 1992. Ditemukan bahwa petani khususnya petani padi masih menyisihkan hasil panen untuk disimpan. Namun dalam penelitian tersebut tidak dijelaskan secara rinci penggunaan dari penyimpanan atau stok tersebut, melainkan hanya di jelaskan besaran penyimpanan yang dilakukan petani di setiap musim. Kelebihan atau selisih konsumsi atau hasil panen yang disihkan dengan produksi baru dijual oleh petani marketed surplus. Proporsi marketed surplus yang ditemukan berbeda di setiap penelitian. Proporsi yang tinggi ditunjukkan oleh Kusnadi et al 2008, Ellis et al 1992 serta Dwi 2007 yang menunjukkan bahwa rata-rata petani padi menjual lebih dari setengah produksi atau panen kotor yang dihasilkan. Sedangkan pada Siregar 1990 serta Nusril dan Sukiyono 2007 menunjukkan bahwa proporsi penjualan petani kurang dari setengah bagian dari produksi total. Hal ini disebabkan karena perbedaan rata-rata luasan lahan padi yang diusahakan oleh petani itu sendiri. Proporsi marketed surplus yang tinggi juga ditemukan pada komoditi sayuran. Mehta dan Chaucan 1996 dalam Sadhu 2011 serta Praminik dan Prakash 2010 mengungkapkan bahwa marketed surplus sayuran di India mencapai lebih dari 95 persen. Hal itu bisa dikatakan wajar, karena sayuran umumnya bukan merupakan pangan utama dan masa penyimpanannya pun relatif singkat sehingga jumlah marketed surplus yang muncul bisa tinggi. Marketed surplus yang dimaksud bukan hanya penjualan yang dilakukan saat panen saja atau dalam bentuk gabah kering panen, tetapi juga penjulan dalam bentuk gabah kering simpan atau kering giling. Dalam Kusnadi et al 2008 dan Ellis et al 1992 disebutkan bahwa petani menjual gabahnya secara sekaligus dan bertahap. Penjualan sekaligus adalah penjualan yang dilakukan petani dengan menjual seluruh hasil panen secara sekaligus atau hanya dilakukan dalam satu waktu. Cara ini biasanya dilakukan dengan tebas. Sedangkan cara penjualan bertahap adalah penjualan yang dilakukan petani dengan menjual secara bertahap atau dilakukan lebih dari satu waktu. Hal ini bisa berbagai kemungkinan, yaitu: 1. Petani menjual saat panen kemudian menyimpan sebagian hasil panen dan dijual di kemudian hari 2. Petani menyimpan seluruh hasil panen kemudian menjualnya secara bertahap di kemudian hari. Pengeluaran atau alokasi lain yang dikeluarkan oleh petani yaitu pembayaran zakat dan ongkos giling gabah menjadi beras. Nusril dan Sukiyono 2007 dalam studinya mengungkapkan bahwa petani membayar zakat panen dan ongkos giling masih dalam bentuk natura atau hasil panen. Proporsi untuk membayar zakat yaitu 10 persen dari total produksi sedangkan untuk ongkos giling padi petani harus mengeluarkan seper lima belas dari gabah yang akan digiling. 2.2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed dan Marketable Surplus Dari studi-studi empiris yang telah ditulis, marketable dan marketed surplus bisa dipegarui oleh beberapa faktor. Namun dari studi-studi tersebut menunjukkan bahwa di setiap daerah atau komoditi mempunyai faktor-faktor yang berbeda atau mempunyai ciri khas dalam mempengaruhi marketed atau marketable surplus. Metode yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi marketable maupun marketed surplus pada penelitian sebelumnya umumnya menggunakan regresi linear. Karena regresi linear adalah metode yang sederhana tetapi cukup menggambarkan pengaruh-pengaruh farktor terhadap marketed maupun marketable surplus. Marketed surplus di daerah yang terspesialisasi sistem budidayanya lebih tinggi dari pada daerah yang kurang terspesialisasi Ellis et al 1992, Edmeades 2006, dan Kusnadi et al 2008. Hal tersebut ditunjukkan dengan informasi bahwa marketed surplus di Pulau Jawa lebih besar daripada di Luar Jawa. Sistem budidaya di Pulau Jawa relatif lebih bagus infrastrukturnya bisa memberikan hasil produksi yang lebih tinggi dan pola tanam yang lebih teratur dari pada di Luar Jawa. Dengan tingkat konsumsi yang lebih rendah, maka marketed surplus di Pulau Jawa sebagai daerah terspesialisasi menjadi lebih tinggi. Ukuran atau jumlah anggota keluarga berpengaruh negatif terhadap besaran marketed surplus Bhakta 1983, Nusril dan Sukiyono 2007, serta Kusnadi et al 2008. Hal ini disebabkan semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka jumlah hasil yang disisihkan untuk memenuhi konsumsi sehari- hari beras rumah tangga akan semakin besar. Akibatnya hal ini akan memperkecil jumlah marketed surplus. Chaucan dan Chabra 2005 serta Edmeades 2006 juga menunjukkan hal tersebut. Tingkat produksi berpengaruh positif dan nyata terhadap besaran marketed surplus Bhakta 1983, Chaucan dan Chabra 2005, serta Nusril dan Sukiyono 2007. Semakin besar jumlah produksi maka jumlah yang dijual oleh petani akan semakin besar pula, karena konsumsi keluarga besarannya cenderung tetap. Berbeda dengan Kusnadi et all 2008 dan Siregar 1990 serta Edmeades 2006 dan Idumathi 1984, yang dalam hasil studinya menyebutkan bahwa yang berpengaruh nyata dan positif yaitu luasan lahan yang dikuasai. Hal itu disebabkan karena konsumsi keluarga tidak dipengaruhi oleh besaran produksi. Namun baik itu faktor tingkat produksi maupun luas lahan, keduanya mengacu pada hasil produk yang dihasilkan. Semakin luas lahan yang dikuasai petani, maka produk yang dihasilkan akan semakin besar sehingga baik itu tingkat produksi maupun luas lahan jika meningkat akan meningkatkan marketed surplus juga. Pengaruh harga juga ditunjukkan Chaucan dan Chabra 2005, Nusril 2007, Nuryanti et al 2000, dan Kusnadi et al 2008 serta Amarender 2009. Harga di pasaran akan mempengaruhi jumlah hasil panen yang dijual oleh petani. Semakin tinggi harga hasil panen, maka jumlah hasil panen yang dijual akan semakin tinggi pula. Hal ini disebabkan petani khusunya petani yang bersifat komersial, akan terpacu untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan meningkatkan marketed surplus saat ada kenaikan harga. Pendapatan luar usahatani juga berpengaruh positif dan nyata terhadap besaran marketed surplus Nusril dan Sukiyono 2007, Mubyarto 1970, dan Edmeades 2006. Semakin besar pendapatan luar usahatani, maka bisa dikatakan tingkat kesejahteraan petani semakin tinggi sehingga kebutuhan konsumsi beras rumah tangga bisa dipenuhi dengan membelinya di pasar. Namun kesejahteraan petani juga bisa diukur dari pendapan total rumah tangga. Pendapatan rumah tangga yang tinggi, dalam hal ini penjumlahan pendapatan usahatani dan luar usahatani, akan mendorong marketed surplus yang tinggi pula Kusnadi et al, 2008. Hal itu dikarenakan petani yang penghasilan rumah tangganya tinggi, akan merasa mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, dalam hal ini konsumsi beras dengan membelinya dari pasar, sehingga tidak perlu menyisishkan dari produknya yang berdampak meningkatnya maketed surplus. Status kepemilikan lahan berpengaruh terhadap besaran marketed surplus Nusril dan Sukiyono 2007 dan Edmeades 2006. Petani yang status lahannya hak milik, besaran marketed surplusnya akan lebih tinggi. Hal itu disebabkan patani dengan lahan milik sendiri tidak harus membayar sewa lahan sebagai timbal balik penggunaan lahan. Sewa lahan yang digunakan petani yaitu tidak dengan sistem tunai, tetapi dengan natura atau pembayaran dengan proporsi hasil panen tertentu, sehingga petani dengan status lahan hak milik marketed surplusnya akan lebih tinggi. Musim tanam berpengaruh terhadap besaran marketed surplus Ellis et al , 1992. Petani akan cenderung menambah jumlah stok gabahnya storage pada jeda musim yang lebih lama. Hasil temuan menunjukkan bahwa perilaku petani di tiap daerah berbeda-beda dalam menyikapi musim tanam ini. Hal ini juga sesuai dengan Shah 2007. Namun, dalam studi-studi yang ditemukan, tidak dijelaskan mengapa petani menambah stoknya di waktu-waktu tersebut, tetapi hanya lebih dijabarkan mengenai peningkatan besaran dari simpanan atau stok yang dilakukan petani tersebut Usia dan pendidikan petani berpengaruh positif terhadap marketed surplus McDowell 1997 dalam Nuryanti et al 2000. Umur yang terlalu lanjut atau terlalu muda menyebabkan keluarga tidak mampu atau enggan melakukan kegiatan pasca panen. Hal ini berdampak pada pilihan menjual lebih banyak produk yang dihasilkan sehingga besaran marketed surplus semakin besar. Selain itu, Kumar dan Mruthyunjaya 1989 dalam Nuryanti et al 2000 mengemukakan bahwa petani akan menjual lebih banyak agar keuntungan yang diperoleh bisa mengkompensasi kesulitan yang telah dialami. Bagi petani, sarana untuk menyimpan dan menjemur gabah adalah sebuah kesulitan karena panyimpanan dan penjemuran gabah membutuhkan ruang yang luas dan biaya jika stok tersebut menggunkan fasilitas pihak lain. Sehingga, fasilitas pasca panen seperti luas atau kapasitas penjemuran dan penyimpanan hasil panen petani berpengaruh positif terhadap marketed surplus. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari temuan studi-studi yang telah dilakukan, petani saat ini masih bersifat subsisten atau semi subsisten. Hal tersebut disebabkan petani masih mengalokasikan sebagian produk atau hasil panennya untuk berbagai keperluan selain penjualan. Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran penjualan atau marketed surplus pun ditemukan berbeda baik itu di setiap komoditi maupun di setiap daerah. Dalam penelitian ini akan diidentifikasi dan dianalisis pola alokasi produk atau hasil panen petani dan faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketed surplus. Hanya saja, lingkup penelitian ini difokuskan pada komoditi padi di satu daerah, yaitu di Kabupaten Karawang. Selain itu, penelitian ini akan mencoba menemukan perbedaan pola alokasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus pada pola usahatani padi ladang dan padi sawah. Hal tersebut dikarenakan bahwa penghasil padi di Kabupaten Karawang bukan hanya padi dari pola usahatani padi sawah, tetapi juga pola usahatani padi ladang, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis